Kategori
Society

Di Hari Buruh Sekalipun, Aborsi Tetap Ilegal

Mengandung adalah pekerjaan yang penuh risiko dan nyawa taruhannya. Sudah begitu, yang memilih berhenti, bisa dipenjara.

Hari ini kita merayakan hari buruh. Kita sepakat untuk sama-sama berhenti bekerja, walau sehari saja. Ini sebagai pengingat, bahwa tujuan kita, kelas pekerja, bukan hanya soal mencapai kesejahteraan saja. Tujuan kita yang paling utama adalah memusnahkan diri sendiri, sebagai suatu kelompok. Tujuan kelompok buruh bukan menjadi sejajar dengan atau lebih tinggi dari kelompok borjuis (yang memberinya kerja), seperti hasil dari revolusi-revolusi besar di berbagai belahan dunia. Tujuan kelompok buruh adalah membuat kelompok buruh tak lagi ada, sebagai akibat hilangnya kelas sosial-ekonomi di dalam masyarakat. Salah satu indikasi tercapainya tujuan utama tersebut adalah adanya kekuatan untuk menolak kerja.

Sangatlah mudah menemukan orang-orang yang tidak bisa berhenti bekerja di hari buruh ini. Mereka adalah orang-orang yang dipaksa tetap bekerja dengan alasan sektor esensial, seperti operator SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Dan ada yang lebih ekstrem lagi: orang hamil. Jika ia berhenti bekerja (aborsi) bukan karena alasan medis atau korban pemerkosaan, walau di hari buruh sekalipun, ia dianggap melakukan perbuatan kriminal.

Mengandung Itu Bekerja

Akan sulit menemukan seseorang yang hamil dan menyatakan bahwa dirinya sedang bekerja. Hamil bagi sebagian besar orang adalah laku hidup yang agung. Tidak seperti kerja yang dianggap transaksional dan berhubungan dengan hal-hal material (uang), hamil adalah perjuangan tanpa pamrih dari seorang manusia untuk melahirkan manusia baru. Mengandung adalah anugerah Tuhan. Tidak menyerah pada lelah-letih selama mengandung adalah wujud rasa syukur yang nantinya akan terbayarkan ketika melihat senyum imut bayi yang baru lahir.

Sayangnya, kerja bukan kenyataan subjektif, yang ditentukan oleh pengakuan dan kesadaran masing-masing orang. Kerja adalah kenyataan objektif. Maksudnya, suatu aktivitas dibilang kerja atau tidak bukan berdasarkan pendapat orang yang menjalaninya, tetapi tentang ada atau tidaknya nilai baru yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. Pekerja di pabrik bakpia mengolah tepung terigu, gula tepung, garam, margarin, mentega putih, air, dan bahan-bahan lain menjadi bakpia yang kemudian dijual dengan harga lebih mahal dari total harga bahan-bahannya plus nilai tenaga kerjanya. Inilah yang disebut memproduksi nilai. Akan tetapi, suatu bentuk nilai tidak hanya berupa barang atau jasa yang bisa langsung dijual. Ibu rumah tangga, misalnya. Aktivitas-aktivitas yang ia lakukan di dalam rumah (menyapu, mengepel, mencuci, memasak) tidak memproduksi sesuatu yang bisa langsung ditukar dengan uang (dijual). Meski begitu, berkat aktivitas-aktivitas dirinyalah, si suami bisa fokus memproduksi nilai (bekerja) di luar rumah.

Dengan demikian, seluruh manusia yang memproduksi nilai baru itu bekerja. Bedanya, ada yang punya kekuasaan untuk mengontrol nilai yang ia produksi sendiri dan diproduksi orang lain, yaitu para pemberi kerja, sedangkan ada yang tidak punya kuasa atas hasil kerjanya sendiri (pekerja/buruh).

Seseorang yang mengandung mempunyai posisi yang unik dalam hal ini. Ia sedang memproduksi suatu makhluk hidup yang di kemudian hari akan memproduksi nilai/bekerja. Walaupun ia mengelak fakta ini, dengan beralasan bahwa hubungan dia dengan fetus di rahimnya adalah sakral, kenyataan tetaplah kenyataan. Ia sedang menjalankan sebuah pekerjaan yang penuh risiko, menyakitkan, melelahkan, dan taruhannya adalah dirinya sendiri. Pengagungan seringnya justru malah membuat orang hamil jadi terpaksa untuk terus menjalani rasa sakit, tidak nyaman, letih, dan risiko demi sebuah tujuan mulia: menghadirkan manusia baru ke dunia.

Kecelakaan Kerja pada Orang Hamil

Every miscarriage is a work accident.

Silvia Federici, Wage Against Housework (1975).

Di pagar suatu proyek konstruksi, kerap kita lihat spanduk yang berkaitan dengan keselamatan kerja. Kalimat “Utamakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)” dan “Tenaga Kerja pada Proyek Ini Dilindungi Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (JK) BPJS Ketenagakerjaan” dibentangkan lebar-lebar di sekeliling proyek. Walaupun tidak harus sampai membentangkan spanduk serupa di tiap-tiap rumah orang hamil, karena akan merusak tampilan rumah, tetapi setidaknya haruslah ada juga jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian bagi setiap orang yang hamil.

Meskipun sering disuruh lembur, pekerja konstruksi masih ada waktu istirahat. Sementara orang hamil bekerja setiap detik mulai dari awal kehamilan sampai dengan kelahiran. Derita keguguran baik fisik maupun mental semestinya tidak dibiarkan hanya dipikul oleh orang yang mengalaminya dan keluarganya yang serumah. Sebab mereka sedang mengalami sebuah kecelakan dalam menjalankan sebuah kerja yang produknya adalah manusia yang nantinya akan memproduksi berbagai macam nilai. Membuat sebuah gedung saja ada jaminan kecelakaannya, mengapa memproduksi manusia tidak?

Kebebasan untuk Berhenti Bekerja

Kebebasan untuk memilih bekerja di bidang apa saja, waktunya kapan, dan lokasinya di mana, kini sudah bisa dinikmati oleh sebagian orang. Berbagai macam jenis pekerjaan baru terus bermunculan. Akan tetapi, kebebasan di dalam kerja tidak hanya itu saja. Yang juga krusial adalah kebebasan untuk berhenti bekerja. Kebebasan yang terakhir ini dimiliki oleh segelintir orang saja. Faktor utama yang membuat orang bisa bebas berhenti bekerja adalah simpanan harta yang sudah banyak. Sumber utamanya tentu saja adalah warisan. Buruh konstruksi tidak punya kebebasan untuk berhenti bekerja kapan saja, karena ia tidak punya warisan jumbo dan ada kebutuhan hidup sehari-hari yang harus dipenuhi.

Orang hamil juga tidak punya kebebasan untuk berhenti bekerja. Penghambat utamanya bukan jumlah simpanan harta, tetapi hukum dan stigma sosial. Sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia, setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi bukan karena alasan medis dan bukan korban pemerkosaan, bisa dipenjara dengan durasi paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 miliar rupiah. Orang yang hamil karena korban pemerkosaan sekalipun, hanya dapat melakukan aborsi jika usia kehamilannya belum lewat 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Selain itu, walaupun sudah diberikan payung hukum, fakta di lapangan menunjukkan sulitnya korban pemerkosaan mengakses aborsi, sehingga lebih memilih cara aborsi mandiri atau layanan aborsi yang tidak resmi (laporan Project Multatuli).

Orang yang melakukan aborsi juga mudah mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sekitar. Misalnya, orang-orang menuduh tanpa bukti bahwa seseorang melakukan aborsi karena kehamilannya adalah hasil dari perselingkuhan.

Seseorang seharusnya bebas untuk melakukan aborsi, meskipun tidak ada kedaruratan medis dan ia bukan korban pemerkosaan. Sebab, yang menjalani hari-hari kehamilan adalah dirinya sendiri. Ia punya kuasa penuh atas pilihan untuk badannya sendiri. Tidak ada suatu pihak pun yang punya hak untuk membuat keputusan atas badaannya, entah itu pasangannya, pekerja medis, negara, maupun masyarakat.

Di Indonesia, aborsi baru dapat dilakukan jika pekerja medis menyatakan bahwa aborsi memang perlu dilakukan, karena membahayakan orang yang mengandung atau janin yang dikandung. Itu pun harus dengan seizin suami, kecuali korban pemerkosaan. Jika suami susah dihubungi, harus ada izin dari keluarga orang yang hamil. Tidak ada ruang bagi orang hamil untuk memutuskannya sendiri. Saran dari tenaga medis dengan memaparkan fakta-fakta medis yang diperoleh dari hasil tes atas kondisi orang yang mengandung dan janin yang dikandung tentu saja sangat penting. Akan tetapi, orang hamil seharusnya punya kebebasan untuk tetap melakukan aborsi meskipun tidak ada kedaruratan medis apapun.

Seseorang bisa saja menyambut dengan gembira saat mengetahui dirinya sedang hamil. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan di tengah jalan ia tak lagi menginginkan kehamilan tersebut. Tidak seorang pun yang berhak mempertanyakan alasan ia tidak ingin melanjutkan kehamilannya. Sebaliknya, jika ia ingin terus melanjutkan kehamilan tersebut, ia perlu mendapatkan dukungan penuh tidak hanya dari suaminya, tapi juga dari fasilitas layanan kesehatan yang dapat diakses dengan mudah dan tidak ada hambatan finansial. Ya, melegalkan aborsi saja tidak cukup. Layanan aborsi juga harus terjangkau dan mudah diakses.

Aborsi Itu Pembunuhan

Titik Haryati, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Tahun 2014-2017, membuat pernyataan di Tahun 2014 bahwa aborsi itu sama saja dengan pembunuhan. Melegalkan aborsi berarti melegalkan pembunuhan. Berapapun usia janin dalam kandungan. “Sudah ada pertumbuhan jiwa dan roh,” ujar Titik pada TEMPO, 14 Agustus 2014. (Karena pernyataan ini dibuat Tahun 2014, bisa saja pendapat Titik Haryati sudah berbeda hari ini).

Soal ini, secara umum terdapat tiga perbedaan pendapat. Pertama, yang setuju dengan pendapat Titik. Berapapun usianya, janin di dalam kandungan sudah hidup. Jadi, kapanpun aborsi dilakukan, tetaplah harus disebut sebagai pembunuhan.

Ada juga yang tidak sependapat dengan pernyataan Titik. Inilah kelompok kedua. Menurut mereka, aborsi bukanlah pembunuhan. Janin tidak bisa disebut manusia hidup sampai ia lahir dan terpisah dari rahim.

Sementara itu, kelompok ketiga berpendapat bahwa aborsi baru bisa disebut sebagai pembunuhan jika dilakukan pada janin yang usianya sudah melebihi 6 minggu. Sebab, janin yang berumur 6 minggu atau lebih sudah bernyawa dan memiliki detak jantung.

Di benak kita, pembunuhan adalah tindakan yang keji. Oleh sebab itu, ketika ingin membela tindakan aborsi, kita berusaha keras menunjukkan bahwa tindakan tersebut bukanlah aksi pembunuhan. Kita membeberkan fakta-fakta ilmiah yang menunjukkan bahwa janin yang belum berusia 6 minggu tidak bisa dikatakan sudah hidup. Dengan demikian, seseorang yang melakukan aborsi pada janin yang umurnya belum sampai 6 minggu, dengan alasan apapun, tidak bisa disebut sebagai pembunuh.

Tubuh manusia punya pendapat lain soal pembunuhan. Tubuh yang kita cintai ini rajin sekali melakukannya. Segala macam bakteri, virus, parasit, dan protozoa yang masuk dan berkembang biak di tubuh kita, setiap hari, akan dibunuh oleh sel pembunuh agar kita tetap bugar. Tubuh melakukan aksi pembunuhan tanpa diperintah. Kita juga sering mengandalkan obat anti-biotik sewaktu sakit. Anti-biotik, secara harfiah, artinya adalah anti benda-benda hidup. Dalam hal obat, yang dilawan adalah mikroorganisme. Sudah menjadi hal yang lumrah bagi tubuh manusia untuk membunuh makhluk hidup.

Memang akan sangat sulit bagi kita untuk menyamakan janin dengan parasit. Ini karena kita sudah terbiasa menganggap hubungan antara janin dengan tubuh yang mengandungnya adalah hubungan yang harmonis. Negara, agama, dan tetangga mengawetkan narasi ini. Kita akan kesusahan menerima fakta bahwa hadirnya plasenta tidak hanya sebagai jalur nutrisi bagi janin, tapi juga menjadi mediator penengah antara janin yang ingin mengisap sebanyak-banyaknya nutrisi dari tubuh yang mengandungnya dan penolakan spontan tubuh pada makhluk asing yang tumbuh di rahimnya.

It is a wonder we let fetuses inside us.” Ini adalah kalimat pertama Sophie Lewis di bukunya yang berjudul Full Surrogacy Now: Feminism Against Family. Sophie menulis kalimat ini bukan karena ia benci kehamilan, tapi ia justru salut pada orang hamil mengingat betapa barbarnya janin mengeksploitasi tubuh inangnya. Jika feminis bisa berucap my body my choices (tubuhku, pilihanku), ini tak berlaku pada tubuh yang hamil. Ia tidak bisa mengatur bagaimana janin mengisap bagian-bagian tubuhnya dan seberapa banyak. Tiba-tiba saja makhluk asing ini menggerogoti isi tubuhnya dengan caranya sendiri. Maka, sungguh bukanlah dosa apabila ia memutuskan untuk membunuh makhluk asing ini. Seperti kita mewajarkan seseorang meminum obat anti-biotik, kita juga perlu menganggap biasa orang yang membunuh fetus.

avatar Dandy Idwal

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan komentar