Kategori
Society

Butuh Demokrasi? Start Up Platform Siap Memfasilitasi

Ada banyak bentuk platfrom sebetulnya. Namun, yang mau saya bahas di sini adalah platform dalam artian populer, yakni perusahaan aplikasi a la Silicon Valley. Contohnya ya Gojek, Grab, Bukalapak, dan Halodoc.

Deretan perusahaan platform ini, sejak kemunculannya, mendapatkan berbagai macam pujian. Mulai dari segi inovasi sampai kepiawaian menggunakan teknologi-teknologi terkini. Salah satu pujian yang sangat kuat pengaruhnya, dan akan menjadi bahasan tulisan ini, yaitu semangat platform dalam mendorong demokratisasi.

Gema demokrasi ini sangat terasa saat berhadapan dengan industri yang selama ini terlihat dijangkiti monopoli. Misalnya yang terbaru, pada November 2019, Kementerian Perhubungan berencana menggandeng Gojek masuk ke layanan transportasi laut. Ini dilakukan untuk mencegah praktik monopoli di trayek laut terus terjadi. Layanan transportasi laut memang dikuasi oleh segelintir perusahaan sehingga mereka bisa mengatur harga sesuka hati. Akibatnya, program tol laut yang dijalankan Jokowi tidak efektif, karena disparitas harga (perbedaan harga barang) yang sangat besar antar-pulau tetap tak terkendali.

Dengan hadirnya Gojek nanti, Kemenhub berharap proses pemesanan kontainer lebih transparan dan muatan terbagi secara lebih adil ke para shipper di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal. Seperti yang dituturkan Wisnu Handoko, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kemenhub kepada tirto.id, “Kami bekerjasama dengan Gojek untuk menghentikan monopoli di tol laut agar manfaat subsidi yang digelontorkan pemerintah selama ini bisa tepat sasaran dan mampu menurunkan disparitas harga.” Negara sungguh mengandalkan Gojek untuk memerangi monopoli. Gojek diharapkan menjadi media transparansi, sehingga pemesan kontainer bisa menikmati harga yang kompetitif.

Narasi ini sebetulnya mengulang cerita yang terjadi pada industri angkutan umum jalan raya. Kehadiran ojek online yang dipelopori oleh Gojek dan lalu diikuti oleh beberapa platform lain dianggap angin segar dalam layanan transportasi. Pasalnya, layanan transportasi yang ada selama ini dikuasi perusahaan yang itu-itu saja. Akibatnya, konsumen tidak mendapatkan harga yang kompetitif, atau dengan kata lain: murah. Belum lagi soal layanannya yang tidak fleksibel, kendaraan ditempeli nama dan logo perusahaan (tidak terasa privat seperti naik kendaraan sendiri), dan nggak ada promo-promo menarik.

Perusahaan aplikasi transportasi online menjadi angin yang sangat menyegarkan bagi banyak pihak. Bagi konsumen, kini bisa menikmati layanan transportasi dengan biaya yang murah, banyak promo, pemesanan gampang dan keren karena pakai smartphone, serta punya perasaan naik kendaraan pribadi (disupirin lagi). Bagi pemerintah, ini adalah bukti bahwa mereka mewadahi perkembangan industri digital, mengikuti zaman, menjaga persaingan bisnis yang sehat (membongkar monopoli dengan layanan yang transparan), serta menjadi solusi keringnya lapangan pekerjaan.

Sementara bagi kelompok masyarakat pro-demokrasi, kemunculan platform aplikasi adalah jawaban pada kejumudan birokrasi selama ini yang tidak transparan, koruptif, nepotis, dan tidak inovatif. Konsumen atau pengguna layanan mendapatkan ruang bersuara yang begitu jembar di dalam platform. Tidak hanya diberi ruang, tapi suara konsumen benar-benar didengarkan dan dicarikan solusi. Sangat beraroma demokrasi, bukan?

Euforia ini sangat jelas terlihat di awal-awal kemunculan ojek dan taksi online. Layanan transportasi sebelumnya baik itu transportasi umum, perusahaan taksi, ojek pangkalan, dianggap wajar ketinggalan dan ditinggalkan karena tidak inovatif dan tidak beradaptasi. Kemunculan dan kepopuleran ojek dan taksi online dianggap niscaya karena mereka bersahabat dan mengikuti logika jaringan internet.

Padahal, kalau diselidiki lebih lanjut, kenapa ojek dan taksi online bisa tumbuh pesat dan menggurita? Ada 2 hal. Pertama, mereka membangun perusahaan yang begitu ramping, minim biaya, karena ada begitu banyak biaya yang dilimpahkan ke pihak lain. Para pengemudi tidak diakui sebagai pekerja oleh perusahaan aplikasi. Mereka disebut mitra, sehingga tidak mendapatkan hak-hak pekerja. Dengan model yang seperti ini, pengemudilah yang menanggung biaya perawatan kendaraan, biaya kecelakaan, risiko pekerjaan, dan risiko bisnis. Perusahaan akhirnya bisa dengan mudah melakukan manuver dan ekspansi (perluasan jangkauan bisnis) di atas eksploitasi besar-besaran para pekerja.

Yang kedua, mereka semakin mempertipis penerapan prinsip dasar angkutan umum dan terus melanggengkan penggunaan kendaraan pribadi. Apa prinsip dasar angkutan umum? Layanan transportasi yang dijalankan berdasarkan semangat kebersamaan. Berpindah bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Ojek dan taksi online semakin mengikis prinsip ini. Padahal prinsip inilah solusi terbaik untuk menyudahi kemacetan. Dengan mengabaikan prinsip tersebut, perusahaan aplikasi ojek dan taksi online semakin memanjakan hasrat bertransportasi yang sangat individualis. Makanya laris.

Ironisnya, ketimbang membongkar kedua masalah di atas, serta mendesain bentuk dan model platform baru yang lebih berkeadilan, sebagian besar pihak malah terlalu silau pada potensi semu platform untuk menghadirkan demokrasi pada bidang-bidang yang dikuasi mafia. Bukannya mengidentifikasi masalah mendasar dari layanan publik yang dianggap tidak memuaskan, sarang monopoli, tidak inovatif, birokratis kolot, baik dari segi politis, relasi sosial, model organisasi dan manajamen, pemerintah dan organisasi sosial malah mendukung solusi a la platform yang tidak menyelesaikan masalah, malahan menambah masalah baru.

Misalnya, terkait layanan transportasi darat perkotaan, bukannya mempermewah angkutan umum, mempermudah akses penumpang ke titik keberangkatan, meningkatkan koordinasi antar-moda, memperbaiki fasilitas jalan kaki, dan membatasi kendaraan pribadi, tapi malah bersorak pada layanan ojek dan taksi online karena dianggap inovatif, kreatif, nonhirarkis, memperluas kesempatan dan persaingan, demokratis, dan menawarkan harga yang kompetitif.

Kita menyingkirkan analisis sosial, teknis, dan politis dalam menangani masalah-masalah publik, dan beralih pada sensor platform, analisis data statistik, analisis big data, serta analisis perilaku konsumen (consumer behaviour) yang dianggap netral dan menangkap kemauan, persepsi, dan harapan masyarakat apa adanya. Dalam bahasa buzzer akademisnya: evidence-based policy (kebijakan dan strategi layanan yang berbasis bukti). Masalahnya, bukti yang mana? Bagaimana mengambilnya? Mengapa memakai metode yang ini dan bukan yang itu? Pertanyaan ini tidak perlu kita jawab, karena kita sudah mengandalkan data dan kurva yang diambil dari smartphone kita.

Ini bukan berarti saya mengajak untuk anti-teknologi dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul hari ini. Saya hanya ingin mengajak pembaca untuk menyadari bahwa ada cara lain dalam menggunakan teknologi untuk menyelesaikan masalah sosial, bisnis, dan politik. Tidak harus (dan bahkan jangan!) menjadi platform a la Silicon Valley.

Kategori
Society

Menonton vs Ditonton, Budaya Populer Era 4.0

Semua sudah sepakat betapa kemajuan teknologi komunikasi dan informasi sudah sangat maju. Di Indonesia proyek Palapa Ring dijalankan guna memastikan semua wilayah terhubung.

Simbol kemajuan salah satunya melekat pada gadget yang dimiliki. Semakin terbaru gadgetnya, citra diri semakin moncer sebab merasa jadi bagian masyarakat modern yang melek teknologi.

Lebih jauh lagi, kala isi gadget diperiksa. Aplikasi serba baru yang terinstall bisa membawa si pemilik merasa benar-benar sebagai pemilik peradaban terkini. Serba update. Bikin bangga begitulah.

Belum lagi soal tampil eksis di panggung medsos aneka rupa. Apakah itu IG, Tik Tok, Twitter, Facebook dan beragam aplikasi lain yang populer di era sekarang.

Ada Youtube dan beragam varian aplikasi berbasis video yang menarik siapa saja untuk bisa tampil, sembari berharap bisa jadi viral dan mendapatkan keuntungan finansial.

Media sosial, memang memberikan ruang terbuka yang adil sebenarnya. Siapa saja bisa menjadi bintang dalam sekejap kala pas mendapatkan momentum.

Siapa saja bisa menjadi sumber berita, menjadi bahan obrolan warganet dalam sekejap. Apalagi tatkala mendapatkan spotlight atau sorotan publik karena ada kontroversi yang hadir.

Di sisi yang lain, media sosial memberikan kesempatan aneka hoaks dan anonimitas hadir bersamaan. Bukan itu saja, kebaikan dan keburukan bertarung dalam keberlimpahan informasi yang bisa hadir dalam sekejap.

Memang, tiap platform medsos memiliki kemampuan dan fungsi yang berbeda. Twitter sampai kini lebih terbuka dibandingkan platform medsos yang lain, masih menjadi rujukan hal-hal viral apa saja yang kemudian bisa diangkat menjadi pembahasan media mainstream.
Termasuk untuk seleb medsos yang hadir bak cendawan di musim hujan.

Kemampuan blasting atau penyebaran cuitan sangat bergantung pada banyak sedikitnya follower, interaksi antar-pengguna.

Sedikit berbeda yaitu Instagram alias IG yang lebih banyak digunakan untuk menghadirkan foto dan video. Terhubung atau connected adalah prasyarat utamanya jika kita ingin menonton pemilik akun lain.

Perusahaan medsos memang tak tanggung-tanggung menyediakan kebutuhan pengguna untuk bisa tampil. Algoritma IG misalnya, banyak dimanfaatkan untuk berinteraksi secara live, yang kemudian terekam di feed. Isinya selain percakapan remeh temeh, aksi yang menghibur, aksi berjualan bisa dikerjakan dengan leluasa.

IG oleh sebagian kalangan jadi pilihan untuk memajang citra diri, dagangan ataupun jasa pemilik akun. Selebgram adalah sebutan untuk mereka yang populer.

Hal yang paling rendah dalam bermedia sosial adalah pornografi. Ini boleh diperdebatkan. Kebebasan di dunia digital sebenarnya sudah berusaha diredam begitu rupa, ada etika moral yang ditegakkan.

Semua mahfum apa saja yang hadir dan bisa dinikmati pengguna, seketika asal ada koneksi internet. Termasuk urusan berkait industri konten pornografi. Sebagai industri hiburan, ada sejumlah negara yang mengatur dengan ketat. Di tanah air, industri hiburan pornografi jelas dilarang sebab melanggar norma kesusilaan.

Ada pasal berlapis yang dipakai untuk urusan pidananya yaitu dengan (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”); dan (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”).

Bisa cukup panjang bicara urusan pidana dan proses hukum kasus yang pernah menghebohkan terjadi, berkait pornografi. Ini bisa dibahas dalam artikel lain saja.

*****

Kehadiran diri di lingkungan budaya populer berkait dengan citra diri, khususnya bagi rakyat perkotaan adalah keniscayaan. Jalan-jalan di pusat perbelanjaan (window shopping) tak elok rasanya kalau berpakaian ala kadarnya.

Budaya populer melahirkan mode pakaian yang layak dan tak layak pakai. Meski sebenarnya soal mode berpakaian tak ada hukum pasti alias hukum wajib yang patut ditaati. Misal harus berpakaian rapi saat ke mall atau pusat perbelanjaan.

Bukan hanya soal pakaian, citra diri berkemajuan dihadirkan dengan keberadaan gerai makanan cepat saji, titik kumpul kuliner yang biasa hadir dalam jagat bisnis pusat perbelanjaan.

Kisah berikut adalah pengalaman pribadi saat menikmati suasana merchant di mall kala itu. Ternyata, meski ada kebebasan untuk menonton dan ditonton kala makan di sebuah gerai, tak boleh duduk seenaknya macam di warung tradisional. Ada etika, manner, kala duduk menikmati makanan siap saji di sebuah gerai. Bahkan tak segan, pelayan mengingatkan secara langsung.

Sungguh sebuah pengalaman budaya makan yang jauh berbeda dengan kebiasaan keseharian, bebas bertingkah, selonjor maupun gaya lesehan sembari menyantap hidangan. Melalui penataan interior serba tembus pandang, keluasan tata hias bangunan juga kerlip dan terang lampu melengkapi citra modern kala seseorang berada di dalamnya.

Ini masih sebatas soal makan, di balik kaca tembus pandang yang bisa melambungkan perasaan seseorang lebih sejahtera, lebih makmur, lebih bermartabat kala menyantap makanan siap saji. Meski sejatinya di negara asalnya, menikmati makanan siap saji adalah hal biasa tak lebih dari etalase bisnis, junk food.

Asosiasi diri dengan label aneka brand kelas dunia adalah bagian lain dari hadirnya mall atau pusat perbelanjaan.

Tak hanya di ibukota, mall dan pusat perbelanjaan sebagai ciri modern merajalela ke beragam pelosok negeri. Menancap sampai jauh ke jantung perekonomian perkotaan di tanah air. Ke berbagai kota kedua, ketiga dalam lingkar jejaring pasar ritel. Apa yang ada di belahan dunia negara adikuasa dalam sekejap bisa hadir di merchant pusat perbelanjaan terdekat. Budaya belanja ditumbuhkan begitu rupa, untuk mencapai citra diri seseorang, sebagai Sultan atau sebagai sosok orang kaya.

*****

Hadirnya teknologi informasi menambah panjang dan luas keberadaan pusat perbelanjaan dan mall. Bukan hanya hadir secara fisik, lebih jauh dan dalam lagi secara visual.

Ada dalam beragam aplikasi yang mudah di-download secara cepat. Model pelayanan belanja yang lebih ringkas, cepat dan lebih banyak pilihan kala akses mall dan pusat perbelanjaan digital. Marketplace namanya.

Kemajuan teknologi informasi tak sekedar memudahkan manusia mendapatkan segala keinginan dan hasrat berbelanja namun sekaligus mempercepat membunuh usaha ritel ini. Manusia tak perlu lagi hadir berdesakan dan berdempetan di pusat perbelanjaan. Cukup dari rumah saja untuk memastikan semua keinginan belanja terpenuhi.

Bill Gates, Mark Zuckerberg hingga Jack Ma yang memiliki Microsoft, Facebook hingga Alibaba adalah sederet nama yang besar dalam jagat teknologi informasi mulai software komputer, media sosial dan platform online. Masih ada banyak nama lain, yang bisa diulas lebih dalam.

Bukan itu saja, lewat beragam aplikasi dan platform teknologi informasi, ada wajah baru dalam budaya populer. Ada kebiasaan baru baik dalam soal berkomunikasi personal maupun dalam komunikasi secara publik dengan daring. Siapa saja bisa menjadi seleb dalam waktu pendek. Tua, muda, perempuan dan laki-laki, siapa saja bisa melejit namanya baik secara organik maupun karbitan alias dipromosikan mesin.

Being Digital, dalam buku karya Nicholas Negoponte bisa tergambar dengan mudah apa, siapa dan bagaimana dunia digital begitu jauh memberikan pengaruh dalam kehidupan manusia modern. Bukan hanya bicara soal kemajuan teknologinya tapi memberikan bingkai perspektif cakrawala horison baru berkait terra incognita, dunia baru yang belum terpetakan ini jadi tempat melempar modal agar beranak pinak lebih cepat.

Pemahaman soal internet seringkali salah dimengerti, jejaring web yang terhubung online memiliki prasyarat khusus yaitu kebutuhan connected alias terhubung. Ada paket data yang bernilai uang untuk bisa memanfaatkan jaringan layanan secara realtime, online. Kalau tak ada koneksi, jelas tiap mesin akan bekerja offline.

Melalui gadget atau telepon seluler, telpon pintar, koneksi online lebih mudah diakses. Apalagi layanan paket data bisa dengan mudah dijangkau lewat jasa operator selular. Kondisi ini membuat pengguna lebih merasakan hal-hal privat terlayani.

Termasuk urusan menonton, sekaligus ditonton. Sekarang bisa lebih privat diakses layanan online. Apalagi di masa pandemi, kala manusia dituntut membatasi, berjarak dengan yang lain.

Melalui lensa gadget, melalui layar HP ada relasi dan komunikasi timbal balik yang seketika dilakukan oleh user, pengguna internet. Pesan juga demikian cepat tersebar ke banyak orang dalam jejaring pertemanan.

Kalau suka menonton, bersiaplah juga untuk ditonton kala tampil di layar gadget secara sengaja atau tidak sengaja. Hal yang pasti, ada semacam pagar api dalam jagat media sosial. Kalau melewati pagar api, jelas bisa hangus terbakar.

Kategori
Kapital

Logika Platform dan Para Pekerja yang Semakin Terhempas

Anak muda hari ini, yang termasuk kelas menengah-atas dan berada di kota, sedang senang-senangnya bicara tentang platform. Walaupun arti kata “platform” dalam KBBI cukup luas, tapi yang dimaksud anak-anak muda ini umumnya mengacu pada platform digital, yakni website, aplikasi digital, dan akun media sosial. Sayangnya, sejauh pengamatan saya, obrolan tentang platform terlalu mengekor pada narasi yang dibawa oleh para CEO startup unicorn, pegawai negara yang ingin terlihat update, dan aktivis lawas alias tua yang berusaha keras untuk relevan, seperti Budiman Sudjatmiko. Ada satu pernyataan menggelikan dari Budiman, yang saya rasa mewakili mental keriuhan seputar platform: “Apps apa yang sudah kamu buat? Software apa yang sudah kamu buat untuk menyelesaikan masalah distribusi barang?”. Menurut Budiman, pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang perlu ditujukan pada anak muda hari ini. Bukan malah ditanya kenapa nggak sering demo. Sebab, kata Budiman, zaman sudah berubah. Berbagai macam persoalan kini bisa dengan mudah diselesaikan dengan membuat aplikasi, yang didukung teknologi mutakhir seperti blockchain dan artificial intelligence.

Mental berpikir para CEO startup unicorn dan Budiman ini, yang sedikit-sedikit bikin platform digital untuk “menyelesaikan” masalah ekonomi, sosial, dan politik, disebut sebagai solutionism oleh pengkritik teknologi terkemuka Evgeny Morozov. Bukannya membedah masalah mendasar dan struktural yang melanggengkan ketidakadilan, para solutionism hanya mengutak-atik permukaan atau efek di hilir saja. Memang dampaknya langsung kelihatan, mendapatkan banyak pujian, dan karenanya terasa menyejukkan hati. Dipuji sebagai orang-orang yang solutif dan inovatif menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Padahal masalah utamanya tidak terjamah.

Salah satu contoh solutionism yaitu Gojek dan Grab yang membuat layanan Go-Ride dan Grab Bike. Sejak kemunculannya sampai sekarang, layanan ini disebut sebagai inovasi yang luar biasa dalam bidang transportasi dan ekonomi. Di bidang transportasi, mereka membuat perjalanan semakin mudah dan cepat. Orang yang biasanya capek membawa kendaraan di tengah kemacetan atau berdesakan di angkutan umum, kini bisa cepat sampai tujuan dengan menggunakan ojek online. Di bidang ekonomi, dua perusahaan ini dipuji karena membuka banyak lapangan pekerjaan dengan model sharing economy (ekonomi berbagi).

Padahal, masalah mendasar transportasi adalah layanan kendaraan umum belum optimal sehingga tidak menjadi pilihan utama. Sedangkan masalah mendasar ekonomi adalah penguasaan aset yang terpusat di segelintir orang dan ketergantungan pada pertumbuhan terus-menerus, sehingga lama-lama jenuh. Dua perusahaan ini, Gojek dan Grab, muncul sebagai “solusi semu” bagi persoalan tersebut. Beberapa pegawai negara, yang pemalas dan miskin akal, girang bukan main dan berbusa-busa memuji “inovasi” ini. Ujungnya mudah ditebak, kemacetan tidak teratasi (malah semakin buruk, jalanan makin semrawut) dan sharing economy yang dulunya dielu-elukan kini terlihat jelas dijadikan alibi oleh perusahaan aplikasi untuk lepas dari tanggung jawab dan membuat pekerja semakin rentan.

Supaya tidak menjadi seperti orang-orang toxic positivity (racun optimisme) ini, yang terlalu percaya platform digital dan berbagai teknologi 4.0 akan menyelesaikan banyak masalah krusial, kita perlu memahami apa itu platform. Seperti apa alur logikanya, bagaimana ia bekerja, dan siapa saja yang menopang keberadaannya. Hal ini penting bagi pikiran dan imajinasi kita, agar tidak mudah diracuni oleh bacotan CEO startup dan aktivis karatan.

WAJAH PLATFORM

Platform punya beberapa wajah dan fungsi. Berikut saya urai satu per satu.

Semua bisa jadi pengusaha

Mencari kerja semakin sulit. Abaikan ocehan para penjaja industri 4.0 yang bilang penyebabnya adalah teknologi semakin berkembang pesat sehingga mengganti manusia di tempat kerja. Biang kerok utamanya adalah merosotnya sektor industri, sehingga tak lagi mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup. Padahal, manusia semakin banyak tinggal di kota dan bergantung pada lapangan pekerjaan di sektor ini. Ruang hidupnya di desa sudah hancur oleh perkebunan, pertambangan, pariwisata, atau memang dibiarkan mati perekonomiannya.

Terima kasih platform. Manusia kelas menengah-bawah kini tak lagi harus bergantung pada kerja upahan. Berkat platform, semua orang bisa menjadi pengusaha. Tak lagi butuh banyak modal untuk memulai. Cukup dengan barang dan tenaga yang sudah dimiliki, seperti sepeda motor, kamar kosong, keahlian memijit, atau kegemaran membuat kue. Banyak hal terpangkas, mulai dari modal awal, urusan administrasi, biaya pemasaran, sampai pengelolaan. Hal-hal yang sebelumnya menjadi hambatan bagi kelas menengah-bawah untuk bersaing di pasar transaksi. Yang penting mau bekerja keras. Kini persaingannya lebih setara. Privilege tak lagi menjadi tabir hambatan.

Begitulah kira-kira angan-angan mulia model bisnis platform.

Contohnya begini. Sebelum ada platform, orang yang mau bikin bisnis penginapan setidaknya harus keluar modal dan tenaga yang lumayan. Modal untuk membangun gedung penginapan beberapa kamar, biaya pemasaran, perawatan gedung, gaji pekerja, serta tenaga untuk mengurus berbagai syarat administrasi dan pengelolaan penginapan. Kini, Anda cukup punya kamar atau rumah kosong, lalu daftarkan di Airbnb. Anda pun sudah menjadi pengusaha penginapan yang mampu menjangkau pasar internasional.

Kemampuan platform untuk memberi kesempatan yang sama pada semua orang inilah yang disebut sebagai terobosan. Ia membobol tembok-tembok yang selama ini dibangun oleh para pebisnis kelas kakap atau pemodal besar. Platform memungkinkan ibu rumah tangga bersaing seorang diri dengan hotel di wilayahnya dalam bisnis penginapan. Platform dipandang sebagai sebuah wadah yang egaliter. Tidak hirarkis seperti korporasi lawas.

Namun demikian, kesan kesetaraan dan kebebasan yang ditempelkan pada platform adalah ilusi. Platform sangat hirarkis dan berhasrat untuk memonopoli segala bidang kehidupan. Walaupun kelihatannya antara penjual dan pembeli di Tokopedia berinteraksi secara bebas, cara mereka berinteraksi tetaplah diatur dan dikendalikan oleh Tokopedia. Tokopedia juga bisa sesuka hati mengubah aturan main yang ada. Usaha Tokopedia untuk merekrut sebanyak mungkin orang untuk menjadi pedagang tidak bisa kita pandang sebagai peluang kesetaraan ekonomi, tapi sebagai strategi dominasi di pasar kerja. Ya, semua orang kini bisa menjadi pengusaha. Tapi hanyalah pengusaha-pengusaha kecil yang dijadikan sapi perah.

Mengapa sapi perah? Pemilik platform untung besar dan terus berkembang umumnya karena mengalihkan berbagai biaya atau modal usaha kepada para pekerjanya. RedDoorz, misalnya. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya pembangunan atau sewa bangunan, operasional, dan biaya tidak terduga lainnya. Mereka lepas tangan dari urusan proses produksi dan pelayanan penginapan. Tanggung jawab ini dialihkan pada para pemilik penginapan. RedDoorz hanya membajak proses transaksi. Begitu juga dengan Grab yang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menyiapkan moda transportasi dan mengoperasikannya. Para pekerja RedDoorz dan Grab-lah, yang sebutannya diperhalus menjadi “mitra”, yang menyiapkan modal bisnis dan menjalakannya.

Membangun kekuatan politik

Salah satu yang paling menyebalkan dari bisnis ojek online adalah tuntutannya untuk diakui sebagai angkutan umum. Padahal, jelas-jelas dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Tahun 2009 sepeda motor tidak diakui atau dilarang menjadi angkutan umum. Hal ini karena sepeda motor tidak memenuhi syarat-syarat keselamatan dalam transportasi. Pengendara dan penumpangnya rentan mengalami kecelakaan fatal. Berdasarkan data kepolisian, 73 persen kecelakan di jalan melibatkan sepeda motor. Untungnya, baru-baru ini Wakil Ketua Komisi V DPR RI Nurhayati Monoarfa menyatakan sebagian besar fraksi menolak permohonan sepeda motor menjadi angkutan umum. Selain karena faktor keselamatan, penolakan ini juga untuk mengingatkan pemerintah bahwa penyediaan layanan transportasi umum yang berkualitas, bisa diandalkan, dan berkeselamatan adalah tanggung jawab mereka.

Sikap dari DPR ini tentu saja mendapatkan respon dari para pengemudi ojek online. Mereka kecewa. Sikap DPR akan membuat ojek online tetap menjadi angkutan umum yang ilegal. Alhasil, lapangan pekerjaan mereka menjadi serba terancam.

Gangguan pada layanan ojek online tentu saja akan memicu respon dari pengguna/konsumen. Mereka menikmati layanan ini. Berbagai urusan menjadi lebih mudah, mulai dari bepergian sampai memesan makanan dan minuman. Keluhan dari konsumen ini akan mudah direspon oleh para pegawai pemerintah, biar terkesan memihak pada rakyat. Saya sendiri susah lupa pada langkah Jokowi membatalkan keputusan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang melarang ojek online di tahun 2015. Menurut Jokowi, ojek online dibutuhkan oleh masyarakat.

Dari kilas balik peristiwa di atas, kita bisa melihat bahwa perusahaan platform sudah mempunyai kekuatan politik yang mampu menantang kekuatan birokrasi negara. Kekuatan politik yang saya maksud di sini bukan dalam ranah politik elektoral, tapi kemampuan membentuk logika atau pandangan publik tentang suatu masalah. Dalam kasus ojek online, perusahaan aplikasi sudah berhasil membuat rakyat semakin lupa pada haknya dalam transportasi. Orang-orang kini memandang dirinya sebagai konsumen, yang seharusnya diberi kebebasan memilih layanan transportasi. Negara tidak boleh melarang-larang ojek online karena layanan ini sangat memudahkan aktivitas sehari-hari. Mengapa negara anti-kemajuan? Mengapa anti-inovasi? Begitulah pertanyaan yang akan muncul dari pikiran konsumen. Kita semakin lupa bahwa kita adalah warga negara. Kita seharusnya dilayani oleh negara, terutama dalam kebutuhan mendasar seperti transportasi. Kita semakin tak sadar bahwa kita adalah rakyat yang terbentuk atas dasar solidaritas, bukan individualitas yang menjadi ciri konsumen.

Mengontrol pekerja lebih ketat

Sebelum era platform, sebenarnya kita sudah bisa melihat bahwa para pekerja manufaktur, misalnya industri peniti, sistem kerjanya dikontrol oleh mesin. Tiap bagian lini perakitan sudah punya tugas dan tanggung jawab masing-masing. Seluruh pekerja harus menyelesaikan pekerjaan di bagiannya agar sistem mesin berjalan dengan baik. Manusia menjadi penopang kinerja mesin dan daftar tugasnya disesuaikan dengan kebutuhan dan ritme operasional mesin.

Namun demikian, para pekerja manufaktur masih bisa mengelak dari rangkaian aturan lini perakitan. Mereka masih mampu memodifikasi beberapa metode kerja, agar pekerjaan bisa menjadi lebih mudah dan cepat bagi mereka. Kepastian status sebagai karyawan tetap dan lokasi kerja yang memungkinkan interaksi intens antar-pekerja, membuat mereka mampu bersama-sama mempertanyakan berbagai aturan dan kerja dari manajemen.

Di era platform, kontrol pemilik usaha kepada para pekerja lebih kuat lagi. Platform memungkinkan pemberi kerja menerjemahkan aturan kerja yang dikehendaki menjadi urutan perintah di aplikasi. Para pekerja harus mengikuti alur perintah tersebut secara tepat, tanpa modifikasi sedikitpun. Jika si pekerja tidak mengikutinya, pekerjaannya tidak akan selesai. Platform mendikte pekerjaan sampai hal-hal yang detail.

Penjual nasi uduk yang mendaftar di Grab Food harus mengikuti seluruh proses transaksi yang semuanya sudah ditetapkan dan diatur oleh Grab. Mulai dari apa saja informasi yang harus ia berikan, bagaimana barang jualannya ditampilkan, bagaimana ia menerima pesanan, berinteraksi dengan pembeli, memproses pesanan, sampai bagaimana mekanisme pembayaran yang ia dapatkan. Jika ada satu saja proses yang ia tak mau ikuti, transaksinya tidak akan selesai.

Apa yang dilakukan oleh platform sehingga ia bisa punya kontrol yang luar biasa besar pada pekerja?

Pertama, platform mengumpulkan sebanyak mungkin data operasional dan memonopolinya. Ia tidak membagikannya pada pekerja. Akhirnya, pekerja menjadi buta. Pekerja tidak tahu secara pasti kapan permintaan konsumen sedang banyak atau sedikit. Seorang penyedia jasa pijit yang mendaftarkan diri di perusahaan aplikasi tidak tahu kapan dan seberapa banyak pesanan dari konsumen. Ia pun tidak mendapatkan kepastian. Fleksibilitas kerja yang sering ditawarkan oleh bisnis platform sejatinya adalah bentuk ketidakpastian kerja.

Selain itu, pencatatan data seluruh aktivitas pekerja juga memungkinkan platform memasang berbagai target yang harus dipenuhi oleh pekerja. Misalnya, berapa lama pekerja harus menyediakan waktunya, berapa lama ia harus merespon, berapa minimal rating dari konsumen yang harus didapatkan, dan berapa banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mendapatkan tambahan upah yang layak?

Kedua, platform mengelabui pekerja dengan membuat berbagai bentuk gamesreward, notifikasi berisi pesan-pesan manis, dan berbagai cara lainnya agar pekerja selalu menyerahkan badan dan pikirannya pada aplikasi. Biar pekerja senang menggunakan aplikasi kerjanya dan terus berproduksi.

Yang terakhir, platform memungkin para pekerjanya tidak saling mengenal, karena bekerja di tempat yang berbeda-beda. Walaupun beberapa orang berpendapat ini adalah sistem yang bagus karena pekerja tidak perlu ke kantor, tapi ini juga membuat sesama pekerja sulit berserikat untuk menghadapi otoritas manajemen jika kebijakannya merugikan. Alhasil, platform semakin kuat cengkeramannya.

Memang ada fenomena para pengojek online yang solidaritasnya sangat kuat. Mereka mampu mendesak pemerintah membuat atau membatalkan sebuah kebijakan. Namun perlu dilihat juga apakah sistem organisasi mereka mampu melawan atau setidaknya bertahan dari logika sistem platform yang sangat eksploitatif ini.

Platform juga memunculkan metode kontrol baru. Jika perusahaan konvensional mengontrol pekerjanya secara terpusat, dengan melakukan berbagai evaluasi capaian kerja tiap periode, platform mengalihkan tugas evaluasi ini kepada konsumen. Konsumenlah yang diberikan kewenangan untuk menilai layanan dan hasil kerja seorang pekerja. Pekerja mendapatkan bonus atau sanksi berdasarkan penilaian tersebut. Contohnya dengan sistem rating bintang dan komentar. Sudah sering kita mendengar seorang pekerja ojek online diblokir akunnya karena mendapatkan bintang 1 dari konsumen.

Pendelegasian kontrol ini membuat Platform semakin kurang tugasnya sebagai sebuah perusahaan. Ia bisa mengurangi biaya dan tenaga yang seharusnya digunakan untuk menjalankan evaluasi. Namun, jangan salah mengira bahwa kekuatan untuk mengontrol pekerja sudah tidak lagi di tangan platform. Seperti yang dikemukakan oleh Eka Kurniawan di Jawa Pos. Ia bilang, kekuasaan untuk mengontrol tindak-tanduk orang lain kini tidak lagi terpusat di tangan penguasa, tapi terdistribusi ke hampir semua orang. Ia mencontohkan perilaku orang-orang di media sosial, yang hobinya “sekadar mengingatkan” tingkah laku orang lain yang tidak sejalan dengan keyakinannya. Kata Eka:

“[…] yang kita hadapi bukanlah kekuasaan terpusat yang sangat kuat, tapi kekuasaan yang memencar dan terus-menerus mencari perimbangan dalam dirinya. Sebagian merupakan kelompok-kelompok kuat, baik karena jumlah, uang, maupun teknologi. Kelompok-kelompok kecil bukan berarti gampang dihadapi. Sering kali mereka lebih berisik, mengganggu. Mati satu tumbuh seribu.”

Setiap orang yang mempunyai media sosial memang bisa nyolot ke akun lain yang tidak ia sukai. Namun, perilaku orang lain yang seperti apa yang muncul di lini masanya, cara ia nyolot ke orang lain, serta bagaimana omongan nyolot tersebut terdistribusi ke akun-akun lain, semuanya diatur oleh platform. Di sinilah Eka Kurniawan keliru dengan menganggap kuasa untuk mengontrol sudah terdistribusi. Yang terdistribusi adalah aktivitas mengontrolnya, sedangkan kuasa (power) untuk mengatur sistem kontrol semakin terpusat di platform.

PEKERJA PLATFORM

Setelah menjelaskan wajah-wajah platform yang sesunguhnya, berikut ini saya akan menuliskan 5 macam pekerja platform beserta uraian yang saya rasa perlu. Supaya jelas, siapa saja sebenarnya penggerak utama bisnis platform.

“Inovator”

Pekerja platform yang pertama ialah orang-orang yang sering disebut media sebagai “inovator”. Mereka adalah para pendiri start up yang produktif membuat berbagai macam platform. Semakin banyak bidang kehidupan yang kini dicaplok oleh platform, mulai dari keuangan, pertanian, perikanan, transportasi, belanja bahan pokok, investasi, sampai pendidikan. Sayangnya, walaupun lahan bisnisnya berbeda-beda, secara umum bentuk platform yang muncul bisa dibilang serupa. Sebagian besar wajah platform yang hadir mengikuti model yang sudah saya uraikan panjang lebar di atas.

Para “inovator” ini bisa dilihat sebagai orang-orang yang “kreatif”, pekerja keras, yang mau begadang panjang demi menemukan lahan baru yang bisa di-platform-kan. Harapannya, “inovasi” yang mereka temukan mampu menarik lirikan para pemodal besar untuk berinvestasi di platformnya. Jika kita mau jujur, sebetulnya “inovasi” para pendiri start up ini tidak inovatif-inovatif amat. Bentuknya begitu-begitu saja. Mereka hanya terus berusaha memburu berbagai bentuk kehidupan yang belum dimasuki bisnis platform.

Kondisi ini sangat disayangkan. Mereka-mereka ini adalah para pemuda yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi yang sangat layak, yang kebanyakan orang tidak mendapatkannya, tapi “inovasi”nya tidak ke mana-mana karena pemahamannya pada platform digital sudah diracuni oleh narasi CEO start up unicorn. Para “inovator” ini tidak lagi punya bayangan tentang model platform yang lain, yang koordinasi sosialnya bukan hanya kompetesi dan pasar bebas, tapi solidaritas.

Yang termasuk kategori “inovator” ini bukan hanya para pendiri start up sebetulnya, tapi juga para pekerja tetap di perusahaan platform. Mereka inilah yang sebetulnya terus melakukan inovasi hari demi hari, selama bekerja. Patut dicatat juga bahwa untuk perusahaan platform yang masih kecil, pendiri dan pekerja sering kali adalah orang yang sama.

Freelancer

Ini adalah para pekerja yang menawarkan berbagai keahlian top hari ini, seperti desain grafis, pemprograman komputer, jurnalisme, content creator, dan analisis data. Berbeda dengan pekerja tetap, kontrak mereka dengan pemberi kerja hanya per proyek. Mereka banyak ditemui di platform seperti Sribulancer dan FastWork. Para freelancer bisa memperoleh pendapatan yang layak jika mendapatkan pekerjaan yang bagus dan mampu menyelesaikan banyak pekerjaan. Walaupun, tentu saja, sering kali waktu kerjanya bisa lebih panjang dan tak menentu. Antara waktu istirahat dan bekerja sering tak ada bedanya.

Bentuk hubungan kerja yang semacam ini sebetulnya sudah ada sebelum era platform. Kita mengenalnya sebagai outsourcing. Sistem outsourcing adalah strategi perusahaan konvensional untuk mengurangi biaya membayar karyawan. Banyak hal terpotong dengan sistem outsourcing, yakni bonus kerja, iuran asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, dan pesangon. Platform mempercepat dan memperluas penerapan sistem kerja yang seperti ini. Dengan konsep freelance, platform sebetulnya menghilangkan peran perusahaan outsourcing, dengan memanfaatkan teknologi terkini yang memungkinkan pengusaha langsung berhubungan dengan pekerja outsource. Alhasil, lebih banyak lagi biaya yang bisa dihemat.

Pekerja Gig

Biasanya, pekerja gig disamakan dengan freelancer. Namun, sesungguhnya perlu dibedakan. Mereka umumnya adalah pekerja jasa yang meskipun berinteraksi di platform dengan konsumen, tapi juga harus melaksanakan tugas di lapangan. Mereka adalah para pengemudi ojek daring, jasa pijat, jasa bersih-bersih kamar, jasa antar-makanan dan barang, dan pekerjaan lain yang sejenis. Mereka adalah pekerja yang bayarannya minim dan harus terbebani dengan biaya operasional serta risiko. Misalnya risiko kecelakaan bagi para pengemudi ojek daring, atau pelecehan seksual bagi pijat online. Selain itu, pekerja gig juga harus menghadapi komplain dari pelanggan beserta konsekuensinya. Sedangkan si platform lepas tangan.

Pelatih algoritma

Pekerja industri 4.0 sering kali dianggap sebagai orang-orang yang punya skill tinggi. Padahal, para pengisi survei di internet, pengetes berbagai aplikasi dan website baru, dan kerjaan lain yang intinya mengajari algoritma agar semakin pintar adalah pekerja industri 4.0 juga. Mereka adalah pekerja kognitif yang tidak memerlukan keahlian tinggi, cukup tahan saja melakukan berbagai pekerjaan berulang-ulang. Seluruh kegiatan kerja dilakukan secara online.

Pemilik akun media sosial

Semua orang yang beraktivitas di Twitter, Facebook, Instagram, dan media sosial lainnya selama ini tidak dianggap sebagai pekerja. Padahal, mereka memproduksi nilai yang dijadikan profit oleh pemilik platform. Seluruh konten yang mereka hasilkan, baik itu berupa teks, gambar, video, atau gabungan ketiganya adalah produk yang ditampilkan oleh platform kepada pengguna lain.

Para pengguna medsos, kita, adalah produsen sekaligus konsumen. Data aktvitas kita di media sosial, mau itu isinya kisah cinta, sedih, amarah, hinaan, cacian, ekspresi agama, politik, nasihat, maupun dakwah, semuanya dijadikan komoditas oleh platform untuk dijual kepada para pengiklan. Saya sudah pernah membahasnya secara detail di artikel berjudul “Kita adalah Bahan Baku, Buruh, dan Komoditas dalam Ekonomi Digital”. Menyedihkannya lagi, kerja-kerja yang dilakukan kelompok ini tidak dibayar oleh platform. Hanya sebagian kecil saja yang bisa menjadikan kontennya penghasil uang, misalnya dengan menerima endorse. Tapi toh itu bukan dari platform.