Connected. Terhubung adalah prasyarat untuk kesetaraan dalam “being digital“. Donate atau berdonasi mengikat keterhubungan menjadi beragam aksi nyata yang berdampak pada kehidupan sosial juga berbangsa dan bernegara.
Dunia digital memberikan kesempatan kesetaraan sejatinya. Hanya saja memang masih ada masalah besar. Kemajuan teknologi sampai kini masih terbatas penggunaanya, usernya. Teknologi yang hadir masih memiliki kesenjangan, berjarak dengan penggunanya. Berjarak dalam arti pengusaan infrastruktur teknologi dan akses.
Sejatinya, ada peluang demokratisasi dalam pemanfaatan dunia digital. Meski memang harus diakui bersama ada banyak paradoks kala user terhubung dengan dunia baru, dunia digital.
Beberapa negara justru bermasalah dengan teknologi informasi ini. Malah tanpa sadar ada kebijakan publik yang blunder, tak berjalan baik, penuh koruptif. E-KTP contohnya di Indonesia. Mau lebih banyak contoh yang lain? Mari bersama-sama menelusurinya.
Menilik paradoks, kesenjangan penggunaan teknologi komunikasi ini, ada peluang terbuka untuk mewujudkan kedaulatan dalam digital platform. Siapa yang paling pas menghadirkan? Negara jelas berperan dalam soal regulasi hanya bukan pada sisi birokratis namun sebatas berbagi data saja. Tujuan akhir tentu agar bisa menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan publik.
Ada contoh menarik berkaitan dengan kedaulatan digital, setidaknya fenomena ini bisa dihadirkan oleh pasardesa.id juga Sonjo di kala pandemi. Dua kelompok pengembangan platform aplikasi yang bermula dari upaya menemukan solusi atas masalah. Bukan berorientasi profit semata. Ada semangat sociopreneurship yang diwujudkan dalam aksi nyata.
Pasardesa.id menyasar mereka yang terekslusi dari program pemerintah pusat. Keluarga miskin yang belum terdata atau terlewat dari beragam skema bantuan pusat. Desa sebagai entitas pemerintah dengan kepala desa yang dipilih oleh rakyat secara langsung mempelopori hadirnya aplikasi yang mempertemukan user dan pengguna. Bukan berorientasi keuntungan di awalnya tapi bagian ikhtiar pemanfaatan teknologi untuk desa.
Ada banyak pilihan sebenarnya, dari beragam aplikasi yang sudah dibuat sebelumnya. Ada Sistem Informasi Desa dan yang lain namun semua itu sebatas kebutuhan data kependudukan, dinamika kependudukan juga data untuk respon bencana.
Aplikasi pasardesa.id dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan penyaluran bantuan ke rakyat dengan lebih rinci. Wahyudi Anggoro Hadi, Lurah Desa, BUMDes dan keterlibatan ahli dan relawan desa, rakyat desa yang terdidik mewarnai pengembangan aplikasi pasardesa.id jadi lebih handal.
Sambatan Jogja, Sonjo memiliki pola pengembangan yang berbeda. Awalnya memang “menumpang” sistem aplikasi yang sudah populer di masyarakat. Terbentuklah beragam group medsos yang berbasis solidaritas, sambatan atau tetulung. Di inisiasi kelompok akademis, Rimawan Pradiptyo, dosen Fakultas Ekonomi UGM telah mempertemukan user dan pengguna untuk bisa saling bantu. Memenuhi aneka kebutuhan.
*****
Semua pembelajar media tentu paham, apapun media yang akrab digunakan, sebagai user semata hanya bernasib jadi konsumen. Selamanya akan jadi pasar kemajuan teknologi, tentu bukanlah hal yang menyenangkan. Posisi yang jelas dependen, sangat bergantung pada produsen teknologi saja.
Dua aplikasi yang hadir dan berkembang baik pasardesa.id maupun sonjo.id telah memberikan pengalaman keterhubungan para pengguna dan penyedia layanan untuk saling memperbaiki kekurangan yang ditemui. Jelas, bukan berawal dari keinginan untuk mendapatkan keuntungan. Meski dalam perjalanan pengembangan jelas soal kebutuhan dana guna keberlanjutan aplikasi penting dipenuhi.
Bisa saja mendapatkan keuntungan, nilai tambah, namun bermasalah ketika ada ketergantungan kepada teknologi dan lebih banyak keluar ongkos untuk membiayai manfaat yang diberikan teknologi.
Ada hal penting dalam pemanfaatan teknologi komunikasi kala berwujud platform. Ini ditegaskan oleh progammer. Secanggih apapun sistem yang ditawarkan, untuk aplikasinya semua bergantung pada manusia, relasi pengguna dan produsen atau pembuat. Penerima manfaat, maupun pembuatnya harusnya berposisi sama-sama setara. Idealnya begitu.
Apapun nilai tambah yang dilekatkan tak bermakna apa-apa kala salah satu pihak lebih dominan. Kondisi yang tidak adil, jelas dalam dunia digital, platform digital yang dibuat. Jangan kaget, kala peneliti media harus berproses panjang untuk bisa mengakses data yang dikuasai oleh pemilik platform media.
Adakah demokrasi dalam digital platform, seperti harapan banyak pihak? Apakah dua model aplikasi di atas bentuk nyata dari berdaulat dalam dunia digital?
Seperti dirasakan bersama, hari hari ini, Indonesia direpotkan urusan-urusan sepele, soal “kicauan” netizen yang teramplifikasi dalam platform medsos. Kicauan yang sekedar membuat gaduh semata.
Nyaringnya bunyi kicauan, bertambah gaung dan tone-nya kala bertemu dengan para pendengung, buzzer maupun influencer.
Merespon kemajuan zaman dengan adaptasi kebiasaan baru di era kini sangatlah penting. Ada beberapa praktek baik yang berjalan dengan memanfaatkan adanya teknologi informasi, minimal dalam skala gerakan masyarakat sipil di DIY. Semua masih ingat bagaimana gegap gempita Twitter di masa awal, bahkan direspon oleh sutradara Indonesia asal Fakultas Kedokteran Hewan (?) dengan membuat film Republik Twitter.
Saat bencana Merapi, pegiat medsos dengan karakter terbatas membuat jejaring bersama radio komunitas lewat Jalin Merapi sebagai penghubung dan media alert atau membangun sistem peringatan dini ke banyak pihak.
Gema dan gaung peringatan yang dikumpulkan dari netizen, warga, sukarelawan di lereng Merapi dimanfaatkan untuk bahan konten informasi Jalin Merapi. Semua pihak berkontribusi dalam produksi informasi sekaligus membersihkan sampah-sampah informasi palsu yang beredar.
*****
Kini rintisan beragam aplikasi telah tersedia baik marketplace maupun sistem informasi untuk pelayanan publik. Semakin canggih dan mudah akses seiring dengan membaiknya infrastruktur teknologi informasi yang terus berkembang.
Pendek kata, semua bisa dijangkau dalam genggaman, apakah itu hal baik maupun hal buruk. Hal yang memperkokoh fondasi kedaulatan maupun hal-hal yang memperuncing permasalahan, perpecahan, menajamkan polarisasi.
Mengacu pada pendapat para programmer, benar adanya soal betapapun canggih dan handalnya sistem semua pada akhirnya bertumpu pada manusia. Teknologi adalah tools, manusialah yang memiliki kuasa atas teknologi. Jangan sampai logikanya terbalik. Manusia jadi budak teknologi, mesin-mesin digital itulah yang semestinya memberikan pelayanan untuk memudahkan kehidupan manusia.