Wajah Malioboro sebentar lagi berbeda jauh dengan beragam kisah dan cerita dalam lagu yang populer dinyanyikan oleh KLA Project. Bisa saja hadir lagu baru yang menyertai perubahan wajah salah satu pusat perekonomian DIY sekaligus magnet wisatawan berkunjung ke Yogyakarta.
Sultan Hamengku Buwono X telah meresmikan Teras Malioboro yang berada di bekas Gedung Bioskop Indra. Tak hanya itu, para pedagang kaki lima juga diberikan tempat di bekas gedung dinas pariwisata DIY. Soal perpindahan ini sebenarnya sudah lama dinantikan, begitulah pengakuan Gubernur DIY kepada media ketika meresmikan ruang ekonomi baru di pusat kota Yogyakarta tersebut.
Terlepas dari adanya protes para pedagang kaki lima yang menyampaikan aspirasi di gedung DPRD DIY, publik secara umum telah mendapatkan kepastian kebijakan pemerintah yaitu PKL harus pindah ke tempat baru dan tidak boleh kembali lagi ke lokasi lama karena sejatinya ruang tersebut milik toko dan pemerintah. Pedagang kaki lima (biasa jadi simbol pelaku ekonomi rakyat) tak berhak menempati ruang berdagang yang bukan haknya. Memanfaatkan tepi jalan dan muka toko.
Kalau menyimak suara protes dari demo di DPRD DIY, para pedagang PKL ini ingin mengundur waktu pemindahan setelah lebaran tahun 2022. Bahkan ada berita yang viral berkaitan demo tersebut. Seorang pedagang soto menyampaikan pesan ke media bahwa ia tak mau memilih lagi Sultan sebagai Gubernur DIY. Ini jelas sebuah paradoks atau bisa dipahami ada yang tidak terhubung dalam pemahaman pedagang soto soal UU Keistimewaan DIY No 13 tahun 2012. Tak ada pemilihan gubernur di DIY.
Soal pemindahan pedagang, di kota Yogyakarta bukan hanya kali ini saja sebenarnya. Penataan kawasan titik nol kilometer di masa lalu saat walikota dijabat oleh Herry Zudianto juga pernah dilakukan. Kala itu dibuatlah taman kota, sebagai langkah penataan kawasan.
Pedagang musiman yang ramai kala ada event Sekaten di alun-alun utara Keraton Yogyakarta dengan hadirnya pasar malam terus berdagang di kawasan titik nol. Barang dagangan aneka macam, bahkan wajah titik nol kilometer berisi aneka bentangan kain. Kritik kebijakan penataan kawasan diwarnai juga dengan hadirnya film dokumenter “Nasi Kucing Lawuh Suket” yaitu memotret suara pedagang angkringan yang mengeluhkan penataan kawasan itu membuat dirinya kehilangan pendapatan.
Ada lagi kebijakan penataan kawasan area pedagang barang bekas, pedagang klithikan di Jl Mangkubumi yang selalu ramai kala malam. Pedagang barang bekas dipindah ke pasar Klithikan yang sebelumnya adalah pasar hewan, tak jauh dari lokasi lama.
Jika merunut pernyataan Sultan Hamengku Buwono X, bisa jadi waktu belasan tahun menunggu pernah disampaikan kepada Walikota Yogyakarta sejak kepemimpinan Herry Zudianto dua periode hingga kini. Penataan kawasan Malioboro butuh waktu lama juga ternyata.
Apalagi di masa kepemimpinan Walikota Yogyakarta terpilih berikutnya, Haryadi Suyuthi. Apa yang terjadi?
Protes demi protes atas kebijakan yang dijalankan pemerintah daerah bertujuan agar pembangunan di Yogyakarta bisa lebih bermakna, menjadi lebih baik dan bisa dirasakan oleh seluruh pihak. Kebijakan membuka investasi pendirian hotel sebagai pendukung infrastruktur pariwisata di Yogyakarta telah membuat repot warga di sekitar hotel, misalnya.
Ada problem hilangnya air tanah yang membuat sumur warga kering. #JogjaAsat #JogjaOraDidol jadi simbol protes di media sosial dan seniman Yogyakarta urun protes atas kebijakan pembangunan yang salah dengan mengadakan Festival Mencari Haryadi, termasuk melakukan flashmob di depan kantor Balaikota Yogyakarta. Pewarta Foto Indonesia Yogyakarta membuat pameran bertajuk “Yogya Berhenti Nyaman” untuk merekam perubahan pembangunan yang terjadi tentu dengan segala paradoksnya. Suasana macet di jalanan perkotaan kala puncak kunjungan wisata, keberadaan fasilitas publik bagi mereka yang berkebutuhan khusus dan aneka sudut wajah visual di Yogyakarta.
Pariwisata sebagai satu andalan sumber pendapatan, jadi primadona pengembangan dan mendapatkan dukungan kebijakan, kemudahan investasi bidang pariwisata DIY. Tapi pariwisata juga membawa masalah, ada sampah-sampah sektor pariwisata yang butuh direspon.
Yogyakarta sudah mengalami fase itu semua. Jelas ini butuh solusi kebijakan ke depan, apalagi dalam waktu dekat ruas tol baru menghubungkan Yogyakarta – Bawen juga Solo terbangun.
Sampah masalah inilah yang butuh perhatian bersama, agar tak merepotkan di kemudian hari. Seperti persoalan aktual berkait menumpuknya sampah di TPA Piyungan yang telah over kapasitas.
**
Sesuai perkembangan zaman, dari waktu ke waktu selalu ada perubahan kebijakan penataan kota. Sejatinya, kebijakan pemerintah memang penting dijalankan dengan berorientasi pada upaya menghidupkan perekonomian rakyat. Ini penting disuarakan selalu, sebab pengalaman krisis demi krisis di negeri ini ternyata diselamatkan oleh hadirnya perekonomian rakyat.
Perekonomian nasional kala krisis 1998 telah memberikan pelajaran penting. Pelaku ekonomi riil, perekonomian rakyat butuh perhatian khusus lewat kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah.
Presiden Joko Widodo dengan jargon membangun Indonesia dari pinggiran jelas membawa semangat untuk memberikan perhatian pada perekonomian rakyat. Kebijakan ini jelas berdasar konstitusi, bertujuan untuk pemerataan hasil pembangunan agar bisa dinikmati oleh rakyat. Bertumpu pada kebijakan pembangunan infrastruktur yang mendukung perekonomian, menghubungkan titik perekonomian dan menyebarkan pembangunan pusat perekonomian baru.
Saat menjadi Walikota Solo, Joko Widodo mendapatkan pujian kala memindah pedagang pasar ke lokasi baru. Butuh waktu juga untuk memastikan para pedagang ini percaya atas kebijakan pemerintah, di masa puncak perpindahan secara khusus diadakan seremonial perpindahan dengan laku budaya.
Berbekal modal keberpihakan dan rasa percaya ini pula yang membuat kepemimpinan dan kebijakan Joko Widodo bisa kuat di hati rakyat. Tentu saja, selalu saja ada dinamika merespon kebijakan yang dihasilkan. Adanya saluran komunikasi yang baik adalah kunci keberhasilan kebijakan perencanaan penataan kota.
Ada perhatian untuk menghidupkan ruang baru perekonomian rakyat, itulah yang bisa membawa rasa percaya publik pada kepemimpinan baik kepala daerah hingga kepala negara.
Rasanya menarik untuk berdiskusi dan beropini serta berefleksi lebih jauh berkaitan dengan perencanaan penataan kota di tanah air. Apalagi dengan hadirnya pandemi telah membuat rakyat butuh adaptasi kebiasan baru. Ada protokol kesehatan yang harus dijalankan bersama. Dibutuhkan penegakan dan pengawasan kebijakan yang seiring oleh stake holder terkait.
Respon kebijakan perencanaan perkotaan, butuh regulasi dan perundang-undangan sebagai landasan pengambilan keputusan jelas harus berorientasi untuk lebih banyak orang, bukan menguntungkan segelintir kelompok saja.
Momentum paska pandemi jelas butuh semangat bersama untuk membangkitkan perekonomian rakyat, memberikan pelayanan dasar yang lebih serius dari pemerintah pusat dan daerah. Pembangunan, hadirnya ruang ekonomi rakyat yang baru perlu terus ditumbuhkan dengan meminimalkan dampaknya.
DIY bisa jadi lebih beruntung karena telah memiliki bekal UU Keistimewaan No 13 Tahun 2012 di pasal 5 menyatakan tujuan keistimewaan yaitu:
(1) Pengaturan Keistimewaan DIY bertujuan untuk:
a. mewujudkan pemerintahan yang demokratis;
b. mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat;
c. mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. menciptakan pemerintahan yang baik; dan
e. melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa.
Berbekal UU Keistimewaan ini pula, semoga saja ke depan beragam kebijakan pembangunan bisa lebih berorientasi untuk menghidupkan perekonomian rakyat. Semoga saja demikian, bukan sebaliknya yang terjadi.