Sejak beberapa tahun terakhir, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki titik objek wisata baru di luar titik destinasi pariwisata sejarah dan heritage yang menjadi ciri khas dan dikenal masyarakat luas. Sebut saja, keberadaan Technopark Parangracuk, Geopark Gunungsewu di Gunungkidul, lalu kawasan ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran misalnya.
Kawasan dan area yang sebelumnya tak bernilai, tak dikenal lalu menjadi sorotan publik secara luas. Berwisata menjadi lebih berwarna dan memiliki pengalaman baru di sejumlah obyek wisata baru yang dekat dengan isu pelestarian alam dan lingkungan.
Mau lebih berkesan, berwisata lebih lama di DIY? Ada banyak pilihan lain ke sejumlah daerah lain di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang kini viral, jadi begitu terkenal karena pesona fenomena alamnya.
Masih di Gunungkidul saja, ada wisata air goa pindul sebagai objek wisata pilihan yang bersifat mass tourism atau terbuka untuk umum dan bisa dikunjungi rombongan besar. Berwisata sekaligus belajar hal-hal yang berkaitan dengan cerita geologi.
Sementara bagi mereka yang memiliki minat khusus, bisa memilih caving atau penelusuran goa yang banyak tersebar di Kabupaten Gunungkidul.
Termasuk keberadaan goa vertikal di Pacarejo, Semanu Gunungkidul misalnya, seperti goa Jomblang-Grubug yang butuh effort dan peralatan khusus, untuk naik turun goa vertikal agar bisa menikmati “cahaya surga” di waktu khusus dan tertentu, lalu melihat dari dekat kondisi “hutan purba” yang ada di dalam gua.
Bagi wisatawan minat khusus caving, penelusuran gua ada banyak pilihan sejumlah gua bawah tanah di Gunungkidul yang menjadi bagian kawasan Geopark Gunungsewu. Kalau tidak salah, ada paket spesial bagi wisatawan minat khusus ini. Termasuk menikmati senja di pantai, di pantai Pulang Sawal, pantai Indrayanti,
Ada banyak pilihan yang bisa dinikmati, di kabupaten yang berbatasan dengan Wonogiri dan masuk dalam bentang alam Geopark Gunungsewu. Masyarakat bisa berwisata bersama keluarga sekaligus menambah pengetahuan tentang pelestarian alam dan lingkungan, tentu saja dengan menikmati aneka kuliner khas di destinasi wisata.
Di pinggiran pantai Gunungkidul, seiring perkembangan pesatnya minat wisatawan, ada sejumlah titik tempat makan berupa model Taman Watu ataupun HeHa SkyView yang menawarkan pesona sensasi saujana pantai dan senja yang indah dan instagramable. Wisata alami apa adanya, mengandalkan bentang alam yang menarik.
Di kawasan hutan Wanagama, sejatinya menarik juga menjadi pilihan untuk destinasi wisata edukasi penting bagi wisatawan. Ada keberhasilan konservasi kawasan hutan gundul, akibat eksploitasi, penebangan jati yang massif di masa lalu dan setelah dikelola oleh Fakultas Kehutanan UGM, sumber-sumber air yang hilang, mulai mengalir lagi air. Keberadaan program konservasi hutan berhasil dikerjakan dan menjadi laboratorium penting untuk pembelajaran bagi banyak pihak.
Bergeser sedikit ke kawasan Bantul, ada wisata puncak Becici di kawasan hutan Pinus, melengkapi keberadaan wisata heritage, wisata sejarah makam raja-raja Mataram di Imogiri. Ada kemasan paket wisata keluarga dengan format penampilan musisi, lokasi konser musik dan seni pertunjukan lain yang bisa dinikmati masyarakat luas.
Di Bantul, ada rintisan pemanfaatan energi baru terbarukan dengan tenaga surya untuk sumber listrik pabrik es guna mencukupi kebutuhan nelayan. Ada juga titik pelestarian kawasan pantai dengan hutan mangrove.
**
Geliat kepariwisataan daerah, rasanya perlu juga dilakukan refleksi, dengan jalan menengok kembali lini masa dunia pariwisata di DIY dalam beberapa dekade terutama paska bom Bali 2001. Peristiwa aksi teror itu telah menggeser destinasi pariwisata utama di Indonesia. Imbasnya DIY jadi satu titik daerah yang mendapatkan limpahan kunjungan wisatawan baik asing maupun dalam negeri.
Kondisi keamanan, kenyamanan dan aneka atraksi budaya DIY memiliki magnet tersendiri. Hadirnya wisata heritage Kraton Yogyakarta, Candi Prambanan dan Candi Boko sudah dikenal luas, jadi ikon wisata sejarah budaya.
Ada masa sulit dan berat bagi para pelaku wisata, daerah tujuan wisata yang mengandalkan kunjungan wisata, turis asing dari berbagai negara dunia.
Pak Wali
Akibat teror bom Bali, dunia pariwisata sejatinya mendapatkan pelajaran berharga soal bagaimana pengembangan pariwisata yang ideal dikerjakan. Pilihan kebijakan mengandalkan kunjungan wisatawan asing terpuruk, paska aksi teror membuat pelaku pariwisata langsung merasakan dampaknya karena tak ada kunjungan wisatawan.
Ada masa sulit dan berat bagi para pelaku wisata, daerah tujuan wisata yang mengandalkan kunjungan wisata, turis asing dari berbagai negara dunia.
Nah, berkembangnya destinasi wisata di DIY, menjadi satu daya pikat yang menarik. Rintisan wisata pantai di Gunungkidul, seperti pantai pulang Sawal dilakukan oleh pelaku wisata yang berpindah dari Bali ke DIY. Sejumlah pihak memberikan dukungan seperti Bank Indonesia yang menggandeng juga PHRI DIY.
Butuh waktu juga, kala proses rintisan destinasi wisata baru untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas, bagaimana wisata berbasis ekologi, wisata alam menjadi menarik dan diminati.
Momentum kebangkitan industri pariwisata lokal DIY, bersamaan dengan upaya pemulihan perekonomian paska bencana besar gempa bumi 2006 di Bantul. Semua tentu ingat, bagaimana dampak kerusakan yang terjadi dan langkah pemulihan perekonomian DIY untuk bangkit bersama, salah satunya lewat kepariwisataan dilakukan.
Pemda DIY juga tak kalah gerak cepat, dalam upaya untuk turut mengembangkan industri pariwisata, upaya menambah destinasi wisata baru terus didorong.
Tentu saja, keberadaan obyek wisata baru yang diharapkan bisa lebih banyak menarik wisatawan. Pilihannya adalah membuka ruang investasi secara terbuka, bagi investor untuk bisa menanamkan modal guna pengembangan pariwisata, membangun infrastruktur pariwisata. Selain menambah tingkat kunjungan, ada upaya menambah masa tinggal.
Sayangnya, sejarah mencatat kebijakan langkah mengundang investor terjebak pada pemahaman pemenuhan infrastruktur pariwisata seperti kondominium, kondotel dan hotel berbintang lebih massif.
Bahkan sampai ada kritik keras berupa slogan “Jogja Ora Didol” yang berisi protes atas pembangunan massif infrastruktur pariwisata berupa hotel yang justru dinilai merugikan warga di sekitar.
Ada film dokumenter yang merekam kritikan keras, yaitu “Belakang Hotel” bagaimana terjadi konflik, akibat hilangnya air bawah tanah milik warga karena hadirnya hotel baru di kawasan perkotaan, tak jauh dari Balaikota Yogyakarta.
Di tahun 2010, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan perhelatan International World Conference on Science, Education, and Culture (WISDOM) 2010.
Forum ini, menandai pula peran strategis dan pentingnya posisi DIY dan Bali sebagai tujuan MICE bertaraf internasional. Indonesia dihadirkan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, terutama urusan pendidikan, pengetahuan (kearifan lokal) dan kebudayaan.
Urusan pariwisata, kalau kata Bung Karno, sesuai penuturan Myra P Gunawan, planolog lulusan Intitut Teknologi Bandung dalam kesempatan paparan Pariwisata Nusantara, Literasi dan Numerasi di kanal YouTube Neraca Ruang menjelaskan bahwa Presiden Sukarno adalah sosok yang mempopulerkan kata pariwisata untuk menggantikan istilah tourism di tahun 1958.
Ada pesan menarik yang penting dicatat dari paparan planolog Myra P Gunawan terutama kritiknya untuk pengembangan pariwisata nusantara. Berwisata adalah hak asasi yang perlu dipahami semua pihak, termasuk tentunya para perumus kebijakan pembangunan kepariwisataan tanah air.
Presiden RI Sukarno, disebut memiliki visi dan gagasan membangun beragam fasilitas, infrastruktur pariwisata di sejumlah lokasi untuk menunjukkan pada dunia, Indonesia memiliki juga kemampuan pelayanan (hospitality) yang profesional, setara, sederajat dengan bangsa maju.
Di Jakarta, terbangun Hotel Indonesia, Pusat perbelanjaan Sarinah. Hotel Ambarukmo di Yogyakarta, dibangun dengan pelayanan bertaraf internasional tersebut masih beroperasi sampai kini. Bali Beach Hotel, di pulau Bali menjadi ikonik dengan mimpi besar pengembangan pariwisata nusantara.
Berwisata, kata Myra P Gunawan perlu dipenuhi untuk melayani hak asasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
Tugas pemerintah memberikan kebutuhan dasar, hak asasi berwisata bagi setiap warga negara. Indikator banyak dan sedikitnya kunjungan wisata dari asing, mengabaikan kesempatan berwisata bagi warga negara sendiri bukanlah hal yang tepat.
Pengembangan infrastruktur, guna mendukung bertumbuhnya kepariwisataan nusantara sejatinya harus dipenuhi terlebih dahulu. Setidaknya dari kasus bom Bali, pandemi Covid-19, keterpurukan pariwisata paska peristiwa teror di masa lalu juga adaptasi kebiasaan baru kala pandemi, harus jadi pelajaran berharga.
Tak perlu dengan selalu memberikan “karpet merah” dan membuka akses seluas-luasnya kepada wisatawan asing dan berharap limpahan duitnya. Pemenuhan hak asasi warga lokal, kesempatan berusaha dan berwisata lokal punya kontribusi besar jadi penggerak perekonomian nusantara dan daerah seperti DIY.
Faktanya, di era kini paska dibuka luas pariwisata Bali, kebijakan bebas visa kunjungan untuk banyak negara, justru menambah problem wisatawan bermasalah, yang terjadi karena perilaku buruk mereka, mudahnya akses kedatangan. Alih-alih bawa duit, tapi justru membuat repot karena kasus pelanggaran hukum, bekerja tanpa izin resmi dan sebagainya.
Wisatawan nusantara, perlu lebih didorong untuk terus tumbuh dan diberikan porsi perhatian.
Berwisata adalah hak asasi kita semua. Negara punya kewajiban menjamin dan melayani hak dasar warga negara. Pemerintah pusat dan daerah perlu lebih maju dan progresif dalam penciptaan kesempatan berwisata bagi warganya dan jaminan rasa aman, nyaman kala berwisata ke beragam obyek wisata yang ada.
Langkah pengembangan wisata ekologis, wisata dengan nilai tambah konservasi serta edukasi di DIY khususnya, dan di pelosok nusantara bisa dikembangkan lebih baik. Harapannya ke depan tentu saja agar adanya ekowisata DIY bisa benar-benar jadi magnet, jadi ikon pariwisata yang menghidupkan perekonomian rakyat.
