Sudah mulai banyak orang yang sadar tentang perlunya consent dalam hubungan seksual. Ini kabar baik. Consent atau persetujuan secara sadar kedua belah pihak memang sudah seharusnya menjadi syarat minimal terjadinya hubungan seksual, baik antara sepasang manusia yang sudah menikah maupun yang belum. Syarat terpenuhinya consent ini sangat perlu ditekankan untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual.
Namun demikian, paham terhadap konsep consent saja tidak cukup. Pasangan yang akan melakukan hubungan seksual harus berada di posisi yang setara. Misalnya, jika posisi sosial-ekonomi antara suami dan istri sangat timpang, maka pihak yang punya power akan lebih mampu memaksa dan yang tidak punya power akan kesulitan menolak.
Sayangnya, yang terjadi hari ini, proses mencapai consent seringnya diserahkan kepada masing-masing individu, tanpa memeriksa struktur sosial yang membentuk hubungan antar-individu. Tiap individu hanya diharapkan mampu mengungkapkan pilihannya pada suatu ajakan hubungan seksual: setuju atau tidak. Tiap individu juga hanya diharapkan mampu memahami dan menghormati jawaban dari seseorang yang ia ajak untuk berhubungan seksual. Praktik pemenuhan consent yang sangat individualis ini gagal melihat masalah struktural dalam kekerasan seksual. Seakan-akan ini hanya soal pengertian dan pemahaman antar-pasangan.
Mari ambil contoh. Seorang pekerja seks yang hidupnya bergantung pada uang dari pelanggannya jelas memberi persetujuan secara sadar sebelum berhubungan seksual. Hubungan seksual antara dia dengan pelanggannya terjadi secara konsensual. Tapi apakah hubungan seksual ini tidak termasuk kekerasan seksual? Menurut saya, peristiwa tersebut tetaplah kekerasan seksual. Sebab ada kondisi material (butuh uang) pada diri pekerja seks tersebut yang membuat ia tak lagi sempat memikirkan apakah hubungan seksual yang akan dia lakukan sesuai dengan hasrat seksualnya atau tidak. Bahkan untuk berkata “tidak” saja ia tidak mampu.
Ini bukan berarti meniadakan atau menyepelekan agensi (kemampuan seseorang untuk memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya) dari si pekerja seks. Justru saya sedang berusaha menjelaskan bagaimana caranya agar para pekerja seks benar-benar mampu menentukan/memilih jalur hidup yang ingin ia jalani. Dan untuk mencapai itu, desain sosial-ekonomi kita harus mampu menjamin setiap orang tidak terpaksa berkata “iya” karena desakan kebutuhan material hidupnya.
Tentu saja ada pekerja seks yang mampu berkata “tidak” pada pesanan yang datang, serta menyusun terms and conditions (ketentuan dan syarat-syarat) untuk pelanggannya. Misalnya, tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang merendahkan saat berhubungan seksual. Namun, dengan membuat keputusan ini, si pekerja seks tersebut harus siap kehilangan beberapa atau mungkin sebagian besar pemasukannya. Konsekuensi inilah yang tidak akan mampu ditanggung oleh para pekerja seks yang benar-benar bergantung pada uang dari pelanggan untuk hidup. Konsep consent tidak akan berguna bagi mereka karena toh mereka tak punya kuasa untuk menerapkannya.
Saya juga tidak akan menutup ruang untuk kemungkinan adanya pekerja seks yang menjalani profesinya atas dasar passion. Artinya, orang tersebut menjadi pekerja seks bukan karena desakan kebutuhan hidup, tapi karena cinta dan senang dengan pekerjaannya. Bagi para pekerja seks ini, jelas konsep consent berguna sekali karena mereka punya kekuatan untuk mempraktikkannya. Jika semua pekerja seks seperti ini, memastikan sebanyak mungkin orang paham consent tentu saja sudah cukup. Tidak perlu memeriksa dan memperbaiki struktur sosial-ekonomi kita. Namun demikian, kenyataannya kan tidak demikian. Mayoritas pekerja seks menjalani pekerjaannya karena tidak ada pilihan lain.
Laki-laki, yang merupakan mayoritas pelaku kekerasan seksual, tentu saja juga harus diedukasi atau diberi pemahaman tentang consent. Laki-laki harus diberi tahu bahwa ia seharusnya menghargai pilihan pasangan seksualnya, dan tidak memaksa jika pilihan tersebut tidak sesuai dengan kemauannya. Namun lagi-lagi, jika hanya berhenti di kampanye consent, maka kita hanya berharap pada orang-orang yang punya kuasa untuk menjadi baik hati dan menghargai pilihan seksual orang lain. Menurut saya, ini sebuah pertaruhan yang seharusnya tidak diambil.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa consent dalam suatu hubungan seksual hanya bisa benar-benar tercapai jika ada kondisi struktural yang membuat tiap orang mampu berkata “iya” atau “tidak” sesuai dengan kehendak hatinya. Bagi si pekerja seks, ia perlu mendapat sumber pendapatan lain yang berkelanjutan agar mampu berkata “iya” hanya pada ajakan hubungan seksual yang benar-benar ia kehendaki, bukan hubungan seksual yang ditukar dengan uang. Jadi, untuk benar-benar keluar dari kekerasan seksual, pekerja seks tidak bisa dibiarkan berjuang sendiri dengan meninggalkan pekerjaannya lalu mencoba jalan hidup yang lain. Perlu ada perubahan struktur sosial-ekonomi di level masyarakat dan negara. Salah satu contohnya jelas, yakni memastikan lapangan pekerjaan yang layak tersedia bagi semua angkatan kerja.
Paradigma pemenuhan hubungan seksual konsensual yang individualis (tidak menyentuh persoalan struktural) perlu kita hindari. Karena, semangat ini hanya akan berguna bagi para perempuan yang punya modal sosial-ekonomi yang kuat, yaitu mereka yang punya kuasa untuk berkata “tidak”. Para perempuan ini tidak perlu khawatir suaminya minta cerai karena ajakan seksnya ditolak, sebab mereka bisa hidup mandiri, punya pekerjaan yang berpenghasilan tinggi, dan dukungan sosial yang baik. Singkatnya, para perempuan yang punya privilege. Tentu saja kita bisa bilang bahwa para istri yang tidak punya privilege seharusnya juga berani berkata “tidak”, terlepas dari apapun kondisi sosial-ekonominya dalam rumah tangga dan masyarakat. Kalaupun ada kungkungan tembok besar yang membuat perempuan tersebut seakan terjebak, maka perlu didobrak. Pilihan ini memang terlihat heroik. Akan tetapi, bagaimana dengan konsekuensi yang harus ditanggung oleh perempuan non-previlege tersebut seorang diri di tengah sangat terbatasnya pilihan untuk hidup? Manusia bertahan dalam hubungan, relasi, dan ruang hidup yang toxic bukan karena tidak ingin mendobrak, tapi karena memang belum ada alternatif ruang yang lain.
Pendekatan individualis ini paling jauh hanya akan menyemangati para ibu rumah tangga agar berani berkata “tidak” pada ajakan hubungan seksual dari suaminya jika memang sedang tidak ingin. Sementara kondisi sosial-ekonomi si istri dalam rumah tangganya yang membuat ia tak punya banyak kekuatan untuk menolak permintaan hubungan seksual dari si suami, tidak tersentuh.
Apa itu kondisi sosial-ekonomi? Dalam kasus ibu rumah tangga, misalnya, si ibu ini posisi sosial dan ekonominya berada di bawah sang suami. Pekerjaannya sehari-harinya yang mengurus rumah dan anak tidak dihargai secara sosial dan material (ekonomi). Ini adalah konsekuensi dari sistem ekonomi kita yang memberi batas yang jelas antara kegiatan produktif dan reproduktif. Pekerjaan di luar rumah (kantor, pabrik, dan tempat kerja lain) dianggap kegiatan produktif, sementara kerja-kerja di dalam rumah seperti menyapu, memasak, dan merawat anak dianggap kegiatan reproduktif. Kegiatan produktif mendapatkan kompensasi berupa gaji. Sementara itu, kegiatan reproduktif dianggap sebagai hal yang natural, alamiah, sehingga tidak perlu mendapatkan kompensasi material. Padahal, kegiatan produktif, yang disebut sebagai “ekonomi” sangat bergantung pada kegiatan reproduktif. Pekerja kantoran bisa fokus bekerja dan produktif karena tak perlu memikirkan urusan rumah. Artinya, kegiatan reproduktif pun sebetulnya kegiatan ekonomi juga.
Akibat dari sistem sosial-ekonomi yang sangat tidak adil ini, sebagian besar ibu rumah tangga tidak punya modal sosial dan ekonomi. Ia tidak punya banyak kewenangan dalam memutuskan hal-hal dalam urusan keluarga, termasuk aktivitas hubungan seksualnya dengan suami. Hubungan seksual pasangan ini akan terlihat sangat konsensual, karena si ibu sudah mengubur dalam-dalam kemungkinan untuk menolak ajakan si suami. Sebab ia tak lagi mampu membayangkan apa yang akan terjadi jika ia menolak, lalu suaminya kesal, dan terjadi perceraian.
Yang bisa menolong si ibu dari kekerasan seksual adalah perubahan struktural dalam sistem sosial-ekonomi kita. Misalnya, memberi nilai pada pekerjaan-pekerjaan esensial seperti rumah tangga, serta tidak mempersulit seorang janda dalam menjalani hidup. Yang dimaksud “memberi nilai” dalam hal ini bukan sesederhana menggaji atau memberi uang tunjangan bagi para ibu rumah tangga. Sebab jika demikian, kita hanya akan menapaki jalan yang sama dengan negara-negara kesejahteraan (welfare state) yang seakan menghargai aktivitas para ibu rumah tangga, tetapi sesungguhnya mereka hanya ingin memastikan kerja-kerja reproduktif yang mayoritas dilakukan oleh perempuan terselenggara dengan baik, sehingga para suami bisa fokus bekerja. Alhasil, posisi tawar perempuan tetap di bawah laki-laki secara sosial-ekonomi. Tetap ada jurang ketimpangan kuasa yang lebar antara mayoritas perempuan dan mayoritas laki-laki.
Kita perlu membayangkan perbaikan yang lebih jauh, yakni bisa dimulai dengan mempertanyakan mengapa kegiatan produktif dianggap bernilai, sedangkan kegiatan reproduktif tidak; serta mengapa yang pertama dianggap lebih superior, sehingga dijadikan acuan untuk mengatur yang kedua. Perbaikan inilah yang akan membuat si ibu punya kekuatan untuk berkata “tidak”.