Ada banyak bentuk platfrom sebetulnya. Namun, yang mau saya bahas di sini adalah platform dalam artian populer, yakni perusahaan aplikasi a la Silicon Valley. Contohnya ya Gojek, Grab, Bukalapak, dan Halodoc.
Deretan perusahaan platform ini, sejak kemunculannya, mendapatkan berbagai macam pujian. Mulai dari segi inovasi sampai kepiawaian menggunakan teknologi-teknologi terkini. Salah satu pujian yang sangat kuat pengaruhnya, dan akan menjadi bahasan tulisan ini, yaitu semangat platform dalam mendorong demokratisasi.
Gema demokrasi ini sangat terasa saat berhadapan dengan industri yang selama ini terlihat dijangkiti monopoli. Misalnya yang terbaru, pada November 2019, Kementerian Perhubungan berencana menggandeng Gojek masuk ke layanan transportasi laut. Ini dilakukan untuk mencegah praktik monopoli di trayek laut terus terjadi. Layanan transportasi laut memang dikuasi oleh segelintir perusahaan sehingga mereka bisa mengatur harga sesuka hati. Akibatnya, program tol laut yang dijalankan Jokowi tidak efektif, karena disparitas harga (perbedaan harga barang) yang sangat besar antar-pulau tetap tak terkendali.
Dengan hadirnya Gojek nanti, Kemenhub berharap proses pemesanan kontainer lebih transparan dan muatan terbagi secara lebih adil ke para shipper di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal. Seperti yang dituturkan Wisnu Handoko, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kemenhub kepada tirto.id, “Kami bekerjasama dengan Gojek untuk menghentikan monopoli di tol laut agar manfaat subsidi yang digelontorkan pemerintah selama ini bisa tepat sasaran dan mampu menurunkan disparitas harga.” Negara sungguh mengandalkan Gojek untuk memerangi monopoli. Gojek diharapkan menjadi media transparansi, sehingga pemesan kontainer bisa menikmati harga yang kompetitif.
Narasi ini sebetulnya mengulang cerita yang terjadi pada industri angkutan umum jalan raya. Kehadiran ojek online yang dipelopori oleh Gojek dan lalu diikuti oleh beberapa platform lain dianggap angin segar dalam layanan transportasi. Pasalnya, layanan transportasi yang ada selama ini dikuasi perusahaan yang itu-itu saja. Akibatnya, konsumen tidak mendapatkan harga yang kompetitif, atau dengan kata lain: murah. Belum lagi soal layanannya yang tidak fleksibel, kendaraan ditempeli nama dan logo perusahaan (tidak terasa privat seperti naik kendaraan sendiri), dan nggak ada promo-promo menarik.
Perusahaan aplikasi transportasi online menjadi angin yang sangat menyegarkan bagi banyak pihak. Bagi konsumen, kini bisa menikmati layanan transportasi dengan biaya yang murah, banyak promo, pemesanan gampang dan keren karena pakai smartphone, serta punya perasaan naik kendaraan pribadi (disupirin lagi). Bagi pemerintah, ini adalah bukti bahwa mereka mewadahi perkembangan industri digital, mengikuti zaman, menjaga persaingan bisnis yang sehat (membongkar monopoli dengan layanan yang transparan), serta menjadi solusi keringnya lapangan pekerjaan.
Sementara bagi kelompok masyarakat pro-demokrasi, kemunculan platform aplikasi adalah jawaban pada kejumudan birokrasi selama ini yang tidak transparan, koruptif, nepotis, dan tidak inovatif. Konsumen atau pengguna layanan mendapatkan ruang bersuara yang begitu jembar di dalam platform. Tidak hanya diberi ruang, tapi suara konsumen benar-benar didengarkan dan dicarikan solusi. Sangat beraroma demokrasi, bukan?
Euforia ini sangat jelas terlihat di awal-awal kemunculan ojek dan taksi online. Layanan transportasi sebelumnya baik itu transportasi umum, perusahaan taksi, ojek pangkalan, dianggap wajar ketinggalan dan ditinggalkan karena tidak inovatif dan tidak beradaptasi. Kemunculan dan kepopuleran ojek dan taksi online dianggap niscaya karena mereka bersahabat dan mengikuti logika jaringan internet.
Padahal, kalau diselidiki lebih lanjut, kenapa ojek dan taksi online bisa tumbuh pesat dan menggurita? Ada 2 hal. Pertama, mereka membangun perusahaan yang begitu ramping, minim biaya, karena ada begitu banyak biaya yang dilimpahkan ke pihak lain. Para pengemudi tidak diakui sebagai pekerja oleh perusahaan aplikasi. Mereka disebut mitra, sehingga tidak mendapatkan hak-hak pekerja. Dengan model yang seperti ini, pengemudilah yang menanggung biaya perawatan kendaraan, biaya kecelakaan, risiko pekerjaan, dan risiko bisnis. Perusahaan akhirnya bisa dengan mudah melakukan manuver dan ekspansi (perluasan jangkauan bisnis) di atas eksploitasi besar-besaran para pekerja.
Yang kedua, mereka semakin mempertipis penerapan prinsip dasar angkutan umum dan terus melanggengkan penggunaan kendaraan pribadi. Apa prinsip dasar angkutan umum? Layanan transportasi yang dijalankan berdasarkan semangat kebersamaan. Berpindah bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Ojek dan taksi online semakin mengikis prinsip ini. Padahal prinsip inilah solusi terbaik untuk menyudahi kemacetan. Dengan mengabaikan prinsip tersebut, perusahaan aplikasi ojek dan taksi online semakin memanjakan hasrat bertransportasi yang sangat individualis. Makanya laris.
Ironisnya, ketimbang membongkar kedua masalah di atas, serta mendesain bentuk dan model platform baru yang lebih berkeadilan, sebagian besar pihak malah terlalu silau pada potensi semu platform untuk menghadirkan demokrasi pada bidang-bidang yang dikuasi mafia. Bukannya mengidentifikasi masalah mendasar dari layanan publik yang dianggap tidak memuaskan, sarang monopoli, tidak inovatif, birokratis kolot, baik dari segi politis, relasi sosial, model organisasi dan manajamen, pemerintah dan organisasi sosial malah mendukung solusi a la platform yang tidak menyelesaikan masalah, malahan menambah masalah baru.
Misalnya, terkait layanan transportasi darat perkotaan, bukannya mempermewah angkutan umum, mempermudah akses penumpang ke titik keberangkatan, meningkatkan koordinasi antar-moda, memperbaiki fasilitas jalan kaki, dan membatasi kendaraan pribadi, tapi malah bersorak pada layanan ojek dan taksi online karena dianggap inovatif, kreatif, nonhirarkis, memperluas kesempatan dan persaingan, demokratis, dan menawarkan harga yang kompetitif.
Kita menyingkirkan analisis sosial, teknis, dan politis dalam menangani masalah-masalah publik, dan beralih pada sensor platform, analisis data statistik, analisis big data, serta analisis perilaku konsumen (consumer behaviour) yang dianggap netral dan menangkap kemauan, persepsi, dan harapan masyarakat apa adanya. Dalam bahasa buzzer akademisnya: evidence-based policy (kebijakan dan strategi layanan yang berbasis bukti). Masalahnya, bukti yang mana? Bagaimana mengambilnya? Mengapa memakai metode yang ini dan bukan yang itu? Pertanyaan ini tidak perlu kita jawab, karena kita sudah mengandalkan data dan kurva yang diambil dari smartphone kita.
Ini bukan berarti saya mengajak untuk anti-teknologi dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul hari ini. Saya hanya ingin mengajak pembaca untuk menyadari bahwa ada cara lain dalam menggunakan teknologi untuk menyelesaikan masalah sosial, bisnis, dan politik. Tidak harus (dan bahkan jangan!) menjadi platform a la Silicon Valley.