Kategori
Beranda

Mencegah Banjir Sejak Dari Rumah

Sumber: Dustymars

Perubahan wajah kota seharusnyalah diiringi perubahan cara pandang kita terhadap air. Dulu kita berpikir untuk secepat-cepatnya membuang air hujan yang menggenang di halaman rumah agar tidak mengganggu aktivitas. Itu adalah pilihan tepat ketika rumah masih jarang, sehingga air mudah meresap. Sungai masih remaja dan berfungsi optimal. Bahkan aliran air hujan kala itu sudah hilang ditelan tanah sebelum mencapai bibir sungai.

Tetapi kota berubah. Air tidak lagi leluasa menyelusup ke pori-pori tanah. Ia tertahan lapisan beton atau aspal. Sehingga kita perlu merevisi sikap kita terhadap anugerah hujan yang diberikan Sang Pencipta.

Beberapa dekade terakhir muncul istilah drainase pro-air. Maksudnya, kita tidak bisa lagi melihat air sebagai musuh yang perlu dilempar jauh-jauh dari pekarangan rumah. Kita perlu bersahabat dengan air. Istilah populernya: memanen air. Secara praktis, gerakan ini mengajak kita untuk menerapkan konsep zero run off. Tujuan utama dari konsep ini adalah memastikan bahwa tidak ada air yang keluar dari rumah kita. Semua air yang jatuh di atap, halaman, dan taman rumah tidak kita biarkan mengalir ke saluran pembuangan. Kita bertanggung jawab pada setiap tetesan air yang jatuh di rumah kita.

Konsep ini tentu mengubah cara pandang sebelumnya yang berupa drainase anti-air. Konsep anti-air memandu manusia untuk membuang air hujan ke sungai dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Penerapan dari konsep ini adalah pembangunan drainase secara masif agar bisa menampung aliran air hujan, agar tidak terjadi genangan yang mengganggu.

Banyak efek yang kemudian muncul dari penerapan cara pandang semacam ini. Karena saat musim hujan kita membuang-buang air hujan, maka kita kekurangan air di musim kemarau. Sebaliknya, kita berhadapan dengan banjir di musim hujan.

Baca juga: Kesalahan Paradigma Transportasi

Kita bisa mengambil pelajaran penting dari efek yang merugikan ini. Kita perlu mengurangi keluhan terhadap fungsi drainase yang tidak maksimal sehingga menyebabkan genangan. Lebih bijak bila kita menengok rumah sendiri terlebih dahulu. Apakah rumah kita juga menjadi penyumbang aliran air?

Beragam cara untuk menahan air agar tidak keluar dari rumah sudah ditawarkan. Salah satunya adalah sumur resapan. Sunjoto mendedikasikan waktunya untuk mengembangkan berbagai bentuk sumur resapan yang bisa diterapkan. Ia menawarkan berbagai rumus desain sumur resapan yang tidak akan saya jelaskan di sini, karena tulisan ini akan menjadi naskah kuliah. Tetapi, sebagai gambaran, untuk rumah sederhana satu lantai dengan luas atap 100 meter persegi, dibutuhkan satu sumur resapan kedap air (dinding dicor) dengan lebar lubang 60 sentimeter dan dalamnya 2 meter. Apabila kita lebih suka membuat sumur yang porus (dinding tidak dicor, sehingga air bisa meresap ke samping), dengan lebar lubang yang sama, maka kedalaman yang dibutuhkan hanya sekitar 1 meter. Sebuah pekerjaan yang tidak sulit.

Meskipun, berbagai studi belakangan menunjukkan bahwa taman resapan lebih efektif daripada sumur resapan. Ia lebih efektif menyerap air. Cara membuatnya lebih mudah. Cukup dengan membuat sepetak tanah berumput yang sisinya ditinggikan agar air menggenang di lahan tersebut. Misalnya, kita membiarkan halaman yang luasnya 20 meter persegi (seluas parkiran mobil) tetap berupa tanah yang berumput dan meninggikan sisinya sebesar 10 sentimeter. Maka, air yang dapat ditampung sebanyak 2 meter kubik. Bandingkan dengan satu sumur resapan sedalam 2 meter yang hanya bisa menampung setengah meter kubik.

Tentu saja hitung-hitungan ini adalah penyederhanaan. Sebab belum mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti kecepatan resapan air. Tetapi, setidaknya, kita bisa mengerti satu hal. Bahwa membuat sepetak tanah kecil berumput di rumah kita lebih bijak daripada membetonnya. Apalagi jika halaman kita yang berbeton itu kemiringannya diarahkan ke jalan. Tindakan itu membuat kita juga ikut berpartisipasi sebagai penyumbang banjir.

Konsep pro-air ini tidak hanya membantu kita untuk mengamankan persediaan air. Ada hal positif lain yang mengikutinya. Pertama, tindakan meresapkan air di sekitar rumah membuat pencemaran air tanah di daerah tersebut menurun. Zat-zat berbahaya menjadi encer karena pasokan air bersih bertambah. Efeknya, manusia di daerah itu menjadi lebih sehat. Kedua, tanah tidak gampang ambles. Apabila air dibuang begitu saja sehingga tidak meresap ke dalam tanah, air tanah semakin menipis. Akibatnya, rongga tanah semakin membesar. Lama-kelamaan, tanah runtuh. Hal ini akan akan sangat merugikan jika di atas tanah tersebut berdiri sebuah bangunan, jalan misalnya. Atau bahkan bangunan itu adalah rumah kita sendiri.

Perubahan tindakan dari anti-air menjadi pro-air ini memang memerlukan waktu. Sebab ini bukan hanya soal tidak pedulinya pemerintah pada persoalan krusial semacam ini. Tetapi ini juga merupakan masalah perilaku dan cara pandang kita. Singkatnya, masalah kebudayaan.

Tetapi harapan perubahan tetaplah ada, meskipun secara perlahan. Daripada tidak ada perubahan sama sekali. Masih ada harapan untuk hari esok yang lebih baik.

Dandy IM
PijakID 

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s