Kategori
Politik

Keracunan Internet

Di akhir tahun 2017, saya mewawancarai Pratikno, professor politik yang waktu itu sudah menjadi Menteri Sekretaris Negara. Saya mengajukan pertanyaan, yang kalau dipikir-pikir sekarang rasanya itu pertanyaan bodoh: “Sebagai ilmuwan politik, apa pendapat bapak mengenai munculnya fenomena cebong dan kampret?” Mudah ditebak. Ia menghindar dari pertanyaan tersebut. Ia malah membicarakan hal lain, tapi masih soal politik di dunia internet. Ia bilang begini, “Dulu kalau zaman saya, namanya aktivis ya harus teriak-teriak, harus demo di jalan. Sekarang, orang mengekspresikan  social activism dengan cara yang berbeda.” Ia menambahkan, “[Kini] kita dapat memfasilitasi  collective decision making collective participation, dan bahkan mendorong  solving social problem dengan perangkat digital.”

HASRAT DESENTRALISASI

Saya tertarik dengan istilah collective decision making (pengambilan keputusan secara kolektif) dan collective participation (partisipasi kolektif) yang dipakai Pratikno. Dua istilah ini, sejauh pemahaman saya, dipakai untuk menunjukkan keinginan membentuk sistem pengambilan kebijakan publik yang lebih banyak melibatkan masyarakat. Entah kapan dan dari mana semangat ini bermula. Untuk kasus Indonesia, kita bisa menduga semangat ini muncul setelah orde baru (orba) pincang di tahun 1998. Pengambilan keputusan yang terlalu terpusat di masa orba, yang menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), menimbulkan trauma dan keinginan untuk mengubahnya. Makanya di masa reformasi, otonomi daerah tumbuh subur. Proses pengambilan keputusan yang menyangkut urusan publik lebih didekatkan kepada orang-orang yang terdampak langsung. Ini bisa kita lihat dari menguatnya peran pemerintah daerah di masa reformasi.

Namun demikian, menyerahkan banyak keputusan penting kepada pemerintah daerah sepertinya belum memuaskan banyak orang. Bisa jadi karena praktik KKN yang dulunya menumpuk di pemerintah pusat, kini faktanya malah jadi bancakan pemerintah daerah. Dulu Rajadiraja Soeharto saja yang korupsi besar-besaran, kini raja-raja kecil di daerah yang berpesta pora. Hal ini membuat semangat pengambilan keputusan yang partisipatif nan inklusif belum dapat terwujud. Cita-cita collective decision making dan collective participation masih menjadi mimpi belaka.

GAIRAH INTERNET

Ketidakpuasan tersebut akhirnya punya jalurnya ketika teknologi internet berkembang pesat, seperti yang terjadi hari ini. Banyak orang kembali menghidupkan semangat pengambilan keputusan secara kolektif. Semakin banyak orang yang ikut serta dalam pengambilan keputusan (terutama yang terdampak langsung) dan semakin sejajar kedudukan/kewenangannya, maka hasilnya dianggap akan lebih baik.

Gairah ini memang belum terlihat di pihak pemerintah. Perencanaan program-program pemerintah masih sangat teknokratis, artinya hanya melibatkan orang-orang yang ahli di bidangnya. Tentunya tidak sekadar ahli, tapi juga sevisi dengan penguasa. Sejauh pengamatan saya, rakyat yang akan terkena dampaknya jarang sekali dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Ini terlihat jelas dalam program pembangunan infrastruktur yang selama lima tahun terakhir digalakkan oleh rezim Jokowi. Misalnya, penetapan lokasi Bandara Baru Yogyakarta yang hanya melibatkan ahli transportasi, geografi, ilmu sosial, dan tentu saja pemerintah. Masyarakat yang sudah berinisiatif membentuk organisasi tidak dilibatkan. Saya bahkan pernah menulis bahwa pembangunan infrastruktur di periode pertama Jokowi tidak demokratis.

Contoh lainnya yaitu konflik semen rembang. Kasus ini bahkan menimbulkan polemik yang lebih panjang. Salah satu biangnya adalah ketidakmauan pemerintah untuk melibatkan secara aktif warga yang terdampak langsung dalam pengambilan keputusan. Ini yang disebut sebagai perencanaan yang sangat teknokratis. Hanya mendengarkan pendapat yang keluar dari mulut para ahli.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Perencanaan program-program pemerintah masih sangat teknokratis, artinya hanya melibatkan orang-orang yang ahli di bidangnya. Tentunya tidak sekadar ahli, tapi juga sevisi dengan penguasa.”[/mks_pullquote]

Gairah menyambut perkembangan teknologi internet yang saya maksud terjadi di luar pemerintahan. Internet dipakai oleh banyak pegiat keadilan sosial untuk menyuarakan ketidakadilan, serta menawarkan dan mempraktikkan model baru dalam pengambilan keputusan. Salah satu contohnya yaitu gerakan #GejayanMemanggil.

Saya termasuk orang yang kagum mendengar para aktivis di balik terwujudnya gerakan ini menolak penokohan. Sepemahaman saya, mereka menolak penokohan karena tidak ingin mengulang kesalahan sebelumnya. Beberapa aksi protes massal sebelumnya memang kerap dipakai oleh segelintir orang, biasanya para ketua ekskul politik kampus (BEM), untuk memperoleh ketenaran. Sebagian besar dari mereka kemudian memanfaatkan ketenaran tersebut untuk dirinya sendiri, baik untuk mendapatkan jabatan atau memperoleh beasiswa.

Sikap menolak penokohan ini, menurut laporan Tempo, juga karena “mereka belajar dari pengalaman para tokok Reformasi 98 yang kini seolah-olah mengkhianati cita-cita menumbangkan rezim Orde Baru yang militeristik, korup, dan antidemokrasi”. Pendirian semacam ini tentu saja membanggakan dan menghidupkan harapan.

Namun demikian, benarkah sikap anti-penokohan ini efektif untuk melakukan perubahan sosial? Betulkah gerakan sosial yang tidak jelas siapa ketuanya, wakilnya, juru bicaranya, efektif untuk menghambat rencana kebijakan pemerintah yang dianggap buruk? Apakah gerakan sosial anti-penokohan bisa terus mengawal massanya secara harian, setelah aksi demonstrasi berlalu, agar apa yang dicita-citakan benar-benar terwujud? Apakah ketika kekuatan semakin terdesentralisasi (tidak memusat) dan horizontal (tidak hirarkis, tanpa pemimpin), gerakan sosial akan sukses? Saya mengajukan beberapa pertanyaan ini karena merasa sepertinya gerakan yang anti-penokohan bisa berujung menjadi gerombolan yang anti-organisasi.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, saya akan coba membedah kenapa gerakan sosial hari ini cenderung mengarah pada sifat yang anti-hirarki, anti-pemusatan kekuasaan, dan anti-pemimpin. Selain karena trauma dengan model gerakan sosial sebelumnya yang sering dikhianati oleh para pemimpinnya, saya rasa juga ada faktor kesalahpahaman pada logika internet.

SALAH SANGKA PADA INTERNET

Kesalahpahaman terbesar yang menjangkiti banyak orang terkait internet ialah percaya bahwa teknologi ini akan memudahkan bangkitnya kekuatan rakyat tanpa harus melalui berbagai macam organisasi atau mediator, seperti partai, pemimpin, LSM, ormas, dan bentuk organisasi sipil lainnya. Serahkan berbagai permasalahan publik langsung kepada rakyat agar mereka bisa menentukan sendiri mana yang lebih baik untuk mereka. Tidak perlu melalui mediator. Toh, sekarang sudah ada internet. Berbagai kebijakan bisa langsung dilempar ke ruang publik untuk didiskusikan, diperdebatkan, dipilih. Tanpa sekat. Tanpa ketertutupan. Penuh keterbukaan informasi. Dengan internet pula kita bisa tahu kebijakan seperti apa yang lebih disukai rakyat.

Ismail Fahmi sudah menunjukkan pada kita, betapa teknologi sudah bisa memungkinkan hal tersebut. Dengan Drone Empritnya, ia bisa memetakan percakapan di berbagai media sosial, seperti Twitter dan Facebook. Ia bisa membeberkan isu apa yang sedang menjadi perbincangan masyarakat, misalnya dengan memodelkan data hastag, lalu menunjukkan sudut pandang/opini mana yang lebih disukai oleh rakyat. Tidak hanya itu. Ia bahkan bisa menunjukkan hastag mana yang tidak natural atau dimanipulasi. Sehingga, kita bisa menyingkirkan trending hastag yang direkayasa. Dari sini kemudian banyak orang berpikir, mengapa tidak kita buka lebih luas kesempatan bagi rakyat untuk turut serta menentukan isu-isu publik secara langsung? Dalam bahasa Pratikno: collective decision making & collective participation. Sudah terlalu lama kebijakan publik dimonopoli oleh politisi dan ormas yang lebih banyak berpikir tentang dirinya. Bukankah kedaulatan memang seharusnya di tangan rakyat?

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Kesalahpahaman terbesar yang menjangkiti banyak orang terkait internet ialah percaya bahwa teknologi ini akan memudahkan bangkitnya kekuatan rakyat tanpa harus melalui berbagai macam organisasi atau mediator, seperti partai, pemimpin, LSM, ormas, dan bentuk organisasi sipil lainnya.”[/mks_pullquote]

Dalam kasus gerakan #GejayanMemanggil, para inisiatornya tidak perlu membentuk organisasi yang adekuat. Mereka juga tidak perlu mediator organisasi-organisasi yang sudah ada. Mereka cukup memahami isu aktual dan sensitif yang sedang berkembang, memetakannya, lalu membuat kampanye di media sosial untuk mengecek respon publik. Dan seperti yang kita saksikan, respon publik sangat positif bahkan luar biasa. Ide #GejayanMemanggil disukai banyak orang. Lalu algoritma media sosial bekerja: jika suatu isu disukai banyak orang dalam waktu singkat, maka akan semakin banyak orang yang ditanya melalui smartphone-nya, apakah kamu menyukainya juga? Begitu seterusnya. Inilah salah satu contoh penerapan collective decision making collective participation di era digital. Hampir seluruhnya terjadi secara horizontal. Langsung antar-individu. Tidak hirarkis. Terjadi secara spontan. Sangat natural.

Kesalahpahaman seperti ini membuat kita jauh tersesat. Kita pikir masalahnya selama ini adalah sulitnya sarana komunikasi dan penyebaran informasi krusial yang tidak cepat karena membutuhkan banyak tenaga dan biaya. Kita pikir gerakan rakyat selama ini tidak mengalami kemajuan karena informasi penting tidak mereka dapatkan sehingga mereka tidak punya kesadaran. Sehingga ketika teknologi internet berkembang pesat, kita mengarahkan segalanya menjadi serba horizontal (anti-hirarki). Pertanyaannya, jika sebagian besar rakyat mendapatkan informasi berkualitas tentang betapa terancamnya demokrasi karena pemerintah akan mengesahkan RUU KUHP, lalu meramaikan media sosial dengan suara penolakan, kemudian berdemo besar-besaran di pertigaan jalan, apakah akan efektif untuk menggagalkan pengesahan? Atau tujuannya memang hanya meluapkan kekesalan lalu sudah?

Dari sini kita perlu menyadari, bahwa masalahnya selama ini bukanlah keterbatasan komunikasi dan penyebaran informasi, tapi ketidakmauan para pejabat untuk membuka pintu bagi rakyat ikut berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan. Mereka tidak mau. Titik. Lalu kita berharap mereka menuruti mau kita dengan meramaikan media sosial dengan hastag dan jalanan dengan poster? Yang ada kita hanya disuguhi retorika-retorika yang bikin mual.

Oleh karena itu, power (kekuatan) untuk bernegosiasi di sini menjadi sangat penting. Karena dalam negoisasi inilah penentuannya apakah arah kebijakan yang kita inginkan bisa terwujud atau tidak. Dengan demikian, organisasi yang tersusun rapi, kuat, dan arahnya jelas adalah modal yang paling penting untuk memenangkan negoisasi. Organisasi yang jelas hirarkinya, pemimpinnya, dan tentunya program yang ditawarkan. Negoisasi tidak bisa dilakukan dengan kerumunan massa yang tidak jelas juru bicaranya.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Masalahnya selama ini bukanlah keterbatasan komunikasi dan penyebaran informasi, tapi ketidakmauan para pejabat untuk membuka pintu bagi rakyat ikut berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan.”[/mks_pullquote]

Mungkin sebagian dari kita trauma dan sudah antipati dengan negoisasi. Sebab selama ini orang-orang yang bernegoisasi atas nama kita terlalu sering mengecewakan. Kita sering tidak puas. Mereka sering berkhianat. Namun, sungguh sebuah kesalahan jika kita lantas menjadi anti-hirarki dan anti-organisasi. Pengennya sama rata. Tidak ada seseorang yang punya wewenang lebih daripada yang lain. Pengennya mengikuti utopia internet, yang seakan-akan semua akun sama rata kedudukannya. Padahal jelas sekali produk-produk internet, seperti media sosial, sangat terpusat penentuan aturan-aturannya. Lihatlah betapa Twitter bisa seenaknya sendiri mengubah-ubah kebijakan privasinya tanpa menanyakan terlebih dahulu pada para penggunannya. Kita, para pengguna Twitter, berada di paling bawah dalam struktur hirarki aplikasi ini, di bawah pengiklan dan pemilik Twitter.

Kita perlu menyusun hirarki baru yang tidak mudah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, yang tidak patuh pada logika akumulasi keuntungan, dan tentu saja yang lebih adil untuk semua anggota. Untuk mewujudkan ini kita perlu bekerja keras, hari demi hari, tidak hanya mengandalkan reaksi spontan di jalanan.

Kategori
Politik Society

Kerja di Balik Layar yang Dihindari

Saya terbiasa membuka Netflix tanpa tahu mau nonton apa. Suatu ketika saya menemukan film serial berjudul “Trotsky”. Berdasarkan deskripsi singkat, ini film Rusia. Kebetulan saya belum pernah menonton film Rusia, dan sepertinya ini film tentang revolusi gitu. Menarik. Langsung saya mainkan.

Ternyata benar. Ini film biografi Trotsky yang pernah terlibat, bahkan memimpin Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917. Serial sepanjang 8 episode ini menceritakan kisah Trotsky mulai dari saat ia ditahan, diasingkan, lalu melarikan diri dan bergabung dengan orang-orang Rusia di Eropa yang mempunyai misi yang sama, yaitu revolusi kelas pekerja di kampung halamannya. Sepanjang film, Trotsky digambarkan sebagai orang yang pandai berpidato sehingga mudah mempengaruhi orang di kongres dan rapat akbar bersama massa, punya hasrat dan integritas yang kuat, sangat dominan, berwawasan luas, dan sangat pemberani.

Dengan penggambaran Trotsky yang demikian, orang yang menonton film ini akan berpikir bahwa untuk menjalankan revolusi, maka yang perlu dilakukan adalah membaca buku, berorasi, melakukan propaganda, berdemo, lalu merebut infrastruktur vital. Kegiatan ini terlihat gagah memang, kecuali mungkin saat membaca buku. Rasa kontribusinya juga terasa langsung. Dampaknya akan segera terlihat. Minimal kita semakin terkenal karena mengeluarkan jargon-jargon yang mendebarkan dada.

Namun demikian, ada bagian penting yang dilupakan oleh film ini, yakni kerja-kerja di balik layar yang dilakukan oleh Trotsky dan teman-temannya. Aktivitas harian Trotsky dan teman-temannya dalam mengawal jalannya organisasi mulai dari urusan administrasi, keuangan, program harian, target bulanan dan tahunan, alur kerja, evaluasi, dll bisa dibilang tidak mendapatkan porsi sama sekali dalam film. Padahal aktivitas inilah yang membuat organisasi pekerja yang kelak melakukan revolusi itu bisa terus bernafas. Organisasi tidak kehilangan arah, ada evaluasi target yang tidak tercapai dan solusinya, keuangan organisasi aman, dan efisiensi kerja terus meningkat karena kerja-kerja di balik layar ini.

Mungkin hal-hal semacam itu memang kurang menarik jika dimasukkan ke dalam film. Karena suasananya nanti tidak akan terlihat revolusioner. Namun sungguh, cara berpikir seperti ini sangat naif.

Saya pernah menulis artikel berjudul “Kerja Reproduktif yang Tidak Dihargai”. Artikel tersebut membahas kerja-kerja rumah tangga yang umumnya dilakukan oleh para istri tidak dihargai oleh dunia ekonomi. Perusahaan tempat si suami bekerja jelas mendapatkan keuntungan ekonomi yang luar biasa dari hasil kerja rumahan tersebut seperti memasak, mencuci, menyapu, dan melipat baju. Sang suami yang sudah lelah seharian bekerja tidak perlu mengeluarkan tenaga lagi ketika sampai di rumah. Tinggal mandi, makan, lalu istirahat. Namun sial, perusahaan tersebut tidak membayar kerja-kerja sang istri.

Di tulisan ini saya ingin menunjukkan bahwa logika seperti ini juga menjangkiti orang-orang yang menginginkan perubahan sosial. Entah karena memang tidak serius atau tidak sadar, mereka yang mendambakan perubahan sosial atau yang sering disebut aktivis masih saja terus terjebak pada kegiatan-kegiatan monumental. Mereka baru melakukan sesuatu saat ada kejadian yang sensitif bagi dirinya. Kegiatannya reaktif saja. Salah satu contoh terbaiknya adalah gerakan #ReformasiDikorupsi. Sekitar satu minggu gerakan ini meledak menjadi aksi massa yang lumayan jumlahnya. Berbagai orasi, jargon, dan ungkapan protes melalui nyanyian atau poster mewarnai jalannya aksi ini. Tapi setelah itu apa? Kehidupan kembali seperti biasanya. Sistem yang menginjak-injak kelas menengah-bawah masih bekerja seperti sedia kala.

Mental yang demikian mirip sekali dengan si pembuat film serial Trotsky. Sukanya aktivitas yang terlihat heroik saja. Berteriak di balik toa, menjunjung poster yang berisi kalimat-kalimat protes dan perlawanan, serta bersuara lantang sambil mengepalkan tangan memang lebih terasa heroik daripada mengurus administrasi organisasi. Apalagi mengawal jalannya organisasi harus harian. Dan itu capek. Capek banget. Juga tidak terlihat heroik. Serta tidak memperbanyak follower media sosial secara cepat.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Tapi setelah itu apa? Kehidupan kembali seperti biasanya. Sistem yang menginjak-injak kelas menengah-bawah masih bekerja seperti sedia kala.”[/mks_pullquote]

Alhasil, kerja-kerja di balik layar untuk mengurus organisasi dihindari banyak orang. Nasibnya menjadi mirip dengan pekerjaan rumah tangga yang dianggap tidak produktif.

Semua ini bisa terjadi karena banyak orang sudah lupa apa itu kegiatan politik. Apa saja yang politis dan aktivitas macam apa yang termasuk di dalamnya? Hizkia Yosie Polimpung dalam sebuah diskusi berjudul “Politik dan Psikoanalisis” yang diselenggarakan oleh Deus Institut memaparkan 4 situs politik. Pertama, ideologi atau ide-ide tentang dunia yang ideal. Yang biasanya bergerak di wilayah ini adalah para pencetus ideologi, filsuf, pemikir. Tentu saja semua ideologi termasuk di dalamnya, baik yang kita suka atau tidak, mulai dari Pancasila, Khilafah, Marxisme, Kapitalisme, Cendolisme, dan isme-isme lain.

Situs kedua adalah penamaan. Ya, penamaan selalu politis. Akan sangat berbeda jika seseorang yang rajin ikut pengajian disebut “taat beragama” dan “radikal”. Keduanya menimbulkan dampak yang jauh berbeda. Kelompok yang biasanya bergelut di bidang ini adalah media massa, peneliti, dan akademisi.

Yang ketiga adalah mimpi dan imajinasi tentang dunia lain. Para pekerja seni, budayawan, sastrawan, dan profesi-profesi sejenis yang bergerak di wilayah ini. Mereka menguliti realita dan memunculkan wajah lain dari kehidupan yang kebanyakan orang sudah melupakannya. Kata, visual, dan bunyi yang mereka tampilkan biasanya menghentak dan membuat kita berdecak kagum karena menghadirkan sesuatu di luar imajinasi kita. Salah satu contohnya bisa dilihat dari karya-karya Sudjiwotedjo mulai dari twitnya, lukisannya, bukunya, dan wayangannya yang banyak menghadirkan imajinasi baru tentang dunia.

Situs terakhir adalah order/tatanan/power. Ketiga situs di atas (ideologi, penamaan, dan imajinasi) tidak bisa terwujud tanpa punya power. Para ahli ideologi, peneliti, akademisi, dan budayawan tidak akan bisa mewujudkan ide-idenya tanpa punya roda kekuasaan, tanpa organisasi. Banyak orang menggunakan kenyataan ini sebagai alasan untuk masuk ke dalam kekuasaan. Mengubah sistem dari dalam. Tentu saja ini pilihan tepat sepanjang ia mempunyai strategi, target, dan dukungan organisasi yang kuat. Kalau masuk ke dalam sistem seorang diri, itu mah ingin menikmati kelezatan berkuasa saja sambil mengkorupsi cita-citanya sendiri. Sebab ia hanya akan menjadi roda-roda baru bagi sistem yang sudah ada, tanpa bisa mengarahkannya sesuai dengan ideologi dan imajinasi baru yang dulu dibangunnya.

Dengan demikian, mau pilihannya masuk ke dalam sistem atau tetap berada di luar, keduanya tetap membutuhkan organisasi yang kuat, tersusun rapi, dan punya program serta target yang jelas. Sehingga, lagi-lagi seperti yang saya tukaskan di atas, bagi yang memang benar-benar serius menginginkan perubahan sosial, maka ia tidak hanya muncul pada peristiwa monumental seperti #ReformasiDikorupsi saja, tapi juga sehari-harinya membangun organisasi.