Kategori
Infrastruktur Transportasi

Agar Pembangunan Underpass Jogja Tidak Mengulang Kesalahan yang Sama

Satker Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional (P2JN) membuat perencanaan underpass di simpang Kentungan dan Gejayan, Yogyakarta. Alasannya, lalu lintas di kedua simpang ini sudah menimbulkan antrean yang panjang pada saat jam sibuk. Dengan kata lain, terjadi kemacetan. Penumpukan kendaraan di kedua simpang ini, menurut P2JN dalam seminar “Problematika Lalu Lintas di Wilayah Yogyakarta Utara”, salah satunya dipicu oleh berkembangnya wilayah DI Yogyakarta di sisi utara, tepatnya daerah Sleman.

Tentang penumpukan kendaraan di kedua simpang ini, P2JN benar belaka. Cobalah melintas di kedua simpang ini pada sore hari. Anda mungkin akan berharap Tuhan tiba-tiba membuat manusia bisa terbang atau menemukan cincin dalam saku celana yang kalau Anda pakai bisa membuat tubuh dan kendaraan Anda tembus benda padat.

Pembangunan underpass sebagai solusi kemacetan sudah banyak diterapkan di berbagai kota di Indonesia. Sayangnya, seperti yang kita ketahui bersama, underpass tidak mengurai kemacetan secara permanen. Dalam periode yang panjang, seiring dengan pesatnya pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi yang digoda ilusi kelancaran lalu lintas sesaat, ruas jalan di sekitar underpass kembali padat-merayap. Contoh paling menyedihkan tentu saja ibu kota. Jalan sudah bertingkat-tingkat bagai tumpukan ular, tetap saja macet. Sialnya, hingga tulisan ini diketik, kita masih saja percaya propaganda pengusaha otomotif bahwa yang bikin macet itu bukan jumlah kendaraan yang terus membengkak, tapi jumlah jaringan jalan yang tidak memadai.

Namun, bukan berarti penambahan atau peningkatan ruas jalan tidak dibutuhkan dalam mengatasi kemacetan. Berdasarkan hasil diskusi “Ngaji Transportasi” pada 30 Mei 2018, untuk menyelesaikan masalah kemacetan, semua langkah ini perlu ditempuh: menambah jaringan jalan, meningkatkan performa transportasi umum, meningkatkan tarif parkir, memperbaiki trotoar, hingga membenahi tempat transit. Ada yang tertinggal tidak dibenahi, kemacetan tidak akan benar-benar teratasi.

Dari hasil memantau ocehan media, pembangunan underpass Kentungan Sleman sudah akan dimulai pada 14 Januari 2019. Jadi, kalau proyek ini tetap jalan meskipun beberapa pihak mempertanyakannya sebab sudah terbukti gagal di Jakarta, hendaknya publik bising bertanya: apakah pembangunan underpass ini akan sejalan dengan peningkatan layanan transportasi umum di Jogja?

Kalau ternyata pembangunan underpass ini hanya untuk melayani para pengemudi kendaraan pribadi, ya berarti orang-orang pusat pengurus jalan dalam menyelesaikan persoalan masih berpikir sepotong-sepotong. Oh, simpang Kentungan macet ini, bikin underpass biar lancar! Tanpa berpikir perencanaan jangka panjangnya.

Padahal, di abad ke-21 ini, cara berpikir sepotong-sepotong dalam menyelesaikan masalah mestinya sudah ditinggalkan. Kini zamannya berpikir menyeluruh. Agar penyelesaian masalah di titik tertentu tidak menimbulkan masalah di titik lain. Jangan terjerumus seperti angkutan daring yang seakan menjadi wajah sempurna perkembangan zaman, tapi sesungguhnya sangat gamblang sebagai wujud cara berpikir yang sepotong-sepotong dengan menganggap permasalahan transportasi ialah hampir semua orang membawa kendaraan pribadi untuk bertarung di jalan. Maka mereka menawarkan kendaraan sewa. Maka mereka menumpuk kendaraan sewa mereka di jalan.

Lalu, bagaimana menilai proyek underpass ini selaras dengan usaha meningkatkan performa angkutan umum? Apakah cukup dengan memastikan bahwa Transjogja bisa juga lewat di simpang ini?

Salah satu ukuran kepedulian pemerintah terhadap angkutan umum ialah adanya jalur khusus angkutan umum. Kalau angkutan umum masih berjalan di jalur yang sama dengan kendaraan pribadi, ya mereka akan tetap berdesak-desakan dan akhirnya ikutan macet bareng. Padahal kan, penumpang transportasi umum yang sudah keluar dari nafsu pribadinya dengan ikut memikirkan kepentingan bersama harus didahulukan. Mereka berhak mendapatkan jalan yang bebas hambatan. Sebab derajat mereka sebagai manusia sudah bertingkat-tingkat lebih tinggi.

Jadi, mari saksikan apakah simpang tak sebidang di Kentungan Sleman dibuat dengan cara pandang yang demikian. Kalau iya, berarti sudah belajar dari kesalahan demi kesalahan.

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s