Saya merasa sangat privilaged cum diberkati terlahir dari kedua orang tua saya. Yang saya maksud di sini adalah mengenai pemahaman tentang kesetaraan dalam kerja-kerja domestik maupun produktif. Sementara kini diskursus mengenai hal tersebut sedang ramai-ramainya membanjiri lini masa dan meja-meja warung kopi, saya sudah melihat praktiknya tanpa memahami bahwa ini adalah sesuatu yang istimewa. Sehingga menurut saya, kesetaraan, yang maha agung bagi sebagian orang itu, adalah hal yang biasa saja dan sehari-hari.
Kedua orang tua saya bekerja untuk membiayai anak-anaknya. Ibu saya bekerja semenjak ia belum menikah, hingga kini anaknya sudah dewasa. Bagaimana dia berperan sebagai ibu persis seperti kicauan-kicauan warganet di media sosial tentang bagaimana kesetaraan itu seharusnya. Ia tetap bekerja di kantor dan mengurus keluarganya.
Suatu ketika ibu pernah bercerita bahwa bapak saya lah yang mengajarinya memasak. Ya, almarhum bapak saya bisa memasak. Selain itu banyak pula pekerjaan rumah tangga, yang sering dibilang orang sebagai kodrat perempuan, bisa dan regularly dikerjakan bapak saya di rumah. Sejak kecil pun saya sudah sering melihat bapak saya melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik tersebut. Saya ingat betul ketika saya masih SMA bapak memergoki saya ketika sedang memasukkan baju kedalam mesin cuci. Ia menemukan korek api di kantong seragam sekolah saya. Deg-degan betul saya waktu itu.
Dari kedua orang tua tersebut saya melihat bahwa konsep rumah tangga yang saling berbagi tugas itu adalah hal yang wajar. Sehingga bagi saya kesetaraan itu nampak biasa saja. Mereka juga mengajarkan kami, anak-anaknya yang semua laki-laki, untuk bisa melakukan pekerjaan rumah. Setidaknya untuk hal-hal dasar.
Baru ketika dewasa saya mengetahui bahwa hal-hal itu adalah yang disebut dengan kesetaraan gender. Sebelumnya saya kira memang seperti itu seharusnya seseorang hidup berumah tangga. Konsep-konsep kerja reproduktif seperti yang dijelaskan Dandy di post ini pun saling terlengkapi. Satu mengerjakan pekerjaan domestik yang tidak bisa dikerjakan oleh yang lain karena pekerjaan produktifnya. Tetapi tidak seperti yang Dandy keluhkan, untung keduanya bekerja di institusi yang cukup adil sehingga terdapat tunjangan pasangan dan tunjangan anak.
[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Dari kedua orang tua tersebut saya melihat bahwa konsep rumah tangga yang saling berbagi tugas itu adalah hal yang wajar. Sehingga bagi saya kesetaraan itu nampak biasa saja.”[/mks_pullquote]
Kenyataan di luar sana
Namun ternyata, privilage saya ini bukanlah milik semua orang. Bahkan orang-orang berpendidikan tinggi pun belum tercerahkan akan kesadaran mengenai kesetaraan. Entah dari mana nilai terpatri di pikiran mereka, kepercayaan mengenai adanya gender yang lebih istimewa / tinggi derajatnya.
Yang membuat saya makin tak habis pikir, pandangan-pandangan itu datang dari seorang perempuan yang berpendidikan tinggi dan aktif di parlemen. Eh tapi saya tidak benar-benar tahu ding apakah benar ia memiliki pandangan seperti itu, tidak baik berburuk sangka. Ia hanya menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga, yang mana meletakkan perempuan sebagai orang yang hanya bergelut di ranah domestik. Seperti salah satunya tertuang di pasal 25 di RUU tersebut berbunyi, “peran seorang istri wajib mengatur urusan rumah tangga hingga memenuhi hak suami dan anak sesuai norma agama”.
Bahkan dari penjelasan dari ibu dewan yang terhormat itu terdengar tidak masuk akal, terutama mengenai bagaimana RUU ini mengurusi bagaimana suatu keluarga berbagi peran. Padahal sepertinya, apa yang ada di rumah kita adalah urusan kita masing-masing. Kecuali apabila ada satu pihak yang secara pidana/perdata merugikan pihak lain.
Apabila wanita berdaya
Kita bisa lihat secara nyata, ketika perempuan-perempuan diberi tempat yang setara, kita akan mendapatkan sosok-sosok hebat seperti Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti. Tentu kita tidak akan meragukan bagaimana prestasi mereka. Tidak bisa saya bayangkan bagaimana jika perempuan-perempuan dengan potensi seperti mereka dikekang.
Kesadaran mengenai pemberdayaan ini tidak hanya sebatas mempatkan mereka di organisasi macam Dharma Wanita atau Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Akan tetapi penyebarluasan pemahaman bahwa setiap manusia itu sama derajatnya sehingga memiliki kesempatan yang sama. Dan seperti bagaimana kemanusiaan seharusnya, apabila terdapat kekurangan-kekurangan dari sekelompok individu yang disebabkan oleh kodrat biologisnya, dalam hal ini perempuan, harus difasilitasi sehingga potensinya termaksimalkan.
Dengan berdayanya perempuan, kita dapat menggali potensi-potensi dari seluruh individu untuk mengembangkan peradaban. Tidak terbatas pada laki-laki saja. Akan muncul Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti yang lain di muka bumi.
[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Dengan berdayanya perempuan, kita dapat menggali potensi-potensi dari seluruh individu untuk mengembangkan peradaban.”[/mks_pullquote]
Bagaimana dengan agama?
Kebetulan sekali saya beragama islam, agama mayoritas di negeri ini. Yang bagi banyak orang, dipercaya memiliki dalil di mana laki-laki diberikan tempat yang lebih tinggi di mana kodratnya adalah sebagai pemimpin. Serta perempuan “dimuliakan” dengan diletakkan di rumah dan bertugas di dapur dan di ranjang saja.
Saya tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal agama, yang saya tahu dan percaya adalah bahwa banyak tafsir akan suatu dalil dari berbagai mazhab. Oleh karena itu, agar lebih otoritatif saya akan menyematkan tweet dari akun twitter @islamidotco.
Dari Al-Aswad, ia bertanya pada ‘Aisyah, “Apa yang Nabi SAW lakukan ketika ada di tengah keluarganya?” ‘Aisyah menjawab, “Rasulullah SAW biasa membantu pekerjaan keluarganya di rumah. Jika telah tiba waktu salat, beliau berdiri dan segera menuju salat.” (HR. Bukhari)
🥰 pic.twitter.com/R3h41m2rZ0— Islami (@islamidotco) March 8, 2020
https://platform.twitter.com/widgets.js
Dalam rangka mencoba menjadi muslim yang kaffah, alangkah kita menauladani sikap Rasulullah SAW tersebut. Karena saya yakin, apabila beliau melakukan hal yang tersebut, maka hal itu tentu adalah baik.
Kesimpulan
Kesetaraan yang saya kira biasa saja itu ternyata belum menjadi hal yang biasa bagi banyak orang. Bahkan yang sudah berpendidikan tinggi. Terdapat orang-orang yang masih mempercayai subordinasi gender sebagai sebuah kodrat. Padahal itu adalah konstruksi sosial yang membatasi potensi-potensi terlahir dari seluruh gender.
Kenyataan ini diperparah oleh adanya penganut kepercayaan ini di parlemen. Urusan domestik di dalam rumah tangga akan diatur oleh negara melalui RUU Ketahanan Keluarga. Peran dari suami dan istri akan diatur di sini. Padahal peran masing-masing dalam suatu keluarga adalah tentang kesepakatan.
Pemberdayaan perempuan selama ini hanya berkutat di wilayah-wilayah domestik seperti Dharma Wanita dan PKK saja. Padahal ketika diberi kesempatan yang sama, akan lahir tokoh-tokoh yang berprestasi di antara mereka.
Bahkan dalam islam pun, agama yang sering dikaitkan dengan konsep patriarki, menganjurkan pengikutnya untuk berbagi peran dalam tugas-tugas domestik. Seperti yang dicontohkan oleh junjungannya, Rasulullah SAW.
Terakhir, mungkin dari tulisan ini saya terdengar sangat feminis. Tidak, saya tidak pernah mendaku feminis. Saya tidak mempelajari feminisme maupun mempraktekannya. Yang saya anut adalah tentang naluri tentang kemanusiaan, yang mana menurut saya akan selalu fleksibel menurut waktu. Saya berhipotesis kenyataan yang terjadi sekarang, mengenai subordinasi gender, adalah akibat dari masa lalu ketika perang. Di mana wanita yang produktivitas organ reproduksinya lebih rendah daripada laki-laki “diamankan” di wilayah domestik demi kepentingan keberlangsungan keturunan. Di masa ini, yang mana tidak sedang terjadi perang, seharusnya keadaan itu tidak lagi ada. Semua berhak diberi kesempatan.
Tidak lupa saya ucapkan, walaupun mungkin terlambat, Selamat Hari Perempuan Internasional!