Kategori
Kapital

Melampaui Tuntutan Hak Cuti Melahirkan dan Ruang Laktasi di Tempat Kerja

Belakangan cuti hamil dan melahirkan menjadi perbincangan. Pemicunya, ada beberapa orang di media sosial yang bilang bahwa ada banyak kejadian pekerja perempuan mengambil cuti melahirkan, 3 bulan digaji tapi tidak kerja. Setelah cutinya habis, perempuan ini mengundurkan diri dari pekerjaannya. Mereka yang memulai perbincangan ini, menganggap hal ini sangat merugikan perusahaan. Sehingga, perusahaan mungkin akan berpikir ulang jika ingin merekrut tenaga kerja perempuan. Takutnya, baru sebentar bekerja, ternyata hamil, mengambil cuti hamil-melahirkan, lalu resign.

Pihak yang keberatan dengan argumen ini mempertanyakan komitmen perusahaan dalam memberikan kenyamanan bagi para ibu untuk bekerja. Apakah perusahaan sudah menyediakan berbagai fasilitas untuk perempuan yang baru saja melahirkan? Misalnya ruang laktasi, kelenturan dalam aturan jam kerja, fasilitas penitipan anak, dll. Bagi para ibu, apalagi baru melahirkan anak pertama, tentu saja sangat berat jika harus meninggalkan anaknya terlalu lama. Lebih-lebih buat keluarga yang tidak punya uang banyak untuk membayar pengasuh anak. Jadi, ketimbang memberi tuduhan yang macam-macam bagi para pekerja perempuan, perusahaan semestinya lebih aktif untuk mencari tahu apa penyebab perempuan yang baru melahirkan berhenti bekerja.

Saya sangat setuju bahwa cuti hamil-melahirkan yang lebih panjang dan fasilitas untuk para orang tua yang baru punya anak adalah hak pekerja yang harus disediakan. Dalam kasus resign, sepanjang tidak ada perjanjian tertulis, sah-sah saja bagi pekerja mau resign kapanpun.

Namun demikian, tuntutan atau tujuan kita, kelas pekerja, semestinya tidak hanya sampai titik ini. Sebab, ini belum menyentuh permasalah mendasarnya.

Masalah cuti hamil-melahirkan dan fasilitas buat orang tua yang baru punya anak sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai hubungan antara pekerja dan perusahaan. Ini masalah sistem ekonomi secara keseluruhan yang saling berkaitan, yakni tentang bagaimana kita memberi nilai pada sebuah kerja. Kegiatan apa saja yang termasuk kerja? Mengapa ada aktivitas yang dianggap bernilai secara ekonomi dan mendapatkan kompensasi berupa gaji, sedangkan aktivitas lain tidak?

Misalnya, kalo kita melihat seorang perempuan yang bekerja sebagai ilustrator, apa saja kegiatannya yang harus dikompensasi dan hal-hal apa saja yang mendukung dan memungkinkan dia melakukan kegiatan itu? Saat ini, yang dianggap bernilai dari kegiatan si perempuan ilustrator ini hanyalah kerja-kerja dia yg menghasilkan sebuah ilustrasi. Sehingga, perusahaan cukup membayar kerja-kerja si perempuan saat mengilus saja.

Tapi, pertanyaannya, bagaimana si perempuan ini bisa membuat ilustrasi? Ada begitu banyak kerja yang berperan. Mari kita urai beberapa. Ibunya dulu saat mengandungnya menjaga kesehatan dengan baik, makan makanan bernutrisi. Setelah lahir, ia dirawat dengan penuh kasih sayang oleh ibu, bapak, dan keluarganya yang lain. Agak besar, dia punya banyak teman yang membuatnya bisa mudah bersosialisasi dengan masyarakat. Di sekolah, dia diajari ilmu pengetahuan biar pintar. Lalu, ia kuliah di jurusan desain yang dibiayai oleh orang tuanya. Di kampus, dia ikut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) sehingga punya ruang untuk melatih softskill. Kemudian, ia lulus menjadi seorang perempuan yang bisa membuat ilustrasi, punya kreativitas tinggi dalam mengeksplorasi ide-ide desain, dan punya daya banting fisik dan psikologis yang kuat dalam menghadapi deadline.

Perusahaan tempat si perempuan ini bekerja tidak menanggung biaya ini semua. Tinggal memakai tenaga si perempuan saja. Ibu dan bapak yang merawat dan membesarkan anaknya tidak dibayar; para tetangga yang membantu si anak mudah bersosialisasi juga tidak dibayar; si perempuan bersekolah dan kuliah dengan biaya sendiri (dari orang tuanya); guru-guru honorer di sekolahnya dibayar dengan sangat-sangat murah. Singkatnya, kerja-kerja yang menghasilkan tenaga kerja (labour power) itu tidak dianggap bernilai dalam sistem ekonomi hari ini, sehingga dianggap tidak perlu diberi kompensasi, dan tetap diserahkan kepada keluarga dan komunitas-komunitas yang ada di masyarakat untuk mengerjakannya dengan alasan itu sesuatu yang alamiah.

Mungkin bakal muncul pertanyaan, bagaimana mungkin kasih sayang orang tua kepada anaknya harus dinilai secara ekonomi? Bukankah sudah menjadi kewajiban orang tua merawat anaknya? Jawabannya, di dalam sistem ekonomi yang sebagian besar orang bergantung pada upah untuk hidup, dan fakta bahwa sesungguhnya seluruh pertambahan nilai dalam perusahaan baik itu manufaktur maupun jasa berasal dari pekerja, maka seluruh akivitas yang membuat si pekerja itu bisa bekerja ya harus diberi nilai juga.

Dari sini bisa dilihat, seprivat apapun itu, mulai dari kamar tidur, ruang tamu rumah, dapur, sebenernya sangat berkaitan dengan ruang publik dan ruang kerja. Yang jadi masalah hari ini, antara ruang kerja dan rumah dianggap terpisah dan tidak ada hubungannya. Makanya, si perempuan ilustrator tadi hanya dibayar kerja-kerjanya di kantor atau kerja di rumah saat WFH (work from home). Tapi ketika ia hamil, misalnya, itu dianggap urusan pribadi/privat. Padahal, berputarnya ekonomi juga sangat bergantung pada kerja-kerja orang tua membesarkan anak, yang di kemudian hari menjadi seorang tenaga kerja yang menghasilkan nilai-nilai ekonomi.

Berdasarkan pemahaman inilah, menurut saya, sebaiknya pembelaan pada cuti hamil-melahirkan dan fasilitas untuk orang tua yang baru punya anak bukan hanya dari segi moralitas. Jadi bukan hanya tentang apakah perusahaan jahat kepada perempuan (karena tidak menyediakan cuti hamil-melahirkan yang panjang dan fasilitas daycare dan ruang laktasi yang berkualitas) atau perusahaan baik kepada perempuan (sebaliknya). Walaupun tentu ini sah-sah saja dan akan menarik banyak perhatian (mudah viral), tapi kritiknya juga bisa objektif dan saintifik, yaitu tentang fakta bahwa ada banyak sekali nilai-nilai kerja yang diambil secara gratis oleh perusahaan.

Saya setuju dengan Koko Dirgantoro ketika ia bilang bahwa peran negara diperlukan dalam mengatur cuti lahir-melahirkan dan ikut menyediakan fasilitas daycare dan ruang laktasi. Tapi, lagi-lagi sebaiknya kita tidak berhenti di sini. Karena kalo ini cuma tentang bagaimana negara mengatur secara tegas cuti lahir-melahirkan dan menyediakan fasilitas laktasi dan daycare secara gratis, tanpa mengubah struktur perusahaan menjadi benar-benar demokratis (pekerja punya suara dan kuasa yang nyata dalam menentukan bagaimana keuntungan perusahaan digunakan dan dibagikan, bagaimana perusahaan berproduksi, dll.), maka negara bakal empot-empotan dan sebagian besar nilai kerja/nilai ekonomi tetap diambil oleh para pemilik perusahaan raksasa yang sama sekali tidak bekerja.

Mungkin Kokok Dirgantoro dan orang-orang lain yang hanya menekankan pentingnya negara menyediakan banyak fasilitas dan kesejahteraan pada pekerja, tanpa bicara bagaimana mendemokratiskan perusahaan, berkaca pada Eropa di masa welfare state (negara kesejahteraan). Memang, negara-negara di sana bisa menyediakan cuti hamil-melahirkan yang panjang, fasilitas dan pembiayaan untuk anak-anak baru lahir, pendidikan gratis, kesehatan gratis, dll. Tapi jangan lupa, negara-negara itu bisa menjalankan program yang sedemikian rupa karena kaya dan kekayaannya banyak didapatkan dengan cara mengisap negara-negara bekas jajahan, seperti Indonesia.