Kategori
Society

Memaknai Sebuah Consent

Bicara soal consent, berarti juga berbicara soal hak. Namun sayangnya, tidak semua orang mampu memahami sebuah consent. Padahal tanpa adanya consent, suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai kejahatan.

Kategori
Society

Pilihan untuk (Tidak) Mengenakan Jilbab

Sebagai seorang muslimah yang kebetulan tidak menggunakan jilbab, saya cukup sering menerima pertanyaan—bahkan sindiran—kenapa saya tidak mengenakannya? Kapan saya akan mengenakannya? Mungkin bagi sebagian orang pertanyaan ini terdengar hanya basa-basi belaka, tetapi jujur bagi saya kadang-kadang terasa menyebalkan.

Saya sudah cukup memahami bahwa tidak semua pertanyaan dari orang lain adalah bentuk kepedulian. Pertanyaan itu seringnya menjelma jadi benih-benih nasihat sok tahu atau hanya sekadar untuk memenuhi hasrat kepo saja. Itulah sebabnya, saya hampir tidak pernah mau ikut campur dengan urusan orang lain. Apalagi urusan yang berbalut agama dan pilihan seseorang. Tidak ada untungnya bagi saya. Yang ada, saya malah terjebak dalam pola pikir homogen yang cenderung bias.

Namun, melihat betapa riuhnya warganet membicarakan Rachel Vennya yang dikabarkan melepas jilbab dan betapa jahatnya kolom replies yang bertengger di cuitan Syahar Bahu membuat saya gemas sekaligus prihatin. Bagi saya, membicarakan perubahan penampilan seseorang dan menjadikannya bahan pergunjingan atau celaan itu nggak penting banget.

Lagipula untuk apa? Apakah mengomentari penampilan seseorang tanpa jilbab membuat diri Anda terlihat lebih baik? Apakah menghakimi pilihan dan pengalaman spiritual orang lain juga membuat Anda terlihat lebih tinggi derajatnya?

Kenyataannya, tidak sedikit ulama yang memiliki penafsiran berbeda dalam memaknai kewajiban memakai jilbab dan batasan soal aurat perempuan. Beberapa ulama klasik umumnya masih mewajibkan aurat dengan batasan muka dan telapak tangan. Menurut mereka, jilbab merupakan pakaian yang menunjukkan rasa iman kepada Allah SWT. Maksudnya, pakaian yang tidak memamerkan aurat untuk menjadi tontonan laki-laki.

Di sisi lain, menurut pemahaman yang berkembang belakangan, jilbab tidak lagi dimaknai sebagai sebuah kewajiban seiring dengan penafsiran baru tentang aurat perempuan. Batasan aurat perempuan pun dibedakan menjadi dua, yaitu aurat dalam salat dan aurat di luar salat. Aurat dalam salat adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan. Sedangkan, aurat di luar salat merupakan pakaian yang sopan, layak, dan tidak menarik perhatian laki-laki.

Selain itu, ada juga ulama seperti Quraish Shihab yang berpendapat bahwa tafsir perintah menutup aurat yang termaktub dalam QS Al-Ahzab: 59 bukan untuk memerintah seorang muslimah memakai jilbab. Meski ayat tersebut mengandung perintah, tetapi perintah ini mengandung maksud “sebaiknya” bukan “seharusnya”. Pun beliau berpendapat bahwa tidak semua perintah merupakan perintah yang sifatnya wajib.

Memang ada dua perbedaan mendasar yang melatarbelakangi pendapat ulama terkait dengan penggunaan jilbab, tapi sebagai umat kita boleh saja mengikuti salah satu pendapat ini sesuai dengan dengan kemantapan hati. Toh, menafsirkan sebuah ayat bukanlah pekerjaan yang mudah dan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Benar atau tidaknya, wallahu’alam bissawab.

Masalahnya, masyarakat kita kerap kali melabeli perempuan yang tidak berjilbab karena kurang iman. Padahal tidak ada korelasinya antara tingkat kesalehan seseorang dengan pakaiannya. Sebagai seorang individu dan subjek yang merdeka, perempuan muslimah seharusnya bebas saja memilih hendak berjilbab atau tidak.

Jika keinginan untuk berjilbab muncul, pastikan lagi bahwa itu benar-benar atas pilihan sendiri, bukan karena paksaan apalagi ancaman dari orang lain. Kalau memilih tidak berjilbab ya tidak apa-apa, tetapi tolong hargai juga pilihannya. Apalagi mengingat perjalanan spiritual seseorang yang mungkin tidak mudah.

Dulu saya pernah merasa “minder ” hanya karena tidak mengenakan jilbab di antara teman-teman saya. Saya merasa sendirian dan seolah-olah kurang punya iman. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, untuk apa berusaha tampak saleh di hadapan orang lain? Bukankah itu sama saja dengan menipu diri sendiri?

Seiring dengan berjalannya waktu, pemahaman saya akan jilbab kian berkembang. Bagaimanapun juga, jilbab merupakan hasil konstruksi budaya sebagai wujud pemaknaan terhadap teks Al Quran. Oleh sebab itu, menurut saya, mengenakan jilbab atau tidak seharusnya bukan menjadi masalah karena semua kembali pada keyakinan diri masing-masing. Bagus kalau sudah mengenakan jilbab, tapi jangan menghakimi perempuan-perempuan yang memilih untuk tidak mengenakannya.

Meski saat ini saya memilih tidak mengenakan penutup kepala, saya tetap berpegang teguh pada batas kesopanan yang wajar bagi aurat perempuan. Dan saya pikir hal ini juga selaras dengan makna “Yang biasa nampak daripadanya” dalam Surat An-Nur ayat 30. Berpenampilan biasa saja. Yang penting layak dan sesuai dengan standar kepantasan di masyarakat.

Kategori
Kapital Society

Pekerjaan Rumah Tangga Juga Aktivitas Ekonomi

Beberapa hari belakangan, linimasa Twitter kembali ramai. Masalahnya kini, adalah utas yang menggunakan judul Bekal buat Suami Hari Ini dianggap sebagai sebuah ‘penghambaan’ kepada laki-laki. Bahkan seorang netizen berkata, “I don’t think anybody should be this nice to a man“, yang kurang lebih berarti “yaelah ngapain sih bersikap baik sama laki-laki”.

Sejujurnya, saya tidak merasa bahwa utas tersebut bermasalah apalagi membawa semangat patriarki. Pertama, saya justru bersyukur karena lagi-lagi saya mendapatkan ide dan referensi resep masakan. Maklum, saya mulai bosan memasak menu yang itu-itu saja. Kedua, yang disampaikan si pembuat utas hanyalah sebuah bentuk love language atau bahasa cinta. Ketika kita sedang jatuh cinta atau lagi sayang-sayangnya sama seseorang, pasti kita ingin memberikan yang terbaik untuk si dia kan?

Jadi, tolong dibedakan ketika perempuan memasak karena tuntutan suami/laki-laki dengan perempuan yang berinisiatif memasak sendiri karena ingin memberikan bekal kepada orang yang tersayang. Lagipula, dengan memasakkan menu kesukaan pasangan tidak akan membuatmu terlihat lebih rendah atau lebih hina darinya. Dengan catatan, hal itu dilakukan atas inisiatif atau keinginanmu sendiri.

Namun, masalah bekal menjadi semakin runyam dan liar tatkala seorang netizen mencoba menyampaikan pandangan bahwa bagi sebagian feminis, memasak itu adalah pekerjaan yang tidak dibayar. Memasak juga tidak dianggap sebagai pekerjaan produktif yang bisa menghasilkan uang maupun keuntungan. Meski argumen tersebut muncul di luar konteks bekal, tetapi kali ini saya sungguh sepakat dengan apa yang ia bicarakan.

Pekerjaan seperti memasak, menyapu, mencuci hingga mengurus anak adalah kerja reproduktif, yang sayangnya tidak pernah diperhitungkan dalam ekonomi. Karena sifatnya yang tidak kasat mata dan kerap dilekatkan dengan beban reproduktif perempuan, pekerjaan ini selalu dipandang sebagai pekerjaan remeh temeh. Padahal jika dikaji lebih mendalam, pekerjaan reproduktif sesungguhnya memiliki peranan yang cukup besar dalam perekonomian.

Tangan Tak Terlihat Adam Smith

Pada tahun 1776 Adam Smith, Sang Bapak Ekonomi, pernah mengemukakan pendapat fenomenal yang dipercaya oleh para ekonom hingga sekarang. Ia berkata, “Bukan karena kebaikan tukang daging, tukang minuman, atau tukang roti kita bisa mendapatkan makan malam kita, melainkan karena mereka memikirkan kepentingan diri mereka sendiri.”

Menurut Smith, tukang daging, tukang minuman hingga tukang roti bekerja dengan keras bukan semata untuk menyenangkan pembelinya dengan berbuat baik. Mereka melakukannya agar pelanggannya puas, sehingga mereka pun mendapatkan uang darinya. Konsep kepentingan diri—mencari keuntungan—inilah yang kemudian memunculkan istilah pasar bebas.

Smith percaya, pasar bebas adalah cara terbaik untuk membentuk sistem ekonomi yang efisien. Sebab, ketika semua orang bekerja demi dirinya sendiri, maka semua orang juga akan memiliki akses atas barang-barang yang mereka perlukan. Roti dijual di toko roti, minuman tersedia di rak supermarket hingga listrik yang senantiasa menyala inilah yang membuatmu bisa menikmati sepiring makan malam.

Kepentingan diri menjamin bahwa segala sesuatu akan berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan tanpa adanya cukai atau regulasi sekalipun, pasar bebas memungkinkan seseorang untuk menjual atau membeli barang apapun sekaligus mengatur harga barang maupun jumlah barang. Kepentingan diri adalah tangan-tangan tak terlihat yang akan menjamah, menuntun hingga memutuskan segala sesuatu—meski kita tidak merasakan kehadirannya.

Konsep tersebut mungkin terasa logis, mengingat selama ini ekonomi hadir atas dasar butuh-sama-butuh. Namun Katrine Marçal dalam buku Who Cooked Adam Smith’s Dinner? A Story About Women and Economics menyangkal pendapat tersebut. Menurut Katrine, bagaimana mungkin Adam Smith mengungkapkan teori tangan tak terlihat, sementara sepanjang hidupnya ia tidak perlu mengurusi urusan domestik? Ada sosok ibunya yang mengurus dirinya, mencuci bajunya, dan memasakkan makan malam untuknya, sehingga ia terbebas dari pekerjaan tersebut.

Tukang daging, tukang roti, dan tukang minuman bisa saja menyediakan kebutuhan makan malam untukmu. Begitu pula dengan pekerja kantoran, mereka bisa fokus mengerjakan dokumen, mencatat keuangan perusahaan atau mengadakan meeting dengan klien. Mereka semua bisa melakukan pekerjaan produktif karena tidak dibebani dengan pekerjaan rumah tangga. Sementara itu, ada ibu atau istri yang tinggal di rumah, membersihkan kotoran di toilet, memasak makan malam, mencuci baju, mengurus anak, dan memastikan semuanya sudah beres saat mereka pulang ke rumah.

Ekonomi Kedua

Konon, kata ‘ekonomi’ berasal dari bahasa Yunani οἶκος (oikos) yang berarti keluarga atau rumah tangga dan νόμος (nomos) yang berarti peraturan, aturan atau hukum. Secara umum, ekonomi bisa diartikan sebagai aturan dalam rumah tangga.

Bicara soal ekonomi, berarti turut membicarakan uang, barang, jasa, investasi, produksi, distribusi, konsumsi, emas, harta, utang, piutang, dan sebagainya. Sayangnya, dari semuanya tidak ada satupun yang menyebutkan rumah tangga sebagai kegiatan ekonomi. Aktivitas seperti bersih-bersih, memasak, mencuci baju, menyetrika hingga mengurus anak tidak dianggap sebagai kegiatan ekonomi—hanya karena semua ini tidak menghasilkan ‘nilai’ yang dapat dibeli, ditukar, diperdagangkan atau dijual. Mirisnya, aktivitas tersebut mayoritas dilakukan oleh perempuan atau perempuan terpaksa melakukannya karena ‘kewajiban’ akibat beban reproduktif yang ditanggungnya.

Simone de Beauvoir dalam The Second Sex pernah mengatakan bahwa perempuan adalah ‘jenis kelamin kedua’. Perempuan tidak punya ‘kehadiran’ karena yang memberinya ‘makna’ adalah laki-laki. Perempuan juga digambarkan sebagai sang ‘liyan’ (the other) yang tidak hanya berbeda secara fisik, melainkan dalam berbagai hal juga sengaja dibeda-bedakan dan didiskriminasi oleh laki-laki.

Akibat titel ‘liyan’, apapun yang dilakukan perempuan menjadi tidak dihitung. Yang dihitung hanya kerja laki-laki saja. Konsep kerja seperti inilah yang kemudian menjadi dasar pandangan ekonomi dunia. Perempuan melakukan segala sesuatu yang tidak dilakukan laki-laki, tetapi ironisnya laki-laki justru bergantung darinya agar ia dapat leluasa melakukan kerja produktif.

Perempuan Juga Manusia Ekonomi

Ada salah satu komentar netizen dalam utas bekal kemarin yang cukup menganggu saya. Ia berkata, “It’s just cooking bro, it’s not that deep. Imagine being so woke you’re angry at people making meals,”. Dalam konteks love languange, membuat bekal untuk pasangan memang tidak ada salahnya. Bahkan saya sendiri juga senang-senang saja memasakkan sesuatu untuk pasangan saya.

Masalahnya ada pada kalimat it’s just cooking bro, it’s not that deep. Memasak memang bukan hal yang besar bahkan seharusnya sudah menjadi kebutuhan. Namun sayangnya, kalimat semacam itu sering digunakan untuk membenarkan kerja reproduktif yang tidak dihargai apalagi diberi upah. Dalam ekonomi, kegiatan memasak tidak pernah diperhitungkan karena dianggap tidak ‘bernilai’ dan tidak menghasilkan keuntungan. Ini juga menjawab mengapa selama ini, pekerja rumah tangga—yang biasanya dilakukan perempuan—tidak mendapatkan upah secara layak.

Sesungguhnya pekerjaan reproduktif adalah pekerjaan perawatan yang membutuhkan kasih sayang dan empati. Tanpa perawatan, mungkin bayi tidak akan bisa tumbuh, piring berserakan karena tidak dicuci atau daging lekas membusuk karena tidak kunjung dimasak. Namun, pekerjaan tersebut dianggap tidak membawa kemakmuran hanya karena tidak menghasilkan uang.

Padahal kerja perawatan ini sebagian besar dilakukan di rumah—yang seringnya dijadikan laki-laki sebagai tempat untuk pulang dari kerja produktif. Ketika pulang, laki-laki tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah, karena semuanya sudah dilakukan oleh istri atau ibunya. Ia bisa beristirahat seharian di rumah, mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari istri/ibunya, dan bisa memulihkan rasa laparnya, sehingga esok ketika hendak berangkat bekerja, ia sudah bugar kembali. Ia bisa fokus mengerjakan pekerjaannya di luar tanpa terbebani oleh urusan-urusan di rumah.

Meski kerjanya dianggap tak terlihat, tetapi melalui perawatan dan kasih sayangnya, perempuan ikut berkontribusi dalam pekerjaan si laki-laki. Tangan-tangan perempuan yang melakukan pekerjaan reproduktif mampu memberi makna bagi laki-laki di dunia kerja. Laki-laki bisa fokus meniti karier karena ia (merasa) tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah. Hal ini bukan semata-mata karena ketiadaan pembagian kerja di dalam rumah, melainkan bagaimana pekerjaan reproduktif juga turut berkontribusi dalam perekonomian.

Menghargai Kerja Reproduktif

Ketika SD dulu, saya membaca biografi Florence Nightingale yang dimuat dalam buku Seri Tokoh Dunia. Ia dikenal sebagai pelopor ilmu keperawatan modern yang berhasil menumbangkan stigma “perawat adalah pekerjaan hina”. Seperti namanya, ia lahir di kota Florence/Firenze, Italia dan merupakan anak dari seorang bangsawan ternama di Inggris.

Meski ditentang oleh keluarganya, Florence berkeyakinan bahwa Tuhan memanggilnya menjadi seorang perawat. Di kala Perang Krimea pecah pada 1853, Florence bersama puluhan relawan perawat lainnya pergi ke Laut Hitam untuk merawat korban perang. Dengan uang yang dimilikinya dan beberapa sumbangan dana dari The Times, Florence berhasil mengubah keadaan rumah sakit yang semula kotor menjadi bersih dan layak ditinggali. Ia juga menyuplai kebutuhan gizi pasien agar tidak mengalami gizi buruk. Semua perubahan sanitasi dan keberhasilan mengurangi angka kematian, ia catat secara mendetail menggunakan statistik sebagai argumentasi perubahan ke arah yang lebih baik pada bidang keperawatan di hadapan pemerintahan Inggris. Tak mengherankan jika kemudian ia digelari sebagai The Lady With The Lamp.

Florence Nightingale adalah contoh bahwa perempuan yang melakukan kerja perawatan bisa mendorong terjadinya perubahan. Meski yang dilakukannya adalah ‘kerja Tuhan’ dan berlandaskan kasih sayang, tapi tidak serta-merta semua yang dikerjakannya menjadi gratis dan tidak dibayar. Toh, sepanjang hidupnya, Florence mengupayakan upah yang layak untuk dunia keperawatan.

Hanya karena perempuan menginginkan upah dalam kerja perawatan—termasuk persoalan rumah tangga—bukan berarti perempuan tersebut egois atau mata duitan. Faktanya, jika sebuah pekerjaan diakui, dihargai, diapresiasi, dan didukung terutama secara finansial, maka seseorang akan menjadi lebih termotivasi dan merasa bahagia melakukan pekerjaan tersebut. Lagipula, siapa sih yang ingin terus-terusan merasa dieksploitasi?

Begitu pula dengan ibu Adam Smith. Ia memang ‘hanya’ ibu rumah tangga. Ia memasak, mencuci pakaian Smith, dan merawatnya ketika sakit. Namun kita juga harus mengakui, kalau bukan karena tangan-tangan penuh kasih dari ibunya, mungkin Smith tidak akan bisa berkata, “Bukan karena kebaikan tukang daging, tukang minuman, atau tukang roti kita bisa mendapatkan makan malam kita, melainkan karena mereka memikirkan kepentingan diri mereka sendiri.”

Kategori
Kapital Politik

Seberapa Efektif Jika Lockdown Ditetapkan di Indonesia?

Jagad media sedang gonjang-ganjing. Penyebabnya, publik semakin mendesak pemerintah untuk menerapkan lockdown atau karantina wilayah. Konsep ini dipercaya menjadi solusi paling ampuh untuk menghentikan penyebaran virus corona, yang sayangnya sering bertambah seiring dengan ramainya arus pergerakan manusia.

Beberapa negara seperti China, Italia, Prancis, Filipina, dan Malaysia telah menerapkan kebijakan tersebut demi membatasi pergerakan manusia. Meskipun demikian, beberapa negara seperti Korea Selatan dan Singapura berhasil menekan angka penyebaran tanpa melakukan karantina wilayah. Kedua negara ini lebih memilih untuk melakukan tes massal.

Karena penularannya melalui droplet atau percikan, membatasi jarak dan menghentikan sementara laju pergerakan manusia memang mampu menahan penyebaran virus yang lebih luas lagi. Namun, benarkah lockdown terbukti efektif menghentikan pandemi?

Memahami Konsep Lockdown

Secara umum, lockdown didefinisikan sebagai upaya untuk mengisolasi suatu wilayah agar populasi di dalamnya tidak keluar dari wilayah tersebut. Aturan ini bersikap temporer atau sementara, sehingga bisa dicabut sewaktu-waktu jika kondisi sudah dianggap membaik.

Meski bertujuan untuk mengisolasi wilayah, tetapi pada penerapannya tergantung kebijakan masing-masing kepala pemerintahan. Misalnya di Wuhan, China, lockdown diberlakukan secara total. Artinya, warga di sana tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah, beberapa ruang publik ditutup, transportasi umum dihentikan, dan tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan pribadi.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Meski bertujuan untuk mengisolasi wilayah, tetapi pada penerapannya tergantung kebijakan masing-masing kepala pemerintahan.[/mks_pullquote]

Sementara itu, lockdown di Italia dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak warganya. Meski ada anjuran untuk tetap berada di dalam rumah, warga masih tetap diperbolehkan pergi ke luar rumah. Apalagi jika memiliki alasan tertentu dan urgent, seperti membeli kebutuhan pangan.

Sayangnya, kebijakan lockdown yang dinilai cukup efektif untuk menangani pandemi, ternyata bisa menimbulkan masalah baru. Di India saja, meskipun PM Narendra Modi telah mengumumkan lockdown sejak 24 Maret 2020, alih-alih membatasi ruang gerak masyarakat, kebijakan tersebut justru menimbulkan chaos. Akibatnya, banyak orang kelaparan karena kesulitan mencari makanan. Pun tak sedikit pula para perantau yang mulai pulang kampung halaman karena sudah tidak memiliki penghasilan lagi.

Kebijakan lockdown mungkin bisa jadi solusi paling bagus untuk mereka yang sudah siap dan tentunya punya dana yang memadai. Namun jika tidak, alih-alih memerangi virus tak kasat mata ini, lockdown justru menimbulkan masalah baru, yaitu kelaparan dan kesenjangan sosial.

Lockdown atau Karantina Wilayah?

Meski wacana lockdown sudah digaungkan sejak outbreak pertama di Indonesia, tapi maknanya pun masih simpang siur. Kata Pak Mahfud sih, lockdown tidak sama dengan karantina wilayah. Menurutnya, lockdown mengacu pada pembatasan ketat di suatu wilayah dan melarang warga untuk keluar masuk dari wilayah tersebut. Sementara karantina wilayah adalah istilah lain dari physical distancing (pembatasan jarak fisik) dan masih memungkinkan warga untuk melakukan aktivitas seperti biasa.

Padahal menurut UU No. 6 Tahun 2018, karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit. Pun dalam postingan Instagram @badanbahasakemendikbud disebutkan bahwa lockdown adalah padanan kata dari karantina wilayah. Meskipun demikian, karantina wilayah bisa juga diartikan sebagai pembatasan perpindahan orang dan kerumunan di tiap wilayah yang telah ditetapkan. Nah lho, makin bingung kan 😦

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Menurut UU No. 6 Tahun 2018, karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit. [/mks_pullquote]

Mungkin saja yang dimaksud Pak Mahfud adalah perbedaan anggaran biaya. Apabila lockdown ditetapkan maka negara lah yang harus menanggung semua hajat hidup warganya tanpa terkecuali karena mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Namun, jika “karantina wilayah” yang ditetapkan, maka negara terbebas dari kewajiban menanggung biaya hidup warganya. Plus, warga juga masih diperbolehkan melakukan aktivitas seperti biasa meski ada pembatasan, sehingga roda ekonomi pun akan tetap berputar.

Efektif Sih, tapi…

Saya kembali terngiang dengan kutipan Presiden Ghana, Nana Akufo Addo, tentang kebijakan lockdown di negaranya. Kutipan yang terasa menyejukkan di tengan wabah COVID-19 ini pun menjadi viral di media sosial.

Tidak ada negara yang tidak mengalami kejatuhan ekonomi selama pandemi. Sekelas Wall Street saja sempat tumbang lebih dari 4% sejak Presiden Donald Trump memperingatkan bahwa korban meninggal akibat virus corona di AS bisa terus meningkat. Bursa Efek Indonesia juga pernah menghentikan perdagangan saham selama 30 menit karena IHSG anjlok 5% ke level 3.000. Kedua contoh tersebut adalah bukti bahwa baik negara maju atau negara berkembang atau negara miskin sekalipun pandemi tetap membuat perekonomian terombang-ambing.

Saya paham, lockdown memang akan membuat perekonomian ambruk. Bahkan belum resmi diberlakukan karantina wilayah saja sudah banyak perusahaan yang “merumahkan” karyawannya. Industri pariwisata dan perhotelan juga sudah melakukan efisiensi karena terancam gulung tikar.

Meskipun demikian, saya lebih setuju apabila lockdown ditetapkan. Semakin cepat diberlakukan pembatasan wilayah, maka semakin cepat pula kita move on dari pandemi. Saya sadar, saya bisa saja kehilangan pekerjaan dan penghasilan jika lockdown benar-benar ditetapkan. Namun, bukankah selama karantina negara wajib menanggung dan menyuplai semua kebutuhan warganya? Pun mereka yang kehilangan pekerjaan, akan mendapatkan santunan dari negara.

Selain itu, pemerintah saat ini hanya kebanyakan mengimbau physical distancing tanpa disertai sanksi tegas. Duh, kaya nggak paham aja deh sama kelakuan warga negara +62. Larangan saja banyak yang dilanggar, apa lagi kalau hanya sebuah imbauan?

Opsi lockdown juga semakin masuk akal mengingat bahwa kita harus melandaikan kurva penyebaran virus corona. Ini krusial banget lho karena penyakit COVID-19 masih tergolong baru, belum ada obat apalagi vaksinnya, sementara fasilitas kesehatan dan tenaga medis sangat terbatas. Lagipula, mereka yang sedang sakit juga butuh waktu kan buat sembuh dan agar rumah sakit tidak overload?

Namun, mengingat karakter masyarakat Indonesia, rasanya lockdown masih belum dijadikan keputusan yang tepat. Meskipun begitu, pemerintah tetap harus melakukan pengawasan ketat jika opsi physical distancing atau “karantina wilayah” ditetapkan. Jangan cuma mengeluarkan imbauan dan arahan saja atau malah berharap semua warga bakal disiplin. Percuma kalau tidak dibarengi dengan ketegasan mengatur laju pergerakan manusia.

Yang ada kita justru semakin bertanya-tanya: kapan ya mimpi buruk ini berakhir?

Kategori
Society

Privilese dan Kesenjangan Sosial di Tengah Pandemi COVID-19

Saat tulisan ini ditulis (29/3), Indonesia telah mencatat 130 kasus baru positif COVID-19 dalam sehari. Total ada 1.285 kasus di seluruh Indonesia, 114 orang meninggal dunia, dan 64 pasien dinyatakan sembuh.

Saya terbelalak ketika membaca headline di sebuah portal media onlineRapid Tes Gratis untuk Anggota DPR dan Keluarganya. Holyshit. Saya kira di antara orang-orang yang dari orok sudah tajir, ternyata masih ada orang-orang yang jauh lebih berprivilise, yaitu anggota DPR dan keluarganya. Meski pada akhirnya Pakde Jokowi menolak ide gila ini, tapi saya jadi semakin meyakini bahwa dunia memang tidak pernah adil.

Lain waktu, saya dibuat speechless ketika melihat video tes COVID-19 di rumah pengusaha Jerry Lo. Dalam video berdurasi 1,5 menit ini terlihat sebuah bus besar putih bertulisan ‘pelayanan kesehatan’ terparkir di depan rumah. Lalu, pemandu video memperlihatkan garasi yang terisi mobil mewah dan menjelaskan bahwa pemeriksaan COVID-19 dilakukan di ruang karaoke.  Belakangan diketahui, pelayanan kesehatan tersebut berasal dari RS Royal Progress Sunter.

https://twitter.com/penjordroid/status/1242629496366190592

Di tengah pandemi COVID-19 dan simpang siurnya kabar pelaksanaan tes di Indonesia, kemunculan video ini membuat hati saya teriris-iris. Saya jadi ingat seleksi alam yang pernah saya pelajari beberapa tahun silam di kelas biologi. Siapapun yang “kuat” maka ia akan bertahan, sedangkan yang “lemah” akan terseleksi atau tersingkirkan. Kedengarannya memang sadis ya, tapi begitulah realitanya.

Privilese Itu Benar Adanya

Kedua contoh di atas adalah bukti bahwa privilese atau hak istimewa itu benar adanya. Privilese memang tak selalu berbentuk uang dan harta (meski sebagian besar begitu sih), tetapi hak semacam ini memudahkan seseorang untuk memperoleh sesuatu dan pelayanan jasa. Karena tidak dimiliki semua orang, hak tersebut justru memunculkan stratifikasi sosial. Dengan kata lain, jurang kesenjangan dan ketidakadilan sosial pun semakin lebar dan dalam.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Privilese memang tak selalu berbentuk uang dan harta, tetapi hak semacam ini memudahkan seseorang untuk memperoleh sesuatu dan pelayanan jasa. [/mks_pullquote]

Ketika gerakan #dirumahaja mulai digaungkan di media sosial, lagi-lagi kita dihadapkan pada persoalan privilese. Memang betul bahwa menjaga jarak hingga mengurangi aktivitas di luar rumah disebut-sebut mampu mengurangi laju penyebaran virus. Sayangnya, tidak semua orang bisa melakukan hal ini.

Banyak orang masih tetap bekerja di luar rumah dan berdesakkan di transportasi umum. Ada juga yang harus berdagang berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya. Bukan karena mereka tidak peduli dengan social distancing, tapi mereka tidak mempunyai banyak pilihan. Work from Home (WFH) yang sering digaungkan oleh kelas menengah atas adalah suatu kemewahan bagi mereka.

Orang-orang Berprivilese Sering Lupa dan Terlena

Tanpa disadari, kadang-kadang privilese sering membuat kita terlena dengan “kenyamanan”. Kita jadi sering mengatur perilaku orang dengan kacamata kita sendiri. Kita merasa orang lain harus ikut menanggung permasalahan kita, padahal setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda.

Saya pun pernah khilaf. Ketika membaca berita Ribuan Perantau Jabodetabek Mudik ke Daerah Asalnya, saya langsung merasa kesal. Saya merasa sudah melakukan social distancing, mengurangi aktivitas di luar rumah hingga menjaga kesehatan diri sendiri, tiba-tiba harus menerima kenyataan bahwa orang-orang ini akan memicu penyebaran virus yang lebih luas lagi. Lantas, dengan semena-mena saya menganggap bahwa mereka yang pulang adalah orang paling egois di dunia.

Saya lupa bahwa tidak semua orang beruntung bisa bekerja dari rumah, memiliki gaji bulanan, dan tinggal di rumah dengan fasilitas yang memadai. Bisa jadi, mereka yang memutuskan pulang itu karena sudah tak kuat menanggung kerasnya hidup di perantauan. Entah dagangannya sepi pembeli atau kantornya tutup sehingga membuatnya di-PHK atau tabungannya sudah ludes, semua alasan tersebut menohok relung hati saya.

Ketika beberapa desa di Jogja sudah mulai melakukan karantina mandiri, saya mulai gelisah dan kembali memikirkan privilese. Di satu sisi, saya setuju karena hal ini memudahkan warga untuk mengontrol siapa saja yang masuk dan keluar desa. Di sisi lainnya, saya merasa galau karena lagi-lagi karantina mandiri hanya menguntungkan mereka yang berprivilese.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Warga yang mapan secara ekonomi bisa saja merasa tenang berada di dalam rumah, memiliki stok makanan melimpah selama beberapa minggu ke depan, sementara gaji selalu dibayarkan setiap bulan.[/mks_pullquote]

Warga yang mapan secara ekonomi bisa saja merasa tenang berada di dalam rumah, memiliki stok makanan melimpah selama beberapa minggu ke depan, sementara gaji selalu dibayarkan setiap bulan. Namun bagaimana dengan mereka yang masih harus bekerja pontang-panting demi sesuap nasi? Mengingat area tempat tinggal saya masih sering dilewati pedagang keliling, kalau setiap desa melakukan karantina dan menutup hampir semua aksesnya, bagaimana nasib mereka? Siapa yang bakal membeli dan melarisi dagangannya?

Punya Privilese Itu Nggak Salah, tapi…

Saya rasa membicarakan privilese tidak serta-merta karena saya iri kepada orang kaya (meskipun iya juga sih, dikit). Bukan pula karena saya nggak bersyukur. Ada persoalan amat penting di sini, yaitu kesenjangan sosial.

Orang-orang kaya boleh saja kok menikmati hartanya, apalagi kalau (katanya) didapat dari hasil jerih payahnya di masa lalu. Namun selama kesenjangan masih keterlaluan lebarnya dan pemerintah belum bisa memberikan solusi, orang kaya seharusnya bisa menyadari hak istimewanya dan tidak melulu menyalahkan si miskin karena kurang berusaha. Justru akan lebih baik jika mereka yang mulai berinisiatif membantu agar tidak ada lagi bias kelas di antara kita.

Kategori
Society

Sindrom Ratu Lebah: Ketika Perempuan Lebih Jahat kepada Sesamanya

Ketika masih belajar dasar-dasar feminisme di bangku kuliah, saya meyakini bahwa ketidakadilan di dunia ini bersumber dari relasi kuasa yang timpang. Menurut Simone de Beauvoir, penindasan tersebut disebabkan karena dominasi laki-laki. Laki-laki yang disebut Sang Diri menganggap kalau perempuan atau Sang Liyan adalah ancaman. Makanya, agar tetap merasa bebas, laki-laki akan selalu mensubordinasikan perempuan terhadap dirinya.

Di samping itu, masyarakat pun masih mengimani kepercayaan bahwa laki-laki (dalam arti mereka yang memiliki penis) dan maskulinitas (kelaki-lakian) adalah keistimewaan. Laki-laki dan akan selalu dianggap pihak yang “menang” atau “berkuasa”, sementara perempuan dan keperempuanan (feminitas) dikonstruksikan sebagai pihak yang lemah, tak berdaya bahkan bergantung kepada laki-laki.

Karena kenyataan pahit inilah, saya sempat percaya bahwa perempuan akan saling mendukung kepada sesamanya atas nama sisterhood. Perempuan sebagai pihak yang “tertindas” otomatis akan menguatkan satu sama lain. Saya pikir, karena didorong perasaan yang sama, perempuan dianggap lebih mudah untuk berempati kepada sesamanya.

Sayangnya, semangat sisterhood ternyata nggak selalu relevan dengan kenyataan. Gerakan yang digadang-gadang sebagai garda depan perjuangan kesetaraan gender, justru menimbulkan polemik yang tak berkesudahan. Katanya sesama perempuan harus saling mendukung, tetapi pada kenyataannya sebagian perempuan malah “memusuhi” sesamanya sendiri.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Katanya sesama perempuan harus saling mendukung, tetapi pada kenyataannya sebagian perempuan malah “memusuhi” sesamanya sendiri.[/mks_pullquote]

Di masa SMP dulu, saya pernah dikucilkan oleh teman-teman perempuan tanpa saya tahu alasan sebenarnya. Nggak hanya dikucilkan, beberapa teman malah dengan sengaja melontarkan omongan-omongan yang nggak enak di depan saya. Awalnya saya agak tertekan karena jadi tidak bersemangat sekolah, tetapi lama-lama yaudalaya biarin aja. Prinsipnya, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu~

Belakangan, saya baru mengetahui bahwa mereka bersikap seperti itu hanya karena iri dengan prestasi saya. Maklum, kala itu saya termasuk salah satu siswa berprestasi di sekolah. Saya sering mendapat peringkat satu setiap semester, saya juga aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bahkan sempat dipercaya menjadi ketua OSIS.

Sejujurnya, terlihat terlalu “menonjol” di sekolah dilematis banget sih. Di satu sisi, saya memang menyukai semua kegiatan yang saya jalani. Namun, di sisi yang lain, saya nggak nyaman karena beberapa teman perempuan kerap membicarakan saya di belakang. Apalagi saat itu, saya juga sedang dekat dengan seorang kakak kelas dan kabarnya ia adalah idola ciwi-ciwi di sekolah. Ya sudah deh, omongan nggak enak dan gosip hampir tiap hari jadi makanan sehari-hari di telinga.

Padahal baru deket lho, belum pacaran. Kenapa udah pada cemburu sih? 😦

Hal lain yang membuat saya meragukan konsep sisterhood adalah fenomena “seram” dalam gerbong khusus perempuan di Commuter Line/KRL. Saya memang bukan pengguna setia KRL, tetapi berdasarkan cerita teman-teman, gerbong khusus yang tadinya dimaksudkan untuk pencegahan pelecehan seksual, justru menjadi ajang perlombaan (rebutan) bagi sesama penumpang perempuan.

Senggol-senggolan dan dorong-dorongan? Sudah biasa! Kadang-kadang ada yang sampai cakar-cakaran agar bisa masuk ke dalam gerbong yang isinya sudah membludak. Ketika ada perempuan hamil, kebanyakan perempuan di dalamnya cenderung bersikap cuek dan tidak berusaha untuk menyisihkan tempat duduk. Padahal perempuan hamil kan termasuk orang yang diprioritaskan!

Konsep sisterhood rupanya juga nggak berlaku ketika terjadi peristiwa pemerkosaan atau pelecehan seksual. Meski korbannya adalah perempuan, tetapi komentar-komentar bernada victim blaming justru banyak datang dari perempuan itu sendiri. Mulai dari kenapa bajunya terbuka, kenapa nggak pakai hijab, kenapa korban pergi sendirian, kenapa korban nggak melawan, dan sebagainya. Semua komentar sejenis ini menjadi terdengar lebih jahat dan menyakitkan jika dilontarkan langsung dari mulut perempuan.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Konsep sisterhood nggak berlaku ketika terjadi peristiwa pemerkosaan atau pelecehan seksual.[/mks_pullquote]

Lantas, ketika ada korban perempuan yang sudah memberanikan diri untuk speak up, alih-alih didukung dan mendapatkan empati, korban justru semakin dirundung. Entah dikatain lebay atau cari perhatian, perempuan-perempuan yang katanya lebih peka dengan perasaan manusia, nyatanya bisa menjelma jadi penindas yang tak punya hati.

Oh jangan lupa dengan kasus Bunga Citra Lestari (BCL) yang baru saja berduka karena ditinggal suami tercinta, Ashraf Sinclair. Bukannya memberikan dukungan atau doa, entah kenapa, kebanyakan netizen perempuan malah sibuk mengurusi kehidupan “baru” BCL. Ada yang rewel soal masa iddah BCL. Katanya, kok baru ditinggal suami kok udah manggung aja. Ada juga yang lebih brengsek karena menuduh BCL akan bersenang-senang menggunakan harta peninggalan suaminya dengan suami barunya.

Astaghfirullah, BCL tu masih berduka lho! Bisa nggak sih mulut nyinyirnya ditahan dulu? Kebiasaan banget deh menasihati dengan dalih “sekadar mengingatkan” padahal diri sendiri pun belum tentu bener. Hhhhh.

Contoh lain yang lebih ramashok adalah perselingkuhan. Ketika seorang suami beristri kedapatan selingkuh, maka yang jadi sasaran kemarahan istri adalah selingkuhannya. Bukan ke suaminya. Padahal perselingkuhan dilakukan secara sadar oleh dua pihak lho, kenapa cuma perempuannya aja yang disalahkan? Apalagi kalau udah ngata-ngatain pelakor (perebut laki orang), duh ya ampun, berasa udah paling hebat sekaligus bisa menguasai dunia. Emang segitu yakinnya kalau si perempuan yang salah? Kalau si suaminya yang brengsek, doyan tipu daya, dan hobi memanipulasi perasaan orang gimana?

Jangan lupa, lingkungan kerja pun tidak luput dari relasi toxic yang melibatkan perempuan. Misalnya, jika seorang pekerja perempuan mendapatkan promosi, maka perempuan lain akan sibuk membicarakannya seolah-olah promosi tersebut adalah hasil dari “jalur belakang”. Berbeda jika pekerja laki-laki yang mendapat promosi, maka ia akan dipuji-puji secara tulus karena prestasinya.

Atau ketika seorang atasan perempuan merasa tersaingi karena prestasi dan kompetensi bawahannya yang juga perempuan, maka ia akan berusaha untuk menghambat kariernya. Alasannya, ya biar nggak ada yang bisa ngalahin dia lah! Berbeda jika ada pekerja laki-laki yang berprestasi, maka ia nggak akan segan-segan untuk menawarkannya sebuah promosi atau kenaikan gaji.

Pada kasus body shaming, ironisnya, justru perempuan lah yang lebih sering mengomentari dan menghujat bentuk tubuh perempuan lain. Jika ada perempuan yang dianggap lebih “ideal” dari mereka, pasti akan selalu dicari-cari kekurangannya. Atau ketika ada perempuan yang dianggap “gemuk”, maka ia dicela penampilannya. Duh, serba salah.

Nah, perilaku-perilaku yang bikin ngelus dada tersebut ternyata adalah efek dari Queen Bee Syndrome atau Sindrom Ratu Lebah. Perempuan yang memiliki kecenderungan Sindrom Ratu Lebah akan selalu merasa tersaingi oleh perempuan lain, entah karena kepintarannya, kariernya, bentuk tubuhnya bahkan perhatian dari lawan jenis. Perempuan dengan kecenderungan demikian akan dengan sukarela mengucilkan dan bertindak buruk ke sesamanya hanya agar ia terlihat lebih menonjol.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Perempuan yang memiliki kecenderungan Sindrom Ratu Lebah akan selalu merasa tersaingi oleh perempuan lain, entah karena kepintarannya, kariernya, bentuk tubuhnya bahkan perhatian dari lawan jenis.[/mks_pullquote]

Tanpa disadari, kita sesama perempuan ternyata masih suka bersaing dan mempromosikan diri sendiri agar terlihat menarik di hadapan lawan jenis. Padahal perilaku ini termasuk salah satu bentuk seksisme lho! Pun sentimen ini sengaja diciptakan untuk menempatkan perempuan sebagai akar dari segala permasalahan sekaligus membentuk stigma bahwa laki-laki “lebih mulia” dibandingkan perempuan.

Rasanya menyedihkan banget mengingat perempuan sebenarnya sudah bisa keluar dari kontruksi sosial dan ketidakadilan gender, tetapi beberapa perempuan masih suka meremehkan dan merendahkan sesamanya. Karena ada persaingan yang nggak sehat, gerakan perempuan yang dipercaya dapat menjadi pendukung dan pendobrak patriarki, malah justru terhambat. Lah mau dapat dukungan dari mana kalau sesama perempuan saja masih nggak akur?

Karena itulah, saya menulis ini. Saya nggak ingin perempuan pada ribut hanya perkara sepele, sementara di luar sana ada hal-hal yang jauh lebih penting untuk dibahas. Misalnya seperti bobroknya sistem dalam Omnibus Law Cipta Kerja atau menuntut pengesahan RUU PKS.

Dan untuk perempuan-perempuan yang membaca ini, percayalah, kesetaraan gender nggak akan tercipta kalau perempuan masih gagal bersikap suportif dan menjatuhkan sesamanya. Sudah seharusnya, kita, sesama perempuan bisa saling memahami dan mendukung satu sama lain, bukannya bersikap ofensif atau malah terjebak dalam sindrom ratu lebah.

Kategori
Society

Kita Sudah Krisis Pendidikan Seksual, tapi Media Malah Menjadikannya Barang Jual

Dulu ketika saya masih SD, mama selalu mewanti-wanti saya untuk mengenakan celana pendek (short) sebagai dobelan rok seragam yang panjangnya selutut. Katanya sih, biar duduknya enggak ngangkang dan bisa duduk sopan selayaknya “anak perempuan”. Tau kan duduk ala perempuan yang dianggap beradab tuh kaya gimana?

Kemudian, saya baru tahu bahwa celana ini berfungsi sebagai “pelindung” dari tatapan mata anak laki-laki yang suka usil mengintip atau menyibak rok anak perempuan. Namun, saya malah jadi insecure karena tiap kali duduk jadi tidak bebas. Saya harus mengatupkan paha hanya agar “isi” rok saya tidak kelihatan. Karena nggak betah duduk sok manis terus, saya pun meminta dibelikan rok semata kaki yang memudahkan saya untuk duduk bersila dan tidak perlu takut diintip oleh teman laki-laki.

Ketidaknyamanan juga saya rasakan ketika pelajaran berenang. Kebetulan, sekolah saya dekat dengan kolam renang publik, sehingga pelajaran berenang bisa dilakukan di sana. Awalnya pelajaran berenang terasa menyenangkan. Saya yang tadinya takut, pelan-pelan mulai memberanikan diri untuk berenang sambil berpegangan pada tangan seorang teman.

Namun, kesenangan itu hanya sementara. Saya kembali merasa tidak nyaman ketika beberapa anak laki-laki tertawa geli melihat saya dan teman perempuan berenang. Entah apa yang salah, mereka selalu berbisik-bisik dan cekikikan ketika melihat anak perempuan berjalan bergerombol sambil memakai baju renang.

Ketidaknyamanan semakin bertambah ketika salah seorang teman perempuan mengomentari dada saya yang sudah agak “menonjol”. Lantas, ia berkata kepada anak-anak perempuan, “Kalau sudah mens, jangan berenang dekat anak laki-laki. Nanti kamu bisa hamil lho,”. Jujur, komentar teman perempuan tersebut terasa lebih nggak mengenakkan dibandingkan bisik-bisik jahil anak laki-laki.

Semenjak saat itu, saya tidak pernah suka ikut pelajaran berenang. Berbagai alasan saya utarakan, seperti menstruasi, sakit atau proses penyembuhkan luka, kepada guru olahraga hanya agar saya tidak berenang. Akibatnya, nilai pelajaran berenang saya hanya mencapai angka KKM. Syukur, saya tidak harus mengulang pelajaran berenang.

Karena alasan tersebut, sampai sekarang saya masih tidak bisa berenang. Bukan karena malas belajar—beberapa teman malah bersedia mengajari saya dengan senang hati—tetapi tetap saja kenangan itu masih membekas di benak saya. Saya masih merasa nggak nyaman bahkan takut jika harus mengenakan baju renang. Alasannya, saya nggak pengen badan saja ditertawakan apalagi diekspos sedemikian rupa.

Minimnya Edukasi Seksual kepada Anak di dalam Keluarga

Saya menyadari bahwa kejadian itu disebabkan karena minimnya edukasi seksual kepada anak. Anak-anak yang seharusnya bisa mengenali bagian tubuhnya sendiri, malah menganggap perubahan bentuk badan adalah suatu hal yang tabu. Contohnya, pada anak perempuan, perubahan bentuk tubuh seperti munculnya payudara sering membuat dirinya minder dan merasa aneh karena merasa berbeda dengan teman-teman lainnya.

Padahal perubahan bentuk tubuh karena masa pubertas adalah hal yang wajar kan? Namun karena ketidaktahuan dan minimnya informasi, anak malah merasa ada sesuatu yang tidak beres di dalam dirinya. Ketika anak mencoba bertanya kepada orang tua, alih-alih dijelaskan dengan baik, orang tua justru mengalihkan perbincangan atau mengabaikannya sama sekali.

Sebagai “sekolah pertama” bagi anak-anaknya, seharusnya orang tua bisa mengenalkan sedari dini mengenai bentuk tubuh anak, bagian mana saja yang tidak boleh disentuh orang lain, dan apa saja yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan organ reproduksi. Sayangnya, kebanyakan orang tua masih menganggap obrolan tersebut belum pantas didengar oleh anak. Atau bisa jadi beberapa orang tua memang menjelaskan, tetapi mereka umumnya sulit mengutarakan secara gamblang tentang istilah-istilah seksual seperti penis atau vagina.

Ditambah lagi, edukasi seksual juga tidak sepenuhnya diajarkan di sekolah. Murid-murid hanya disuruh menghafal organ reproduksi laki-laki dan perempuan beserta fungsinya. Penjelasan tentang mengapa laki-laki bisa mengalami mimpi basah dan bagaimana proses terjadinya menstruasi pun hanya diutarakan secara singkat. Ketika seorang murid bertanya, bagaimana proses pembuahan sel telur (ovulasi) hingga terbentuk menjadi janin, guru malah kelabakan menjawabnya. Katanya, tidak pantas dibicarakan di dalam kelas.

Padahal di usia remaja yang lagi pengen tahu banyak hal, pembelajaran soal seksualitas itu penting banget lho! Kalau di rumah dan di sekolah aja sumbernya nggak mau terbuka, bukan tidak mungkin remaja akan mencari tahu sendiri. Ya kalau dapat informasi yang benar dan valid, kalau enggak gimana? Salah-salah mereka malah terjebak dalam kesesatan informasi.

Hoax Kehamilan dan Mempertanyakan Eksistensi KPAI

Beberapa waktu lalu, seorang komisioner KPAI bernama Sitty Hikmawatty memberi peringatakan kepada kaum Hawa untuk berhati-hati jika berada di kolam renang bersama laki-laki. Katanya, situasi tersebut bisa memicu kehamilan tidak langsung lantaran sperma dapat berenang di air dan bisa masuk ke dalam vagina.

“Walaupun tidak terjadi penetrasi, tapi ada pria terangsang dan mengeluarkan sperma, dapat berindikasi hamil,” jelasnya.

Pernyataan yang sangat misleading ini adalah bukti bahwa Indonesia tengah mengalami krisis pendidikan seksual. Saya yakin, nggak cuma Ibu Sitty aja sih yang mempercayainya. Kebanyakan orang pasti mengamini “kabar burung” tersebut tanpa perlu repot-repot memverifikasi apakah informasi tersebut valid atau tidak.

Hanya saja… kok bisa-bisanya gitu lho komisioner KPAI, yang katanya ingin melindungi anak justru terjebak dalam hoax kehamilan? Memang sih dia bilang rujukannya dari jurnal, tapi jurnal yang mana? Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, informasi ngaco ini kebanyakan dipopulerkan oleh situs berita bodong alias yang nggak bisa dipercaya.

Kasus yang menurut saya malu-maluin ini adalah gambaran kalau edukasi seksual dan kesehatan reproduksi belum bisa dipahami secara baik di Indonesia. Bahkan mereka yang katanya berpendidikan, memiliki banyak gelar akademis sekaligus memiliki jabatan strategis di publik pun masih termakan hoax. Ironisnya, mereka yang termasuk kaum terpelajar ini kok ya tidak mau repot-repot memverifikasi informasi tersebut. Hadeh.

Sebagai lembaga resmi negara yang digaji dari pajak rakyat, kenapa sih KPAI tidak mencoba membahas mengenai kemungkinan terjadinya pelecehan seksual di kolam renang atau di ruang publik lainnya? Alih-alih membuat pernyataan yang bikin warganet marah-marah walau ujung-ujungnya tetap minta maaf—padahal nggak ada gunanya minta maaf—ke hadapan publik, KPAI bakal dianggap lebih berguna jika mengampanyekan edukasi seksual dan kesehatan reproduksi kepada anak.

Belajar dari kasus tersebut, mungkin sudah saatnya kita berhenti berbicara di luar bidang yang kita kuasai. Jangan sok tahu dan sok pintar. Kalau memang belum paham ya gapapa, nggak usah bikin statement. Toh, nggak semua hal harus dikomentari.

Eh, Bentar. Sudah Tahu Hoax Kenapa Masih Diberitakan?

Menurut saya, salah satu pihak yang patut disalahkan dari kasus blundernya anggota KPAI adalah media. Gini-gini, omongan ngawur Bu Sitty nggak bakal bikin heboh kalau seandainya tidak dipublikasikan di media, kan? Kesalahan informasi ini bukan cuma jadi tanggung jawab Bu Sitty berserta jajaran KPAI, melainkan juga media massa, terutama mereka yang pertama kali memberitakannya.

Kita sama-sama tahu lah ya, media mana yang selalu menduduki ranking 10 besar se-Indonesia menurut situs Alexa.com sekaligus menghamba judul bombastis dan click bait? Meski sang jurnalis sudah berusaha menggunakan metode cover both sides, tapi tetap saja isinya masih menimbulkan kesalahpahaman. Wong yang dibicarakan adalah kehamilan, kenapa yang diwawancarai dokter spesialis anak?

Saya kasian aja sih sama Bu Sitty karena harus menanggung malu dihujat publik, sementara media yang bersangkutan tetap eksis dan pundi-pundi rupiahnya makin gemuk seperti babi. Kelihatan kan kalau mereka itu sengaja memunculkan kontroversi demi sebongkah cuan?

Jadi, Kita Harus Bagaimana?

Di era industri 4.0 ini, seharusnya kita sudah mulai menanggalkan dogma tabu jika membicarakan seksualitas. Toh, pendidikan seksual nggak melulu soal per-ngewe-an duniawi kok, melainkan ada hal yang jauh lebih penting, yaitu pemahaman akan tubuh sendiri. Kalau kita sudah paham tentang tubuh sendiri, kita jadi lebih aware dan akan menjaganya dengan sebaik mungkin kan?

Selain itu, pilah-pilah lagi informasi yang hendak kita konsumsi. Arus informasi memang ramai dan bertebaran di mana-mana, tetapi nggak semuanya harus dipercayai secara mentah-mentah. Gawai memang sudah pintar-pintar, tetapi penggunanya juga harus lebih pintar dong? 🙂

Kategori
Kapital Society

Rasanya Kembali Bekerja di Jogja Meski Udah Tau Gajinya Gitu-gitu Aja

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah cuitan yang isinya mengkritisi kinerja pemerintah DIY, utamanya kepada Ngarso Dalem. Sayangnya, cuitan kritis tersebut justru mendapat berbagai penolakan dan cacian. Komentar-komentar pembelaannya pun saya rasa sangat keterlaluan, seolah-olah mengkritisi kehidupan di Jogja adalah sebuah dosa besar.

Di antara hujatan yang bikin saya geleng-geleng kepala, saya heran banget melihat komentar orang-orang dan bagaimana mereka meromantisasi Jogja. Katanya warganya ramah-ramah, tapi kenyataannya yang saya lihat, komentar tersebut tidak menujukkan keramahan apalagi kebaikan. Katanya makanan di Jogja serba murah meriah, padahal faktanya harga makanan di Solo masih jauh lebih murah. Katanya warga Jogja cinta toleransi, tapi menurut survei dari lembaga masyarakat justru kasus intoleransi semakin meningkat di Jogja.

Saya jadi merasa, sikap defensif ini hanyalah sebuah reaksi karena takut mengakui hal yang sebenarnya. Mungkin takut hidupnya bakal serba kekurangan kalau nggak menerapkan prinsip nrimo ing pandum. Atau mungkin takut juga bakal dikira “membangkang” kepada Sultan. Entahlah, yang jelas saya gedek banget bacanya.

Sebagai buruh pekerja yang digaji berdasarkan UMR Jogja, saya tidak setuju jika perhitungan UMR hanya ditentukan berdasarkan pada kebutuhan barang pokok saja. Toh, setiap kali harga kebutuhan naik seperti cabai atau beras, kita pasti merasa resah dan sambat kan? Kenaikan harga cabai ini bahkan sudah selevel dengan “bencana” nasional lho! Kalau kenyataannya saja begitu, saya bisa bilang dong kalau harga sembako itu relatif sama di seluruh Indonesia? Kalau harga kebutuhan pokok saja sudah relatif sama, kenapa UMR Jogja masih segitu-gitu aja? Masa iya UMR Jogja lebih kecil dibandingkan Kabupaten Sumenep yang daerahnya masih terbilang sepi dan orang-orangnya bisa cari bahan makanan sendiri

Yang bikin saya makin heran sekaligus ngelus dada adalah ada aja orang-orang yang langsung menuduh bahwa si empunya kritik bukan orang asli Jogja. Kebanyakan selalu menyangkal dengan “Gaji segitu cukup kok” atau yang lebih kasar “Kalau nggak bisa bersyukur, ya nggak usah kerja di Jogja”. Sepurane bos, nggak semua orang punya banyak pilihan. Bekerja di Jogja saja adalah pilihan paling sulit, apalagi sudah tahu gajinya cuma segitu-gitu aja.

Saya sendiri “terpaksa” kembali ke Jogja karena sebuah alasan. Sejak awal, saya sudah sadar dan tahu bahwa penghasilan saya pasti akan berkurang drastis dibanding ketika saya masih bekerja di ibu kota. Namun karena keadaan, akhirnya cuma bisa yaudalaya.

Awalnya saya berusaha menutupi keresahan tersebut dengan dalih “rezeki nggak akan ke mana”. Saya juga sering baik-baikin diri sendiri, “Gapapa, rezeki nggak cuma dalam bentuk uang kok” padahal sebenarnya saya sedang denial aja sih. Tanpa sadar, saya sedang mengaburkan keresahan saya dengan meromantisasi Jogja. Bahwa menjadi orang Jogja plus Jawa itu harus bisa nrimo. Nggak boleh maruk alias serakah.

Namun, lama-lama saya nggak tahan. Saya mulai muak bersikap denial terhadap diri sendiri padahal ada ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang jelas-jelas nyata di depan mata. Saya sadar, bersikap denial justru membuat kesehatan mental terganggung, sehingga apapun yang saya lakukan pasti akan disisipi dengan sambat.

Bagi saya yang masih single, masih tinggal nebeng dengan orang tua, dan selalu dapat jatah makan siang di kantor, gaji yang didapat tentu saja masih mencukupi kebutuhan saya. Saya masih bisa menabung, saya masih bisa makan enak, dan saya masih bisa merencanakan liburan untuk refreshing. Namun, dalam beberapa kondisi, saya menyadari betapa kecilnya upah dan nilai jasa yang dibayarkan kepada saya.

Bukannya nggak bersyukur, tapi sehari-hari saja saya terbiasa hidup secara hemat, bahkan cenderung pelit kepada diri sendiri. Saya hampir nggak pernah nongki apalagi ngopi atau beli boba, jajan juga jarang-jarang karena nggak ada temennya *ups, sudah mengurangi hasrat bela-beli buku tapi kadang-kadang masih merasa kurang. Apalagi ditambah fakta menyebalkan bahwa ternyata saya belum bisa lepas dari lingkaran sandwich generation 😦

Sejak kesehatan saya mulai menurun, saya benar-benar menyadari bahwa proteksi diri selain BPJS Kesehatan itu penting banget. Sayangnya, dengan gaji yang nggak seberapa, saya jadi mikir-mikir lagi jika hendak menggunakan asuransi kesehatan lain yang biayanya lumayan mahal. Yaaaaa pengennya sih selalu sehat wal’afiat, tapi siapa coba yang bisa menjamin?

Ada satu fenomena unik yang bikin saya kagum kepada warlok Jogja. Katanya, sebagai masyarakat berhati nyaman itu harus menerapkan prinsip nrimo ing pandum, tapi kok bisa gonta-ganti kendaraan bermotor ya? Saya salut banget, sebab dengan gaji selevel UMR Jogja aja masih bisa kredit motor NMax. Jujur, saya tuh kalau kepengen sesuatu, dipikirnya sampai bikin ubun-ubun pusing lho. Kadang udah mau check out, tapi mikir lagi karena takut ada kebutuhan dadakan, sehingga akhirnya lebih memilih untuk mengalokasikan uang tersebut ke dana darurat aja.

Jadi, boleh nggak saya dikasih tau tips dan triknya mencicil motor ala gaji UMR Jogja? Kok bisa sih?

Sekali lagi, mengkritisi ketimpangan dan UMR Jogja bukan berarti nggak bersyukur lho ya. Tapi heran aja gitu, sekelas Jogja yang katanya daerah istimewa masa ketimpangan justru merajalela di sini?

Katanya warga Jogja percaya Ngarso Dalem nggak akan menelantarkan warganya. Nah, kalau beliau emang pengen warganya hidup tenteram dan sejahtera, kenapa beliau dan jajarannya masih mengizinkan pembangunan hotel, mal, dan apartemen? Apa belum cukup masalah kekeringan air sumur akibat pembangunan yang keterlaluan masifnya? Lagipula, dengan UMR yang ‘cuma segitu’, yakin warganya bisa menikmati pembangunan tersebut?

Untuk warga lokal Jogja, please jangan melulu menyalahkan kaum pendatang yang berinvestasi di Jogja. Lhawong mereka beneran punya duit kok! Harga properti yang ditawarkan di Jogja bisa jadi dianggap lebih murah ketimbang properti di daerah asal mereka. Sementara, properti dengan harga segitu (mungkin) masih dianggap cukup mahal jika penghasilannya hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Logikanya, buat makan aja masih prihatin, boro-boro mikirin harga properti. Nggak akan kebeli. Sudah tahu kan kalau anak muda Jogja terancam tunawisma karena harga properti yang gila-gilaan?

Saya menulis ini dengan rasa sedih sekaligus kesal. Sedih karena saya semakin banyak tahu (dan dikasih tahu) ketimpangan sosial di mana-mana, sekaligus merasa kesal karena respon orang-orang yang antikritik gitu-gitu aja. Yang dibela cuma bab makanan murah aja tapi lupa kalau kebutuhan primer nggak cuma makan.

Kebutuhan sandang mungkin masih bisa terpenuhi, tapi bagaimana dengan kebutuhan papan? Kenyataannya, harga tanah sudah menjulang sangat tinggi dan bikin siapapun menjerit karena semakin susah diwujudkan.

Sebagai warga asli Jogja ber-KTP Sleman, saya sih udah nggak mau romantis-romantisan lagi. Udah cukup, takut overdosis. Toh, ada PR besar yang menunggu, yaitu  mengkritisi pemerintah DIY dan meminta pertanggung jawabannya.

FYI, Pemda DIY selalu dapat anggaran APBN berupa Dana Istimewa yang jumlahnya mencapai milyaran tiap tahun lho! Masa warga asli Jogja nggak kepo dana ini udah dialokasikan buat apa aja? 🙂

Kategori
Politik Society

Mengkritisi RUU Ketahanan Keluarga: Keluargaku Bukan Urusanmu, Bos!

Saya baru saja menamatkan buku State of Ibuism atau Ibuisme Negara dalam versi bahasa Indonesia. Buku yang ditulis oleh Julia Suryakusuma, seorang feminis intelektual Indonesia, ini secara gamblang memaparkan kejahatan yang dilakukan oleh Orde Baru, terutama yang berhubungan dengan perempuan. Orde Baru dengan sengaja memunculkan konstruksi “perempuan ideal” yang kemudian menjadi stigma dan dipercayai orang-orang hingga saat ini. Perempuan ala Orde Baru didefinisikan memiliki peran hanya sebatas pada bidang domestik saja. Dengan kata lain, Orde Baru berusaha mengkonstruksikan tugas utama seorang perempuan adalah menjadi istri dan juga ibu bagi anak-anaknya.

Adanya organisasi perempuan seperti Dharma Wanita dan PKK bukan serta merta untuk semangat pemberdayaan, tetapi dimaksudkan hanya untuk kepentingan penguasa belaka. Organisasi ini didirikan untuk memenuhi salah satu syarat perolehan bantuan dana dari luar negeri, yang tentu saja dananya tidak sampai ke anggotanya akibat korupsi berdalih “biaya administrasi”. Struktur hierarkinya pun tidak berdasarkan prestasi perempuan itu sendiri, melainkan mengikuti jabatan yang diemban oleh suami-suami mereka. Misalnya, istri Menteri Dalam Negeri akan selalu menjadi Ketua PKK dalam lingkup kementrian, istri Gubernur akan menjadi Ketua PKK setingkat provinsi, begitu seterusnya hingga level pedesaan. Meski telah menjabat menjadi Ketua PKK, seorang istri juga tidak bisa serta merta membuat keputusan secara mandiri. Ia tetap diharuskan meminta pertimbangan dari suaminya. Pun kegiatan yang dilaksanakan juga harus atas sepengetahuan kepala daerah yang bersangkutan a.k.a suami para ketua PKK.

Ibuisme negara yang diutarakan oleh Julia merupakan bentuk doktrin patriarki yang mengingkari peran perempuan. Mereka diwajibkan mengikuti kegiatan PKK yang kegiatan-kegiatannya sangat “rumahan” sekali. Pun mereka yang telah menjadi anggota PKK tidak bisa membuat keputusan secara mandiri, melainkan harus atas sepengetahuan pembina PKK alias suami dari Ketua PKK itu sendiri.

Pengingkaran “status” perempuan ini adalah dosa Orde Baru yang masih langgeng dan dilanggengkan sampai sekarang. Meski Orde Baru telah lama runtuh, tetapi pemerintah saat ini masih mengintervensi kehidupan warganya bahkan hingga ke ranah seksualitas seolah-olah warga tidak diizinkan untuk memiliki ruang privasi bagi dirinya sendiri. Pemerintah terus-terusan mengatur perilaku warganya melalui serentetan aturan yang berbelit-belit tanpa peduli apakah aturan tersebut bijak atau tidak.

Munculnya wacana RUU Ketahanan Keluarga adalah contoh bahwa pemerintah berusaha memasuki dan mengatur ranah privasi seseorang. Pemerintah sedang melakukan domestikasi perempuan dengan mengharuskan mereka untuk melayani suami, anak-anak, keluarga hingga masyarakat tanpa dibayar dan mendapatkan “status” atau kekuasaan yang sesungguhnya. Beberapa perempuan yang sudah mulai berdikari (berdiri di atas kaki sendiri alias mandiri) dianggap sebagai sebuah hal yang “abnormal”, sehingga peranannya akan selalu dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Salah satu persoalan RUU Ketahanan Keluarga yang memicu kontroversi dan perdebatan adalah pembagian kerja antara suami dan istri dalam keluarga. Pembagian kerja yang seharusnya berdasarkan kesepakatan, akan diatur melalui Pasal 25 yang berisi:

(2) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. sebagai kepala Keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan Keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan Keluarga;

b. melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;

c. melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta

d. melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.

(3) Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

b. menjaga keutuhan keluarga; serta

c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa tugas seorang istri adalah mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya sekaligus menjaga keutuhan keluarga. Sementara, suami didesak untuk menjadi kepala keluarga. Padahal dalam kehidupan rumah tangga, semua keputusan seharusnya didasarkan pada kesepakatan. Setiap orang yang berkontribusi dalam rumah tangga statusnya egaliter, tidak ada yang lebih berkuasa atau tidak berdaya. Jika istri memilih bekerja atau suami menjadi full time bapak rumah tangga seharusnya tidak menjadi masalah jika didasarkan pada kesepakatan bersama.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Padahal dalam kehidupan rumah tangga, semua keputusan seharusnya didasarkan pada kesepakatan. Setiap orang yang berkontribusi dalam rumah tangga statusnya egaliter, tidak ada yang lebih berkuasa atau tidak berdaya.[/mks_pullquote]

Meski RUU ini (katanya) tercipta sebagai bentuk kepedulian kepada tingkat perceraian, tapi nyatanya RUU tersebut justru memunculkan konstruksi “keluarga ideal” yang bias dan terkesan menutup mata pada kenyataan. Dalam Pasal 77 disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib memfasilitasi keluarga yang mengalami “krisis keluarga” karena tuntutan pekerjaan. Tuntutan pekerjaan yang dimaksud dalam ayat  2 antara lain adalah orang tua bekerja di luar negeri, kedua orang tua atau salah satu orang tua bekerja di luar kota, salah satu atau kedua orang tua bekerja dengan sebagian besar waktunya berada di luar rumah, atau kedua orang tua bekerja.

Sejujurnya, saya tidak suka dengan istilah “krisis keluarga” karena bagi saya setiap keluarga punya masalah dan kondisinya masing-masing. Jika kedua orang tua bekerja hingga jarang memiliki waktu bersama anak, itu bukan termasuk krisis keluarga melainkan karena himpitan ekonomi. Mohon diingat, ada persoalan kemiskinan struktural yang membuat setiap orang diharuskan bekerja hanya untuk sekadar makan dan bertahan hidup. Jika ada keluarga yang tidak utuh atau orang tua tunggal akibat perceraian, itu juga bukan termasuk krisis keluarga yang membahayakan dan dapat membawa perubahan negatif pada fungsi keluarga. Lah kalau suaminya pelaku KDRT bagaimana? Kalau salah satu orang tua meninggal bagaimana? Siapapun yang menciptakan istilah ini, saya cuma mau bilang, Anda itu beruntung lho punya keluarga utuh dan “ideal”. Jangan samakan kondisi Anda dengan orang lain!

Ditambah lagi, penyeragaman istilah “keluarga ideal” dikhawatirkan akan merusak pemahaman masyarakat tentang makna keluarga. Sekali lagi, tidak semua orang bisa dan beruntung memiliki keluarga “utuh” yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ada beberapa kondisi ketika satu keluarga hanya diisi satu orang tua atau tidak ada sama sekali. Ada juga orang tua yang dua-duanya bekerja demi tercukupinya kebutuhan sehari-hari bahkan terpaksa menjalani long distance marriage (LDM) karena tuntutan pekerjaan.

Aturan tersebut menandakan bahwa para pengusul ini tidak pernah bersosialisasi dengan masyarakat. Mereka menutup mata bahkan mengenyampingkan fakta keberagamanan sosial di masyarakat. Tidak semua orang seberuntung Anda Pak, Bu, yang memiliki keluarga harmonis dan selalu bisa menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Pun tidak semua orang bisa memilih di rumah saja tanpa dihantui rasa khawatir besok hendak makan apa.

Selain istilah “krisis keluarga” yang sangat keterlaluan ngawurnya, RUU ini juga sangat diskriminatif terhadap teman-teman LGBT. Dalam Pasal 85, “krisis keluarga” salah satunya diakibatkan karena penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual yang dimaksud salah satunya adalah homoseksualitas.

Padahal homoseksualitas merupakan salah satu orientasi seksual (selain heteroseksual dan biseksual) atau preferensi seksual yang tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin. Orientasi seksual biasanya terbentuk dari proses sosialisasi di dalam masyarakat dan bukan termasuk penyimpangan karena hanya berupa ketertarikan saja. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika, LGBT tidak termasuk penyakit atau gangguan mental. Sehingga, Pasal 87-89 yang menyatakan bahwa pelaku penyimpangan seksual (LGBT) wajib dilaporkan atau melaporkan diri ke badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan, menjadi tidak valid dan wagu. Lah mau diperiksa dan diobati bagaimana kalau LGBT saja bukan termasuk penyakit? Justru kaum LGBT inilah yang rentan terkena gangguan mental seperti depresi akibat persekusi yang dilakukan masyarakat.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Lah mau diperiksa dan diobati bagaimana kalau LGBT saja bukan termasuk penyakit? Justru kaum LGBT inilah yang rentan terkena gangguan mental seperti depresi akibat persekusi yang dilakukan masyarakat.[/mks_pullquote]

Toh pada tahun 1935, Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis yang menjadi pakar di dunia psikologi, sudah pernah bilang kalau homoseksualitas bukan penyakit. Makanya, beliau tidak menyarankan atau mendukung usaha-usaha penyembuhan terhadap homoseksualitas. Lhawong bukan penyakit kok mau disembuhin?

Tak hanya itu saja, dan ini kocak banget sih, RUU Ketahanan Keluarga juga akan mengatur pelaku bondage and discipline, sadism and masochism (BDSM).  Saya nggak ngerti deh kenapa orang-orang ini hobi banget mengurusi kehidupan seksual orang lain. Selama ada consent alias kesepakatan, yaudah sih biarin aja. Bukan urusan Anda. Nggak semua hal harus Anda urusin kan?

Mungkin dari julukannya, RUU Ketahanan Keluarga terlihat baik bak malaikat, tetapi kenyataannya aturannya sangat diskriminatif dan nggak masuk akal. Preferensi seksual, pilihan hidup, hingga pembagian peran suami istri adalah hal-hal privat yang semestinya tidak perlu diatur oleh negara. Jika negara ini masih percaya dengan asas-asas demokrasi, seharusnya negara bisa dong menjamin hak warganya?

Please deh Bapak Ibu Dewan, PR kalian itu banyak banget. Nggak usah nambah-nambahin kerjaan nggak penting dengan mengurusi privasi seseorang. Keluargaku bukan urusanmu, bos!

Kategori
Kapital Society

Balada Menjadi Sandwich Generation: Anak Berbakti vs Durhaka

Jika masih menyisihkan sebagian gajimu untuk kebutuhan orang tua atau saudara kandungmu, percayalah kamu adalah bagian dari sandwich generation.

Bicara soal sandwich generation seolah tak ada habisnya. Yah, emang susah sih kalau mau dikelarin, wong fenomena ini banyak diamini oleh orang-orang kok! Bahkan saya sendiri pernah dan (mungkin) masih mengalaminya.

Secara umum, sandwich generation adalah mereka yang memiliki beban ganda finansial. Dinamakan sandwich generation karena fenonema ini bagaikan roti sandwich yang membuat posisi seseorang “terhimpit” akibat dua kewajiban tersebut. Kondisi ini umumnya dialami oleh generasi milenial, tidak peduli statusnya sudah menikah atau belum dan sudah memiliki anak atau belum. Intinya, kaum milenial dihadapkan pada beban finansial ganda, sebab ia tidak lagi membiayai dirinya sendiri melainkan juga orang lain (terutama orang tua dan saudara kandungnya).

Sandwich generation nggak ujug-ujug muncul seolah-olah mereka gagal mengatur keuangan. Menurut penelitian, fenomena ini muncul karena kegagalan orang tua sandwich generation dalam mengatur keuangan dan persiapan hari tua. Banyak orang tua masih menganggap bahwa “anak adalah investasi masa depan”, sehingga mereka pun abai pada perencanaan keuangan atau mungkin sengaja bergantung kepada anaknya untuk bertahan hidup.

Sayangnya di Indonesia, kondisi demikian masih dianggap lumrah. Apalagi kebanyakan orang masih beranggapan bahwa menyokong orang tua adalah kewajiban anak ketika dewasa. Anak wajib berbakti kepada orang tua dan salah satu tanda baktinya adalah dengan mengurusnya secara finansial.

Anggapan soal konsep “durhaka” semakin melanggengkan kebiasaan toxic ini. Sebab, seseorang yang sudah mandiri finansial a.k.a bekerja seolah-olah diharuskan untuk ikut membantu finansial keluarganya. Tak peduli apakah gajinya layak atau tidak, cukup atau tidak untuk bertahan di perantuan, yang penting jatah kiriman ke kampung selalu tersedia.

Saya pun pernah menjadi bagian dari sandwich generation. Meski orang tua (re: mama) sering mewanti-wanti saya bahwa perempuan itu harus mandiri secara finansial, tapi toh pada akhirnya saya tetap merasa bertanggung jawab dengan kondisi keuangan olahraga. Saya nggak bisa terima aja kalau nasihat itu datang dari mama, apalagi mengingat mama saya adalah full time ibu rumah tangga dan tidak memiliki pemasukan apa pun. Hampir seratus persen, beliau bergantung pada pensiunan papa saya yang tentu saja nggak seberapa.

Karena kenyataan itulah, saya meniatkan diri saya, entah gimana pun caranya saya harus bisa mandiri secara finansial. Sayangnya, meski sudah merasa mandiri dan berharap bisa mewujudkan mimpi-mimpi yang hendak digapai, saya tetap saja dilibatkan dalam urusan-urusan finansial di rumah. Ketika masih bekerja di ibu kota, setiap bulan saya berusaha menyisihkan 10% penghasilan saya untuk dikirimkan ke orang rumah. Meski sebenernya gapapa karena toh saya juga pengen ngasih, lama-lama saya menyadari bahwa kebiasaan ini justru membuat keluarga jadi “berharap lebih” kepada saya. Sebenarnya sih nggak masalah, selama uangnya ada, tapi saya nggak suka dijadikan tempat bergantung.

Ketika saya pindah kantor dan penghasilan saya menurun drastis karena perbedaan UMR, saya pun mulai berhenti menganggarkan sebagian kecil gaji saya untuk orang rumah. Bukannya saya pelit atau durhaka seperti yang sering dituduhkan orang-orang, saya berusaha sadar diri bahwa sekarang pemasukan saya terbatas, sementara saya juga sedang getol menabung demi rencana-rencana masa depan.

Perlu diakui juga, dalam beberapa kondisi, menjadi “penyokong keuangan keluarga” itu stressful banget. Mengutip dari Tirto.id, generasi sandwich rentan mengalami tekanan karena beban ganda yang dipikulnya. Tekanan psikologis seperti stres bisa mengakibatkan terganggunya pekerjaan, hubungan dengan pasangan atau rumah tangga hingga ke pergaulan. Bukan nggak mungkin, tekanan ini akan memicu mereka melakukan hal yang tidak diinginkan.

Bayangin aja deh ya, bosmu udah rese di kantor, gaji nggak naik-naik, masih harus bayar iuran BPJS, bayar cicilan ini itu, harga cabai dan gula kok lagi naik drastis, nggak punya temen ngobrol dan berbagi karena kamu introvert, eh kamu tetap harus punya jatah untuk orang tua dan keluargamu. Hadeeeh saya sih nggak sanggup ya shay, apalagi Dilan~

Saya pun sempat tertekan karena pengeluaran mendadak melonjak tinggi dibanding sebelumnya. Saya overthinking tiap hari karena memikirkan saldo tabungan aktif yang mendadak menipis. Padahal baru aja gajian 😦

Karena sudah nggak tahan dengan kondisi ini, saya berusaha mengungkapkan keresahan ini kepada mama. Saya bilang, saya nggak sanggup karena sedang banyak kebutuhan, sementara saya juga sedang ingin menabung lebih banyak. Syukurlah, mama saya mengerti dan memaklumi. Toh, meskipun saya mulai membatasi keuangan, bukan berarti saya nggak ngasih sesuatu sama sekali ke orang tua. Kadang-kadang kalau lagi pengen dan punya rezeki lebih, saya suka membelikan sebagian kebutuhan rumah tangga untuk mengurangi pengeluaran orang tua saya. Intinya sih, tahu diri dan tahu batasnya aja.

Karena pengalaman tersebut, saya jadi belajar bahwa cara utama untuk memutus rantai ini adalah terbuka dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya. Manusia kan punya keterbatasan ya, wajar aja sih kalau dalam beberapa kondisi merasa nggak mampu. Makanya, penting banget untuk mengkomunikasikan keterbatasan tersebut kepada orang tua, beri mereka pengertian bahwa nggak selamanya uang yang kita miliki semata digunakan memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, cobalah minta bantuan kepada saudara kandung seperti adik supaya mereka juga bisa ikut berpartisipasi dalam keuangan keluarga.

Kalau anak tunggal bagaimana? Hmmm kalau saya bisa ngasih saran sih, mau nggak mau, harus cari income lain selain gaji tiap bulan. Emang nggak gampang keluar dari jeratan sandwich generation, jadi sebisa mungkin harus  untuk menambah penghasilan sampingan supaya nggak terlalu terbebani. Plus, kamu yang anak tunggal jadi punya ‘uang sisa’ untuk menabung dan berinvestasi.

Terlepas dari status generasi sandwich atau tidak, langkah paling dasar untuk keluar dari mimpi buruk ini adalah dengan belajar investasi. I know this may be hard and seems impossible. Namun, mengingat fakta bahwa generasi sandwich menganggung beban ganda finansial, maka akan lebih baik jika kita rutin menyisihkan 20% dari penghasilan untuk berinvestasi. Selain itu, penting banget lntuk memiliki proteksi diri. Misalnya, asuransi kesehatan seperti BPJS dan asuransi jiwa agar nggak menanggung biaya mahal ketika tiba-tiba sakit atau terkena musibah.

Nah, kalau kamu emang nggak pengen membebani keuangan anak-anakmu kelak, makanya dari sekarang kamu juga harus mulai mempersiapkan dana pensiun dan dana darurat. Sisihkan saja minimal 10% dari total penghasilanmu. Mungkin awalnya terasa berat banget dan susah, tapi bukan berarti nggak bisa lho! Toh, demi kebaikan bersama. Biar kondisi toxic begini nggak terus-terusan berulang dan nyusahin banyak orang.