Digital War vs Peace Journalism dalam satu laporan jurnalistik terkini sudah sangat mudah ditemui. Hadirnya platform digital, telah menambah kecepatan informasi serta-merta ke seluruh penjuru dunia dalam hitungan sekejap saja. Ia memberikan kabar damai juga konflik dalam waktu bersamaan.
Di luar bingkai laporan jurnalistik, yang bisa dibaca adalah respon dari publik atau netizen. Komentar bisa lebih panjang dan lebih agitatif dari pesan kunci narasumber.
Diksi, pilihan kata, dan tata kalimat sangat penting agar pesan utama yang ingin disampaikan ke publik mendapatkan dukungan.
Komentar atas berita? Jelas lebih berwarna dan bisa membuat pembaca merespon, mendapati hal-hal nyleneh, tak terduga karena bisa membawa empati, emosi, haru, hingga mesem ngguyu juga.
Saling serang dalam platform digital, beraneka rupa yang paling ringan, sedang, hingga sistematis bisa berujung shutdown, mematikan hardware pengguna dengan beragam metode perang digital. Begitu juga dengan pesan damai, harapan perdamaian bertebaran. Di platform twitter dikenal istilah twit war misalnya. Di konteks perang digital, tak ada nyawa melayang dan darah yang tumpah, tapi kerusakan dan kerugian jelas.
Lebih jauh lagi, bicara soal lain ada jejak biografi kepemimpinan di era digital yang bisa terlacak dengan mudah. Jejak digital. Jika seseorang populer lewat pencitraan, dalam sekejap saja bisa berbalik dukungan kala seseorang begitu kuat popularitasnya. Begitu juga sebaliknya, orang biasa tiba-tiba jadi perhatian bersama, jadi dikenal banyak orang mudah juga ditemui era kini. Entah karena perbuatan baik atau buruknya.
Teknologi dari masa ke masa menciptakan mesin perang yang canggih. Teknologi hadir memudahkan kemenangan, meminimalkan kekalahan. Siapa yang unggul dan menguasai informasi tentang musuh bisa memenangkan medan pertempuran, yang kemudian dalam sejarah, kita bisa mencatat keburukan pemimpin belepotan darah atas korban perang. Mereka yang mati sia-sia akibat korban perang, terbanyak adalah rakyat biasa.
Seperti kondisi terkini, di bulan Februari 2022, dunia memberikan perhatian soal invasi Rusia terhadap Ukraina. Setelah proses damai, masa damai hidup berdampingan sebagai entitas negara yang dulunya dalam satu naungan, jadi bangsa merdeka kini menjadi lawan yang saling berhadapan. Ukraina dulunya bagian dari Uni Soviet yang terpecah.
Selama proses invasi tersebut bisa dikenali bagaimana propaganda bekerja dalam situasi chaos setelah aksi saling serang terjadi. Sebelum konflik memuncak beberapa tahapan menuju pecahnya perang hadir, berupa perang urat syaraf. Adu argumen untuk memberikan pembenaran atas pilihan sikap disampaikan.
Melalui foto, satu media pesan dan pembentukan opini publik bisa dipilih. Sosok mayat serdadu Rusia berbalut salju dan mesin perang, tank di belakangnya termuat dalam kanal media Reuters misalnya. Pesan kuat, bahwa ada pilihan bela diri dari Ukraina yang siap melawan musuh. Hadirnya Presiden Zelensky di garis depan dan kemunculan sosoknya dalam pakaian non-formal, hanya dengan berkaos saja, bisa memberi impresi bagaimana sikap seorang pemimpin. Sementara Putin, Presiden Rusia hadir dalam situasi formal. Foto-foto dari medan pertempuran, jelas lebih memberi pesan kuat daripada pidato di panggung, mimbar kekuasaan, meski hal yang disampaikan adalah penghargaan atas dedikasi dan nasionalisme, kepahlawanan.
Jadi teringat kegelisahan seorang jurnalis Eropa kala dapat penugasan di daerah konflik Israel-Palestina. Ia mengeluhkan sikap penjaga newsroom, kebijakan redaksional kantornya yang selalu memilih bingkai konflik memanas untuk ditayangkan. Inisiatif damai, hubungan akrab dan manusiawi yang hadir di lapangan tak dilirik untuk jadi bahan laporan. Padahal itulah yang didapatkan atas kondisi faktual di lapangan.
Seleksi atas kisah, peristiwa damai tak dipilih, tak menarik bagi kantor berita tempatnya bekerja. Ia lalu memilih berhenti dan mendalami model jurnalisme damai, mengurai akar konflik yang ada di beberapa kawasan. Di Filipina, juga ke Indonesia berbagi pengalaman berkait praktek jurnalisme damai dan mengenali akar konflik.
Kini di tengah kondisi konflik, aksi Rusia ke Ukraina jelas ada pembelahan sikap. Ada yang setuju dan kontra, semua memberikan alasan logisnya termasuk merunut akar sejarah konflik yang memanas.
Jalan damai harus dipilih, lewat jalur politik di meja perundingan. Bukan dengan mengarahkan moncong senjata pemusnah peradaban. Itu bagian sejarah masa lalu.
Bagi kita, yang jauh dari lokasi perang, efek langsung bisa saja tak begitu terasa. Berkat teknologi informasilah, jarak yang jauh lintas benua kabar perkembangan tiap detiknya bisa dengan mudah didapatkan.
Cyber war, perang di dunia siber lewat meme, lewat dokumentasi video, menebarkan kabar hoax, informasi palsu jelas hadir bersamaan di tengah situasi konflik. Saatnya selektif dan melek informasi, memilah hal-hal buruk dengan lebih teliti. Seraya memastikan bahwa peradaban dunia untuk hidup bersama sedang tidak baik-baik saja. Perdamaian dunia yang jadi harapan warga dunia, butuh ekstra energi guna mewujudkannya.
Kematian akibat perang membawa duka, menciptakan kematian manusia lebih banyak lagi di tengah situasi dunia saat pandemi jelas melawan logika akal sehat, mencederai rasa kemanusiaan semua umat manusia. Jalan damai harus dipilih, lewat jalur politik di meja perundingan. Bukan dengan mengarahkan moncong senjata pemusnah peradaban. Itu bagian sejarah masa lalu.