Kata orang, keluarga adalah rumah. Tempat pulang. Tempat bersemayamnya kasih sayang. Dunia di luar keluarga sering kali menyiksa kita, karena penuh dengan niat jahat, intrik, kehampaan, dan kekejaman. Dunia di luar keluarga cepat bikin lelah. Untungnya, setelah energi kita habis terkuras menghadapi dunia luar itu, kita bisa pulang kepada keluarga yang siap memberi pelukan ternyaman dan mengisi ulang daya hidup kita.
Tapi berkah keluarga ini tidak dirasakan oleh Nadira. Alih-alih pulang setelah bekerja, ia memilih tidur di bawah kolong meja kerjanya. Ia punya rumah. Tetapi jika ia pulang, kesedihan kembali menusuk pikirannya. Kesedihan yang berasal dari lantai kamar tempat ibunya ditemukan bunuh diri.
Di rumah masih ada bapaknya. Seorang bapak yang lebih suka bercerita tentang dirinya sendiri, tentang kenangan-kenangannya saat menjadi salah satu wartawan jempolan di masanya. Sang bapak memang kerap bertanya tentang aktivitas Nadira sebagai seorang jurnalis. Topik apa yang sedang dikerjakan oleh Nadira, siapa narasumbernya, dan sudut pandang seperti apa yang akan digunakan. Namun, lagi-lagi, Sang Bapak akan menggiring jawaban-jawaban dari Nadira ke cerita pengalamannya sendiri. Bagi Nadira, keluarga bukan tempat pulang.
Hubungan Nadira dengan kedua saudara kandungnya juga tidak bisa dibilang menyenangkan. Kakak perempuannya bahkan sering menyakiti dia saat masa remaja.
Setelah saya selesai membaca novel Nadira karya Leila S. Chudori ini, saya teringat kalimat pembuka Leo Tolstoy di novelnya yang sangat populer berjudul Anna Karenina: “All happy families are alike; each unhappy family is unhappy in its own way“. Bagi Tolstoy, keluarga yang bahagia itu mirip. Bayangkan sebuah sepeda motor. Kendaraan ini bisa dipakai jalan-jalan dengan lancar jika seluruh komponen krusialnya bekerja dengan baik. Tekanan angin ban oke. Bensin ada. Daya aki siap. Mesin tidak ada masalah. Bagian-bagian lainnya juga tidak ada kendala. Langsung bisa tancap gas. Inilah keluarga bahagia. Sepeda motor yang tidak ada masalah tentu mirip dengan sepeda motor lain yang juga tidak bermasalah.
Sementara itu, satu bagian saja dari komponen penting sepeda motor yang bermasalah, misalnya ban depan bocor, sepeda motor tidak bisa jalan. Sepeda motor yang tidak ada bensinnya juga tidak bisa hidup dan dibawa jalan-jalan. Inilah keluarga yang tidak bahagia. Masalahnya bisa beda-beda, dan bisa saja unik (tidak ditemukan di keluarga lain). Tetapi mereka sama-sama tidak bisa berfungsi dengan baik.
Kalimat Tolstoy akan terasa benar jika kita hanya melihat penampakan kehidupan sehari-hari. Keluarga bahagia aktivitasnya memang mirip. Misal, sebuah keluarga bahagia di kota. Kala weekdays, suami dan istri menjalani aktivitas atau profesinya masing-masing untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga. Sementara itu, anak mereka pergi ke sekolah, kampus, atau tempat les untuk pengembangan diri mereka di masa remaja. Atau anak-anak mereka juga sudah masuk ke dunia kerja. Di malam hari, mereka berkembur atau menghabiskan waktu rehat dan istirahat sendiri-sendiri. Ketika weekend, mereka bertamasya, entah di dalam kota, ke luar kota, atau ke luar negeri, atau aktivitas-aktivitas lain yang menyegarkan raga dan pikiran, demi menyiapkan mental menghadapi weekdays kembali.
Di sisi lain, masalah yang membuat sebuah keluarga tidak bahagia begitu beragam. Sedikit di antaranya adalah masalah finansial yang pas-pasan, suami tidak mau berbagi peran mengurus rumah dan anak dengan istri yang juga sehari-hari bekerja, mertua yang terlalu ikut campur dan mengatur, ketidakadilan kasih sayang pada salah satu anak, dan melibatkan kekerasan dalam membesarkan anak. Daftarnya bisa sangat panjang.
Pada tahun 1950, di suatu jamuan makan siang di New Mexico Amerika Serikat, fisikawan bernama Enrico Fermi melontarkan pertanyaan, “Where, then, is everybody?“. Pertanyaan ini dilontarkan Fermi di saat ada perbincangan tentang kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi, atau biasa kita menyebutnya alien. Dari berbagai macam fakta yang mendukung kemungkinan adanya alien, mengapa sampai saat ini kita tidak menemui siapapun di luar sana? Ketidaksinkronan antara ekpektasi dengan realita dalam bidang penjelajahan luar angkasa ini kemudian disebut Fermi Paradox.
Kita juga bisa bersikap seperti Enrico Fermi untuk menghadapi teori keluarga a la Leo Tolstoy. Di mana keluarga bahagia?
Jika kita menelusuri Tiktok, Youtube, dan Instagram, keluarga bahagia mudah ditemui. Ada banyak konten keluarga yang kehidupannya berjalan mulus sekali. Suami-istri saling mencintai dan berbagi peran dengan baik. Anak-anak mereka pintar, karena mendapatkan fasilitas pendidikan yang sangat wah. Jauh lebih pintar bahkan dari anak-anak lain yang seusianya. Suami rutin membantu di dapur. Istri mempunyai karier yang cemerlang, karena urusan anak lebih banyak dibantu oleh pembantu. Atau istri lebih banyak mengurus rumah dan anak, karena penghasilan suami sudah sangat cukup untuk hidup nikmat. Kedua mertua sama-sama suportif. Di musim liburan, sekeluarga bisa liburan dengan tenang dan happy tanpa diganggu urusan pekerjaan.
Keluarga-keluarga yang seperti ini mungkin memang mirip, tapi apakah mereka mudah ditemui di sekeliling kita? Jika kita melihat sekitar, kehidupan sebagian besar keluarga tidak seperti itu. Pertama, ada keluarga yang secara finansial mapan, tapi laki-laki di keluarga ini masih terbelakang. Ia menganggap dirinya raja yang mesti dilayani. Ia merasa dengan memenuhi nafkah keluarga, tugasnya sudah cukup. Bagian beres-beres dan merawat anggota keluarga menjadi tugas istri. Bahkan bisa lebih buruk: istri memikul beban finansial sekaligus perawatan para anggota keluarga.
Yang kedua, ada keluarga yang sudah sama-sama paham perlunya kesetaraan antar-anggota keluarga. Cari nafkah bareng, nyuci pakaian giliran, masak dan nyuci piring bergantian, berbagi tugas antara nyapu dan ngepel, bergantian mengurus anak, saling melindungi tuntutan yang tidak mengenakan dari mertua masing-masing, dan hal-hal romantis lainnya. Tetapi mereka terus terhimpit masalah keuangan. Di tengah gabungan gaji mereka yang pas-pasan, ditambah lagi himpitan finansial tambahan efek dari pelbagai keputusan pemerintah, pengetahuan tentang kesetaraan dan good parenting saja tidak cukup. Semuanya membutuhkan uang dan waktu.
Yang ketiga, keluarga yang tidak hanya dari sisi finansial saja yang megap-megap, lelaki di keluarga ini semena-menanya minta ampun. Istri dan anak-anaknya mesti tunduk pada keputusan-keputusan dia, baik soal keputusan mengenai keuangan maupun pilihan jalur hidup keluarga tersebut. Keputusan lain yang tidak seperti niatan awal dia masih mungkin terjadi, tapi itu pun harus mendapat restu dari dirinya. Keluarga semacam ini lebih mudah ditemui di sekitar kita.
Sampai di sini jelas sudah, Leo Tolstoy keliru. Jika kita melihatnya secara struktural, keluarga yang tidak bahagialah yang sebetulnya bisa dibilang mirip. Para keluarga yang tidak bahagia setidaknya disebabkan satu dari dua hal, yaitu finansial cekak dan ketidaksetaraan akut antar-anggota keluarga (capitalism and patriarchy, if you like).
Yang unik dan jarang, justru, adalah keluarga bahagia. Sebab keluarga bahagia mensyaratkan privilage (kemampuan finansial dan pemahaman tentang kesetaraan) yang tumpah ruah.
