Kategori
Transportasi

Cegah Orang ke Lokasi Kerja, Agar Manusia Tidak Menumpuk di Kereta

Transportasi umum sangat penting untuk mengurangi polusi. Kereta api menjadi sangat potensial untuk mengurangi pergerakan manusia dengan transportasi pribadi. Publik sampai saat ini masih kurang memahami kebijakan pemerintah. PSBB dianggap sebagai hal yang mengekang kebebasan sehingga masyarakat ada tendensi untuk melawan peraturan.

Berbicara tentang bagaimana upaya untuk pencegahan virus menular, maka harus dipahami terlebih dahulu cara virus tersebut bertransmisi. Secara garis besar, virus corona menyebar dengan media cairan tubuh yang berbentuk droplet atau percikan cairan tubuh. Droplet  ini dapat keluar melalui batuk, bersin, dan berbicara. Oleh karena itu, perlakuan preventif yang harus dilakukan masyarakat adalah menjaga jarak, menjaga kebersihan, menghindari kontak fisik, dan menggunakan masker maupun face shield.

Fasilitas kesehatan harus dipastikan siap dalam menangani masalah virus ini. Usaha ditingkatkan untuk melacak dan menemukan klaster-klaster baru agar orang dengan potensi tertular dapat dipisahkan dari yang sehat. Untuk mendukung pelacakan dan penemuan klaster baru, laboratorium untuk pemeriksaan spesimen perlu ditingkatkan kapasitasnya dari sisi jumlah dan produktivitas.

Sebelum berbicara tentang protokol kesehatan pada transportasi umum, terlebih dahulu harus dibahas apakah penerapan new normal sudah memenuhi indikator-indikator kesehatan. Antara lain penurunan jumlah kasus, penurunan angka positif laboratorium, penurunan kematian per hari, penurunan jumlah pasien yang masuk ke rumah sakit, dan semua kemungkinan orang yang telah kontak dengan virus tersebut terlacak. Jika semua indikator tersebut telah terpenuhi, maka protokol kesehatan untuk berbagai sektor dapat dilaksanakan.

Protokol kesehatan pada transportasi umum dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi publik dan sisi bisnis. Publik harus memiliki kesadaran Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan membawa hand sanitizer, memakai masker, dan memakai pakaian yang dapat mencegah kontak langsung dengan barang-barang di luar. Publik juga harus diedukasi agar menjaga jarak dan tidak terlalu dekat dengan orang lain. Peran komunitas pun menjadi penting untuk mengedukasi hal-hal di atas agar menjadi kelompok yang saling mengingatkan.

Dari sisi bisnis, pengusaha harus menyediakan tim kebersihan khusus yang telah dilengkapi dengan APD dan alat-alat untuk melakukan sterilisasi. Pembatasan mobilitas karyawan pun harus di atur dengan memperbanyak karyawan yang kerja dari rumah, jika memang diperlukan untuk ada di lapangan, maka keamanan dan kesehatan harus diperhatikan dan dijaga sepanjang waktu. Pemeriksaan kesehatan dan tracing perlu dilakukan dengan rutin terutama kepada karyawan yang memiliki kontak langsung dengan masyarakat.

Kedua hal di atas perlu disinergikan agar tercipta hubungan dua arah antara publik dan pelaku bisnis. Bisnis memberikan protokol keamanan dan kesehatan yang baik, kemudian publik mengikuti arahan sesuai dengan aturan yang telah diberikan dan menjaga diri secara mandiri. Penegakan aturan dari operator harus tegas dan diberikan sanksi apabila publik tidak mengikuti protokol yang sudah diberikan.

Pengaturan Supply and Demand Penumpang Kereta Api pada Masa Pandemi Covid-19

Kereta Rel Listrik (KRL) merupakan moda transportasi yang paling banyak jumlah penumpangnya. Pada saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) penumpang KRL yang semula berjumlah 1-1,5 juta penumpang, sekarang hanya tinggal 180an ribu penumpang. Keputusan pemerintah untuk transisi dari Work From Home (WFH) menjadi Work From Office (WFO) tentu saja akan kembali membalikkan keadaan, demand dari perjalanan menggunakan KRL akan kembali melonjak karena orang kembali bekerja.

Transportasi selalu bermasalah di hulu (pemerintah dan dunia usaha). Pemerintah dan pemilik kerja memiliki faktor utama dalam mengatur demand dari perjalanan transportasi. Operator hanya mendapatkan imbas dari tetap berjalannya dunia usaha sehingga tidak ada pembatasan orang berangkat kerja. Hilir harus mengatur jam kerja maupun protokol pergerakan agar perjalanan menjadi merata.

Penerapan WFO akan berimbas pada penumpukan penumpang di stasiun keberangkatan. Operator tidak akan  maksimal dalam mengatur pembatasan jarak antar-penumpang apabila tidak ada kontrol dari sisi demand. Perjalanan KRL 80 persennya merupakan perjalanan commuting yaitu dilakukan oleh karyawan yang bekerja mau pun perjalanan menuju sekolah. Oleh karena itu, protokol yang diatur oleh operator akan sia-sia jika dunia usaha tetap menginstruksikan pegawai-pegawainya untuk masuk kerja.

Pengaturan kereta api terdiri dari empat fase mulai 1 juni sampai dengan masa kondisi tatanan kebiasaan baru. Peningkatan kapasitas dilakukan dengan cara simulasi dengan mempertimbangkan risiko yang akan terjadi pada saat fase pelaksanaan perjalanan perkeretaapian. Pemerintah juga mulai mengedukasikan kebiasaan baru mengenai protokol kesehatan yang harus dipatuhi dari sisi operator dan dari sisi penumpang. Kedisiplinan masyarakat juga harus diedukasi dan ditegakkan aturan oleh operator demi membentuk kedisplinan dan memahami protokol-protokol kesehatan.

Keterbatasan operator dalam meningkatkan kapasitas terdapat pada harus patuhnya operator terhadap aturan pembatasan jarak antar-penumpang sehingga kapasitas penumpang per kereta menjadi sangat terbatas. Pada fase awal kelaziman baru, satu kereta diproyeksikan hanya dapat menampung sebanyak 74 orang. Pada fase kedua setelah fase pertama dievaluasi, kapasitas per kereta dapat ditingkatkan sebanyak 102 orang.

Skema simulasi kapasitas KRL dilakukan dengan skema konfigurasi penumpang yang duduk maupun berdiri. Pada KRL dipasang tanda-tanda agar penumpang dapat berdiri/duduk di tempat yang sesuai dengan plotting yang sudah disiapkan. Kapasitas dengan demand harus diatur untuk memaksimalkan keseimbangan antara penumpang pada jam puncak dan ketersediaan kereta dengan tetap mengutamakan physical distancing di dalam kereta.

Peningkatan kapasitas yang akan dilakukan pemerintah adalah gate separated di Stasiun Manggarai untuk meningkatkan kapasitas dan mobilitas penumpang, untuk memisahkan antara bogor line dan Bekasi line agar penumpang tidak bertumpuk. Pembenahan double double track sedang dikejar dan perbaikan persinyalan agar kapasitas lintas menjadi bertambah. KSO dengan operator bus harus dikoordinasikan lebih lanjut dengan BPTJ untuk koordinasi. Pengalihan antrian di stasiun dibantu dengan bis agar tidak terjadi penumpukan penumpang.

Transisi Budaya Transportasi dalam Penerapan New Normal

Transformasi budaya dalam bertransportasi berarti melakukan rekayasa terhadap perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat dapat dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu struktur, kultur, dan proses. Ketiga komponen tersebut jika dijalankan dengan serasi, maka akan tercipta inklusi sosial pada masyarakat.

Reformasi kultural dalam transportasi adalah menjawab kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan paling inti dari transportasi, memindahkan orang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan aman, nyaman, dan selamat. Oleh karena itu, struktur manajemen transportasi perlu berfokus pada melayani dan memanusiakan penumpang. Memanusiakan manusia pun berimbas kepada terjangkaunya harga tiket dan kemudahan dalam bertransaksi. Terjangkaunya harga tiket menjadi hal penting mengingat ekonomi para penumpang sedang mengalami penurunan namun tetap memerlukan layanan transportasi untuk tetap berusaha.

Kultur ini dapat diterjemahkan dalam bentuk aturan yang diterapkan terhadap penumpang namun dalam pendekatan yang humanis. Sosial media dan komunitas-komunitas pecinta kereta api dapat menjadi mitra operator dan pemerintah dalam media sosialisasi aturan-aturan protokol kesehatan dalam transportasi agar masyarakat dapat teredukasi bahkan dari sebelum pergi ke stasiun keberangkatan.

Kategori
Society

Argumentum Ad Ignorantiam Korban COVID-19

Media massa memberitakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) berbeda data soal jumlah korban meninggal dunia terkait Covid-19. Menurut IDI (dinyatakan ketua umum IDI, Daeng M. Faqih, dan Humas IDI, Halik Malik), jumlah kematian karena Covid-19 mencapai 1000, atau sekitar dua kali lipat dari angka versi Kemenkes. Pada saat pernyataan tersebut dikeluarkan (18/04/2020), angka versi Kemenkes adalah 535.

Pada tulisan ini, pengertian orang meninggal terkait Covid-19 atau “positif Covid-19” didefinisikan sebagai telah terinfeksi virus SARS-Cov-2. Sehingga, misal ada orang meninggal karena bunuh diri akibat ketakutan pada pandemi Covid-19 tidak dimasukkan dalam kategori orang meninggal terkait Covid-19, sebagaimana diasumsikan terjadi pada Menteri Keuangan di negara bagian Hesse, Jerman, 28 Maret yang lalu.

Angka IDI diperoleh dari akumulasi orang-orang yang telah meninggal dengan status positif Covid-19 dan PDP (Pasien Dalam Pengawasan). Sedangkan angka Kemenkes berdasar penghitungan jumlah korban meninggal dengan status positif Covid-19. PDP yang telah meninggal tapi tidak atau belum terkonfirmasi mengidap Covid-19 tidak dimasukkan ke dalam penghitungan korban Covid-19 versi Kemenkes.

Perlu diketahui bahwa beberapa PDP yang meninggal tersebut belum menjalani uji PCR (Polymerase Chain Reaction), dan beberapa lainnya telah menjalani uji PCR tetapi hasilnya belum keluar. Dengan demikian, tidak dapat diambil kesimpulan secara pasti bahwa semua ataupun beberapa PDP yang meninggal merupakan orang berstatus positif Covid-19, dan kemudian dimasukkan ke dalam kategori orang meninggal karena Covid-19. Kemungkinan mengidap Covid-19 memang ada, namun berstatus probabilitas, bukan kepastian.

Demikian pula, tidak dapat diambil kesimpulan secara pasti bahwa semua ataupun beberapa PDP yang meninggal tidak berstatus positif Covid-19, sehingga kemudian dikeluarkan dari kategori orang meninggal terinfeksi Covid-19. Kemungkinan tidak mengidap Covid-19 juga ada, namun juga sebatas probabilitas, bukan kepastian.

Angka jumlah kematian versi IDI memiliki kelemahan pada kurangnya bukti dan fakta pada data. Angka tersebut lebih tepat disebut sebagai asumsi. Di lain pihak, mengatakan bahwa PDP yang telah meninggal – yang disertakan dalam hitungan IDI tersebut – tidak terkait Covid-19 juga memiliki kelemahan kekurangan bukti dan fakta. Jika angka jumlah kematian versi IDI tersebut tidak bisa dibuktikan kebenaran ataupun kekeliruannya, maka kesimpulan juga tidak bisa ditarik secara memadai. Jika dipaksakan, maka akan terjadi argumentum ad ignorantiam, sebuah jenis fallacy (sesat-pikir) induksi lemah atau cacat.

Hanya karena tidak bisa membuktikan kebenaran anggapan bahwa PDP yang telah meninggal tersebut terkait Covid-19, maka kemudian disimpulkan bahwa anggapan tersebut adalah salah. Sebaliknya, hanya karena tidak bisa membuktikan kesalahan anggapan bahwa PDP yang telah meninggal tersebut tidak terkait Covid-19, maka kemudian disimpulkan bahwa anggapan tersebut adalah benar. Dua sikap ini sama-sama mengalami “argumentum ad ignorantiam”.

Di dalam argumentum ad ignorantiam, premis-premis di dalam sebuah argumen menyatakan tentang tidak ada sesuatu yang telah dibuktikan terkait suatu hal, baik itu dibuktikan kebenarannya maupun kesalahannya. Sementara itu, konklusi pada argumen tersebut membuat suatu pernyataan definitif tentang hal bersangkutan. Persoalan yang dibicarakan biasanya menyangkut sesuatu yang tidak bisa, atau belum, dibuktikan.

Premis-premis pada argumen bersangkutan seharusnya menyediakan bukti positif bagi konklusi. Namun, premis-premis bersangkutan pada kenyataannya tidak mengatakan apa-apa tentang bukti positif. Premis-premis tersebut bisa saja memuat hal-hal yang bisa memberi beberapa alasan untuk mengarah pada konklusi, tapi bukan alasan yang memadai.

Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Misal, menyangkut prinsip “presumption of innocence” pada prosedur pengadilan (terutama sistem hukum Amerika Serikat), bahwa seseorang dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah di pengadilan. Arti kata “bersalah” di sini dalam konteks legal, sehingga seseorang yang “tidak-bersalah” secara legal, bisa saja secara faktawi bersalah karena benar-benar melakukan kejahatan yang dituduhkan, namun jaksa gagal membuktikan kejahatan tersebut di pengadilan. Contoh lainnya, oleh karena belum pernah ada seseorang yang melihat Mr. X merokok, maka disimpulkan bahwa Mr. X bukan perokok. Argumen ini bisa dikatakan bersifat kuat secara induktif, namun tidak valid secara deduktif.

Di dalam konteks ini, data kematian terkait Covid-19 yang dinyatakan IDI memang perlu diasumsikan memiliki nilai kebenaran yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan data dari orang-orang dengan latar belakang disiplin lain dan profesi lain, mengingat IDI berisi orang-orang ahli di bidangnya (sains medis) dan salah satu unsur penting yang menangani pandemi Covid-19. Meski demikian, penarikan kesimpulan IDI di atas tetap tidak valid, karena berangkat dari premis-premis yang berisi data yang cacat (bukti dan fakta tidak memadai). Hanya saja, penarikan kesimpulan IDI bisa jadi memiliki kekuatan yang relatif lebih unggul dibanding dari pihak-pihak lain.

Sedangkan angka yang dimiliki Kemenkes bersifat valid, tapi dalam konteks semesta orang-orang yang telah menjalani uji PCR, dan terkonfirmasi lewat uji PCR tersebut. Angka tersebut tidak menggambarkan realitas yang sebenarnya pada semesta yang lain, yakni populasi rakyat Indonesia secara utuh. Dengan kata lain, jika ada kematian yang memang dikarenakan Covid-19 namun tidak dijangkau oleh uji PCR, maka kematian tersebut tidak masuk ke dalam tabulasi Kemenkes, yang berarti pula tidak masuk ke dalam data Kemenkes. Di sini letak kelemahan data Kemenkes. Valid tapi tidak menyatakan realitas populasi masyarakat Indonesia secara utuh yang sebenarnya. Beda semesta pembicaraan, beda populasi.

Data resmi Kemenkes lebih pada formalitas (apa yang formal), dan tidak memasukkan apa yang di luar formal. Sedangkan kemampuan formal pemerintah memiliki kekurangan-kekurangan. Misal, uji PCR yang telah dilakukan pemerintah kurang meluas dan kurang cepat jika ditujukan untuk mengetahui realitas warga Indonesia secara utuh.

Pada awal April lalu, di dalam sebuah acara “Fox & Friends” di Fox News, Dr. Anthony Fauci (direktur NIAID yang juga anggota gugus tugas virus corona Gedung Putih, Amerika Serikat) mengatakan, “We don’t operate on how you feel, we operate on what evidence is, data is…”. Ucapan Dr. Fauci ini menanggapi host acara yang menyebutkan bahwa menurut sebuah survei terbaru, sejumlah 37% dokter-dokter di seluruh dunia merasa (feel) bahwa hydroxychloroquine merupakan treatment yang paling efektif bagi Covid-19.

Sejalan dengan ucapan Dr. Fauci tersebut, maka bukti harus diutamakan, dan bukan feeling atau asumsi semata. Bukti berarti harus ada data valid sekaligus utuh, setidaknya representatif, yang tersedia. Para santis, terutama di sini sains medis, harus berangkat dari data-data yang berbasis bukti tersebut. Di pihak lain, pemerintah harus bisa menyediakan data-data tersebut secara memadai. Tanpa data yang valid dan kuat, maka langkah teknis medis dan kebijakan politik yang akan diambil oleh IDI maupun oleh pemerintah akan mengalami disorientasi.