Kategori
Infrastruktur

Layakkah Strategi Pembiayaan Infrastruktur Era Jokowi?

Sumber : Instagram @jokowi

Memang andalan!!!. Itulah kata yang menggambarkan begitu progresifnya pembangunan infrastruktur era Jokowi saat ini. Timeline social media (sosmed) miliknya dipenuhi dengan dokumentasi acara meriah pemotongan pita peresmian bangunan-bangunan baru. Akun tersebut juga sering mengunggah foto/video presiden berpakaian kemeja putih lengan terlingkis sedang mengawal berlangsungnya pembangunan di daerah-daerah. Jokowi terus mengawasi proyek yang berjalan mulai dari bangunan gedung, jembatan, jalan tol, bendungan, pelabuhan, bandara hingga infrastruktur perbatasan (Pos Lintas Batas Negara).

Beruntung!!!, pak Jokowi menjadi presiden di era sosmed seperti sekarang, ketika marketing politik sangat mudah dibangun lewat sosmed. Menarik simpati masyarakat bukanlah hal yang sulit lagi. Tinggal unggah foto blusukan mengontrol progres proyek dan unggah video bagi-bagi sepeda saat acara peresmian infrastruktur. Hasilnya, didapatkanlah indeks kepusasan kinerja pembangunan yang tinggi pada umur jabatan tahun keempat kemarin. Lumayan, buat modal mempertahankan istana. Namun, adakah yang lebih mengkritisi, sebenarnya uang dari mana saja untuk melaksanakan proyek pembangunan sebanyak itu? Apakah mungkin pemerintah bisa menyediakan uangnya sendiri? Jika tidak, langkah apa saja yang harus dilakukan untuk tetap bisa melaksanakan ambisi pembangunan ini?

Tanda tanya besar itu sekarang membebani kepala saya. Memaksa saya untuk melonggarkan diri duduk di warung kopi. Menuntaskan dahaga rasa ingin tau saya ini.

List Belanja Infrastruktur Negara

Infrastruktur yang dijanjikan Jokowi bukanlah infrastruktur yang abal-abal seperti pemimpin yang sebelumnya. Bayangkan, dalam 5 tahun, Jokowi menjanjikan tersedianya tambahan suplai listrik sebesar 35 ribu megawatt dengan cara membangun beberapa PLTU dan 49 bendungan lengkap berserta instalasi PLTA-nya. Jokowi juga ingin membangun 100 pelabuhan berbagai ukuran lengkap dengan beberapa kapal untuk menunjang program Tol Laut.

Di sektor transportasi darat, ditargetkan ada 1800 km jalan tol, ribuan km perbaikan jalan nasional, ribuan km jalan rel, ratusan unit jembatan, satu paket MRT Jakarta hingga puluhan bandara yang harus terselesaikan pada tahun 2019. Selain bertujuan untuk mengurai kemacetan, dalih pengadaan infrastruktur ini ditujukan untuk menekan biaya logistik hingga mencapai 20%. Dengan begitu, harga barang-jasa dapat ditekan, daya beli masyarakat dapat ditingkatkan. Sektor pariwisata juga diharapkan akan tumbuh akibat dibangunnya infrastruktur transportasi darat, laut dan udara.

Belum lagi pembangunan ribuan km saluran irigasi, ratusan pasar, ratusan unit rusunawa, puluhan ribu perumahan rakyat dan puluhan pos batas negara yang membuat geleng-geleng kepala kita, bertanya. Dari mana mendapatkan uang untuk belanja infrastruktur pemerintahan Jokowi hingga 2019? Mewujudkan ambisi pembangunan proyek-proyek yang diprediksi akan menghabiskan 5000 triliun itu. padahal APBN selama 5 tahun kita cuma sekitar 10000 triliun. Apakah separuh dari APBN selama 5 tahun mau digunakan untuk infrastruktur saja?

Untuk mencapai ambisi pembangunan ini, banyak anggaran dana sektor lain yang dikorbankan. Salah satunya dengan mengorbankan alokasi dana subsidi energi seperti pencabutan subsidi BBM yang mengakibatkan barang dan jasa mengalami inflasi. Dengan berbagai usaha itupun, paling nekad, pemerintah hanya berani mengalokasikan APBN sektor infrastruktur sebesar 409 triliun yaitu untuk tahun anggaran 2018 (pada 2017 hanya sebesar 378 triliun). Anggap saja anggaran infrastruktur dipukul rata sebesar 400 triliun per tahun. Seharusnya dalam 5 tahun, belanja infrastruktur normalnya hanya 2000 triliun. Ternyata masih ada kekurangan anggaran 3000 triliun. Lalu dari mana asal dana 3000 triliun untuk menutupi kekurangan biaya pesta pembangunan Jokowi yang agung itu?

Program Tax Amnesty, Usaha yang Gagal

Bulan Maret tahun lalu sering kita dengar pemberitaan tentang Tax Amnesty (pengampunan pajak). Program ini ditempuh untuk mewujudkan ambisi pembangunan pemerintah dengan menekan para pembangkang pajak agar segera bertaubat, menjadi warga negara yang baik rutin bayar pajak. Program ini setidaknya punya dua tujuan. Pertama, tujuan jangka panjang, yaitu untuk meningkatkan pendapatan pajak tahunan di tahun-tahun kedepan. Kedua, tujuan jangka pendek, yaitu mengumpulkan dana repatriasi pembangkang pajak untuk menutup sebagian besar kekurangan biaya pembangunan dengan target pendapatan sampai 1000 triliun.

Sialnya, dari target capaian dana repatriasi sebesar 1000 triliun, yang terkumpul hanya 147 triliun atau 14,7 persen saja. Sehingga, dapat dikatakan program Tax Amnesty ini Gatot alias gagal total untuk menolong ambisi pembangunan Jokowi.

Kebijakan Utang

Proyek pembangunan yang sangat banyak membuat anggaran belanja negara kita kian melecit tajam, jauh lebih besar dibanding pendapatan negara yang terkumpul. Akhirnya, defisit anggaran inilah yang menyebabkan pemerintah terpaksa harus berutang. Misalnya untuk saat ini, dalam rangka memenuhi APBN tahun 2018, pemerintah menyiapkan sekenario utang dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 414 Triliun. Tetapi ironisnya, 247,6 dari 414 triliun sersebut akan terbuang sia-sia hanya untuk membayar bunga utang-utang sebelumnya.

Sekenario utang selanjutnya adalah mengajukan permintaan bantuan utang kepada negara sahabat ataupun lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF. Secara Prosentase, 90 persen bentuk bantuan utang adalah berupa bantuan proyek, 10 persen lainnya berupa bantuan dana tunai. Contoh yang dapat kita lihat dari bantuan proyek adalah pembangunan MRT Jakarta dari Jepang, WISMP-2 (Water Resource and Irrigation Sector Management Program Phase-2) dari Bank Dunia, dan program tol laut dari Bank Dunia.

Meski kebijakan utang ini dinilai efektif untuk membantu mewujudkan program pemerintah, tapi banyak juga pihak-pihak yang berteriak lantang menentang kebijakan itu. Pasalnya utang negara saat ini sudah mencapai 3866 trilliun dan akan bertambah menjadi 4280 triliun jika SBN baru resmi diterbitkan. Utang ini diprediksi para ahli ekonomi akan mencapai 5000 triliun pada akhir kepemimpinan Jokowi. Namun, jika dilihat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia masih dalam batas aman dengan nilai sekitar 28 persen (dibawah angka aman 30 persen). Nilai rasio itu lebih kecil daripada negara ASEAN lainnya, bahkan jauh lebih kecil dari pada negara maju seperti Jepang (220 persen), Amerika (107 persen), Perancis (98 persen), Inggris (89 persen) dan Jerman (68 persen). Harus kita ketahui bahwa rata-rata waktu jatuh tempo pun masih aman yaitu selama 8,8 tahun (di atas 5 tahun).

Walaupun beberapa indikator menyatakan utang Indonesia masih aman, kebijakan utang ini harus diwaspadai. Jangan sampai pemerintah terus menuhankan kebijakan utang sebagai solusi utama untuk menutup masalah finansial negara. Karena bagaimanapun juga, bunga utang tersebut akan senantiasa membebani anggaran negara. Jika hal ini terus terjadi, maka aka ada dampak serius di kemudian hari, yakni harga tawar Indonesia di mata pihak pemberi utang menjadi semakin rendah. Akibatnya, kebijakan Indonesia mudah terintervensi. Si pemberi hutang akan memaksa pemerintah membuat produk kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat secara penuh.

Kerjasama Pemerintah dan Swasta

Kita masih mempunyai pertanyaan besar: bagaimana memenuhi ambisi pembangunan dengan kekurangan biaya mencapai 3000 Triliun? Program Tax Amnesty faktanya tidak banyak membantu. Sejalan dengan kegagalan program tersebut, pemerintah juga ditekan untuk menghentikan perilaku utang yang sudah terlanjur dilakukan. Lalu, kalau sudah begitu, apakah kita harus memupuskan target pembangunan yang agung itu dan kembali mengandalkan APBN murni untuk membiayai proyek? Apakah kita rela menunggu lambatnya pembangunan gara-gara seretnya pembiayaan? Jawabannya pasti berujung, “Mau ketinggalan sejauh mana lagi sama negara sebelah, Bung!”

Berbagai kajian juga mengatakan, sangatlah tidak mungkin pembangunan negara sebesar ini dilakukan hanya dengan dana APBN saja. Oleh sebab itu kita membutuhkan bantuan. Solusi utamanya adalah mengikutsertakan swasta dalam skema pembangunan infrastruktur prioritas di Indonesia. Namun, untuk menjalankan program ini, pemerintah harus siap menghadapi banyak hambatan dan tantangan. Salah satu hambatanya yang sudah diterima adalah penyerangan dan pembelokan isu oleh beberapa oknum beberapa waktu lalu yang ingin menjatuhkan citra pemerintahan periode saat ini dengan mengatakan, “Pemerintah telah jual-jual aset negara. Jalan, jembatan, pelabuhan hingga BUMN dijualnya semua.”

Pada kesempatan dalam tulisan ini ijinkanlah saya meluruskan pernyataan di atas, bahwa yang dimaksud “jual-jual aset” tersebut mungkin dilontarkan oleh orang yang kurang memahami skema Kerjasama Pemerintah-Swasta yang biasa disebut public private partnership (PPP). Jadi seenaknya saja bilang ada transaksi jual beli aset kepada swasta, mentang-mentang pernah dilakukan pemerintahan periode dulu (Penjualan Indosat dan Telkom oleh Presiden Megawati). Padahal tidak seperti demikian.

Skema PPP ini banyak bentuknya, klasifikasinya antara lain: built own operate, build develop operate, design construct management finance, buy build operate, lease develop operate, warp around addition, built operate transfer, build own operate transfer, build rent own transfer, build lease operate transfer, dan build transfer operate (IMF, 2006). Partisipasi swasta dengan skema-skema tersebut dianggap membuat investasi publik menjadi menarik, terutama bagi negara-negara penganut ekonomi liberalisme untuk mempercepat pembangunan infrastruktur negaranya. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Ya sama, skema kerjasama PPP inilah yang dibangun oleh pemerintah untuk memenuhi target pembangunan dengan kekurangan biaya 3000 triliun tersebut.

Pilihan pemerintah Indonesia jatuh kepada skema build operate transfer karena pemerintah masih ingin mengontrol PPP dengan mengadakan sebagian anggaran dan penjaminan risiko proyek. Singkatnya, skema ini memungkinkan pihak swasta untuk membangun infrastruktur yang diprioritaskan oleh pemerintah, lalu diberikan kesempatan mengambil keuntungan dari dioperasikannya infrastruktur tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Lalu setelah jatuh tempo, aset infrastruktur harus diserahkan kepada pemerintah.

Contohnya adalah pembangunan jalan tol. Ada pihak developer swasta yang ingin bekerjasama untuk membangun jalan. Lalu setelah proyek selesai dikerjakan, pihak developer tersebut diberikan kesempatan waktu 20 tahun untuk mengambil keuntungan dari tiket masuk tol. Setelah 20 tahun, tol tersebut diserahkan kepada pemerintah, lalu jalannya bisa digratiskan untuk umum oleh pemerintah.

Pastinya ada beberapa kelemahan dari skema built operate transfer ini. Salah satunya adalah kesulitan menarik Investor. Developer maupun Investor hanya tertarik untuk berperan dalam proyek yang sifatnya sangat vital saja seperti Jalan Tol, MRT (Mass Rapid Transit), LRT (Light Rapid Transit) Pelabuhan dan PLTU. Sedangkan untuk pembangunan SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum), SPAL (Sistem Pengelolaan Air Limbah), Rusunawa, dan Jaringan Irigasi kurang diminati karena nilai indeks pengembalian (Internal Rate of Return) tidak jelas. Lalu apakah skema yang lain bisa lebih baik? Ya tidak juga. Daripada buang tenaga mengganti skema baru yang tentunya membutuhkan tenaga untuk membuat regulasi baru, pemerintah sebaiknya lebih fokus untuk menghadapi tantangan Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) kedepannya.

Tantangan pengembangan KPS, antara lain:

1. Pemerintah perlu mengubah pola pikir Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dalam merencanakan skema pembiayaan proyek. Yaitu dengan mengalokasikan APBN infrastruktur sebagai fasilitator dan katalisator, sedangkan investasi swasta sebagai tulang punggung pembiayaan infrastruktur.

2. Pemerintah bersama PJPK perlu menyiapkan dana untuk meningkatkan kelayakan proyek, baik dalam bentuk dukungan penyediaan tanah, fiskal, dan sebagian kontruksi.

3. Meningkatkan minat perbankan dan institusi pembiayaan dalam negeri lainya dalam pembiayaan proyek KPS dengan mendorong perubahan strategi bisnis dari yang awalnya Corporate Finance menjadi Project Finance.

4. Harus ada penyelarasan/integrasi dalam keseluruhan proses pelaksanaan proyek, mulai dari penyiapan, transaksi dan perijinan sehingga ada kepastian jangka waktu dan proses dalam pelaksanaan proyek KPS.

Salah satu langkah awal yang dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut adalah dengan mengintegrasikan antara siklus perencanaan dan pelaksanaan proyek KPS dengan siklus perencanaan dan Penganggaran Tahunan dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Langkah kedua yang dapat dilakukan adalah membuka pintu bagi Pemerintah Daerah menerbitkan surat obligasi untuk membantu pembiayaan dalam rangka percepatan pembangunan di daerah masing-masing.

Sebetulnya masih banyak hal lain yang harus dilakukan pemerintah tetapi tidak dapat saya sebutkan karena saya hanyalah seorang mahasiswa teknik sipil dan bukanlah ahli ekonomi. Tetapi apa salahnya kita putar otak bersama, membantu Presiden, para menteri, dan staf tenaga ahli mencarikan solusi. Tidak seperti politikus yang suka bikin ribut sendiri. Tujuannya satu, mewujudkan pembangunan infrastruktur yang bermanfaat, tepat waktu dan tepat mutu di negeri tercinta ini.

“Aku mencium bau-bau, koe ngatain Indonesia, Liberal, ya!?” 

Eh, ngga gitu, kok. Maksudku, Indonesia itu cuma jadi pengagum rahasia si Neoliberal. Nggak mau ngungkapin, tapi sebenernya cinta, begitu. Hmmm, ya seperti… Ah, sudahlah. Hehe” 

Ndasmu!!!”

Ridwan AN
PijakID

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s