Kategori
Beranda

Jogja, Ilheus, Makassar, dan Imajinasi Negeri Maritim

Ucapan ngarsa dalem itu sudah sebulan lamanya. Kala itu serasa biasa saja. Tetapi pekan ini, kalimat itu menggetarkan kembali gendang telinga saya. “Jogja sekarang pintunya menghadap ke Selatan. Dalam arti, memprioritaskan Samudera Indonesia. Samudera Hindia bisa menjadi kekuatan baru bagi masyarakat Jogja,” kata Sultan HB X usai dilantik jadi gubernur.

Getaran di telinga itu malah membuat saya ingat Ilheus. Sebuah kota yang sedang bergairah – ketika ceritanya ditulis. Tapi kemajuannya terhalangi oleh gundukan pasir di pelabuhannya yang sekarat. Mungkin, gara-gara baru selesai menulis tentang Gabriela, saya kemudian teringat Ilheus setelah membaca lagi ucapan sang Sultan. Perempuan tak tahu diri itu bukan saja mengacaukan perpolitikan di Ilheus, tapi juga pikiran saya. Ia bahkan mengalahkan Marlina Si Pembunuh.

Pelabuhan Ilheus punya masalah sedimentasi yang terlampau parah. Jogja sama. Pelabuhan Adikarto yang mulai dibangun tahun 2004, sampai sekarang hanya terlihat seperti kuburan. Yang bersandar hanyalah sampan-sampan kecil kosong muatan. Padahal, harapannya, pelabuhan ini bisa menjadi pusat perikanan terbesar di perlintasan Selatan.

Ilheus dibangun di atas ceceran darah yang tertimbun. Lahan tak bertuan itu diperebutkan para berandalan untuk berkebun kakao. Siapa yang kuat, ia yang menguasai lahan. Akibatnya, pemimpin kota itu adalah seorang yang beringas di masa mudanya, Ramiro Bastos. Ia punya kebun kakao berhektar-hektar. Kisah versi Jorge Amado, wali kota Ilheus adalah anaknya, dengan kendali penuh dari dirinya. Keputusan-keputusan tetap berasal dari anggukannya. Anaknya hanya boneka.

Sementara Jogja adalah hasil perjanjian. Kini dipimpin generasi kesepuluh, darah yang sama.

Tentu saja Jogja tidak persis sama dengan Ilheus. Kota kecil di pinggiran Brazil itu gairah kemajuannya dibawa oleh seorang pengekspor kakao yang datang dari Rio de Janeiro. Ramiro menyebutnya “orang asing”. Ia tak percaya ide si “asing” yang akan mendatangkan seorang insinyur untuk menyelesaikan masalah gundukan pasir. Ia tak yakin gundukan itu dapat diberantas. Sehingga, selama ini ia acuh pada pelabuhan itu. Ia hanya tertarik membangun hotel, apartemen, taman, dan segala bangunan yang membuat kota gemerlap, juga sesak.

Akibatnya, kakao mesti tetap dikirim ke pelabuhan provinsi di Bahia, untuk diekspor. Jalan aspal dibangun. Kalau perlu dibuat bertingkat, agar kendaraan semakin kilat mencapai Bahia.

Sedangkan di Jogja, kesadaran beranjak ke lautan digagas oleh sang pemimpin. Gagasan itu, suka tidak suka, lebih bergaung saat diucapkan di ibu kota. Sebuah gagasan yang sukses melambungkan popularitas orang yang melantiknya: kebudayaan maritim. Sebuah kebudayaan yang dijadikan pintu rindu kejayaan leluhur. Sebab katanya, kakek kita adalah seorang pelaut. Walaupun, kakek saya, saat berada di tengah lautan, menengadahkan tangannya, berdoa semoga anak cucunya tidak jadi pelaut. Karena laut berisi kepahitan dan ketidakpastian hidup. Ancaman maut datang bersama gelombang yang bertabrakan. Suara terhalang angin laut ketika hendak minta tolong. Tak ada penolong. Yang ada hanyalah mantra-mantra pelindung badan yang semoga tak hilang dibawa arus.

Seperti kata orang Madura dalam syair-syair lagunya, pelaut berbantal ombak dan berselimut angin. Maut menjadi teman beraktivitas, selama berbulan-bulan.

Baca juga: Sebelum Bandara Kulon Progo Berdiri

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan DIY, Sigit Sapto Raharjo, meyakini Adikarto bakal menjadi pusat perikanan terbesar dan menyedot kapal-kapal ikan besar di sekitarnya. Jarak yang dekat dengan calon Bandara Kulon Progo juga menguntungkan. Rencananya, pengiriman ikan diintegrasikan dengan pesawat.

Ini rencana yang bagus. Ciri kebudayaan maritim yang dicita-citakan oleh Sultan adalah kerja sama yang mendarah-jantung. Lautan yang penuh ketidakpastian menuntut kerja sama yang tak putus-putus antarawak kapal. Butuh perorganisasian yang mapan. Pembagian kerja harus berdasarkan kebutuhan.

Namun, kemudian saya ingat bagaimana Makassar menjadi kota pelabuhan internasional pada masa kejayaannya. Dimulai dengan kesepakatan sembilan negeri di muara Sungai Jeneberang dan Tallo yang membentuk kerajaan besar bernama Gowa. Negeri-negeri kecil itu tidak terpenjara egonya. Mereka menekan ambisi kelompok untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Hasilnya, Makassar menjadi salah satu kerajaan maritim kuat setelah dua ratus tahun keruntuhan Majapahit. Makassar terkenal, pada masanya, ke berbagai penjuru negeri melalui hubungan perdagangan.

Hari ini, untuk mengintegrasikan Bandara Internasional Adi Soemarmo yang berada di Solo dengan aktivitas perekonomian dan wisata di Jogja saja susah. Pemerintah Jogja tidak terlihat berniat membangun transportasi penghubung yang handal antara bandara itu dengan kota Jogja. Pemerintah Jogja ingin juga punya bandara internasional sendiri. Meskipun rencana itu lebih terlihat sebagai sebuah ekspansi kapital.

Mungkin ini disebabkan oleh ego yang berbeda. Sehingga dua wilayah ini melangkah sendiri-sendiri.

Bukanlah alasan bahwa dua wilayah ini masih terkungkung feodalisme. Sembilan negeri di Sulawesi selatan itu juga dikuasai pemerintahan feodal. Meskipun, Soekarno berujar, ada dua tipe feodalisme. Pertama, feodalisme yang sedang berkembang, akan hamil, dan kemudian melahirkan kebudayaan modern dengan caranya sendiri. Tetapi pada akhirnya janin itu digugurkan oleh VOC. Kedua, feodalisme sakit-sakitan. Feodalisme yang sudah tidak punya lagi semangat kemandirian hidup dan lebih suka menjilat pantat VOC. Feodalisme yang suka menginjak kepala rakyatnya sendiri untuk bertahan di singgasananya.

Kebudayaan maritim memang bukan soal membangun lebih banyak pelabuhan daripada jalan layang. Ia soal cara pandang. Soal gairah memahami pengetahuan kelautan dan tetek bengeknya. Ia tentang cara hidup yang mengedepankan kerja sama dan pembagian kerja yang sesuai kebutuhan. Seperti halnya kerja sama dan pembagian kerja awal kapal.

Kebudayaan maritim bukan sekadar mimpi sang penguasa. Gerak memunggungi laut selama ini bukanlah disebabkan oleh master plan yang salah arah. Tetapi karena ketidakmampuan kita mendengarkan melodi-melodi kecil dan merajutnya menjadi simfoni. Menetapkan pembangunan pelabuhan, bandara, dan infrastruktur lain, tidak bisa hanya mendengar imajinasi pembangunan di ibu kota sana. Ia perlu mendengar dentum kegelisahan di pinggiran negeri, semacam kabupaten kecil Kulon Progo.

Dandy IM
PijakID 

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s