Kategori
Politik

Bentuk Lain Teknokrasi

Di benak sebagian besar generasi pasca-Orde Baru, kata “teknokrasi” berkonotasi negatif. Secara umum, kata ini digunakan untuk memberi nama pada proses pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan publik yang lebih memberi ruang pada pendapat para ahli ketimbang orang-orang yang terkena dampak. Orde Baru menerapkan model kebijakan yang seperti ini secara konsisten selama masa hidupnya. Kelompok ahli dominannya saja yang berbeda tiap periodenya. Di periode 1968 hingga 1980an, para ekonom yang mendominasi penentuan arah kebijakan. Sedangkan mulai akhir 1980an, ahli-ahli teknik yang giliran mendominasi. Habibie menjadi ikon utamanya.

Model kebijakan publik a la Orde Baru ini memang meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan cepat, tapi juga menimbulkan dampak yang menyengsarakan, mulai dari kesenjangan ekonomi yang tinggi sampai kerusakan ekosistem yang parah. Bukan sesuatu yang mengherankan ketika rezim ini berakhir, generasi setelahnya menganggap buruk kebijakan publik yang teknokratis. Setiap kebijakan yang dinilai tidak mempertimbangkan secara serius pendapat masyarakat yang terdampak akan dicap teknokratis dan disamakan dengan perangai Orde Baru. Bahkan beberapa kelompok melangkah lebih jauh lagi: kebijakan publik seharusnya ditentukan sepenuhnya oleh rakyat terdampak, karena rakyat tersebutlah yang nanti akan merasakannya; para teknokrat harap angkat kaki.

Model pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan yang dianggap antitesis dari teknokratisme a la Orde Baru adalah kebijakan yang demokratis/partisipatif. Artinya, rakyat terdampak mendapatkan porsi yang lebih besar dalam menentukan keputusan-keputusan yang akan diambil.

Saya tidak akan masuk ke dalam perdebatan tentang masih perlu atau tidaknya teknokratisme (sesuai definisi di atas) di dalam kebijakan publik. Dendy Raditya telah membuka diskusi yang lebih segar seputar topik ini dalam tulisannya yang berjudul “Teknokrasi Jelas Masih Perlu Tapi Bukan Versi Orde Baru”.

Saya ingin membicarakan teknokrasi dalam bentuk pemahaman yang lain. Saya akan memulainya dengan mengulas salah satu mème filsafat paling populer di internet: the trolley problem.

bentuk lain teknokrasi

Ada lima orang yang terikat di rel. Di rel yang sejalur, sedang melaju cepat sebuah kereta. Seseorang, sebut saja T, sedang berdiri di dekat tuas pengatur arah kereta dan menyaksikan kondisi itu. Ia bisa menggerakkan tuas sehingga kereta berpindah ke jalur lain. Sayangnya, di jalur lain itu, ada seorang manusia yang juga terikat ke rel. Jika kamu menjadi si T, pilihan apa yang akan kamu ambil? Apakah kamu akan diam saja sehingga kereta tersebut melindas lima manusia, atau menggerakkan tuas sehingga kereta berbelok dan menggilas satu orang manusia?

Kondisi ini memantik diskusi tentang etika, moral, dan psikologi. Pilihan apa yang seharusnya diambil si T sehingga bisa diterima sebagai tindakan yang etis dan bermoral? Apa kondisi psikologis yang mempengaruhi keputusan si T? Jika si T memilih untuk menggerakkan tuas, dengan alasan yang terbunuh nantinya 1 orang dan yang hidup 5 orang, bagaimana si T bisa yakin bahwa nyawa 5 orang tersebut lebih berharga daripada 1 orang? Jika si T memilih untuk tidak berbuat apa-apa, sehingga ia tidak akan merasa bersalah meskipun 5 orang terbunuh karena ia tidak ikut campur (padahal ia bisa), apakah bisa dibenarkan?

Apabila kita membawa permasalahan ini ke dalam kerangka teknoratis (dalam pengertian di awal tulisan) vs demokratis, maka ini pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul: Siapa yang berhak mengambil keputusan? Si T atau orang-orang yang terikat? Jika si T dan semua orang yang terikat sama-sama diberikan kesempatan bersuara, suara siapa yang akan diberi bobot paling besar? Si T, 5 orang yang terikat, atau 1 orang yang terikat? Atau pendapat ahli moral dan etika yang dijadikan penentu? (Sementara abaikan fakta bahwa ini sesuatu yang mendesak).

Pertanyaan-pertanyaan di atas berfokus pada manusia yang sedang memperdebatkan sebuah keputusan. Masing-masing mengajukan argumen, dari segi etis, moral, kepentingan bertahan hidup, dan kepentingan lari dari masalah untuk menentukan arah jalannya kereta.

Akan tetapi, bukankah kita perlu bertanya terlebih dahulu, mengapa keenam orang tersebut bisa terikat di rel? Mengapa hanya ada 2 cabang rel? Jika ada cabang ketiga, dan tuas rel menyediakan 3 opsi, bukankah si T tidak perlu dipusingkan dengan beban etika dan moral dalam membuat keputusan? Ia langsung bisa mengarahkan kereta ke cabang yang ketiga.

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menghantarkan kita ke pemahaman teknokrasi yang lain. Kita perlu sadar, pilihan-pilihan yang tersedia di hadapan kita dibatasi oleh desain teknis. Si T harus berhadapan dengan dilema moral dan tanggung jawab karena dia hanya disediakan 2 opsi oleh desain jalan rel dan sistem operasinya. Seorang pekerja yang mengendarai sepeda motor ke kantornya bisa bebas memilih beberapa opsi rute perjalanan, tapi opsi-opsi tersebut pun dibatasi oleh layout jalan, marka jalan, dan lampu lalu lintas. Seseorang bebas-bebas saja membayangkan bagaimana dirinya akan berpindah dari sebuah ruangan di lantai 8 ke lobi gedung, tapi desain arsitektur memberi batasan satu pilihan pintu, satu pilihan lorong, 3 pilihan lift, dan satu pilihan tangga darurat.

Dengan menyadari hal ini, perdebatan di dalam desain kebijakan publik semestinya tidak hanya tentang seberapa besar ruang yang diberikan kepada para ahli, politisi, pejabat publik, dan masyarakat terdampak untuk menyampaikan pendapat dan pilihannya. Sebab, semajemuk dan sekompleks apapun pendapat dan pilihan yang disampaikan masing-masing pihak, sesungguhnya dibatasi oleh desain infrastruktur dan tata kelola yang ada.

Teknokrasi semestinya dipahami dalam konteks ini. Dengan mengimplementasikan cara berpikir teknokratis, kita akan terpicu untuk memeriksa serangkaian sistem, tata aturan, dan desain teknis yang menyeleksi berbagai kemungkinan menjadi sebuah menu pilihan yang terbatas. Seorang teknokrat tidak akan terjebak untuk hanya menilai dan menghakimi pilihan-pilihan yang diambil oleh seseorang atau kumpulan manusia, tapi juga tertarik untuk mendesain ulang kondisi yang membuat manusia cuma punya pilihan yang sama buruknya.

Ketimbang hanya terus-terusan menuding para penguasa punya hati yang jahat karena dihadapkan dengan fakta kekerasan negara terhadap rakyatnya sendiri yang tak putus-putus, seorang teknokrat akan curiga: jangan-jangan desain negara berdaulat yang eksis hari ini, yang tak berubah secara fundamental dari desain Perjanjian Westphalia 3,5 abad silam, memang tak didesain untuk mencegah negara menyakiti rakyatnya sendiri, sebab yang terpenting bagi spesies negara berdaulat ini adalah rasa memiliki kedaulatan di dalam wilayahnya.

Lagi, ketimbang hanya terus-menerus menyalahkan orang-orang di kursi kekuasaan tak becus menangani pandemi, seorang teknokrat akan memeriksa juga tata kelola pemerintahan dan kemampuan sistem tersebut dalam mendeteksi, memodelkan, dan bertindak cepat atas model yang dibuat dalam situasi krisis seperti pandemi. Seorang teknokrat akan sadar, jika desain infrastruktur dan tata kelola pemerintahan yang ada saat ini memang tidak mampu untuk menghadapi krisis seperti pandemi, maka siapapun yang mengambil keputusan akan tetap menghasilkan situasi yang buruk. Di kasus trolley problem di atas, walaupun bukan si T yang berada di dekat tuas, tapi si U, si V, si W, atau si X, dan walaupun keputusan yang diambil didasarkan pada proses yang demokratis, tetap saja akan ada orang yang mati terlindas kereta.

Tentu, ini bukan berarti teknokrasi mengabaikan fakta bahwa orang-orang yang berada di kekuasaan memang berhati jahat dan tidak kompeten. Teknokrat hanya menyadari bahwa mengumpat ke orang-orang itu, menggantinya dengan orang lain, tidaklah cukup.

Bagi teknokrat, ada masalah sebelum masalah.

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s