Kategori
Kapital Society

Manusia Pasca Tiktok

Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah percakapan, saya diberi tahu oleh lawan bicara bahwa saat ini ia sedang kesulitan mencari sebuah informasi dari topik penelitiannya di Tiktok. Pada momen tersebut ada dua hal yang secara khusus membuat saya merasa takjub. Pertama, anak ini lahir ketika saya sudah Sekolah Dasar (SD) dan sekarang dia sudah melakukan penelitian skripsi. Kedua, dia mencari informasi terkait penelitian di Tiktok.

Alangkah bijaksana jika hal yang pertama tidak perlu dibahas lebih lanjut.

Kategori
Transportasi

RUU DKJ Telah Disahkan, Lalu?

Sempat ramai perbincangan tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) DKJ yang seharusnya sudah dilakukan sebelum tanggal 15 Februari 2024 berdasarkan amanat Undang-Undang No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 21 Tahun 2023.

Ramainya perbincangan terkait dengan RUU yang telah menjadi UU pada 28 Maret 2024 ini berawal dari nomenklatur Dewan Kawasan Aglomerasi yang dipimpin oleh Wakil Presiden. Di luar itu juga terkait dengan Gubernur yang semula ditetapkan akan ditunjuk oleh Presiden dengan mempertimbangkan usul DPRD. Namun bukan dua hal ini yang akan saya bahas, karena Wakil Presiden tetap menjadi ketua Dewan Kawasan Aglomerasi dan Gubernur akhirnya tetap dipilih langsung oleh rakyat, seperti 19 tahun terakhir.

Kategori
Society Transportasi

Memahami Hak dan Kewajiban Pesepeda di Jalan

Kegiatan bersepeda populer kembali di tengah wabah. Hal ini dikarenakan bersepeda merupakan pilihan olahraga yang berisiko rendah terhadap penularan virus karena dilakukan di luar ruangan. Namun di luar bahasan tentang virus, banyak kegaduhan di antara warganet yang mengomentari fenomena ini baik secara positif maupun negatif. Terutama kejadian-kejadian di jalan raya yang melibatkan pesepeda.

Kategori
Society

Kita Setelah Pandemi

Beberapa waktu yang lalu ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) belum dilaksanakan di Jakarta, jalan-jalan di ibu kota mulai sepi dan langit biru yang biasanya tertutup polusi mulai tampak. Namun di waktu yang bersamaan, masih kondisi di KRL masih cukup ramai. Ketika melihat ini saya jadi menyadari satu hal, bahwa pandemi COVID-19 menunjukkan pada kita bahwa privilese work from home dan memiliki kendaraan pribadi itu adalah diagram venn yang kedua anggota himpunannya sebagian besar beririsan.

Kategori
Kapital Society

Basic Income dan Upaya Menyelamatkan Masyarakat Rentan Selama Pandemi

Selama terjadinya pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) pengemudi ojek daring, pekerja outsourcing, buruh lepas, dan segala pekerja berupah harian lainnya menjadi golongan yang sangat dirugikan dari keadaan ini. Sementara kaum berprivilese bisa menikmati nikmatnya work from home, bagi mereka tinggal di rumah berarti tudung saji yang kosong. Golongan ini juga lebih malang dari  para pegawai tetap, karena jobdesk-nya yang tidak bisa dikerjakan dari rumah. Tidak ada jaminan kesehatan bagi mereka, padahal harus bertaruh nyawa untuk mempertahankan hidup. Pertaruhan ini bahkan bukan hanya bagi mereka sendiri. Keluarga mereka di rumah pun dipertaruhkan kesehatannya. Seperti yang kita tahu, virus ini dapat menyebar bahkan oleh orang yang tidak sakit sekalipun.

Kategori
Society

Bagi Saya Kesetaraan Itu Biasa Saja

Saya merasa sangat privilaged cum diberkati terlahir dari kedua orang tua saya. Yang saya maksud di sini adalah mengenai pemahaman tentang kesetaraan dalam kerja-kerja domestik maupun produktif.  Sementara kini diskursus mengenai hal tersebut sedang ramai-ramainya membanjiri lini masa dan meja-meja warung kopi, saya sudah melihat praktiknya tanpa memahami bahwa ini adalah sesuatu yang istimewa. Sehingga menurut saya, kesetaraan, yang maha agung bagi sebagian orang itu, adalah hal yang biasa saja dan sehari-hari.

Kedua orang tua saya bekerja untuk membiayai anak-anaknya. Ibu saya bekerja semenjak ia belum menikah, hingga kini anaknya sudah dewasa. Bagaimana dia berperan sebagai ibu persis seperti kicauan-kicauan warganet di media sosial tentang bagaimana kesetaraan itu seharusnya. Ia tetap bekerja di kantor dan mengurus keluarganya.

Kategori
Society

Bencana Kemanusian Masyarakat Indonesia

Kemarin Gunung Merapi “batuk” lagi. Sebagai salah satu gunung paling aktif di dunia, sudah tidak lagi menjadi hal asing bahwa gunung ini sering menyapa warga di sekelilingnya. Gempa kecil sudah menjadi aktivitas normal selama saya tinggal di Jogja, bukan lagi dianggap bencana. Namun fenomena kemarin berbeda, asap yang keluar dari Gunung Merapi mengakibatkan hujan abu yang mengarah ke wilayah di sebelah timurnya. Tidak cukup tebal, tapi cukup berbahaya untuk pernapasan.

Kategori
Society

Mari Jaga Lingkungan, Biar Korporasi Yang Merusaknya

Menggunakan produk-produk yang mengurangi single use plastic, seperti tempat minum, makan, kantong, maupun yang lain, kini kian menjadi gaya hidup baru masyarakat. Kesadaran akan meningkatnya limbah sampah, dan proses terurainya yang lama membawa kita semakin prihatin dan ikut berperan dalam menjaga umur bumi ini. Karena tentu kita masih ingin udara yang layak hirup bumi yang layak tinggal bagi seluruh makhluk hidup. Atau minimal, secara egois, bagi kita dan keturunan kita.

Sudah tentu, gaya hidup yang sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) ini didukung penuh oleh pemerintah. Baik pusat maupun daerah. Bahkan mereka pun mengampanyekan gaya hidup ini ke khalayak ramai. Tidak dapat dipungkiri bahwa kelestarian bumi dan makhluk hidup adalah konsen mereka. Selain peningkatan produksi limbah plastik yang tak kunjung ketemu bagaimana solusinya.

Kampanye kian marak, di beberapa kantor pemerintah bahkan sampai mewajibkan karyawannya menggunakan tumbler dan melarang botol plastik sekali pakai. Terdengar seperti future society, dimana setiap stakeholder di masyarakat sadar akan kelestarian lingkungan.

Memang, penggunaan plastik sekali pakai memberikan ancaman bagi lingkungan. Mulai dari proses produksi, konsumsi, dan pembuangannya menghasilkan emisi karbon yang mengakibatkan suhu bumi yang semakin memanas dan berujung pada perubahan iklim. Namun selain penggunaan plastik sekali pakai oleh masyarakat umum, tidak kalah penting juga walau sering dilupakan, bahwa perubahan iklim juga disebabkan oleh deforestasi (penggundulan hutan) dan pembakaran bahan fosil oleh industri.

Utamanya pada deforestasi, hal ini sangat mendesak untuk dihentikan. Apalagi di Indonesia sebagai negara yang masuk dalam wilayah tropis.  Menurut Conservation International, hutan tropis sangat baik dalam menyimpan karbon sehingga mencegah kemungkinan terburuk dari perubahan iklim. Namun pencegahan perubahan iklim berdasar alam yang merupakan solusi terbaik itu belum terlalu dilirik. Bahkan hanya mendapatkan jatah 2 persen dari pendanaan iklim. Di Indonesia sendiri, pemerintah masih belum sadar bahwa masalah lingkungan itu bukan hanya-tanpa mengesampingkan kepentingannya-tentang sampah plastik. Masalah pencemaran lingkungan bukan hanya sekadar sampah tetapi juga emisi yang dihasilkannya.

Selain keasyikan memberi seminar-seminar tentang pentingnya penggunaan tumbler, perlu juga bagi pemerintah melakukan regulasi yang mengurangi tindakan deforestasi. Pencemaran sampah memang perlu dikurangi, tetapi produksi limbah sampah plastik bukan hanya sekadar tentang kesadaran. Permasalahan itu lebih jauh adalah akibat dari permasalahan kelas. Contoh sederhananya, tidak semua masyarakat dapat mengakses dengan mudah sampo botol. Perihal makan saja belum tentu setiap hari, apalagi keramas. Sehingga penggunaan sampo saset menjadi pilihan.

Dibanding terus menekan masyarakat kelas bawah, lebih baik fokus meregulasi korporasi-korporasi dan segala industrinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaannya memberi manfaat ekonomi. Tapi apakah tidak sayang jika keturunan kita tidak bisa menikmati hidup dengan alam yang masih terjaga. Saya rasa jika terus seperti ini, di masa depan orang sudah tidak lagi memikirkan ekonomi. Karena bisa dapat tempat hidup saja sudah syukur. Walaupun investasi penting, namun keberlangsungan alam lebih penting.

Kategori
Society

Pasar Bebas yang Hakiki Bagi Setiap Gender

Dalam pertarungan memperebutkan segala yang duniawi, saya percaya seutuhnya bahwa kompetisi adalah keniscayaan. Bahkan untuk mencapai eksistensi di dunia sebagai manusia, sperma-sperma berebut dalam rahim untuk mendapat satu sel telur. Pertarungan tersebut sangat fair, karena berasal dari titik yang sama dalam menuju tujuan yang sama.

Begitulah seharusnya kompetisi bekerja. Setiap individu start di titik awal yang sama dalam kompetisi. Namun, tentu bentuk ideal seperti ini tidak benar-benar eksis di dunia. Terdapat individu/sekelompok individu yang sudah berada jauh di depan atau tertinggal di belakang garis start. Entah disebabkan oleh aspek-aspek natural (biologis) maupun konstruksi sosial.

Kategori
Kapital Society

Kabar Duka: Kita Tidak Akan Pernah Pensiun

Seorang anak bertanya kepada ayahnya, “Apa rencana Ayah saat pensiun nanti?”
“Kau lah rencana pensiun Ayah,” jawab sang ayah.

Percakapan itu adalah sebuah kejadian yang diceritakan oleh Hasan Minhaj, seorang Indian-American komedian dalam acaranya di Netflix berjudul Patriot Act. Pada episode tersebut ia membahas tentang fenomena Silver Tsunami. Sebuah istilah yang diberikan pada keadaan di mana jumlah penduduk lansia di atas 65 tahun meningkat dengan pesat. Menurut data yang ia paparkan diperkirakan jumlah penduduk dengan usia di atas 65 tahun, meningkat dari 47 juta jiwa pada 2015 menjadi 88 juta jiwa pada 2050.
 
Kondisi ini dibarengi dengan kenyataan bahwa warga Amerika yang mencapai usia pensiun memiliki perencanaan finansial yang buruk. Diperkirakan 10 juta orang di atas usia 65 tahun masih bekerja untuk menyambung hidup. Sedangkan mereka yang sudah tidak bekerja menjalani hidup yang kurang layak karena tidak ada dana pensiun yang cukup. Padahal 48 persen orang dewasa dengan usia di atas 55 tahun tidak memiliki tabungan pensiun sama sekali.
 
Keadaan ini sangat menjadi beban bagi Baby Boomer, generasi dengan jumlah populasi terbanyak di Amerika, akan memasuki usia pensiun. Dengan tanpa memiliki tabungan yang memadai, mereka harus bersiap membayar segala biaya perawatan jangka panjang, serta menanggung segala beban keuangan, fisik, dan emosi. Keadaan ini akan mewariskan beban ke generasi berikutnya, millennial.
 
Dahulu di Amerika terdapat tiga tiang utama yang mendukung masa pensiun; jaminan sosial yang didapat dari pemerintah, tabungan pensiun, dan tunjangan pensiun yang didapat dari tempat kerja. Namun di Amerika, sejak tahun 80an tunjangan pensiunan sudah tidak wajib diterapkan secara umum oleh semua perusahaan. Sebagai penggantinya perusahaan bisa menerapkan 401(k)s, yang mana tingkat risiko finansial lebih tinggi sehingga tidak banyak diminati oleh pekerjanya. Bersamaan dengan hal tersebut, juga sangat sulit bagi kelas menengah untuk bisa mempersiapkan pensiun dengan tabungan ketika pendapatan mereka sudah habis untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga mereka hanya bergantung pada jaminan sosial, yang mana nilai yang didapat perbulan sangat kecil dan tidak dapat mencukupi seluruh kebutuhan di masa pensiun.
 
Keadaan di atas tentu terdengar familiar bagi kita sebagai warga Indonesia bukan? Nampaknya kita bahkan sudah mengalami keadaan itu sejak pada generasi-generasi sebelumnya. Lalu bagaimanakah dengan keadaan di Indonesia?
 
Di Indonesia, usia yang tergolong lanjut usia ditetapkan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah 60 tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) persentase lansia di Indonesia sekarang mencapai sekitar 9,6 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, meningkat sekitar dua kali lipat dibandingkan 5 dekade terakhir. Dimana provinsi dengan jumlah penduduk lansia tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (14,50 persen).
 
Dari sekian jumlah lansia, hampir separuh di antaranya masih bekerja. Pada tahun 2019, persentasenya mencapai 49,39 persen. Jumlah ini didominasi oleh mereka yang tinggal di daerah perdesaan. Sebagian besar lansia yang masih bekerja ini berpendidikan SD ke bawah, karenanya kebanyakan dari mereka bekerja di sektor pertanian yang mana tidak memerlukan ketearmpilan khusus. Malangnya, meskipun masih bekerja di usia renta, 46,22 persen dari mereka berpenghasilan kurang dari satu juta per bulan. Secara umum, sebagian besar lansia yang masih bekerja tersebut merupakan pekerja informal (84,29 persen) yang tidak memiliki perlindungan sosial, dasar hukum pekerjaan, dan imbalan hidup yang layak.
 
Mengutip dari BPS, jumlah lansia yang memiliki jaminan sosial (di Indonesia termasuk juga tunjangan pensiun) hanya sekitar 12,91 persen. Yang mana kebanyakan dari mereka berasal dari wilayah perkotaan. Sementara sekitar separuh dari lansia mengalami keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir pada saat sensus dilakukan. Kenyataan tersebut menunjukkan kebanyakan lansia membebankan biaya kebutuhan sehari-hari dan perawatan kesehatan kepada anak, cucu, atau kerabat di sekitarnya.
 
Permasalahan persiapan pensiun nampaknya hampir sama antara di Amerika dan Indonesia. Atau bahkan di negara-negara lain di dunia. Ketidaksiapan tabungan untuk menyambut masa senja menjadi masalah utama Baby Boomer kebanyakan. Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan mereka bergantung pada generasi setelahnya.  Entah untuk membayar biaya perawatan saja atau bahkan sampai menyediakan waktu khusus untuk membantu melakukan kegiatan sehari-hari. Atau lebih mengenaskan lagi, masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
 
Sebagai masyarakat dengan budaya timur yang kental, membiayai dan merawat orang tua di masa senja tentu menjadi hal yang hampir bisa dikatakan wajib. Terlebih dalam ikatan norma-norma agama dan sosial. Kalau tidak mau akan dibilang durhaka. Akankah kita akan seperti itu saat tua nanti? Segala keterbatasan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari di saat usia lanjut merupakan hal yang niscaya dan tidak bisa dihindari. Namun investasi untuk menyambut masa pensiun bisa diupayakan. Karena tentu kita tidak ingin bekerja seumur hidup maupun menjadi beban di masa pensiun.