Kategori
Society

Menghumaniskan Kecerdasan Buatan? Sungguh Ide yang Menggelikan!

Yuval Noah Harari menjadi salah satu intelektual yang paling kencang bersuara tentang pentingnya menghumaniskan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Soalnya, menurut Harari, berbagai desain kecerdasan yang tersaji hari ini sudah banyak efek negatifnya bagi manusia.

Dalam diskusi di Stanford University bersama profesor ilmu komputer Fei Fei Li pada 22 April 2019, Harari membeberkan bahwa hari ini sebuah organisasi atau perusahaan akan berusaha keras “membuat sebuah algoritma yang bisa lebih memahami saya daripada saya sendiri, lalu memanipulasi keinginan saya, sehingga bisa memaksa-maksa saya, atau bahkan menggantikan saya”. Praktiknya bisa kita lihat di media sosial. Algoritma di platform tersebut didesain sedemikian rupa agar pengguna betah lama-lama menggunakannya, sehingga hasrat pengguna lama-lama termodifikasi. Contoh lain misalnya di bidang politik praktis. Mudah sekali hari ini memanipulasi pilihan pemilih dengan teknologi kecerdasan buatan. Aktivitas ini menurut Harari adalah Peretasan Manusia (Hacking Humans).

Karena penggunaan dan potensinya yang semakin mampu memanipulasi keinginan dan keputusan manusia, menurut Harari, kita perlu desain hukum dan norma agar teknologi kecerdasan buatan lebih manusiawi. Artificial intelligence harus lebih humanis.

Gagasan Harari ini sungguh menggelikan. Ia mengasumsikan bahwa kecerdasan yang ada di dunia ini hanyalah milik manusia. Jika ada kecerdasan lain, yang dalam hal ini berupa kecerdasan buatan (perangkat inorganik yang bisa berpikir cerdas), maka perlu dibuat humanis atau cocok dengan karakter kecerdasan manusia. Apalagi jika kecerdasan buatan itu dianggap sudah mengancam otoritas manusia dalam berkehendak.

Cara pandang yang dilakukan Harari terhadap kecerdasan buatan ini, jika kita ikuti, akan membuat kita tersesat. Kita tidak akan bisa memahami potensi sebenernya dari kecerdasan buatan. Apa itu?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, saya rasa perlu ada klarifikasi terlebih dahulu tentang konsep kecerdasan buatan. Sebab, citra kecerdasan buatan secara umum terlanjur dibayangkan sebagai sebuah teknologi yang bisa memanipulasi manusia, bersaing dan bahkan mengganti kecerdasan manusia. Narasinya kemudian lebih heboh di urusan masa depan tenaga kerja yang terancam karena hadirnya robot yang semakin cerdas dan ancaman pada kehendak bebas manusia (free will).

Kecerdasan buatan sebaiknya tidak dipahami sebagai kecerdasan palsu atau tiruan yang terus diperbaiki agar mirip atau bahkan sama dengan cara kerja otak manusia. Ini adalah hal lain yang cara kerjanya pun lain. Jika otak manusia adalah sekumpulan bahan-bahan organik yang melalui proses evolusi yang unik akhirnya menjadi suatu bentuk gumpalan tertentu yang bisa berpikir cerdas dan terletak di dalam tengkorak Homo sapiens, maka kecerdasan buatan adalah sebuah desain material inorganik yang dirancang sedemikian rupa sehingga bisa berpikir, namun berpikir dengan cara yang berbeda dengan berpikirnya manusia.

Hadirnya kecerdasan buatan bisa dibilang sebagai Copernican Turn (Pencerahan Kopernikus) di masa sekarang. Istilah Copernican Turn pertama-tama dipakai untuk menjelaskan betapa luar biasanya perubahan cara pandang yang ditawarkan oleh Nicolaus Copernicus dalam melihat tata surya. Di saat populernya kepercayaan bahwa bumi adalah pusat alam semesta, Copernicus menawarkan konsep heliosentrisme, yakni matahari adalah pusat, dan bumi serta planet-planet lain mengelilinginya.

Contoh Copernican Turn yang lain yaitu teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia dan kera punya nenek moyang yang sama. Teorinya Sigmund Freud yang bilang bahwa manusia tidak punya kendali atas pikiran dan hasratnya sendiri juga termasuk Copernican Turn. Bahkan Freud menyebutnya sebagai Copernican Trauma. Sebab, dengan terjadinya perubahan cara pandang atau konsep yang signifikan, sebagian besar manusia akan mengalami trauma. Manusia akan gelisah, mengelak, dan bahkan bisa memaksa konsep dan konseptor baru itu untuk mati.

Kecerdasan buatan juga bikin manusia gelisah. Ternyata, yang kita sebut sebagai cerdas dan kecerdasan itu tidak hanya terjadi di dalam tengkorak kita. Bahkan, kecerdasan ternyata tidak hanya muncul dari material organik seperti otak manusia dan hewan, tapi juga material inorganik atau yang selama ini kita sebut benda mati. Ternyata, kabel-kabel tembaga bisa cerdas.

Agar tidak mengidap Copernican Trauma, kita perlu menerima dengan lapang dada bahwa banyak hal di dunia ini yang cara kerjanya tidak sesuai dengan perkiraan kita. Semesta ini tidak beroperasi menurut kehendak manusia. Manusia bukan pusat alam semesta.

Pemahaman ini memang akan membuat manusia seperti tersingkir (teraleniasi). Namun, kita sebaiknya jangan menjadi seperti Harari yang menanggapi ketersingkiran ini dengan ingin mendesain kecerdasan buatan agar ramah manusia, etis terhadap manusia, melayani hasrat-hasrat narsis manusia, dan bahkan ingin dibuat berpikir seperti manusia. Desain kecerdasan buatan dengan mental a la Harari ini bisa dengan mudah kita jumpai pada proyek-proyek yang sungguh bernafsu sekali ingin membuat robot yang ramah, punya etika, dan menyentuh perasaan manusia.

Kecerdasan buatan punya peran yang lebih signifikan daripada contoh di atas. Karena, teknologi ini juga beroperasi di tingkatan epistemologi (konsep), bukan hanya penerapan praktis saja. Misalnya soal perubahan iklim (climate change). Kita, manusia, bisa tahu bahwa iklim sedang berubah signifikan ke arah yang mengancam eksistensi manusia, ya karena ada kecerdasan lain di luar manusia yang bisa memahami itu. Dengan struktur kecerdasan yang berupa jaringan sensor mulai dari kutub utara sampai kutub selatan, dari atmosfer sampai ke permukaan bumi, ia bisa memunculkan konsep perubahan iklim. Tanpa kecerdasan ini, dan jika hanya mengandalkan kecerdasan Homo sapiens, konsep perubahan iklim tidak akan bisa dibayangkan.

Ke arah inilah perkembangan kecerdasan buatan semestinya diarahkan, yaitu membuka “misteri” dunia dan merevisi konsep-konsep yang selama ini dipercaya manusia sebagai realita, padahal sejatinya semesta tidak beroperasi seperti yang manusia kira. Potensi ini tidak akan tercapai jika kita bersikukuh bahwa kecerdasan buatan perlu dihumaniskan.