Ini perjalanan ke sekian kali naik bus antar-kota antar-provinsi (AKAP). Hanya saja dengan suasana berbeda. Perjalanan kali ini terjadi di masa pandemi.
Boleh jadi, sepenggal kisah ini jamak terjadi dalam keseharian pelaku dan penggerak perekonomian di sektor transportasi massal di tanah air. Kisah kali ini membahas seputar ‘siasat’ sopir bus di tengah krisis akibat dampak pandemi.
Memang tak bisa digeneralisasi, bahwa semua pelaku ekonomi rakyat tengah menghadapi masa sulit ini kondisinya semua masih terpuruk. Ada juga yang berkelimpahan aliran rezeki. Tapi bagi pak sopir Budi, begitu kalau tak salah beliau dipanggil, perjalanan dari kota kecil menuju ibukota dilakoni dengan beberapa gerundelan.
Pertama, soal kru alias kernet bus AKAP yang bekerja tidak disiplin. Sebagai sopir, dirinya yang bertanggungjawab penuh ke perusahaan ditemani kernet. Gegara ketidakdisiplinan kru armada, bus berangkat tanpa kernet dari titik berangkat di terminal.
Bangku bus masih banyak yang kosong. Hanya terisi beberapa penumpang. Bus tujuan Jakarta ini hanya berisikan penumpang jarak pendek dan menengah. Belum ada penumpang tujuan ibukota yang naik. Hanya ada yang turun di Madiun, Ngawi, Solio, Semarang, dan Cirebon.
Bus AKAP harus mengganti ban belakang dan sopir tak mau ambil resiko. Ia memilih mengganti ban di pool garasi. Kebetulan bos bus AKAP pas berada di garasi. Gegara harus menunggu pergantian ban ini, jelas membuat jadwal kedatangan di kota-kota tujuan penumpang jadi ambyar alias tidak tepat waktu.
Belum selesai urusan ganti ban belakang, bos bus AKAP menemui pekerjaan pencopotan ban di badan bus yang tengah parkir di garasi. Keputusannya, tak boleh mengganti ban dari hasil kanibal bus yang parkir di garasi. Sudah disiapkan ban di pool yang ada di lain tempat.
Armada melanjutkan perjalanan. Budi, sopir bus AKAP jelas berharap di titik perlintasan agen berikutnya ada tambahan penumpang. Di titik-titik awal ini, tak ada rezeki dari penumpang yang naik tujuan ibukota. Bahkan untuk mengisi bahan bakar, sopir bus AKAP harus meminjam uang ke penumpang untuk membeli 98 liter solar. Sebelum itu, dirinya berjanji uang akan dikembalikan setelah sampai kota Semarang. Rasanya terenyuh juga mendengar ucapan sopir bus AKAP ini.
Sebelum isi bahan bakar, di terminal Kediri, petugas dari Dinas Perhubungan melakukan inspeksi dan mendokumentasikan prosedur pemeriksaan kelayakan kendaraan. Termasuk meminta penumpang menunjukan kartu vaksin yang dimiliki.
Kedua, untuk mengejar waktu tempuh, jalur tol dipilih. Ini memang sesuai janji agen di kota awal keberangkatan. Penumpang jarak pendek pun dioper ke bus lain. Entah bagaimana akhir cerita perjalanan bus AKAP ini hingga sampai di ibukota.
Hal yang pasti, sopir bus punya tanggungan untuk penuhi setoran setiap kali perjalanan pulang-pergi. Setoran terakhir belum bisa dibayar, karena urusan harus ganti ban di perjalanan dan sepinya penumpang membuat jumlah setoran tak terpenuhi.
**
Penggalan kisah perjalanan bus AKAP di atas adalah potret kecil kondisi transportasi massal di era pandemi. Jumlah penumpang yang naik, yang bepergian memang belum banyak, belum masa puncak.
Krisis demi krisis berulang menerpa bisnis transportasi massal di tanah air ini. Jatuh dan bangkitnya pelaku bisnis transportasi menguji juga rasa percaya masyarakat sebagai konsumen. Pembangunan infrastruktur yang massif dalam beberapa waktu terakhir di era pemerintahan Joko Widodo memang diharapkan dapat memberi harapan baru.
Keberadaan lajur tol Trans Jawa, Trans Sumatra dan aneka pembangunan infrastruktur tol laut yang tengah dikebut hasilnya memang belum dirasakan seketika. Bisa jadi malah membuat was-was soal keberlanjutan pembangunan ke depan karena dampak krisis masih berkepanjangan.
Berkaca dari semangat sopir bus, Budi, yang tetap berupaya memberikan layanan terbaik untuk penumpangnya rasanya memang harus ditularkan. Bukan kesulitan semata yang bisa dikisahkan, dialami oleh pelaku ekonomi riil itu.
Sebagai sopir, beliau bahkan harus memutar otak dan membuang rasa malu kepada penumpang yang telah membayar ongkos naik bus ke kota tujuan. Harus nomboki setoran ke perusahaan, itulah resiko pekerjaan. Ada untung ada rugi.
Nah, berbicara soal keberadaan transportasi massal ke depan, masih beragam tantangan harus diselesaikan. Masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah, bagi pengusaha dan stake holder terkait untuk memastikan pelayanan prima angkutan transportasi massal di seluruh sektor, baik darat, laut dan udara.
Ada sejumlah pilihan menghadapi aneka masalah itu. Optimis atau pesimis. Pilih mana suka.