Jokowi-JK memilih kapal pinisi sebagai tempat pidato kemenangannya dalam Pilpres 2014 silam. Pesan pemilihan tempat ini kuat: kita telah lama memunggungi laut. Jokowi ingin kita kembali menyadari bahwa Indonesia punya potensi laut yang amat melimpah.
Nama Susi Pudjiastuti tak boleh luput disebut dalam usaha mengembalikan kedaulatan laut Indonesia. Sejak 2014, sudah ada 488 unit kapal ilegal yang ditenggelamkan oleh menteri KKP ini dan timnya. Selain itu, Satgas Patroli Laut telah dikuatkan kembali kemampuannya untuk mencegah pencurian ikan. Dua hal ini penting untuk menjaga sumber daya laut kita. Ini kabar yang menggembirakan.
Namun demikian, sebagai bangsa yang katanya besar, mestinya kita tak puas sampai di situ. Uraian di atas tadi baru sebatas penegakan hukum di lautan (walaupun, sekali lagi, ini patut diapresiasi karena bertahun-tahun lamanya sejak Deklarasi Djuanda, pemerintah abai). Kita mesti mengecek lagi apakah pemerintah sudah mulai mengubah haluan ekonominya ke bidang maritim? Jika tak begitu, kemajuan yang kita peroleh tidak beda jauh dengan capaian Djuanda yang hanya fokus ke persoalan hukum kekuasaan laut.
Salah satu faktor krusial yang membuat ekonomi maritim mengemuka adalah kerusakan lingkungan yang hebat akibat eksploitasi daratan, terutama pertambangan. Kerusakan yang memicu banjir, longsor, hingga perubahan iklim ini membuat beberapa orang yang peduli berpikir, sudah tepatkah orientasi ekonomi kita?
Eksploitasi daratan tidak hanya terjadi di pulau besar seperti Kalimantan, tapi juga pulau kecil. Faktanya, selama rezim Jokowi, penambangan pulau kecil terus berlanjut. Menurut laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), hingga kini ada 55 pulau kecil yang dikaveling pertambangan mineral dan batu bara. Sebaran pulau tersebut bisa dilihat pada gambar di bawah ini.
Berapa batas ukuran pulau kecil? Menurut UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang disebut pulau kecil adalah pulau yang luasnya maksimal 2000 kilometer persegi.
Dari 55 pulau kecil yang sudah dikaveling itu, ada 2 pulau yang bisa dijadikan contoh untuk memahami bagaimana pola penghancuran pulau kecil bekerja. Pertama, pulau Gebe di Maluku Utara. Pulau ini sudah dikaveling oleh PT Aneka Tambang (Antam) sejak 1979. Hingga 2004, PT Antam masih mengeksploitasi pulau ini. Setelah PT Antam angkat kaki, terbit lagi 12 IUP (Izin Usaha Pertambangan) untuk eksplorasi dan produksi nikel di Pulau Gebe.
Kedua, Pulau Bunyu di Kalimantan Utara. Ini adalah pulau yang dieksploitasi oleh tiga jenis penambangan sekaligus, yaitu minyak, gas bumi, dan batu bara. Bahkan, wilayah ketiga jenis penambangan ini tumpang tindih satu sama lain. Itu adalah indikasi proses pemberian izin yang amburadul.
Wilayah pertambangan di Pulau Bunyu sudah mencapai 70 persen. Artinya, penduduk yang berjumlah 11.000 ribu jiwa cuma kebagian 30 persen wilayah pulau.
Tidak hanya itu, Pertamina pun sudah menguasai wilayah perairan di kawasan tersebut. Aktivitas ekonomi nelayan menjadi terganggu. Susah dapat ikan. Terumbu karang hancur tertumbuk jangkar tongkang. Laut tercemar batu bara yang tumpah-tumpah.
Pertambangan juga membuat rusak hutan, kelangkaan bahan pangan, hingga kekeringan. Air sungai dan hujan kualitasnya memburuk sehingga warga terpaksa menggunakan PDAM atau air kemasan.
Fakta-fakta ini ironis jika disandingkan dengan janji Jokowi untuk tak lagi memunggungi laut. Sebab pulau-pulau kecil adalah bagian yang amat vital dalam menjaga kedaulatan dan pemanfaatan potensi ekonomi laut. Para sejarawan boleh berkata bahwa bagi negara maritim seperti Indonesia, yang utama adalah laut. Tapi pulau-pulau kecillah yang membuat laut itu menjadi berharga. Di daratan-daratan mungil inilah tradisi dan pandangan hidup yang berhubungan dengan laut masih terjaga. Lalu apa jadinya kalau pulau-pulau kecil dihancurkan?
Tentu saja ini bukan berarti tambang di pulau besar tak punya efek buruk. Punya juga. Tapi kerusakan lingkungan akibat pertambangan di pulau kecil lebih cepat lajunya.
Dalam merespon masalah ini, Jokowi sebaiknya tidak memakai alasan yang sama saat menanggapi kasus HAM dan penguasaan lahan. Kalimat semacam “saya tidak punya beban masa lalu” tidak relevan, karena ia sudah jadi presiden tapi tak bisa menyelesaikan beberapa kasus HAM yang sudah jelas putusannya. Logika yang sama juga berlaku untuk menanggapi ucapan Jokowi di debat Pilpres kedua: yang mengeluarkan izin penggunaan lahan bukan saya. Kalau jurus semacam ini masih dipakai Jokowi dalam merespon kasus penghancuran pulau kecil, kita bisa bertanya, Jokowi sadar nggak sih sedang jadi pegawai kita yang nomor 1?