Kategori
Society

Sampah-Sampah (Produk Digital) Teknologi Modern: Bagaimana Daur Ulangnya?

Aneka produk teknologi memiliki masa pakai efektifnya. Pertanyaan sederhananya, seberapa penting dan perlu bagi kita untuk memiliki dan menggunakannya? Ada banyak ragam jawaban yang bisa dituliskan. Selalu ada harga yang harus dibayar mahal untuk mendapatkan beragam produk teknologi modern canggih yang terkini. Riset dan pengembangan teknologi terus dikerjakan ahli, meski berbiaya mahal untuk ongkos penelitian.

Nah, kala produk teknologi sudah tak berguna, jelas hanya menambah persoalan tingginya produksi sampah aneka produk teknologi.

Ya, pilihan daur ulang sampah teknologi beragam jenisnya, serta memperpanjang masa pakai penting untuk dikerjakan. Para ahli dan insinyur dengan beragam latar keahlian tentu sudah memikirkan risiko alat-alat teknologi yang dihasilkan.

Apa yang paling dekat? Gadget, handphone atau telepon pintar misalnya, memiliki fitur dan fungsi. Harganya, mulai seharga cempe sampai sapi gemuk sebagai alat tukarnya. Selalu ada produk baru yang rilis ditawarkan ke pasar.

Hadirnya barang berteknologi tinggi, secara fungsional memang dibutuhkan manusia. Kemajuan zaman, perkembangan kebutuhan alat bantu untuk beragam keperluan manusia menghasilkan produk teknologi. Pabrik berdiri, membuka buka lapangan kerja, menggerakkan perekonomian adalah lingkaran siklus usaha.

Ekosistem usaha inilah yang kerap terlupakan dalam pola kebijakan perekonomian di Indonesia. Meskipun dalam sejarahnya, kekuatan ekonomi rakyat yang tak melulu terhubung (terkoneksi) dengan pasar global ini yang menyelamatkan dari krisis berkepanjangan dunia. Era paska 1998 misalnya.

Bagaimana dengan masa depan?

Perusahaan kelas dunia yang berhasil menguasai pasar, mudah menangguk untung, pun perusahaan yang terseok-seok bertahan kala gagal merespon ekosistem usaha, perubahan perilaku konsumen akan buntung, gulung tikar. Nokia misalnya. Apalagi? Kala tak menarik lagi bagi konsumen jelas bangkrut juga ujung ceritanya.

Hal penting yang perlu dipahami, Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, adalah pasar empuk produk teknologi dunia. Semua negara saat ini, berlomba untuk bisa memperoleh pasar di negara dengan penduduk lebih dari 270 juta orang ini. Ambil saja untung Rp 1, sehari saja maka omsetnya sudah besar, apalagi kala nilainya berlipat ganda. Itu simplifikasi guna menggambarkan betapa manisnya pasar Indonesia.

Hal penting yang perlu dipahami, Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, adalah pasar empuk produk teknologi dunia.

Joko Widodo, Presiden RI, menyebutkan dalam satu kesempatan berbicara soal keterlambatan respon kebijakan, membuat pelaku ekonomi di Pasar Tanah Abang sepi pembeli. Pedagang mencoba mengikuti arus jaman, turut berdagang dengan aplikasi populer asal China, TikTok. Perusahaan sudah mengumpulkan data konsumen dengan cepat dan tahu apa yang populer diinginkan.

Bersyukurlah, segera ada langkah kebijakan regulasi pemerintah mengatur payung perlindungan untuk pelaku usaha dalam negeri. Meski kencang juga suara protes berkaitan dengan kebijakan payung hukum untuk pelaku UMKM. Ada yang paham bagaimana ekosistem teknologi digital bekerja, tak kuasa membendung gelombang pasang perekonomian global.

Kala dibuka bebas pintu masuk produk teknologi yang disukai konsumen tanah air, ada banyak kerugian yang harus ditanggung. Banjirnya aneka produk dengan harga murah, adalah masalah pelik yang butuh perhatian serius. Jelas, ujungnya adalah semakin bertambahnya sampah-sampah teknologi yang habis masa pakainya.

Apa saja itu?

Simak saja, misalnya alat simpan data digital. Harganya semakin murah setelah hadir produk terbaru dengan kemampuan dan kapasitas simpan yang makin besar. Cek saja, kini bertebaran penawaran flash disk kapasitas hingga 2 tera byte. Riset bahan simpan, teknologi nano, fisiknya sama dan daya simpan lebih besar, lebih banyak. Bagi yang tak mau repot, urusan simpan menyimpan data, pilih saja cloud, tentu saja dengan harga sewa tertentu.

Urusan kecerdasan, kemampuan produksi alat-alat teknologi yang dimiliki oleh insinyur Indonesia bolehlah diuji di level dunia. Teknologi dirgantara, misalnya, sudah berhasil diwujudkan oleh para ahli. Harus diakui, banyak talenta yang memiliki kemampuan inventor. Selebihnya, silakan mendata ahli-ahli kelas dunia yang berasal dari Indonesia, diaspora yang bermukim di banyak negara.

Jelas, butuh waktu dan sumber daya besar untuk pendanaan riset, pengembangan teknologi di banyak bidang penelitian. Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, satu entitas baru yang membuka kajian masa depan jadi program studinya. Setidaknya mempercepat kemampuan respon antisipasi tantangan dan menafsirkan beragam perubahan global yang tengah kita hadapi dan apa saja yang penting dikerjakan. Itu setidaknya yang terekam dalam zoom meeting Kagama beberapa waktu lalu.

Kalau dengan bahasa humor, bisa lah dituliskan DO IT, meski duitnya itu yang jadi persoalan. Riset teknologi mahal, duit negara tak mencukupi untuk difokuskan.

Jadi ingat, kala berbincang urusan serius belajar filsafat barat. Ada seloroh untuk memudahkan mengingat sosok filsuf Yunani, Thales dari Miletos, sosok pemikir yang mengawali sejarah filsafat Barat pada abad ke-6 SM. Sebelum Thales, pemikiran Yunani dikuasai cara berpikir mitologis dalam menjelaskan segala sesuatu. Pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama dan disebut sebagai bapak filsafat.

“Tales itu aslinya Bogor, itu menginspirasi pemberian nama bapak filsafat modern, janganlah sok suka segala yang digemborkan barat dengan segala dominasinya, dalam aneka ruang kehidupan,”


Masih ingat ya, bagian narasi berita soal kereta cepat dan jembatan lengkung yang diberitakan jadi kebanggaan Indonesia di mata dunia. Ada pengakuan kesalahan dalam realisasi rancang bangun rel kereta. Kecepatan harus diturunkan kala berbelok. Kontroversi itu dijawab Presiden Joko Widodo, dengan kalimat “jangan mencari-cari kesalahan”.

Hadirlah kritik soal penting apa tidak segera memiliki kereta cepat sebagai suar kemajuan penguasaan teknologi. Kelompok yang optimis, sepakat agar bisa segera sejajar dengan negara seperti Jepang, yang memiliki kemampuan pengembangan kereta api modern, kereta cepat Shinkansen.

Pembiayaan dan teknologi pekerjaan rel kereta api cepat, dilakukan China (Jepang juga berikan proposal pembangunan KA cepat, tapi pemerintah pilih China) dengan meminta dukungan kebijakan garansi APBN Indonesia. Berat dan lama masanya. Iya, jelas. Bahkan, meski ada sorotan tajam soal pembiayaan dan imbal balik yang lama, hadirlah argumen untuk urusan publik, negara tak mengambil keuntungan material.

Bangga dong, Indonesia punya kereta api cepat.

Siapa yang pertama menikmati? Siapa yang berkesempatan uji coba gratis, berapa ongkosnya di masa normal setelah dirilis? Apakah laku digunakan masyarakat sebagai andalan angkutan transportasi umum yang cepat, handal? Kalau biaya sebegitu besar dialihkan guna membangun trasnportasi kereta api di daerah bisa dapat berapa kilometer panjangnya? Kalau ajukan lagi banyak pertanyaan beruntun kenapa perlu segera diwujudkan infrastruktur mahal untuk publik ada jawaban pendeknya. Prioritas.


Apakah sering mendengar soal tangan-tangan tak kelihatan yang memainkan kuasa, mendiktekan kehendak, menguasai alam pikir, bisnis, perilaku warga negara. Siapa yang kuasai informasi, akan menjadi pemenangnya dalam kompetisi global?

Sebagai ilustrasi, di era teknologi serba digital berkaitan dengan nasib pelaku UMKM di tanah air, perlu tahu juga siapa pesaing dan mitra dagang yang tepat. Misalnya, usaha bidang konveksi, tersedia pilihan kerja menjadi seorang penjahit sajalah. Ini profesi yang jamak dan banyak menyerap tenaga kerja. Ongkos jahit semakin murah dan terus ditekan nominalnya, perusahaan tentu akan memilih ongkos murah harga berkualitas guna maksimalkan keuntungan. Meminjam gaya roasting Cak Lontong, kala momen Istana Berbatik awal Oktober ini, yang dibutuhkan sosok Panjaitan, LBP dengan segala beban pekerjaan strategisnya.

Seorang penjahit kaos polos atau pelaku industri pabrik kaos, perlu pahami bahwa persaingan di era disrupsi bukan sekedar rekan satu kantornya, kompetisi dengan pekerja konveksi dari Bhangladesh itu nyata.

Itu urusan kesempatan bekerja, produk penjahit asal negara di kawasan Asia itu, silakan lihat badge yang terjahit di kaos polos, untuk merk yang laku. Bangladesh selain dikenal dengan buruh jahit murah berkualitas, di pesisiran pantainya jadi tempat berlabuhnya teknologi kapal besar yang rusak, jadi besi tua.

Terhubungnya pengetahuan dan meleburnya batas-batas negara karena kemajuan teknologi informasi. Hadirnya internet dan segala macam implikasinya mulai hal sederhana hingga yang rumit big data, dan lain lain, adalah hal yang tak dapat dihindari. Teknologi otomasi, robot penjahit bisa saja mengerjakannya.. Tapi, karena nilai keuntungan kecil, tetap tenaga murah buruh penjahit yang dipilih.

Sebelum berpanjang tulisan, yang potensial menambah sampah digital, menarik juga seloroh “asah duwur angen-angen, ndak kesampluk pesawat” diajukan dalam perspektif urusan daur ulang sampah teknologi.

Minimal, bagi individu, bagi konsumen produk teknologi, ikuti runtutan pertanyaan seberapa pentingnya produk teknologi, mahal murahnya harga beli dan manfaat, fungsional yang diperlukan.

Alat-alat analisis big data, sudah merekam suka/tidaknya kita atas sesuatu hal. Sadar atau tidak, kala terhubung internet, melahirkan budaya konsumsi produk teknologi informasi tak terbatas. Klik saja.

Semua urusan “angen-angen pikiran”, “gagasan” bisa diselesaikan dengan satu ketukan di jari-jemari kita semua. Pilihan sikap bebas, tersedia untuk menjawab pertanyaan judul tulisan ini.

Jadi bangsa yang sekedar konsumen teknologi atau produsen teknologi adalah pilihan.

Jelang hitungan hampir seratus hari menuju politik elektoral, rasanya juga pas untuk memastikan pilihan.

Tak lama lagi, kita semua punya hak suara menentukan sendiri, pemimpin dan wakil rakyatnya yang terpilih nanti di Pemilu Legislatif serentak dan Pilpres 2024, di 14 Februari 2024 dengan mencoblos di kotak suara.

Beragam pertanyaan dan harapan penting untuk terus disuarakan di ruang publik, ruang media sosial. Satu problem saja, minimal bisa diajukan kepada siapa saja yang maju tahun depan itu, bagaimana daur ulang sampah (teknologi) bisa diselesaikan, saat sampah bertebaran di banyak titik di banyak lokasi seperti sekarang ini.

Tinggalkan komentar