Kategori
Society

Sampah-Sampah (Produk Digital) Teknologi Modern: Bagaimana Daur Ulangnya?

Aneka produk teknologi memiliki masa pakai efektifnya. Pertanyaan sederhananya, seberapa penting dan perlu bagi kita untuk memiliki dan menggunakannya? Ada banyak ragam jawaban yang bisa dituliskan. Selalu ada harga yang harus dibayar mahal untuk mendapatkan beragam produk teknologi modern canggih yang terkini. Riset dan pengembangan teknologi terus dikerjakan ahli, meski berbiaya mahal untuk ongkos penelitian.

Kategori
Infrastruktur Society

Tidak Cukup Menjadi Orang Bijak di Hadapan Teknologi

Sebagian orang memilih posisi ekstrem ketika berhadapan dengan kemunculan teknologi baru: bersorak dengan optimisme yang kuat atau menolak tanpa kompromi. Di antara dua kelompok ini, ada yang menjadi penengah dan mengambil keputusan menjadi orang bijak. Sekumpulan orang bijak ini menyerukan bahwa seluruh teknologi yang muncul memiliki efek negatif maupun positif. Yang perlu kita lakukan adalah memperluas dampak positifnya dan semaksimal mungkin menghilangkan dampak negatifnya.

Kategori
Infrastruktur Politik

Teknologi Bukan Hanya Alat: Implikasi Konseptual Teknologi Komputasi Skala Planet

Ada dua jenis teknologi. Pertama, teknologi yang hanya berfungi sebagai alat. Teknologi jenis ini membantu pengguna (sebagian besarnya adalah manusia) dalam mengoptimalkan aktivitas sehari-harinya. Sepeda membantu manusia berpindah dengan jarak yang lebih jauh untuk setiap energi yang dikeluarkan oleh otot-otot kakinya. Gelas membantu manusia untuk meminum air dengan leher tetap tegak, tanpa harus menjulurkan kepala langsung ke dalam ember, seperti kambing.

Kategori
Society

Menonton vs Ditonton, Budaya Populer Era 4.0

Semua sudah sepakat betapa kemajuan teknologi komunikasi dan informasi sudah sangat maju. Di Indonesia proyek Palapa Ring dijalankan guna memastikan semua wilayah terhubung.

Simbol kemajuan salah satunya melekat pada gadget yang dimiliki. Semakin terbaru gadgetnya, citra diri semakin moncer sebab merasa jadi bagian masyarakat modern yang melek teknologi.

Lebih jauh lagi, kala isi gadget diperiksa. Aplikasi serba baru yang terinstall bisa membawa si pemilik merasa benar-benar sebagai pemilik peradaban terkini. Serba update. Bikin bangga begitulah.

Belum lagi soal tampil eksis di panggung medsos aneka rupa. Apakah itu IG, Tik Tok, Twitter, Facebook dan beragam aplikasi lain yang populer di era sekarang.

Ada Youtube dan beragam varian aplikasi berbasis video yang menarik siapa saja untuk bisa tampil, sembari berharap bisa jadi viral dan mendapatkan keuntungan finansial.

Media sosial, memang memberikan ruang terbuka yang adil sebenarnya. Siapa saja bisa menjadi bintang dalam sekejap kala pas mendapatkan momentum.

Siapa saja bisa menjadi sumber berita, menjadi bahan obrolan warganet dalam sekejap. Apalagi tatkala mendapatkan spotlight atau sorotan publik karena ada kontroversi yang hadir.

Di sisi yang lain, media sosial memberikan kesempatan aneka hoaks dan anonimitas hadir bersamaan. Bukan itu saja, kebaikan dan keburukan bertarung dalam keberlimpahan informasi yang bisa hadir dalam sekejap.

Memang, tiap platform medsos memiliki kemampuan dan fungsi yang berbeda. Twitter sampai kini lebih terbuka dibandingkan platform medsos yang lain, masih menjadi rujukan hal-hal viral apa saja yang kemudian bisa diangkat menjadi pembahasan media mainstream.
Termasuk untuk seleb medsos yang hadir bak cendawan di musim hujan.

Kemampuan blasting atau penyebaran cuitan sangat bergantung pada banyak sedikitnya follower, interaksi antar-pengguna.

Sedikit berbeda yaitu Instagram alias IG yang lebih banyak digunakan untuk menghadirkan foto dan video. Terhubung atau connected adalah prasyarat utamanya jika kita ingin menonton pemilik akun lain.

Perusahaan medsos memang tak tanggung-tanggung menyediakan kebutuhan pengguna untuk bisa tampil. Algoritma IG misalnya, banyak dimanfaatkan untuk berinteraksi secara live, yang kemudian terekam di feed. Isinya selain percakapan remeh temeh, aksi yang menghibur, aksi berjualan bisa dikerjakan dengan leluasa.

IG oleh sebagian kalangan jadi pilihan untuk memajang citra diri, dagangan ataupun jasa pemilik akun. Selebgram adalah sebutan untuk mereka yang populer.

Hal yang paling rendah dalam bermedia sosial adalah pornografi. Ini boleh diperdebatkan. Kebebasan di dunia digital sebenarnya sudah berusaha diredam begitu rupa, ada etika moral yang ditegakkan.

Semua mahfum apa saja yang hadir dan bisa dinikmati pengguna, seketika asal ada koneksi internet. Termasuk urusan berkait industri konten pornografi. Sebagai industri hiburan, ada sejumlah negara yang mengatur dengan ketat. Di tanah air, industri hiburan pornografi jelas dilarang sebab melanggar norma kesusilaan.

Ada pasal berlapis yang dipakai untuk urusan pidananya yaitu dengan (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”); dan (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”).

Bisa cukup panjang bicara urusan pidana dan proses hukum kasus yang pernah menghebohkan terjadi, berkait pornografi. Ini bisa dibahas dalam artikel lain saja.

*****

Kehadiran diri di lingkungan budaya populer berkait dengan citra diri, khususnya bagi rakyat perkotaan adalah keniscayaan. Jalan-jalan di pusat perbelanjaan (window shopping) tak elok rasanya kalau berpakaian ala kadarnya.

Budaya populer melahirkan mode pakaian yang layak dan tak layak pakai. Meski sebenarnya soal mode berpakaian tak ada hukum pasti alias hukum wajib yang patut ditaati. Misal harus berpakaian rapi saat ke mall atau pusat perbelanjaan.

Bukan hanya soal pakaian, citra diri berkemajuan dihadirkan dengan keberadaan gerai makanan cepat saji, titik kumpul kuliner yang biasa hadir dalam jagat bisnis pusat perbelanjaan.

Kisah berikut adalah pengalaman pribadi saat menikmati suasana merchant di mall kala itu. Ternyata, meski ada kebebasan untuk menonton dan ditonton kala makan di sebuah gerai, tak boleh duduk seenaknya macam di warung tradisional. Ada etika, manner, kala duduk menikmati makanan siap saji di sebuah gerai. Bahkan tak segan, pelayan mengingatkan secara langsung.

Sungguh sebuah pengalaman budaya makan yang jauh berbeda dengan kebiasaan keseharian, bebas bertingkah, selonjor maupun gaya lesehan sembari menyantap hidangan. Melalui penataan interior serba tembus pandang, keluasan tata hias bangunan juga kerlip dan terang lampu melengkapi citra modern kala seseorang berada di dalamnya.

Ini masih sebatas soal makan, di balik kaca tembus pandang yang bisa melambungkan perasaan seseorang lebih sejahtera, lebih makmur, lebih bermartabat kala menyantap makanan siap saji. Meski sejatinya di negara asalnya, menikmati makanan siap saji adalah hal biasa tak lebih dari etalase bisnis, junk food.

Asosiasi diri dengan label aneka brand kelas dunia adalah bagian lain dari hadirnya mall atau pusat perbelanjaan.

Tak hanya di ibukota, mall dan pusat perbelanjaan sebagai ciri modern merajalela ke beragam pelosok negeri. Menancap sampai jauh ke jantung perekonomian perkotaan di tanah air. Ke berbagai kota kedua, ketiga dalam lingkar jejaring pasar ritel. Apa yang ada di belahan dunia negara adikuasa dalam sekejap bisa hadir di merchant pusat perbelanjaan terdekat. Budaya belanja ditumbuhkan begitu rupa, untuk mencapai citra diri seseorang, sebagai Sultan atau sebagai sosok orang kaya.

*****

Hadirnya teknologi informasi menambah panjang dan luas keberadaan pusat perbelanjaan dan mall. Bukan hanya hadir secara fisik, lebih jauh dan dalam lagi secara visual.

Ada dalam beragam aplikasi yang mudah di-download secara cepat. Model pelayanan belanja yang lebih ringkas, cepat dan lebih banyak pilihan kala akses mall dan pusat perbelanjaan digital. Marketplace namanya.

Kemajuan teknologi informasi tak sekedar memudahkan manusia mendapatkan segala keinginan dan hasrat berbelanja namun sekaligus mempercepat membunuh usaha ritel ini. Manusia tak perlu lagi hadir berdesakan dan berdempetan di pusat perbelanjaan. Cukup dari rumah saja untuk memastikan semua keinginan belanja terpenuhi.

Bill Gates, Mark Zuckerberg hingga Jack Ma yang memiliki Microsoft, Facebook hingga Alibaba adalah sederet nama yang besar dalam jagat teknologi informasi mulai software komputer, media sosial dan platform online. Masih ada banyak nama lain, yang bisa diulas lebih dalam.

Bukan itu saja, lewat beragam aplikasi dan platform teknologi informasi, ada wajah baru dalam budaya populer. Ada kebiasaan baru baik dalam soal berkomunikasi personal maupun dalam komunikasi secara publik dengan daring. Siapa saja bisa menjadi seleb dalam waktu pendek. Tua, muda, perempuan dan laki-laki, siapa saja bisa melejit namanya baik secara organik maupun karbitan alias dipromosikan mesin.

Being Digital, dalam buku karya Nicholas Negoponte bisa tergambar dengan mudah apa, siapa dan bagaimana dunia digital begitu jauh memberikan pengaruh dalam kehidupan manusia modern. Bukan hanya bicara soal kemajuan teknologinya tapi memberikan bingkai perspektif cakrawala horison baru berkait terra incognita, dunia baru yang belum terpetakan ini jadi tempat melempar modal agar beranak pinak lebih cepat.

Pemahaman soal internet seringkali salah dimengerti, jejaring web yang terhubung online memiliki prasyarat khusus yaitu kebutuhan connected alias terhubung. Ada paket data yang bernilai uang untuk bisa memanfaatkan jaringan layanan secara realtime, online. Kalau tak ada koneksi, jelas tiap mesin akan bekerja offline.

Melalui gadget atau telepon seluler, telpon pintar, koneksi online lebih mudah diakses. Apalagi layanan paket data bisa dengan mudah dijangkau lewat jasa operator selular. Kondisi ini membuat pengguna lebih merasakan hal-hal privat terlayani.

Termasuk urusan menonton, sekaligus ditonton. Sekarang bisa lebih privat diakses layanan online. Apalagi di masa pandemi, kala manusia dituntut membatasi, berjarak dengan yang lain.

Melalui lensa gadget, melalui layar HP ada relasi dan komunikasi timbal balik yang seketika dilakukan oleh user, pengguna internet. Pesan juga demikian cepat tersebar ke banyak orang dalam jejaring pertemanan.

Kalau suka menonton, bersiaplah juga untuk ditonton kala tampil di layar gadget secara sengaja atau tidak sengaja. Hal yang pasti, ada semacam pagar api dalam jagat media sosial. Kalau melewati pagar api, jelas bisa hangus terbakar.

Kategori
Kapital

Apa yang Tersisa Bagi Pekerja?

Seingat saya, sejak SMA sudah ada peringatan dari dunia kerja agar para siswa tidak hanya mengasah kemampuan kognitif (menghitung, membaca, menghafal), tapi juga harus mengembangkan softskill (kemampuan berorganisasi, komunikasi, memecahkan masalah kompleks, dll). Peringatan ini semakin kencang saat masa-masa kuliah. Mahasiswa tentu saja lebih memperhatikan peringatan ini, karena sebentar lagi ia akan memasuki dunia kerja.

Peringatan tersebut masuk akal. Semakin banyak pekerjaan kognitif yang bisa diganti oleh teknologi. Tanpa saya memberi contoh pun pembaca tentu akan setuju. Narasi tentang banyaknya profesi yang hilang sudah sangat sering diulang-ulang oleh para pengusaha, pegawai negara, dan guru serta dosen.

Namun demikian, sebaiknya kita tidak bersenang diri dan terlena jika sudah mempunyai softskill yang mumpuni dan laku di pasar tenaga kerja. Orang-orang di sekeliling Anda mungkin akan bilang bahwa dengan mempunyai softskill, Anda akan terus mendapatkan pekerjaan. “Dunia kerja akan terus membutuhkan manusia, selama manusia tersebut meningkatkan softskill yang dimilikinya,” kata orang-orang itu. Mungkin Anda akan senang dan merasa aman mendengarnya. Anda merasa diri Anda kreatif, sehingga tidak akan tergilas oleh teknologi. Kemudian, mungkin Anda bersimpati dengan orang-orang yang bekerja di pabrik, wisudawan baru nihil softskill, dan para pemuda yang tak mampu kuliah, karena bidang pekerjaan mereka tak lama lagi akan musnah.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Namun demikian, sebaiknya kita tidak bersenang diri dan terlena jika sudah mempunyai softskill yang mumpuni dan laku di pasar tenaga kerja.”[/mks_pullquote]

Kesalahan terbesar dari cara berpikir yang demikian ialah membedakan  pekerjaan kreatif dengan nonkreatif. Secara umum, saat ini kita menganggap kerja kreatif adalah aktivitas produksi yang tidak bisa dilakukan oleh mesin. Sebaliknya, kerja nonkreatif sudah bisa atau sebentar lagi akan bisa dikerjakan oleh teknologi secara otomatis. Karena campur tangan pemerintah saja pekerjaan nonkreatif ini tetap ada demi ketersediaan lapangan pekerjaan. Ini adalah cara pandang yang mengabaikan sejarah perjalanan teknologi di dunia kerja.

Para pemintal benang di Inggris pada awal abad ke-18 adalah orang-orang kreatif. Mereka membuat kain di rumah masing-masing dan mampu menjualnya dengan harga tinggi. Mereka berkuasa atas proses produksi dan pemasaran produk mereka sendiri. Selama proses ini berlangsung, ada orang-orang yang memodelkan cara kerja para pemintal benang tersebut, dengan motivasi mengefisienkan kerja. Sampai akhirnya ditemukanlah model mesin yang sesuai dengan cara kerja para pemintal.

Penemuan mesin tersebut memicu hasrat manusia untuk memproduksi kain dalam jumlah yang banyak dalam waktu singkat. Impiannya tentu saja peningkatan laba yang signifikan. Namun, untuk mewujudkan hal ini, perlu dibangun sebuah tempat yang dapat menampung mesin dan manusia dalam jumlah banyak, terkoordinasi, serta mudah mendapatkan energi. Dibuatlah bangunan bernama pabrik yang didesain sedemikian rupa agar alur kerja efisien. Karena untuk membangun ini semua membutuhkan modal yang luar biasa banyak, maka yang mampu hanyalah orang superkaya. Para penguasa kapital. Para kapitalis.

Kemampuan pabrik memproduksi kain dalam jumlah banyak dan harga yang murah (karena mencuri nilai lebih dari keringat pekerjanya) membuat para pemintal benang rumahan kalah telak. Mereka terdesak. Penjualan kainnya menurun drastis. Dalam kondisi yang demikian, tidak ada pilihan lain selain masuk ke dalam pabrik kain untuk bekerja. Di titik ini, pekerjaan memintal benang tak lagi disebut kreatif. Para pemintal tak lagi punya kendali atas keahliannya sendiri.

Apabila berkaca dari sejarah revolusi industri pertama di Inggris ini, dapat disimpulkan bahwa seluruh pekerjaan yang dilakukan manusia itu kreatif. Jika hari ini kita memandang pekerjaan tertentu sebagai nonkreatif, pekerjaan kasar, atau istilah lain yang bernada merendahkan, itu karena pekerjaan tersebut sudah berhasil dimodelkan. Teknologi sudah bisa menirunya dan menjalankannya secara otomatis, tanpa manusia.

Dari sejarah itu pula kita bisa memahami, bahwa motivasi untuk memodelkan sebuah pekerjaan agar menjadi otomatis muncul dari para pemilik usaha. Teknologi-teknologi canggih yang kini mendominasi dunia kerja tidak muncul karena keisengan para inovator. Hal ini bisa kita periksa dengan mengajukan pertanyaan: dari jutaan riset di berbagai bidang, mengapa teknologi yang masuk ke dunia kerja selalu menyingkirkan pekerja dan menguntungkan pemilik modal? Jawabannya sederhana: riset-riset yang bermodal jumbo sebagian besar diarahkan untuk mengganti pekerja manusia yang bisa lelah, sakit, berorganisasi, dan memberontak. Agar akumulasi laba bisa semakin pesat.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Dari jutaan riset di berbagai bidang, mengapa teknologi yang masuk ke dunia kerja selalu menyingkirkan pekerja dan menguntungkan pemilik modal?”[/mks_pullquote]

Perkembangan teknologi yang seturut kepentingan pemodal terus belanjut hingga hari ini. Kini keahlian fisik dan pikiran (kognitif) manusia sebagian besar sudah dibekukan ke dalam perangkat teknologi. Lalu, apa yang tersisa? Softskill. Inilah yang belum berhasil dimodelkan menjadi teknologi.

Seluruh perusahaan teknologi raksasa hari ini gencar sekali memburu softskill. Mereka membangun narasi sedemikian rupa agar manusia mengarahkan softskill-nya yang sudah terasah dengan baik hanya dan hanya ke dunia kerja. Mengapa? Alasannya masih sama dengan prasyarat revolusi industri pertama. Untuk memodelkan kerja yang menggunakan softskill, perusahaan tersebut membutuhkan data yang begitu luar biasa banyaknya. Jika dalam kasus pemintalan benang data yang dibutuhkan hanyalah beberapa variasi pemintalan, maka pemodelan softskill membutuhkan data raksasa (big data).

Kita memang belum tahu kapan para pemodal bisa memunculkan teknologi yang menyingkirkan kerja-kerja softskill. Namun, setidaknya kita, kelas pekerja, masih mempunyai waktu. Bersama-sama kita harus mulai memikirkan bagaimana menggunakan softskill yang kita punya untuk mengarahkan perkembangan teknologi sesuai kepentingan kelas pekerja, bukan hanya menjadi mesin pencetak uang orang-orang superkaya.

Kategori
Kapital Society

Meneladani Ken Arok untuk Melawan Eksploitasi Digital

Kawan saya, Farizqi Khaldirian, mengajak kita untuk memeriksa ulang makna istilah “technology as salvation“. Menurutnya, pemahaman kita saat ini yang menganggap perkembangan teknologi adalah penyelamat karena memudahkan berbagai hal justru membuat kita, manusia, terancam kehilangan eksistensi. Teknologi, khususnya digital, semakin jauh mengendalikan apa yang kita pikirkan dan rasakan. Teknologi semakin bisa mendefinisikan siapa kita, menandai kita dengan angka-angka, lalu merekomendasikan/merayu kita agar membaca, menonton, dan mendengar konten yang menurutnya cocok bagi kita. Ini kemudian menimbulkan pertanyaan krusial: apakah manusia masih punya kendali atas dirinya sendiri, atas hasratnya?

Omong-omong soal kendali, Farizqi juga menyoal kendali teknologi yang masih berada di tangan sekelompok kecil orang yang punya modal besar. Mereka mengendalikan pemanfaatan teknologi dan mendapatkan keuntungan materi yang luar biasa. Sebagian besar manusia yang tidak punya kendali hanya menjadi objek eksperimen dan pemanfaatan teknologi.

Jika fakta di atas diresapi, sebetulnya kita bisa menantang pemahaman kebanyakan orang yang menganggap teknologi canggih terkini, atau biasa disebut teknologi 4.0, muncul akibat pertemuan ide antara para ahli matematika dengan orang-orang imajinatif. Mungkin mereka ingin terlihat romantis dan puitis.

Jika kita memeriksa secara sungguh-sungguh perjalanan sejarah teknologi yang berhasil diproduksi secara luas dan digunakan secara masif di dunia kerja, maka akan terlihat bahwa teknologi muncul karena keinginan pemodal untuk mengefisienkan kinerja perusahaannya. Faktor produksi utama ada 2, bahan baku dan pekerja. Bahan baku bisa diutak-atik kapan saja. Tetapi faktor manusia selalu menjadi masalah sejak revolusi industri pertama bergulir. Manusia bisa malas, bisa berorganisasi lalu protes, dan bisa mogok kerja. Ulah manusia ini tentu saja membuat perusahaan tidak berproduksi maksimal sehingga penumpukan keuntungan pun jadi berkurang.

Para pemodal yang niat utamanya selalu penumpukan kekayaan, terus mencari cara dan inovasi agar manusia bisa cepat diganti oleh teknologi. Lalu apa yang mereka lakukan? Mereka, dengan bantuan pekerja teknologi tentunya, memodelkan pekerja manusia. Cara manusia melakukan pekerjaan dipelajari, dimodelkan, lalu dibuat replikanya. Bergulirnya revolusi industri pertama ditandai dengan keberhasilan pemodelan cara manusia memintal benang. Setelah mesin pemintal berhasil dibuat, pekerja manusia ditendang ke luar pabrik. Cerita kemunculan teknologi di hari-hari selanjutnya, sampai hari ini, juga melalui cara yang serupa. Misalnya, chat bot yang digunakan untuk costumer care. Bahasa, logika, dan empati yang dimodelkan untuk chat bot tersebut berasal dari inovasi para pekerja call center yang telah mempraktikkannya selama bertahun-tahun.

Bukankah ini ironis? Metode kerja yang bertahun-tahun dijalankan oleh manusia, sembari disempurnakan selama ia bekerja, kemudian dibekukan ke dalam perangkat teknologi. Inovasi metode kerja yang dikembangkan oleh para pekerja selama ini diekstrak kemudian dijadikan benda mati. Manusia kelas pekerja dipisahkan dari keahlian dan inovasinya sendiri. Setelah keahliannya berhasil dimodelkan, ia disuruh pergi dan tidak mendapat apa-apa. Padahal para pekerjalah yang menjadi subjek inovasi teknologi.

Pemahaman ini sungguh penting untuk memperjelas debat tentang kepemilikan teknologi. Teknologi milik siapa? Jika mengikuti logika pembual, yang menebar cerita bahwa teknologi 4.0 muncul akibat pertemuan romantis ahli matematika dengan manusia imajinatif, maka kita akan menyimpulkan bahwa para inovatorlah yang memiliki teknologi. Sebaliknya, jika kita menginsafi sejarah teknologi yang sudah diuraikan di atas, jelas kita akan lantang bilang: teknologi milik pekerja!

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Manusia kelas pekerja dipisahkan dari keahlian dan inovasinya sendiri. Setelah keahliannya berhasil dimodelkan, ia disuruh pergi dan tidak mendapat apa-apa. Padahal para pekerjalah yang menjadi subjek inovasi teknologi.”[/mks_pullquote]

Tentu saja kita tidak bisa hanya berhenti di klaim tersebut. Apabila kita hanya mendengung-dengungkan fakta kepemilikan teknologi ini di jalanan dan media sosial, tanpa punya strategi yang harus dilakukan hari per hari, lalu hanya berharap mereka yang berada di kekuasaan menuruti kemauan kita, naif sekali. Mana mau mereka yang berada di posisi enak melepas kenyamanannya? Tindakan ini umumnya disebabkan dua hal. Pertama, ia malas berpikir sehingga tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi. Akibatnya, tidak mampu menyusun strategi. Yang kedua, ia memang muak dengan keadaan, tapi berharap orang lain yang memperbaikinya. Ia tak ingin tangannya kotor dan berdarah-darah.

Agar tidak terjebak dalam mental yang demikian, saya akan mencoba mengurai sedikit hal yang bisa kita lakukan untuk mulai menggembosi kepemilikan teknologi yang semakin sangat sangat timpang ini.

Sebelumnya, izinkan saya sedikit berkisah tentang Ken Arok. Tentu saja berdasarkan versi yang saya percayai. Arok selagi muda menyaksikan eksploitasi yang mengerikan pada orang-orang di sekelilingnya. Penguasa Tumapel merampas hasil pertanian dalam jumlah yang keterlaluan dan ditopang dengan aturan yang dianggap legal. Tentu saja rakyatnya menderita karena hasil kerjanya yang susah payah sebagian besar dijarah.

Tak tahan melihat kondisi tersebut, Arok muda dan kawan-kawannya mencari cara untuk melawan eksploitasi ini. Berteriak-teriak atau membikin keributan di depan istana tentu saja adalah ide yang buruk (kalau bukan misi bunuh diri), karena mereka hanyalah gerombolan pemuda yang kecil jumlahnya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk merampok hasil pertanian itu di tengah jalan, ketika diangkut. Dengan bermodal nyali yang tak tanggung-tanggung, mereka lebih sering berhasil melakukan perampokan. Para prajurit yang mengawal bisa dikalahkan. Hasil rampokan tersebut mereka bawa kembali ke tempat asalnya dan mereka nikmati bersama penduduk.

Kisah perampasan hasil pertanian rakyat Tumapel ini mirip dengan eksploitasi digital hari ini. Jika di Tumapel yang dirampas adalah padi, jagung, dan buah-buahan, maka platform digital menambang data pribadi, film kesukaan, makanan dan minuman favorit, preferensi busana, hingga rasa senang dan sedih yang kita produksi setiap hari. Di Tumapel, hasil penjarahan ditumpuk di pusat kota, tak jauh dari lokasi penjarahan. Sedangkan hari ini data perilaku kita bisa terbang jauh sampai ke Amerika, dan nilai ekonominya diolah tanpa kita mendapatkan bagian yang seimbang.

Kondisi kita hari ini juga mirip Arok muda: tidak punya kekuatan untuk melawan secara langsung pusat kekuasaan yang mengendalikan eksploitasi digital. Sehingga, kita pun bisa meniru cara yang ditempuh Arok. Kita bisa menyusun strategi untuk merampok hasil jarahan di tengah jalan. Arok dan teman-temannya menentukan terlebih dahulu di titik mana mereka bisa merampok dengan mudah. Mereka mengamati setiap titik jalan yang dilalui oleh kereta kuda dan para prajurit penguasa. Kita pun perlu juga pemetaan tersebut, yaitu dengan memahami secara detail bagaimana proses eksploitasi digital berlangsung. Setelah itu, kita bisa menentukan di titik mana kita bisa merampok kembali data-data kita yang dirampas. Ini sungguhlah penting agar kita tidak melulu berharap pada penguasa, yang juga terlibat dan menikmati hasil rampasan, memberikan belas kasihan pada diri kita.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Kita pun bisa meniru cara yang ditempuh Arok. Kita bisa menyusun strategi untuk merampok hasil jarahan di tengah jalan.”[/mks_pullquote]

Untuk bisa memetakan, kita harus tahu dulu struktur digital hari ini seperti apa. Benjamin Bratton, dalam The Stack: On Software and Sovereignty, memodelkan struktur digital seperti gambar berikut:

kredit: arachne.cc

Benjamin Bratton memberi nama The Stack untuk struktur di atas. The Stack secara sederhana bisa dipahami sebagai sebuah struktur komputasi berskala planet yang kemunculannya tidak direncanakan. The Stack punya 6 lapisan: earth, cloud, city, address, interface, dan user.

Ruang artikel ini sangat terbatas untuk menjelaskan keenam lapisan tersebut secara rinci. Oleh karena itu, saya akan menjelaskannya dengan singkat saja. Earth adalah segala materi yang ada di bumi yang digunakan untuk membuat perangkat digital. Misalnya, kobalt yang banyak tersedia di Kongo, yang penambangannya melibatkan anak-anak. Kobalt adalah bahan baku pembuatan baterai litium yang digunakan untuk smartphone dan laptop.

Cloud, walaupun sering dibayangkan sebagai awan, sesungguhnya adalah penyimpanan raksasa yang beberapa di simpan di bawah laut. City adalah tempat saling terhubungnya cloud. Address adalah alamat masing-masing perangkat yang kita gunakan untuk mengakses dunia Stack. Contohnya gampangnya ya IP Address. Walaupun mobilitas badan kita tinggi, jika kita tetap mengunakan IP Address yang sama, bagi The Stack kita tidak ke mana-mana.

Lapisan selanjutnya adalah interface. Ini adalah selaput yang memungkinkan user menikmati apa saja yang berada di dalam cloud. Sedangkan user bisa manusia, bisa juga tidak. Lho, user bisa bukan manusia? Cobalah tengok cara kerja robot saham. Ia membaca pergerakan pasar saham, menganalisisnya, lalu memutuskan menjual atau membeli yang mana.

Sebagian besar manusia hanya bisa mengakses Stack sampai interface. Kita tidak tahu apa yang terjadi di lapisan address, city, cloud, dan earth. Dengan demikian, kita baru bisa melakukan perampokan secara realistis di lapisan interface. Strategi yang harus kita susun ialah merampok kembali nilai ekonomi dari data-data yang kita produksi setiap hari di lapisan ini. Mengapa merampok kembali? Sebab, kita belum bisa mencegah nilai data-data tersebut memasuki cloud. Yang baru bisa kita lakukan adalah ikutan mengolahnya untuk menyusun kekuatan sedikit demi sedikit.

Perampokan kembali nilai ekonomi data-data kita ini penting untuk mempertahankan eksistensi manusia, khususnya kita sebagai kelas pekerja. Sebelum eksistensi ini menguap, seperti yang dikeluhkan oleh Farizqi.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Strategi yang harus kita susun ialah merampok kembali nilai ekonomi dari data-data yang kita produksi setiap hari.”[/mks_pullquote]

Model perampokan kembali yang bisa kita contoh adalah koperasi yang bernama Robin Hood Coop. Koperasi ini berbasis di Finlandia. Kegiatan mereka adalah mengumpulkan uang anggota untuk dimasukkan ke bursa saham Wall Street dengan bantuan robot saham. Keuntungan dari program ini sebagian dibagikan ke anggota, sebagian lainnya digunakan untuk menjalankan program-program yang sesuai dengan visi koperasi. Uniknya, karena berbasis koperasi, pengelolaannya berbeda dengan reksadana. Setiap anggota mempunyai suara, one man one vote. Program yang akan dijalankan oleh koperasi diputuskan dalam rapat seluruh anggota.

Agar lebih jelas, saya akan menceritakan 1 contoh lagi. Beberapa peneliti dan akademisi di Amerika dan Eropa membuat sebuah komunitas bernama Global Center of Advance Studies (GCAS). Komunitas ini bercita-cita membuat sebuah model pendidikan tinggi alternatif. Ini tak lepas dari pengaruh kondisi pendidikan tinggi di Amerika. Seperti kita tahu, di Amerika, karena biaya pendidikan tinggi yang semakin melonjak naik, pemerintah membuat kebijakan yang memungkinkan mahasiswa berutang dulu ke bank. Utang ini nantinya dicicil setelah dia lulus. Akibatnya, banyak sekali mahasiswa yang terlilit utang setelah lulus kuliah. Sebab lapangan pekerjaan semakin sulit, dan jika ada pun, upahnya lebih murah.

GCAS hadir untuk mencoba menyelesaikan masalah ini. Para pemuda yang ingin mengakses pengetahuan di GCAS bisa “membayarnya” dengan berkontribusi di komunitas ini. Bisa dibilang membeli pengetahuan dengan pengetahuan. GCAS memiliki mata uang sendiri, yaitu GCASY yang berupa cryptocurrency. Jadi, strategi yang dipakai memang mengikuti transaksi pendidikan seperti umumnya. Jika kau mampu bayar, kau bisa mengakses pengetahuan yang berkualitas. Bedanya, uang yang dipakai untuk membayar didapatkan dari aktivitas membagi pengetahuan atau berkontribusi memajukan komunitas tersebut.

Yang lebih menarik lagi dari komunitas ini, kontribusi yang dihitung tidak terbatas pada sumbangan ide, desain, mencatat keuangan, atau kerja-kerja organisasi lainnya. Setiap orang bahkan bisa mendapatkan GCASY (mata uang mereka) hanya dengan memberi like, comment, atau share di postingan media sosial GCAS. Ini luar biasa. Mereka berusaha memberikan nilai pada aktivitas kita bermedia sosial.

Mungkin cara yang dilakukan oleh GCAS ini belumlah ideal. Namun, setidaknya mereka sudah berani mencoba model ekonomi digital lain di luar bayangan mainstream yang eksploitatif. Mereka sudah mulai berusaha merampok kembali nilai ekonomi aktivitas digital mereka yang dicuri dan menggunakannya untuk membangun komunitas pendidikan yang lebih adil. Agar tak ada lagi orang yang harus terjerat utang karena ingin belajar.

Hidup semakin berat, melelahkan, dan bikin frustasi. Namun kondisi ini jangan sampai membuat kita terlalu terbuai pada janji-janji dunia ideal yang tidak realistis. Perlawanan pada sistem yang menindas ini tetap perlu cara-cara yang realistis, tapi tak meninggalkan kemampuan berpikir abstrak/imajinasi, seperti 2 contoh di atas tadi. Kelak, jika modal yang kita punya sudah lebih kuat, maka perlawanan yang dijalankan bisa lebih besar. Seperti Arok dewasa yang sudah memiliki pasukan, strategi, dan modal, ia menumbangkan Tunggul Ametung melalui tangan orang lain.

Kategori
Society

Mempertanyakan Eksistensi Diri di Tengah Arus Modernisasi dan Berkembangnya Teknologi

Barangkali kita kadung santai-santai saja atau bahkan berontak hasrat kita lantaran bualan-bualan modernisasi. Yang dimaksud dengan istilah “bualan” ini adalah statement yang “berani-berani takut” untuk melempar klaim bahwa modernisasi sudah cukup banyak merampas lumbung makanan lalu meninggalkan sampah busuk bagi peradaban. Ya, enggak selalu gitu sih. Okelah, tapi di setiap “enggak selalu gitu” biasanya emang ada sampah-sampahnya. Lalu apa yang kita lihat sebagai bualan itu? Oke, kita mulai bongkar khusnudzonnya manusia ini terhadap modernisasi dengan segala atributnya.

Kalau kita bicara soal modernisasi, maka tentu kita akan bicara tentang segala atribut, perangkat (teknologi), budaya beserta macam utilitasnya. Apa yang tak kita sadari adalah, bahwa kita perlahan-lahan dan secara bersamaan sedang memindahkan sentral peradaban dari manusia kepada perangkat modern tadi. Sehingga pelan-pelan kita pun mengalami kebingungan eksistensial tanpa ketemu jawaban. Diperlakukan dengan cara apa kita sehingga manusia bisa mengalami yang demikian? Adalah utilitas dan fungsi yang dijadikan jaminan bagi manusia untuk mencapai imajinasi ideal tentang kehidupan versi mereka. Sementara, apa yang menjadi indikator utilitas tadi? Siapa yang meletakkan indikator tersebut? Berikutnya akan muncul pertanyaan di mana secara eksistensial letak subjek manusia di tengah establish-nya teknologi?

Bagi Heidegger, teknologi merupakan manipulasi, ini bisa diterjemahkan bahwa manusia dan alam sudah memiliki hakikatnya masing-masing, sedangkan teknologi adalah memperantarai keduanya. Ibarat wedhus itu sudah ada dan beranak pinak dari dulu dengan sendirinya, manusia pun ada. Namun, teknologi memberikan akses di antara keduanya sehingga jadilah ternak kambing. Kalau kita perselisihkan dengan budaya hari ini, sesungguhnya ada kebingungan soal relasi antara manusia, teknologi dan alam, atau bahkan manusia, teknologi dan manusia. Heidegger percaya bahwa secara ontologis teknologi telah menggeser pandangan mengenai keberadaan manusia dan makna yang melekat padanya. Pada tahap ini, kita menemukan keadaan terbalik ketika manusia telah menjadi objek yang dimaknai oleh perangkat. Dengan kata lain, keberadaan kita saat ini ditentukan oleh teknologi itu. Kita bisa akui, bahwa sebagian dari subjektivitas yang ada jauh di dalam diri kita, luntur dan lenyap seketika sampai di ujung jari, lantas kemudian teknologi menghadirkan kita sebagai diri yang lain asalkan suitable dengan pola-pola yang ada di antara kerumunan manusia lainnya.

Teknologi berperan dalam membentuk pola-pola dalam peradaban. Manusia pada akhirnya disusun dalam bentuk deretan data-data statistik, nilai-nilai dan spiritualitas disederhanakan dalam angka dan kurva. Sangat mungkin dengan kondisi ini manusia ditata dalam struktur kelas tertentu, atau bahkan muncul kelas-kelas baru dalam relasi sosial ketika manusia dengan mudahnya dicacah, didefinisikan dan dibatasi oleh struktur tersebut. Maka pandangan bahwa “technology as salvation” perlu dipikir ulang kalau kita mau. Ini karena adanya kemungkinan dominasi kelas dalam hal peruntukan teknologi. Tak bisa rasanya bagi kita untuk menjamin bahwa kendali perangkat teknologi mungkin diakses semua kelas sehingga mau tidak mau sebagian di antara manusia yang menjadi objek kendalinya. Anggapan bahwa perangkat dapat mengeliminasi kesenjangan kelas justru berakhir pada manusia kehilangan dirinya sendiri di hadapan komputer. Ketidaknetralan perangkat itu jadi niscaya, dan bahayanya pola pikir kita ngikut-ngikut aja, gimana ndak ngikut? Kita udah dikuasai kok.

Enaknya bagi mereka yang punya kendali infrastruktur teknologi, dengan kata lain mereka punya kendali atas tubuh-tubuh bahkan pikiran manusia lainnya. Ketika manusia sudah bisa dipolakan, atau bahkan di-“angka”-kan, ini artinya sudah ada bayangan berapa angka pula cuan yang masuk ke sakunya. Mungkin dari sinilah muncul apa yang disebut-sebut salvation itu. Betapa komoditas sudah semakin terdiversifikasi dari yang awalnya sesuatu tak bernyawa yang memiliki massa dan relativitas alias materi, kepada manusia, alias manusia yang sudah di-“angka”-kan, alias dialgoritmakan. Dan lagi-lagi kalau bisa dibilang, kita justru menikmati suatu standar nilai yang dikelola oleh sistem dan perangkat di luar tubuh kita yang kemudian disusupkan ke tubuh kita sendiri.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Anggapan bahwa perangkat dapat mengeliminasi kesenjangan kelas justru berakhir pada manusia kehilangan dirinya sendiri di hadapan komputer.”[/mks_pullquote]

Perihal bagaimana pola pikir dan eksistensi bahkan respon bawah sadar manusia bisa dibentuk oleh sistem, mari kita kembali bicara soal utilitas tadi. Siapa sih yang menentukan utilitas itu adalah X atau Y? Tentu saja mereka yang punya kuasa atas perangkat tadi. Kalau kita bicara kebijakan, negara, kalau ngomongin bisnis, konglomerat. Misal kalau kita dihibur dengan suguhan “cepat lagi mudah”, apakah seutuhnya kita nikmati bagi sekadar pemenuhan hasrat diri? Sebagian tentu dinikmati oleh bos-bos pabrik tempat kita bekerja karena produktivitas yang seiring dengan “cepat lagi mudah” tadi. Sebagian orang boleh jadi justru ingin berlambat-lambat dan bermalas-malas lantaran ia sedang nikmat bermain-main dengan imajinasi bebasnya di atas ranjang, tapi diperah paksa dengan manipulasi “cepat lagi mudah” tadi, ya apalagi yang ditawarkan teknologi pada otak kita kalau bukan ini.

Arena permainan kendali teknologi ini, juga tak jauh, bahkan menempel erat pada sistem politik as simple as we say. Politik mengatur segala hal, sudah jelas lah ya. Oke, agak susah menafikan bahwa tujuan besar negara adalah tidak lain stabilitas politiknya. Ini bisa jadi kabar baik di belakang orasi “demi bangsa dan negara”. Di sisi lain, mungkin berselisih dengan nilai-nilai manusia. Amati, bagaimana China melancarkan mass surveillance system untuk mengawasi bagaimana citizens hidup. Negara coba merekognisi kehidupan masyarakat terbatas pada apa yang terlihat olehnya, meskipun dengan segala perangkat teknologi canggih. Ini kemudian jadi inventaris mahal sebagaimana mereka melihat stabilitas merupakan pencapaian yang juga mahal bagi eksistensi negara. Tujuannya adalah meletakkan legitimasi atas bagaimana pemerintahan bekerja. Sehingga, apa-apa yang menjadi hambatan bagi keberlangsungan kekuasaan dengan mudah diantisipasi dengan testruktur, terukur dan sistematis.

Bagi demokrasi, ini agaknya jadi persoalan, lantaran kemungkinan pembatasan ekspresi atas dasar legitimasi tadi. Kalau mau bicara demokrasi yang katanya harus inklusif, itu barangkali bukan berarti menghentikan pertanyaan supaya ia tak perlu lagi menjawab sesuatu semata-mata data dianggap sudah lengkap, mewakili dan menjawab segala pertanyaan. Sekalipun yang demikian itu ada di dalam pikiran masyarakatnya. inklusif mungkin justru harus memungkinkan adanya kecurigaan di antara negara dan masyarakat untuk terus-terusan diperdebatkan dan dipertanyajawabkan. Harus ada kecurigaan dan jawaban intinya, bukan membatasi kecurigaan seolah-olah sudah terjawab. Tapi, teknologi juga lah yang punya peran membangun batasan itu dan lihat saja bagaimana perangkat itu dimanfaatkan bagi sistem politik hari ini.

Bagaimana? Dari sekian pendapat ini, apakah sudah mencium aroma-aroma busuk di tengah peradaban? Kalau tidak, silakan berhenti pada sisi baiknya saja, sisanya anggap saja saya ngawur, anggap saja, karena saya pikir pengaruh itu nyata secara sistemik. Hanya saja sekilas ia tak terlihat, lebih dalam barangkali memang otak kita sudah diporak-porandakan, dengan iming-iming utilitas, “technology as salvation”, imajinasi peradaban riang gembira yang diperjual-belikan dengan atribut etika dan moral.

Kategori
Kapital

Memperjuangkan Dunia Tanpa Kerja

Impian, peluang, tantangan, dan ancaman di era industri 4.0 yang menjadi obrolan publik didominasi oleh narasi yang dibentuk oleh penguasa, baik itu pemerintah maupun gerombolan orang yang punya modal besar (dua kelompok ini seringkali orang yang sama). Coba cek media online, koran, youtube, dan media sosial. Atau kalau perlu tanyakan pada orang di sekeliling kita. Apa yang ia pikirkan saat mendengar istilah industri 4.0? (Jika istilah ini belum familiar baginya, sebut saja Traveloka, Shopee, Tokopedia, dll).

Jawabannya tentu akan beragam. Namun, kemungkinan besar jawaban ini muncul: banyak pekerjaan yang jadi otomatis, tidak butuh manusia, sehingga akan banyak pula orang yang kehilangan pekerjaannya. Jawaban ini bisa jadi tidak muncul jika orang yang kita tanya beruntung bisa lulus dari perguruan tinggi terkemuka dan menguasai beragam keahlian komputer dan digital. Untuk menghindari bias tersebut, tulisan ini akan berbicara tentang orang kebanyakan, yang tidak punya banyak kesempatan (menurut Kemenristekdikti, per tahun 2018, hanya 32,9 persen pelajar yang bisa lanjut belajar ke perguruan tinggi). Ini tentang para pekerja yang cemas dengan masa depan pekerjaannya, juga para pengusaha kecil yang kelimpungan akibat dunia bisnis yang kini teramat cepat berubah akibat teknologi.

Untuk menghadapi era baru ini, para penguasa sudah menggencarkan dongengnya. Misal: “Kini dunia pekerjaan sudah sangat berubah. Lebih giat lagi kalian belajar. Kalau tidak, kalian akan tersingkir dari dunia kerja dan tidak mendapat upah yang kalian butuhkan untuk hidup.” Masalahnya, seperti yang saya uraikan di atas, sebagian besar orang tidak punya kesempatan yang baik. Si penguasa bicara begitu bagai di hadapannya lulusan perguruan tinggi semua. Orang yang lulus dari kampus saja belum tentu secepat kilat menguasai teknologi terbaru. Apalagi sebagian besar orang yang tidak punya kesempatan kuliah.

Justru dongeng si penguasa tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak paham perkembangan teknologi (atau sebetulnya pura-pura?). Perkembangan teknologi hari ini tidak lagi bergerak seperti siput, tapi sudah berlari bagai macan tutul. Coba renungkan betapa pendek jarak antara komputer dan telepon pintar mulai dipakai secara massal (kira-kira butuh 50 tahun) dibandingkan dengan mesin uap dan tenaga listrik (butuh sampai 2 abad). Dongeng penguasa, yang cuma menyemangati pekerja agar terus belajar teknologi baru, bagai menyuruh orang pincang mengejar macan tutul. Mereka tahu pasti tidak terkejar.

Agar kita, yang orang pincang ini, tidak terus-terusan berharap bisa mengejar macan tutul, ada baiknya kita menyusun agenda juga. Sebuah rencana yang perlu diwujudkan agar surga teknologi tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang punya modal besar, sementara para pekerja dan pengusaha kecil diperas terus keringatnya atau disingkirkan karena sudah tak lagi bisa dihisap. Teknologi seharusnya bisa membebaskan manusia dari eksploitasi, dan hidup lebih sejahtera.

Beberapa poin agenda yang akan diurai di bawah ini tidak bisa diwujudkan secara terpisah, mesti diusahakan bersama-sama.

Agenda ini bukanlah ide saya. Saya menyusunnya berdasarkan hasil bacaan, amatan, dan pengalaman. Buku yang paling banyak dijadikan referensi di tulisan ini ialah Inventing the Future: Postcapitalism and a World Without Work karya Alex Williams dan Nick Srnicek.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”20″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Sebuah rencana yang perlu diwujudkan agar surga teknologi tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang punya modal besar, sementara para pekerja dan pengusaha kecil diperas terus keringatnya atau disingkirkan karena sudah tak lagi bisa dihisap.”[/mks_pullquote]

Tulisan ini saya rasa masih banyak cacatnya. Oleh karena itu, kritik pada tulisan ini sangat dinanti. Biar rencana ini bisa terus diperbaiki, dan tentunya dilaksanakan. Berikut poin-poinnya:

1. Serahkan sebanyak mungkin pekerjaan pada robot

Sebuah pernyataan ironi yang sering dilontarkan akhir-akhir ini, bahkan oleh pengurus universitas sekalipun: awas, robot akan merebut pekerjaanmu, dan kau terancam jadi pengangguran!

Mengapa ironi? Karena seharusnya kita, para pekerja, berbahagia saat robot semakin cerdas dan menggantikan rutinitas kerja. Kalau biasanya kita sudah harus di tempat kerja pagi-pagi, ini sudah ada robot yang bahkan tak perlu pulang dari kantor atau lokasi kerja. Robot pun bisa bekerja sepanjang hari, tanpa libur, tanpa istirahat. Produktivitas ekonomi akan melonjak.

Sementara robot bekerja untuk kita, maka kita pun bisa mengerjakan hal lain. Misalnya piknik bareng keluarga, main game, bersetubuh, ibadah, memotret gurita, bertapa, dll. Intinya, masih banyak hal lain yang bisa kita lakukan selain bekerja.

Robot bukanlah musuh pekerja seperti dongeng penguasa. Sebaliknya, robot 4.0 adalah alat yang bisa kita gunakan untuk menghentikan eksploitasi pada diri kita di dunia pekerjaan. Perlu diingat, pasangan abadi kapitalisme adalah eksploitasi. Tidak ada kapitalisme tanpa eksploitasi. Walaupun kelompok yang diuntungkan oleh sistem kapitalisme menyusun program kesejahteraan bagi kelompok yang terpinggirkan, bukan berarti eksploitasi yang terjadi bisa dianggap selesai atau termaafkan. Eksploitasi tetaplah eksploitasi. Nah, solusi yang bisa kita lakukan adalah mengganti yang selama ini dieksploitasi (manusia pekerja) dengan robot.

Baca juga: Algoritma Akan Mengambil Alih Pekerjaan Manusia

Lagipula, bukankah perlu diakui bahwa bekerja adalah kebutuhan, bukan keinginan? Selama beberapa abad, sebagian besar manusia harus bekerja biar bisa hidup. Beberapa orang mungkin beruntung pekerjaannya adalah kegiatan yang memang ia suka (yah… walaupun ini juga menyedihkan karena nilai lebih dari kegiatan yang ia suka harus dirampas orang lain). Namun, lagi-lagi, sebagian besar orang tidak punya kesempatan semacam itu sehingga mau tak mau harus menggemari pekerjaannya agar terus hidup. Belum lagi orang yang harus gonta-ganti pekerjaan (serabutan) karena faktor-faktor di luar kendalinya.

Pertanyaannya, apakah mungkin sebagian besar pekerjaan yang ada saat ini diserahkan pada robot? Jenis pekerjaan bisa dibagi menjadi 3, yaitu pekerjaan fisik, pikiran, dan perasaan. Contoh masing-masing pekerjaan tersebut ialah tukang gali, analis keuangan, dan pengasuh anak. Mudah sekali untuk mengatakan bahwa pekerjaan fisik dan pikiran bisa diserahkan pada robot, karena saat ini kita sudah menyaksikannya. Robot sudah mampu mengantar makanan, memberikan rekomendasi keuangan, bahkan menulis berita.

Perdebatannya masih akan panjang untuk pekerjaan yang membutuhkan perasaan, seperti mengasuh anak. Apakah di masa depan robot bisa punya perasaan? Pertanyaan ini masih sulit dijawab karena manusia pun belum paham betul apa itu perasaan. Namun, seperti yang dinyatakan oleh Yuval Noah Harari di 21 Lessons for the 21st Century, robot/algoritma tidak perlu punya perasaan untuk menggantikan manusia di bidang pekerjaan ini. Robot hanya perlu sedikit lebih baik daripada sebagian besar manusia. Jika pelayanan perawat robot di rumah sakit sudah lebih minim kesalahan daripada perawat manusia, apalagi kalau pasien lebih puas pada pelayanan si robot, dan walaupun si robot tak punya perasaan, mungkin manusia sepakat menggunakannya.

Namun demikian, walaupun robot sudah lebih minim kesalahan, masih ada hambatan etis. Rasanya masih banyak manusia yang tidak akan rela anaknya diasuh oleh robot. Akan jadi apa anak itu jika sebagian besar waktu di masa pertumbuhannya dihabiskan bersama robot? Bisa jadi pertanyaan ini terus menghantui kita. Tak mengapa. Dan sebetulnya, jika pekerjaan fisik dan pikiran sudah diambil alih oleh robot, kita akan punya lebih banyak waktu bersama anak, pasangan, dan orang tua kita. Ini adalah salah satu keuntungan yang kita dapat saat sebagian besar pekerjaan jadi otomatis. Sebab sudah terlalu lama manusia mesti kehilangan banyak waktu bersama keluarga dan teman karena harus bekerja.

Ada dua hal yang akan menghambat agenda ini. Pertama, upah pekerja yang sangat murah. Buat apa perusahaan negara dan swasta merelakan waktu dan uang untuk mengatur ulang sistem kerja agar bisa mempekerjakan robot saat mereka bisa terus menggunakan tenaga murah manusia? Oleh karena itu, usaha menyerahkan pekerjaan pada robot mesti dibarengi desakan pada pemerintah agar menaikkan upah buruh. Minimal sampai perusahaan berpikir ulang jika mau menggunakan tenaga manusia. Sederhananya, nilai tenaga manusia harus lebih tinggi daripada robot.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”20″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Sebab sudah terlalu lama manusia mesti kehilangan banyak waktu bersama keluarga dan teman karena harus bekerja.”[/mks_pullquote]

Yang kedua, berdasarkan pengalaman, perusahaan butuh waktu yang lama untuk menerapkan terobosan teknologi terbaru. Misalnya, pada tahun 1990-an, saat inovasi di bidang teknologi informasi bergairah, dunia bisnis sangat lamban memanfaatkannya. Kira-kira butuh sampai 15 tahun di negara maju. Ini memang bisa dimaklumi karena perusahaan butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Organisasinya perlu diatur ulang, pekerjanya harus belajar keahlian baru, dan proses produksinya mesti disesuaikan agar teknologi yang digunakan efektif. Jika penerapan teknologi informasi di dunia bisnis saja lambat, bagaimana dengan teknologi 4.0 yang lebih kompleks?

Selain hambatan teknis ini, perusahaan kan juga perlu mempertimbangkan perputaran uang. Target jangka pendek dalam bisnis mereka harus tercapai agar bisa terus hidup. Dengan demikian, walaupun penerapan teknologi terbaru akan membuat hidupnya lebih panjang, perusahaan perlu meyakinkan diri dulu, apakah investasi uang dan waktu demi penggunaan teknologi tidak akan membuatnya jatuh ke lubang kebangkrutan?

Oleh karena itu, harapan agar sebanyak mungkin pekerjaan menggunakan tenaga robot sulit terjadi akibat proses ekonomi. Agenda ini harus digerakkan oleh kebijakan politik. Negaralah yang harus melaksanakannya. Apa yang bisa dilakukan oleh negara? Perbanyak investasi di bidang penelitian dan penerapan teknologi demi menggantikan sebanyak mungkin manusia di dunia kerja. Hal ini memang bertentangan dengan langkah pemerintah hari ini yang menempuh berbagai cara agar investasi bisa membuka sebanyak mungkin lapangan pekerjaan. Masalahnya, seberapa banyak lapangan pekerjaan yang bisa disediakan bagi manusia di hari depan? Dan misalnya pun jumlahnya masih lumayan, bisa bertahan berapa lama?

Mari kita ingat kembali si manusia pincang yang disuruh mengejar macan tutul.

2. Kurangi jam kerja

Ada 4 keuntungan bagi para pekerja jika agenda kedua ini terlaksana. Pertama, pelimpahan pekerjaan pada robot (otomatisasi), yang sudah dibahas di poin 1, akan semakin cepat. Seperti upah murah, jam kerja normal saat ini (8 jam 5 hari) juga menghambat otomatisasi. Walaupun para penguasa, pengusaha, dan tentunya pekerja tahu bahwa saat ini banyak sekali pekerjaan yang bisa diselesaikan lebih singkat dengan adanya teknologi, tapi aturan jam kerja yang ada masih dianggap sebagai kewajaran. Sedikit sekali yang mempermasalahkannya. Bahkan, antar-pekerja sendiri, masih saja ada semacam persaingan untuk lama-lamaan bekerja, sambil memandang sinis pekerja yang pulang tepat waktu. Situasi semacam ini sulit mendorong dunia pekerjaan agar secepatnya menerapkan ragam teknologi terbaru. Ngapain juga? Sudahlah upah pekerja murah, jam kerjanya masih panjang sehingga terus bisa diperas maksimal.

Yang kedua, beban lingkungan akan berkurang. Kegiatan manusia dalam bekerja membutuhkan banyak sekali energi yang memproduksi emisi. Mulai dari berangkat kerja hingga pulang ke rumah. Pas berangkat, sebagian besar pekerja memakai kendaraan (yang energinya dari minyak atau listrik, sama saja); sampai kantor, minimal memakai listrik dan air; pas pulang, pakai kendaraan lagi. Jika jam kerja berkurang, energi yang digunakan pun akan berkurang.

Baca jugaCita-Cita Freelance

Keuntungan ketiga ialah kesehatan mental pekerja akan lebih baik. Tingkat kecemasan dan stres yang dialami pekerja akan menurun. Rutinitas pekerja dan deretan tuntutan dari kantor memicu rasa cemas dan stres yang bisa jadi tidak disadari oleh sebagian pekerja karena kedatangannya yang sedikit demi sedikit. Namun, seperti kata pepatah, lama-lama bisa jadi bukit. Untungnya, manusia secara natural mempunyai keluarga dan teman yang bisa menjadi tempat mengikis stres dan rasa cemas.

Akan tetapi sungguh ironis, usaha pekerja dalam menjaga kesehatan mentalnya dan orang-orang yang membantunya, digunakan secara gratis oleh perusahaan. Kok bisa? Mari kita lihat sebuah keluarga yang suaminya bekerja dan istrinya mengurus keperluan rumah (bentuk yang masih dominan di Indonesia, dan mungkin, dunia). Di pagi hari, sang suami cukup mengerahkan tenaga untuk bangun, mandi, berpakaian, dan siap-siap sarapan. Ia tidak perlu memasak, mencuci piring, dan mungkin juga tidak perlu nyapu. Ini bukan berarti ia tidak mau membantu istrinya, tapi pekerjaan tersebut akan membuat ia tergesa-gesa ke kantor, cemas di perjalanan, dan stres saat mendapati dirinya terlambat presensi di kantor. Karena bantuan dari istrinyalah, ia bisa lebih tenang dalam perjalanan dan kadar stresnya tidak naik signifikan. Perusahaan tentu senang jika pekerjanya datang tepat waktu dengan kondisi fisik dan mental yang prima. Tidak hanya senang, perusahaan sangat bergantung pada hal ini. Jika pekerja datang terlambat, apalagi kalau pikirannya mumet, produktivitas perusahaan terganggu. Target bisa meleset. Pemasukan pemilik perusahaan menjadi berkurang.

Sialnya, pekerjaan si istri tadi tidak dibayar oleh perusahaan. Secara umum, saat ini perusahaan hanya membayar hasil kerja (produktivitas) pekerjanya saja. Pekerjaan reproduksi seperti yang dilakukan oleh si istri dianggap bukan urusan perusahaan.

Pengurangan jam kerja, dengan demikian, juga merupakan usaha untuk membayar aktivitas yang selama ini tidak dianggap kerja, yaitu pekerjaan rumah yang umumnya dilakukan oleh para istri. Misalnya, sang suami cukup bekerja Senin sampai Kamis, tanpa pengurangan gaji. Di hari Jumat, ia bisa menggantikan istrinya menuntaskan pekerjaan rumah atau piknik bersama istrinya sambil dibayar oleh perusahaan.

Baca jugaWisuda Kampus Penyumbang Kerusakan Lingkungan

Yang terakhir, dan sebetulnya paling penting, pengurangan jam kerja akan memperkuat organisasi kelas pekerja. Cita-cita dan konsep semolek apapun baru bisa terealisasi jika didiskusikan lalu diterapkan. Agar penerapannya efektif dan sesuai dengan target yang diharapkan, maka perlu dijalankan oleh organisasi yang profesional.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”20″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Secara umum, saat ini perusahaan hanya membayar hasil kerja (produktivitas) pekerjanya saja. Pekerjaan reproduksi seperti yang dilakukan oleh si istri dianggap bukan urusan perusahaan.”[/mks_pullquote]

Sejauh pengamatan saya, organisasi kelas pekerja kerap kali kehabisan tenaga untuk konsisten memperjuangkan program-programnya. Sebab anggotanya masih perlu menyerahkan tenaga dan pikirannya dari Senin sampai Jumat di tempat kerja. Hanya tersisa 2 hari, Sabtu dan Minggu, yang bisa digunakan secara penuh untuk mengurus organisasi. Para pekerja yang lain memilih untuk tidak aktif dalam organisasi pekerja karena merasa sudah terlalu capek badan dan pikiran bekerja 5 hari penuh.

Pengurangan jam kerja bisa diterapkan dalam dua model: kurangi durasi kerja dalam satu hari atau kurangi hari kerja. Lebih enak yang mana? Tentu ini relatif. Namun, jika mempertimbangkan dampaknya terhadap perkuatan organisasi kelas pekerja, pengurangan hari kerja lebih baik. Akan ada satu hari penuh yang bisa dimanfaatkan para pekerja untuk saling berbagi cerita dan merancang agenda bersama.

3. Terapkan gaji dasar

Apabila agenda pertama dan kedua tercapai, yaitu sebanyak mungkin pekerjaan telah diserahkan ke robot dan jam kerja dikurangi (tapi ingat, tujuan besarnya adalah tidak harus bekerja sama sekali), maka kita akan punya banyak sekali waktu luang dan pilihan untuk melakukan apapun yang kita suka. Namun, ini tidak akan ada artinya jika kita tidak punya penghasilan tetap. Waktu melimpah yang dimiliki seorang pengangguran hari ini, misalnya, bukan waktu luang yang kita idam-idamkan, bukan? Walau sepintas terlihat memiliki banyak sekali waktu luang, tapi karena ia tidak punya uang untuk hidup, maka hari demi hari ia lalui dengan bekerja serabutan demi melanjutkan hidup.

Oleh karena itu, agenda ketiga ini juga sangat penting, yaitu mengatur sistem agar semua orang mendapatkan gaji dasar. Yang dimaksud gaji dasar ialah gaji tetap yang diberikan kepada seseorang tanpa bekerja. Beberapa negara yang sudah mulai mencoba menerapkan model semacam ini menyebutnya dengan istilah universal basic income (UBI). Tentu saja, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar tujuan agenda ini benar-benar tercapai.

Pertama, gaji dasar harus diberikan kepada semua orang, tanpa terkecuali. Jadi tidak seperti BLT (bantuan langsung tunai) yang hanya ditargetkan kepada sekelompok orang dengan kriteria tertentu. Mulai dari orang yang paling miskin hingga yang paling kaya, semuanya harus dapat, tanpa syarat. Ini juga termasuk upaya untuk meniadakan penyelewengan dana seperti yang terjadi pada BLT. Sudah jamak kita dengar tentunya bahwa dana BLT seringkali tidak sampai pada penerima yang berhak. Jika semua diputuskan dapat gaji, perdebatan apakah si ini lebih miskin daripada si itu, yang memberi celah penyelewengan, tidak akan terjadi lagi.

Memang, ada semacam ego dari para pejabat yang merasa bisa mengatasi penyelewengan bantuan dengan menggunakan teknologi terkini, misalnya big data analysis (analisis data raksasa) dan artificial intelligence (kecerdasan buatan). Namun, algoritma punya bias. Manusia yang menyusun algoritma mempunyai beragam stereotip, sehingga kode-kode yang ia susun akan ditulari berbagai keyakinan subjektif yang melekat pada dirinya atau pihak yang memesan desain padanya. Centrelink Scandal di Australia yang menyebabkan lebih dari 400.000 orang punya hutang pada Centrelink karena sebagian besar keputusan diserahkan pada algoritma yang disusupi pola pikir diskriminasi, mestinya meredakan ego semacam ini.

Baca jugaPemuda Seperti Apa yang Mengucap Sumpah Oktober?

Yang kedua, gaji dasar harus mencukupi kebutuhan hidup yang layak. Maksudnya, gaji yang diberikan bukan hanya cukup untuk hidup seadanya. Tapi bagaimana kita mengukur hidup yang layak? Ini memang pertanyaan yang bisa bikin terjerumus. Biar tidak terperosok, lagi-lagi kita perlu membedakan mana yang merupakan kebutuhan dan keinginan lebih. Bukankah kebutuhan itu juga bisa subjektif? Betul. Namun, kita bisa menggunakan hasil penelitian (sehingga objektif) tentang apa itu hunian layak, makanan bergizi, pakaian layak, dan kebutuhan dasar hidup lain. Perlu ditekankan lagi di sini bahwa ini bukan berarti semua orang dipaksa hidup dalam kondisi yang sama (sebelum dituduh sebagai ajakan untuk mendirikan negara komunis versi propaganda film Hollywood). Setiap usaha tetap dihargai. Jika kamu memilih bekerja dua hari dalam satu minggu – padahal tanpa bekerja pun kamu sudah bisa hidup layak, maka keringatmu selama dua hari itu tetap harus dibayar. Jangan mentang-mentang karena kamu sudah punya gaji dasar, kalau kamu memilih bekerja (karena bosan piknik, misalnya), terus perusahaan/negara nggak mau bayar kamu lagi.

Besarnya gaji dasar tentu akan berbeda-beda sesuai dengan wilayah tinggal. Karena toh, kenyataannya saat ini biaya hidup di masing-masing kota berbeda. Beberapa orang mungkin akan berpikir bahwa hal ini bisa memicu masalah baru, yaitu manusia akan semakin menumpuk di kota-kota besar. Apabila melihat situasi saat ini, ketika kota-kota besar semakin padat saja, sepintas argumen ini ada benarnya. Namun, jika diamati lebih dalam, manusia berbondong ke kota karena uang hanya berputar-putar di kota saja. Walaupun biaya hidup di kampung jauh lebih rendah, tapi tetap saja namanya biaya kan butuh uang. Belum lagi penghancuran lahan hidup di desa yang masif belakangan ini, demi menjaga roda produksi perusahaan-perusahaan raksasa terus berputar. Semakin banyak orang yang tidak punya pilihan lain selain mengais-ngais uang di kota.

Gaji dasar bisa menjadi solusi untuk mengurai kepadatan penduduk.

Yang terakhir, program gaji dasar harus dipisahkan dari subsidi. Ketika mendiskusikan model gaji dasar, beberapa orang mungkin akan berpikir, bagaimana jika berbagai subsidi yang kini dilaksanakan oleh negara (bahan bakar, pendidikan, tiket perjalanan, kesehatan, hingga listrik) digabung saja dengan gaji dasar, sehingga subsidi bentuknya tidak lagi berupa pelayanan, tapi langsung berbentuk uang yang digabung dengan nilai gaji dasar? Lebih simpel. Jadi, uang yang akan diterima oleh rakyat akan tambah besar (gaji dasar + uang subsidi). Ide ini bermasalah. Sebab, mengubah bentuk subsidi menjadi uang tunai yang langsung diberikan kepada rakyat akan membuat pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang sebelumnya dikelola oleh negara beralih pada pihak swasta. Bayangkan saja subsidi pendidikan yang bentuknya pelayanan negara diubah menjadi uang tunai lalu diberikan ke setiap kepala. Dampaknya, negara tidak mampu lagi memberikan layanan pendidikan (karena sudah tak punya dana). Layanan pendidikan swasta yang berprinsip pasar bebas (siapa yang bayar lebih banyak, ia yang dapat lebih bagus) akan tumbuh subur dan menjadi pilihan satu-satunya bagi rakyat. Ini bukannya menyelesaikan masalah malah nambah masalah.

Baca jugaPengalaman Bekerja di Jogja yang UMRnya Segitu-Gitu Aja Tapi Disuruh Bersyukur

Saya yakin pembaca pasti bertanya-tanya, memangnya duit dari mana buat anggaran gaji dasar? Penjelasannya akan panjang sehingga tidak memungkinkan untuk diurai di artikel ini. Namun saya akan menyederhanakannya, ya… walaupun brutal.

Sebetulnya tinggal kita pegang erat-erat pemahaman bahwa setiap ada pekerjaan yang sukses diserahkan pada robot, maka gaji yang selama ini dibayar ke pekerja, harus tetap diberikan padanya. Bukan malah pekerjanya diusir terus dipaksa mencari pekerjaan baru. Nah, bisa dibayangkan kan dari mana uangnya? Ya dari gaji yang selama ini didapatkan oleh pekerja. Lalu bagaimana dengan pengangguran? Patut kita ingat, saat robot yang bekerja, produktivitasnya berkali-kali lipat daripada manusia, sehingga nilai ekonomi yang dihasilkan juga jauh lebih besar. Akan lebih banyak transaksi di Tokopedia daripada di Matahari dengan demand yang sama. Akan lebih banyak kendaraan yang lewat di gerbang tol dengan sensor (atau malah tidak perlu lagi gerbang) daripada dijaga manusia. Akan lebih banyak urusan perizinan yang rampung dengan robot birokrasi daripada manusia birokrasi.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”20″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Sebetulnya tinggal kita pegang erat-erat pemahaman bahwa setiap ada pekerjaan yang sukses diserahkan pada robot, maka gaji yang selama ini dibayar ke pekerja, harus tetap diberikan padanya.”[/mks_pullquote]

Contoh di atas kemungkinan besar bikin sebagian orang bertanya: memangnya teknologi itu punya siapa? Kok enak banget pekerja yang udah nggak relevan skill-nya tetap dikasih uang dengan alasan ada robot yang menggantikannya. Memangnya robot punya dia? Bukankah ini tidak menghargai pemilik perusahaan yang sudah berinovasi sedemikian kerasnya agar kerja-kerja di tempatnya menjadi otomatis?

Pertanyaan tersebut bisa muncul jika kita beranggapan bahwa inovasi teknologi terjadi murni hanya karena peran swasta. Seakan-akan Ruang Guru, Gojek, KoinWorks, Bukalapak, dll bisa muncul dengan sendirinya tanpa ada peran negara. Padahal, infrastruktur dasar yang digunakan oleh perusahaan teknologi hari ini disediakan oleh negara dan, tentunya, dari uang rakyat. Hanya negaralah yang bisa membangun infrastruktur teknologi jangka panjang tanpa tuntutan kesehatan arus keuangan. Hanya negara yang bisa dengan santainya membangun hal-hal yang tidak langsung berguna dalam waktu dekat dan bisa tahan diomeli oleh “investor”nya, yaitu rakyat.

Selain contoh penjelasan sederhana ini, kita juga bisa mempertimbangkan saran dari para peneliti. Mereka, misalnya, menyarankan pembiayaan gaji dasar berasal dari peningkatan nilai pajak bagi konglomerat, pengurangan program pemerintah yang tumpang tindih, pajak produksi karbon, hingga pemotongan anggaran militer.

4. Periksa ulang budaya kerja

Poin 1 sampai dengan 3 berhubungan dengan politik dan ekonomi. Poin 4 ini berhubungan dengan budaya, sehingga saya rasa tantangannya lebih sulit.

Kapitalisme yang berjaya selama beberapa abad di muka bumi ini membikin sebagian besar manusia berpikir bahwa aktivitas kerja mustahil dipisahkan dari hidup. Jika ingin hidup, haruslah bekerja. Sangat jarang orang dengan lantang berseru bahwa semua manusia bisa hidup tanpa harus bekerja.

Berbagai macam pembenaran digunakan oleh manusia untuk mengokohkan asumsi ini. Salah satunya agama.

Agama, secara implisit, mengajarkan pada manusia bahwa tidak apa-apa menderita di muka bumi, nanti di surga kau bisa menuruti segala hasratmu. Bahkan hasrat paling liar sekalipun. Asalkan, ketika masih di bumi, kau singkirkan dulu jauh-jauh hasrat yang tidak sesuai dengan ajaran agamamu. Walaupun suatu saat kau sadar bahwa kau menderita karena telah berkali-kali merepresi hasrat terdalammu, sebab melanggar aturan agama, norma masyarakat, ideologi negara, tetaplah ingat bahwa nanti kau bisa melampiaskan semuanya di surga.

Keyakinan semacam ini (menderita dahulu, bersenang-senang nanti) juga dipakai oleh manusia dalam memandang dunia kerja. Walaupun sudah dieksploitasi habis-habisan, mulai dari tenaga fisiknya (menggali tanah), pikirannya (membuat rencana pemasaran), hingga perasaannya (kisah sedihnya di twitter dijual), sebagian besar manusia tetap memandang ini sebagai keniscayaan. Sampai-sampai tidak terpikirkan untuk menghadirkan surga di bumi.

Apakah kita benar-benar sudah kehilangan imajinasi dunia tanpa kerja? Sebetulnya tidak. Diam-diam kita memimpikan berada di situasi yang sudah tak perlu lagi memikirkan isi dompet. Istilah kerennya, financial freedom. Seperti anak cucu konglomerat yang bisa bebas menentukan “malam minggu”nya jatuh di hari apa. Untuk mencapai situasi ini, ada yang bekerja sekeras mungkin, ada yang karena saking tak sabarnya, ia korupsi. Maksud korupsi di sini bukan hanya tentang aktivitas mengembat duit rakyat, tapi juga mengorupsi hasrat dan mimpi yang ada pada dirinya, mengembosinya pelan-pelan dengan alasan menerima realita, sambil berharap ada nabi yang datang membawa perubahan.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan kalimat berikut: tidak ada ratu adil yang akan datang menolong kita. Perubahan harus kita perjuangkan bersama.

Kritik dan sanggahan sila kirim ke dandyidwal@gmail.com

Kategori
Kapital

Algoritma Akan Mengambil Alih Pekerjaan Manusia

Algoritma kini ada di mana-mana. Telepon pintar, internet, media sosial, hingga jam tangan pintar semuanya memakai algoritma. Ketika kamu membuka Twitter, Instagram, atau Facebook, postingan teratas mungkin kebanyakan berasal dari teman-temanmu, atau orang-orang yang postingannya sering disukai dan dikomentari olehmu. Itu semua adalah hasil algoritma.

Sederhananya, algoritma adalah deretan logika matematika yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk perintah tertentu. Orang yang membuat algoritma biasanya disebut programmer.

Algoritma hingga hari ini sudah membuat banyak manusia kehilangan pekerjaannya. Penjaga pintu tol, teller bank, agen perjalanan, adalah beberapa contohnya. Namun demikian, sebetulnya kebanyakan dari kita masih yakin manusia tidak akan pernah digantikan sepenuhnya oleh algoritma dalam dunia pekerjaan. Alasannya, manusia mempunyai perasaan, empati, dan pengetahuan etis, sementara algoritma tidak. Benarkah demikian?

Justru karena manusia punya perasaan (emosi), ia punya kelemahan. Ia cenderung menuruti emosinya, daripada kebajikan-kebajikan yang bertahun-tahun diajarkan oleh orang tua, guru, dan tukang dongeng, Apalagi di saat tertekan. Mengapa begitu? Sebab emosi di dalam diri manusia adalah hasil evolusi berjuta-juta tahun dalam menghadapi seleksi alam, hingga akhirnya ia menguasai alam bawah sadar manusia dalam mengambil keputusan.

Sementara itu, algoritma tidak mengalami evolusi. Ia tidak dibebani emosi yang mengganggunya dalam mengambil keputusan. Ia patuh pada kode-kode yang membentuknya.

Mari ambil contoh. Seorang manusia sedang mengendarai mobil. Tiba-tiba, beberapa meter di depannya ada anak kecil mengejar bola yang menggelinding ke jalan. Manusia ini hanya punya 2 pilihan: menabrak si anak kecil karena sudah tak sempat mengerem, atau berpindah jalur untuk menghindar dengan risiko tertabrak kendaraan dari arah berlawanan.

Jika kamu yang menyetir mobil, pilihan mana yang kamu ambil? Kalau kamu menjawabnya sekarang (saat membaca tulisan ini), mungkin kamu mengambil pilihan kedua. Namun, jika kamu benar-benar sedang di dalam mobil itu, bisa jadi kamu malah memutuskan untuk menabrak si anak kecil. Ini bukan berarti kamu egois. Tapi reaksi-reaksi kimia di dalam dirimu sudah terbiasa mengambil pilihan untuk tetap bertahan hidup selama berjuta-juta tahun berevolusi.

Berbeda dengan manusia, algoritma tidak punya tuntutan untuk bertahan hidup. Ia hanya manut pada kode-kode yang ditulis programmer dengan bantuan filsuf. Kode-kode ini pasti tidak sempurna. Pasti ada kesalahan di sana-sini. Namun, jika algoritma dalam mobil tanpa pengemudi sudah terbukti bisa mengurangi jumlah kecelakaan daripada supir manusia yang tersandera emosi, maka manusia akan sepakat memakai algoritma sebagai supir baru mereka.

Dan ini berlanjut ke bidang pekerjaan yang lain.

Kategori
Beranda

Menyelamatkan Polisi di Perempatan

Sumber: ANTARA

Pagi hari, di simpang empat Kentungan, Sleman, empat polisi lalu lintas berjaga di empat lengan jalan. Ketika lampu hijau masih menyala untuk arus lengan Selatan (arah dari UGM), polisi menghentikan laju kendaraan. Kemudian, polisi yang berada di lengan Timur (arah dari UPN “Veteran”) menginstruksikan kendaraan untuk segara melaju. Padahal, lampu merah di lengan tersebut masih menyala. Polisi melakukan hal ini karena lengan Barat (arah dari Jombor) sudah macet panjang. Dengan mempercepat giliran, harapannya, kemacetan di ruas Barat dapat segera terurai. Volume kendaraan dari arah Barat memang besar di pagi hari.

Dari kasus ini muncul pertanyaan, apakah pengaturan waktu lampu lalu lintas perempatan tersebut tidak sesuai dengan kondisi di lapangan?

Untuk menentukan pembagian lama waktu lampu lalu lintas, para insinyur mula-mula mengambil data jumlah, jenis, dan kecepatan kendaraan yang lewat di masing-masing lengan suatu simpang. Lebar jalan yang menuju simpang juga diukur, sebagai salah satu parameter kapasitas jalan tersebut. Jumlah bangunan dan jenisnya di sekitar jalan juga menjadi catatan. Sebab, ia punya potensi mengganggu kinerja simpang. Para insinyur menyebutnya dengan istilah hambatan samping.

Perilaku pengendara juga menjadi data yang sangat penting dalam proses manajemen simpang. Aksi para pengendara sepeda motor yang gigih mencari celah di antara mobil sebetulnya adalah hal positif di satu sisi. Mereka membuat kinerja jalan tersebut menjadi efektif. Jadi, antrean kendaraan tidak terlalu panjang. Beda dengan mobil yang tidak bisa digunakan selincah itu. Walaupun, tentu saja keputusan terlalu nekat menerobos celah sempit lalu menyenggol spion mobil juga perlu kita kurangi. Setidaknya, bila suatu ketika kita sedang khilaf menyenggol spion mobil orang, menolehlah dan berikan tanda permohonan maaf.

Baca juga: Punya Garasi Dulu, Baru Beli Mobil 

Keputusan para pengemudi yang nekat menerobos lampu kuning, bahkan lampu merah yang baru nyala, secara teknis juga menambah keberkahan. Kenekatan kita membuat performa jalan tersebut meningkat. Jalan itu bisa lebih banyak meloloskan kendaraan tiap satu siklus lampu hijau. Meskipun keselamatan seharusnya tetap menjadi perhatian utama.

Setelah semua data terkumpul dan terkoreksi, para insinyur mensimulasikan data tersebut menggunakan software. Analisis dari software tersebut menghasilkan pembagian lamanya lampu hijau, kuning, dan merah untuk tiap-tiap lengan simpang. Jadi, apabila kita sedikit kesal, mengapa lengan Timur simpang MM UGM (dari arah Lembah UGM) lampu hijaunya singkat sekali? Itu berasal dari pertimbangan teknis. Lengan tersebut lebih lebar dari tiga lengan lainnya. Sehingga, lebih banyak kendaraan yang lolos dari simpang untuk waktu yang sama dibandingkan lengan yang lain. Selain itu, apabila lampu hijau di lengan Timur itu terlalu lama, maka antrean kendaraan di lengan Selatan (arah dari Mirota Kampus) dan lengan Utara (arah dari Kaliurang) menjadi terlalu panjang. Jadi, pembagian waktu tunggu tersebut sudah diusahakan adil. Maka, marilah lebih bersabar jika berkendara di jalan tersebut. Berilah jalan bagi pengendara yang ingin belok kiri langsung. Jangan diserobot.

Agar tulisan ini nyambung dengan judulnya, mari kita kembali ke pembahasan mengenai polisi. Keputusan polisi menyuruh pengendara dari lengan Timur melaju sebelum waktunya memang berasal dari insting yang subjektif. Polisi menganggap antrean kendaraan di lengan Barat sudah terlalu panjang. Namun, hal itu menunjukkan pembagian waktu lampu lalu lintas di simpang tersebut tidak efektif saat pagi hari. Sehingga, para insinyur perlu mempertimbangkan variasi arus lalu lintas setiap harinya. Tentunya, jumlah kendaraan saat pagi hari, siang, dan malam berbeda-beda. Pembagian waktu lampu lalu lintas perlu mempertimbangkan fenomena tersebut. Tidak dipukul rata sama semua. Agar pak polisi tidak kelayapan saat jam-jam sibuk dan menghisap lebih banyak asap pekat.

Di zaman yang sudah modern ini, pengaturan lalu lintas mestinya mengurangi keterlibatan manusia di lapangan. Ketika dahulu perempatan jalan pertama kali dibuat, manusia memang menjadi andalan. Ia berdiri di tengah-tengah simpang dengan memegang bendera dan peluit untuk mengatur giliran laju kendaraan. Maka, apabila kita melewati simpang dan masih ada pak polisi mengayun-ayunkan tangan sambil meniup peluit, kita mengalami kemunduran beberapa abad.

Dandy IM
PijakID