Kategori
Kapital Society

Manusia Pasca Tiktok

Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah percakapan, saya diberi tahu oleh lawan bicara bahwa saat ini ia sedang kesulitan mencari sebuah informasi dari topik penelitiannya di Tiktok. Pada momen tersebut ada dua hal yang secara khusus membuat saya merasa takjub. Pertama, anak ini lahir ketika saya sudah Sekolah Dasar (SD) dan sekarang dia sudah melakukan penelitian skripsi. Kedua, dia mencari informasi terkait penelitian di Tiktok.

Alangkah bijaksana jika hal yang pertama tidak perlu dibahas lebih lanjut.

Setelah momen itu, saya mencoba melakukan pencarian informasi di media sosial yang baru-baru ini diblokir di Negara Paman Sam ini. Saya pengguna Tiktok juga, namun fakta bahwa anak-anak muda di bawah usia saya memanfaatkannya sebagai ruang untuk mendapatkan informasi untuk penelitian adalah suatu hal baru bagi saya. Ternyata lumayan banyak juga informasi-informasi dan pengetahuan yang secara praktis dijelaskan dalam tempo satu menit.

Saya ingat kenangan pertama kali Wikipedia, kanal lautan informasi itu, tidak diperbolehkan dirujuk dalam tugas karya tulis oleh siswa saat di Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal ini didahului dengan larangan mengutip dari website personal. Saat itu blogspot dan wordpress sedang tenar. Menjadi pertanyaan bagi saya, apakah sekarang di sekolah-sekolah juga memberikan larangan untuk mencantumkan Tiktok. Atau malah mengizinkan? Kan sekarang generasi guru-guru baru menggunakan Tiktok sebagai sumber informasi bagi penelitiannya.


Sebuah cuitan yang mengundang refleksi, apakah blogger-blogger dulu kini sibuk membuat konten review di Tiktok?

Zaman terus berkembang, kehadiran teknologi telah menjadi realitas baru yang tidak terelakkan. Keasyikan menyelami Wikipedia kini memiliki subtitusi (atau komplementer) dengan tayangan-tayangan 15 detik di kanal baru ini. Bahkan skema konten serupa Tiktok telah diadopsi oleh platform-platform lain, seperti Reels oleh Instagram dan Facebook, Short oleh Youtube, hingga Shopee Live oleh Shopee. Skema yang tidak terbayangkan di masa lalu bahwa ternyata menjajakan jualan lebih mangkus dengan menggunakan video 15 detik maupun siaran langsung yang menawarkan interaksi real-time antara calon pembeli dengan penjual.

Tiktok (dan segala kanal serupa, selanjutnya akan digunakan untuk mewakili seluruhnya) telah memberikan sumbangsih luar biasa terhadap perilaku Fear of Missing Out (FOMO) yang oleh orang-orang zaman sekarang, tidak hanya anak muda saya rasa. Kecepatan informasi beredar membuat konten-konten 15 detik lebih digandrungi. Dalam bebebrapa penelitian yang saya temukan1 dengan kata kunci “attention span“, kini pola konsumsi konten masyarakat telah berubah. Pola ini menyebabkan perubahan perilaku secara umum pula, misalnya keterbatasan dalam memberikan fokus. Namun dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa kebiasaan pengguna Tiktok tidak mempengaruhi kemampuan dalam memahami informasi yang komprehensif dalam suatu paket informasi.

Refleksi atas kehadiran Tiktok ini cukup membuat gamang. Dalam banyak hal konten model ini memberikan dampak baik bagi yang memanfaatkannya. Misalnya, sekarang semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan panggung. Bahkan Tiktok sebagai kanal pertama, setahu saya, membuat fitur For You Page (FYP), sebagai halaman utamanya. Di saat sosial media lain menunjukkan halaman utama adalah tempat konten dari para mutual2. Sehingga peluang untuk dapat dijangkau orang banyak semakin besar apabila mengetahui tipe konten yang cenderung banyak disukai atau bahkan dapat terjadi secara tidak sengaja. Beberapa contoh telah berhasil memanfaatkan kanal ini untuk menciptakan kapital darinya, misalnya memenangkan pemilu atau sekadar berjualan regulator gas dengan laris.

Namun dampak baik masih sulit didapatkan dalam model ini dari sisi konsumen kontennya. Pertama, terkait attention span yang sebelumnya dibahas. Konsumen konten menjadi cenderung sulit fokus dalam waktu yang lama. Kedua, terkait dengan verifikasi informasi. Seperti Wikipedia atau website personal di zaman dahulu, konten Tiktok belum cukup andal akurasi informasinya. Perlu dilakukan verifikasi lebih lanjut pada setiap informasi yang beredar. Namun dengan sikap FOMO, apakah verifikasi ini tetap dilakukan? Sedangkan dalam 1 menit saja sudah terdapat empat konten yang terlahap, dengan asumsi seluruh konten ditonton penuh tanpa dilewati.

Kekhawatiran terhadap kehadiran Tiktok mungkin secara realita belum “penting dan mendesak”. Namun, perlu kah hingga “penting dan mendesak” untuk memberikan intervensi terhadap risiko yang ditimbulkannya? Atau alangkah baiknya jika kita riding the wave dan mengeruk kapital saja di kandang monyet3 ini?

  1. Salah satu penelitian yang secara khusus membahasnya dapat dilihat di sini https://theses.ubn.ru.nl/items/277e3219-85d2-41ac-92f3-4ac3745c1d58 ↩︎
  2. Istilah untuk teman maya yang sudah saling terhubung (follow, subscribe, dsb) ↩︎
  3. Bahasa slang yang digunakan dalam intensi sinis / nyinyir terhadap media sosial Tiktok ↩︎

Oleh Agri Satrio A. N.

Masih mendaki, menuju puncak tertinggi piramida.

Tinggalkan komentar