Kategori
Transportasi

RUU DKJ Telah Disahkan, Lalu?

Sempat ramai perbincangan tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) DKJ yang seharusnya sudah dilakukan sebelum tanggal 15 Februari 2024 berdasarkan amanat Undang-Undang No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 21 Tahun 2023.

Ramainya perbincangan terkait dengan RUU yang telah menjadi UU pada 28 Maret 2024 ini berawal dari nomenklatur Dewan Kawasan Aglomerasi yang dipimpin oleh Wakil Presiden. Di luar itu juga terkait dengan Gubernur yang semula ditetapkan akan ditunjuk oleh Presiden dengan mempertimbangkan usul DPRD. Namun bukan dua hal ini yang akan saya bahas, karena Wakil Presiden tetap menjadi ketua Dewan Kawasan Aglomerasi dan Gubernur akhirnya tetap dipilih langsung oleh rakyat, seperti 19 tahun terakhir.

Hal yang menarik bagi saya adalah penghapusan Pasal 24 ayat (2) huruf g pada RUU yang berbunyi, “Melakukan penyidikan atas pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan di wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta terhadap kendaraan bermotor berupa mobil dan motor pribadi yang memasuki jalur khusus angkutan umum dan penyidikan terhadap angkutan umum orang/barang yang melakukan pelanggaran lalu lintas”.

Alasan mengapa saya tertarik adalah karena terdapat dua poin yang menurut saya unik pada pasal yang dihapus ini. Pertama adalah penyidikan atas pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan (LLAJ) terhadap kendaraan bermotor pribadi yang memasuki jalur khusus angkutan umum, dan kedua terkait dengan penyidikan terhadap angkutan umum orang/barang yang melakukan pelanggaran lalu lintas.

Pada kedua poin di atas memiliki kesamaan yang menarik karena RUU DKJ hampir saja memberikan kewenangan khusus di bidang perhubungan terkait dengan penyidikan terhadap kendaraan bermotor di jalan raya. Sedangkan pada Undang-Undang No 22 Tahun 2009, kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) hanya terbatas di terminal dan jembatan timbang. Untuk kewenangan terkait penyidikan di jalan raya harus didampingi dengan Petugas Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).

Di luar pertimbangan yuridis normatif terkait akan terjadinya tumpang tindih antar undang-undang apabila tidak dihapusnya pasal di atas, saya memiliki sedikit prasangka lain. Terkait dengan poin pertama, penghapusan pasal tersebut adalah upaya untuk tidak memperumit diri “rakyat yang diwakilinya” ketika “secara khilaf” masuk ke jalur kendaraan umum. Yang mana, bahkan pada UU LLAJ tidak terdapat pasal khusus yang melarang kendaraan bermotor pribadi memasuki lajur khusus.

Sedang apabila upaya yang dilakukan “secara khilaf” tersebut melanggar rambu lalu lintas sebagaimana diatur pada Pasal 106 ayat (4) huruf a dan Pasal 287 ayat (1) dapat menggunakan Pasal 104 sebagai dalihnya. Kegiatan ini biasa disebut “patwal” di kalangan pengguna jalan, namun saya tidak menemukan istilah resminya di peraturan Kapolri.

Selanjutnya terkait dengan poin kedua juga cukup menarik, karena wewenang PPNS tetap terbatas pada terminal dan jembatan timbang terhadap angkutan umum orang/barang yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Sedang penyidikan di jalan raya harus didampingi oleh Petugas POLRI. Tentu ini adalah prasangka saya lagi, bahwa kekhilafan yang mungkin “rakyat” lakukan terkait dengan angkutan barang yang Over Dimension dan Over Loading (ODOL) maupun angkutan orang yang tidak sesuai emisi, rancang bangun, atau lebih ekstrimnya mengangkut barang dengan diikat di bagian luar karoseri tidak menjadi ranah dinas yang berwenang di bidang perhubungan untuk cawe-cawe.

Tentu legislator kita sudah paham betul bahwa status quo yang diatur pada UU LLAJ sudah cukup baik dengan kehidupan “rakyat” yang diwakili. Maka jangan lah RUU DKJ, yang alhamdulillah telah disahkan, ini membuat kegaduhan yang tidak perlu. Apalagi kan para anggota dewan nanti tidak turut serta migrasi ke IKN, bukan begitu?

Oleh Agri Satrio A. N.

Masih mendaki, menuju puncak tertinggi piramida.

Tinggalkan komentar