Ada rasa khawatir tatkala hadir ancaman yang mengarah untuk menghilangkan nyawa seseorang. Ancaman membunuh dengan kata-kata, tentu berefek panjang. Apakah di masa depan, perilaku model begini marak? Inilah yang menjadi dasar kekhawatiran.
Lebih membuat rasa khawatir lagi ekspresi rasa tidak suka, tidak setuju ini disampaikan dalam forum terbuka lalu jadi fokus pemberitaan yang riuh di media massa. Menghilangkan nyawa orang lain, ancaman membunuh disampaikan secara terbuka.
Iya, hanya sepenggal tulisan saja dalam kolom komentar lalu di-screenshot, di-share, retweet dan diamplifikasi oleh banyak pihak. Begitulah sosial media bekerja dengan paripurna. Si pembuat komentar bukanlah orang biasa saja tapi memiliki jabatan yang terhormat, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional. APH inisialnya. Kali ini yang jadi sasaran komentar adalah Muhammadiyah karena berbeda sikap dengan keputusan pemerintah.
Pola berbagi informasi secara langsung dan kecepatan penyebaran pesan lewat media sosial akan berlipat-lipat efeknya. Itulah yang menjadi ciri khas sosial media, kekuatan media baru dengan beragam platform.
Agenda setting media tak lagi dikuasai oleh news room. Rapat redaksi tak lagi berada dalam ruang tertutup tapi ada di genggaman tangan dan alam pikir netizen.
Media massa memilih isu utama pemberitaan setelah ada yang trending atau jadi viral. Itulah yang terjadi hari-hari ini. Begitu pula di masa mendatang. Bukan lagi sekedar teks, tapi juga visual yang menarik. Hal hal yang membawa impresi akan lebih banyak menarik khalayak untuk menyimak.
Agenda setting media tak lagi dikuasai oleh news room. Rapat redaksi tak lagi berada dalam ruang tertutup tapi ada di genggaman tangan dan alam pikir netizen.
Ada rumusan sederhana untuk mengangkat informasi jadi berita. Urusan publiknya apa? Apalagi kalau informasi yang tersiar berkaitan urusan nyawa.
Tugas jurnalis apa? Kalau sudah tak lagi punya kuasa lebih atas isu utama, isu publik yang hendak diangkat sebagai berita dan disiarkan luas, diamplifikasi dengan beragam kanal media yang dimiliki, apa saja yang penting dikerjakan?
Rumus kecepatan penyebaran melalui beragam medsos telah melahirkan praktek jurnalistik virtual. Narasumber bisa siapa saja. Tapi harus diingat, prinsip dasar dalam karya jurnalistik yang elementer. Ada pagar api yang penting dipahami.
Ada banyak ruang isu publik yang penting, tapi tersisih dari perhatian awak media massa. Itu di satu sisi, tapi ada juga hal-hal yang memang diabaikan oleh media massa karena adanya keterbasan sumber daya. Ada masalah struktural yang belum terselesaikan. Itulah yang sering terjadi dalam keseharian.
Cara paling ringkas dan murah untuk mengejar isu publik yang tengah viral adalah membuat program interview di studio dengan menghadirkan tokoh, pengamat atau ahli dalam bidangnya. Pola begini, ada banyak kekurangan karena sentuhan humanis dalam bingkai berita terlewati. Keuntungannya, murah dan mudah dilakukan apalagi jika dibumbui dengan kontroversi tokoh atau sosok yang dihadirkan. Praktek interview adalah bagian dari proses jurnalistik yang kini banyak dikemas sebagai “show“.
Hadirnya perbedaan memang selalu menarik bagi siapa saja yang menyimak. Pro dan kontra, selisih paham dan beda pendapat yang keras adalah bagian dari talkshow dan interview tokoh. Bedanya di era kini, tokoh yang hadir kadang adalah wajah yang benar-benar baru. Sosok yang sebelumnya bukan siapa-siapa lalu diberi panggung, diberikan spotlight. Sosial media dengan beragam kanal dan platform yang ada menyediakan ruang tanpa batas untuk pro dan kontra.
**
Ini urusan nyawa. Apa yang harus dikerjakan untuk hal hal begini? Pertanyaan retoris ini penting diajukan secara langsung kepada semua. Bisa saja prosesnya dilakukan lewat simulasi dalam forum-forum kecil, untuk melihat bagaimana respon seseorang kala berhadapan dengan situasi sulit. Berhadapan dengan pilihan yang berisiko menghilangkan atau hilangnya nyawa seseorang. Apakah akan memberikan perlindungan atau menyerahkan urusan nyawa kepada pemerintah yang berkuasa?
Nah, sampailah pada urusan pilihan dalam isu publik.
Saya begitu khawatir, apa yang terjadi di beberapa negara seperti Filipina, dengan hadirnya perbedaan pandangan pilihan politik diselesaikan dengan aksi keras sekali. Aksi membunuh. Mereka yang berbeda pilihan politik, dihabisi. Amerika Serikat memiliki masalah soal kepemilikan senjata api, yang di akhir-akhir ini jadi sumber masalah serius.
Bibit kekerasan yang hadir dalam respon APH atas ketidaksetujuan dan perbedaan, disikapi serta disampaikan secara terbuka dan tertulis dengan ancaman membunuh, tentu saja tak boleh bertumbuh subur di Indonesia. Perilaku begini harus diproses hukum. Kalau ada permintaan maaf, dari yang bersangkutan ya bisa diterima tapi jelas tak menghilangkan kasus hukumnya.
Masalahnya, ada pesan yang sudah teramplifikasi, pesan ancaman membunuh mereka yang berbeda pilihan tersiar luas dalam beragam kanal dengan menyertakan screenshot.
Kembali ke pesan ini urusan nyawa. Pertanyaan retoris ini menjadi penting untuk diajukan dan direfleksikan bersama. Tersedia pilihan etis, untuk menjawabnya dengan tindakan. Sikap tiap orang bisa saja berbeda-beda.
Betkaca pada kasus APH, juga aneka ragam video kekerasan yang viral sebelum proses justisia berjalan, apa yang bisa direfleksikan bersama? Setiap orang bisa yang bermasalah dengan hukum dan harus bertanggungjawab atas sikapnya.
Apakah memilih memberi ruang hidup atau mematikan ruang hidup? Membuka ruang diskusi yang membangun peradaban atau menutup rapat ruang diskusi?
Mau ditampilkan lebih banyak?
Mau ditampilkan lebih sedikit?
Platforn media digital telah memberikan ruang jejaring informasi dengan sangat mudah untuk diakses. Soal isi dan kualitas informasi, ini urusan selera. Masing-masing platform memiliki teknik dan pola dalam mengelola informasi yang tersedia.
Apakah Anda merespon pernyataan atau notifikasi seperti yang dipesankan oleh Mark Zuckerberg lewat survei penggunanya? Begitulah Facebook memberikan opsi untuk lebih mengenali perilaku penggunanya, informasi apa saja yang diinginkan dan konten seperti apa yang diharapkan oleh pengguna. Kontrol terbaik ada di tangan pengguna, konsumen, khalayak sendiri.
Selera, bisa dibiasakan, dikenali dengan mudah oleh mesin. Repotnya, tak semua pengguna memiliki kesadaran yang sama untuk memilah dan memilih konten informasi yang berkualitas.
Ada algoritma atau pola ajeg yang bisa dikenali bagaimana informasi bisa cepat viral dan memiliki pengaruh luas. Semakin hari, penggunaan layanan beragam platform sosial media bisa begitu personal.
Elon Musk, pemilik Twitter terkini mulai mengubah layanan yang diberikan oleh platform digitalnya. Hanya mereka yang berlangganan saja bisa mendapatkan previlege atau pelayanan khusus. Urusan centang biru, yang sebelumnya lekat dengan personalisasi pemilik akun, terverifikasi, terpercaya alias jelas siapa pemiliknya, disematkan secara gratis dulu kini harus berbayar. Semua ada ongkosnya setelah sekian lama pengguna diberikan akses gratis. Begitulah cara mendikte khalayak untuk memiliki keterlibatan, ketergantungan atas aneka layanan platform yang tersedia.
Ada algoritma atau pola ajeg yang bisa dikenali bagaimana informasi bisa cepat viral dan memiliki pengaruh luas. Semakin hari, penggunaan layanan beragam platform sosial media bisa begitu personal.
Ada keterhubungan (connected) yang diharapkan berlanjut untuk terlibat berdonasi (donated) yang bisa kita rancang dalam menyajikan informasi. Ada noise, gangguan dalam berkomunikasi melalui beragam platform. Whatsapp, aplikasi pesan memiliki kemudahan urusan keterhuhungan. Mereka yang di luar group, tak bisa turut terlibat.
Ada influencer, yang bekerja sesuai target enggagement. Setelah populer Facebook, ke Twitter, Instagram, Youtube hingga TikTok, telah lahir pola komunikasi baru yang disukai tiap generasi. Ada banjir informasi yang diproduksi begitu berlimpah. Algoritma yang terjadi, selera seseorang akan menentukan keseragaman informasi alih-alih ingin mendapatkan keberagaman, keberimbangan.
Isi percakapan bisa dengan mudah terpetakan. Baik tone positif maupun negatif berkaitan dengan beragam isu, informasi yang tersajikan. Ada keterhubungan sebagai produsen informasi, ada efek pelipatgandaan pesan informasi yang diinginkan. Di saat yang sama, ada keterputusan (disconnect) antara hal-hal yang riil dan virtual.
Repotnya, sampai hari ini, rasanya kita semua masih sebatas sebagai pengguna semata. Belum berdaulat sebagai produsen informasi.
Ini pekerjaan rumah, mau kerja lebih sedikit atau lebih banyak. Mana suka-lah.