Impian, peluang, tantangan, dan ancaman di era industri 4.0 yang menjadi obrolan publik didominasi oleh narasi yang dibentuk oleh penguasa, baik itu pemerintah maupun gerombolan orang yang punya modal besar (dua kelompok ini seringkali orang yang sama). Coba cek media online, koran, youtube, dan media sosial. Atau kalau perlu tanyakan pada orang di sekeliling kita. Apa yang ia pikirkan saat mendengar istilah industri 4.0? (Jika istilah ini belum familiar baginya, sebut saja Traveloka, Shopee, Tokopedia, dll).
Jawabannya tentu akan beragam. Namun, kemungkinan besar jawaban ini muncul: banyak pekerjaan yang jadi otomatis, tidak butuh manusia, sehingga akan banyak pula orang yang kehilangan pekerjaannya. Jawaban ini bisa jadi tidak muncul jika orang yang kita tanya beruntung bisa lulus dari perguruan tinggi terkemuka dan menguasai beragam keahlian komputer dan digital. Untuk menghindari bias tersebut, tulisan ini akan berbicara tentang orang kebanyakan, yang tidak punya banyak kesempatan (menurut Kemenristekdikti, per tahun 2018, hanya 32,9 persen pelajar yang bisa lanjut belajar ke perguruan tinggi). Ini tentang para pekerja yang cemas dengan masa depan pekerjaannya, juga para pengusaha kecil yang kelimpungan akibat dunia bisnis yang kini teramat cepat berubah akibat teknologi.
Untuk menghadapi era baru ini, para penguasa sudah menggencarkan dongengnya. Misal: “Kini dunia pekerjaan sudah sangat berubah. Lebih giat lagi kalian belajar. Kalau tidak, kalian akan tersingkir dari dunia kerja dan tidak mendapat upah yang kalian butuhkan untuk hidup.” Masalahnya, seperti yang saya uraikan di atas, sebagian besar orang tidak punya kesempatan yang baik. Si penguasa bicara begitu bagai di hadapannya lulusan perguruan tinggi semua. Orang yang lulus dari kampus saja belum tentu secepat kilat menguasai teknologi terbaru. Apalagi sebagian besar orang yang tidak punya kesempatan kuliah.
Justru dongeng si penguasa tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak paham perkembangan teknologi (atau sebetulnya pura-pura?). Perkembangan teknologi hari ini tidak lagi bergerak seperti siput, tapi sudah berlari bagai macan tutul. Coba renungkan betapa pendek jarak antara komputer dan telepon pintar mulai dipakai secara massal (kira-kira butuh 50 tahun) dibandingkan dengan mesin uap dan tenaga listrik (butuh sampai 2 abad). Dongeng penguasa, yang cuma menyemangati pekerja agar terus belajar teknologi baru, bagai menyuruh orang pincang mengejar macan tutul. Mereka tahu pasti tidak terkejar.
Agar kita, yang orang pincang ini, tidak terus-terusan berharap bisa mengejar macan tutul, ada baiknya kita menyusun agenda juga. Sebuah rencana yang perlu diwujudkan agar surga teknologi tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang punya modal besar, sementara para pekerja dan pengusaha kecil diperas terus keringatnya atau disingkirkan karena sudah tak lagi bisa dihisap. Teknologi seharusnya bisa membebaskan manusia dari eksploitasi, dan hidup lebih sejahtera.
Beberapa poin agenda yang akan diurai di bawah ini tidak bisa diwujudkan secara terpisah, mesti diusahakan bersama-sama.
Agenda ini bukanlah ide saya. Saya menyusunnya berdasarkan hasil bacaan, amatan, dan pengalaman. Buku yang paling banyak dijadikan referensi di tulisan ini ialah Inventing the Future: Postcapitalism and a World Without Work karya Alex Williams dan Nick Srnicek.
[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”20″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Sebuah rencana yang perlu diwujudkan agar surga teknologi tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang punya modal besar, sementara para pekerja dan pengusaha kecil diperas terus keringatnya atau disingkirkan karena sudah tak lagi bisa dihisap.”[/mks_pullquote]
Tulisan ini saya rasa masih banyak cacatnya. Oleh karena itu, kritik pada tulisan ini sangat dinanti. Biar rencana ini bisa terus diperbaiki, dan tentunya dilaksanakan. Berikut poin-poinnya:
1. Serahkan sebanyak mungkin pekerjaan pada robot
Sebuah pernyataan ironi yang sering dilontarkan akhir-akhir ini, bahkan oleh pengurus universitas sekalipun: awas, robot akan merebut pekerjaanmu, dan kau terancam jadi pengangguran!
Mengapa ironi? Karena seharusnya kita, para pekerja, berbahagia saat robot semakin cerdas dan menggantikan rutinitas kerja. Kalau biasanya kita sudah harus di tempat kerja pagi-pagi, ini sudah ada robot yang bahkan tak perlu pulang dari kantor atau lokasi kerja. Robot pun bisa bekerja sepanjang hari, tanpa libur, tanpa istirahat. Produktivitas ekonomi akan melonjak.
Sementara robot bekerja untuk kita, maka kita pun bisa mengerjakan hal lain. Misalnya piknik bareng keluarga, main game, bersetubuh, ibadah, memotret gurita, bertapa, dll. Intinya, masih banyak hal lain yang bisa kita lakukan selain bekerja.
Robot bukanlah musuh pekerja seperti dongeng penguasa. Sebaliknya, robot 4.0 adalah alat yang bisa kita gunakan untuk menghentikan eksploitasi pada diri kita di dunia pekerjaan. Perlu diingat, pasangan abadi kapitalisme adalah eksploitasi. Tidak ada kapitalisme tanpa eksploitasi. Walaupun kelompok yang diuntungkan oleh sistem kapitalisme menyusun program kesejahteraan bagi kelompok yang terpinggirkan, bukan berarti eksploitasi yang terjadi bisa dianggap selesai atau termaafkan. Eksploitasi tetaplah eksploitasi. Nah, solusi yang bisa kita lakukan adalah mengganti yang selama ini dieksploitasi (manusia pekerja) dengan robot.
Baca juga: Algoritma Akan Mengambil Alih Pekerjaan Manusia
Lagipula, bukankah perlu diakui bahwa bekerja adalah kebutuhan, bukan keinginan? Selama beberapa abad, sebagian besar manusia harus bekerja biar bisa hidup. Beberapa orang mungkin beruntung pekerjaannya adalah kegiatan yang memang ia suka (yah… walaupun ini juga menyedihkan karena nilai lebih dari kegiatan yang ia suka harus dirampas orang lain). Namun, lagi-lagi, sebagian besar orang tidak punya kesempatan semacam itu sehingga mau tak mau harus menggemari pekerjaannya agar terus hidup. Belum lagi orang yang harus gonta-ganti pekerjaan (serabutan) karena faktor-faktor di luar kendalinya.
Pertanyaannya, apakah mungkin sebagian besar pekerjaan yang ada saat ini diserahkan pada robot? Jenis pekerjaan bisa dibagi menjadi 3, yaitu pekerjaan fisik, pikiran, dan perasaan. Contoh masing-masing pekerjaan tersebut ialah tukang gali, analis keuangan, dan pengasuh anak. Mudah sekali untuk mengatakan bahwa pekerjaan fisik dan pikiran bisa diserahkan pada robot, karena saat ini kita sudah menyaksikannya. Robot sudah mampu mengantar makanan, memberikan rekomendasi keuangan, bahkan menulis berita.
Perdebatannya masih akan panjang untuk pekerjaan yang membutuhkan perasaan, seperti mengasuh anak. Apakah di masa depan robot bisa punya perasaan? Pertanyaan ini masih sulit dijawab karena manusia pun belum paham betul apa itu perasaan. Namun, seperti yang dinyatakan oleh Yuval Noah Harari di 21 Lessons for the 21st Century, robot/algoritma tidak perlu punya perasaan untuk menggantikan manusia di bidang pekerjaan ini. Robot hanya perlu sedikit lebih baik daripada sebagian besar manusia. Jika pelayanan perawat robot di rumah sakit sudah lebih minim kesalahan daripada perawat manusia, apalagi kalau pasien lebih puas pada pelayanan si robot, dan walaupun si robot tak punya perasaan, mungkin manusia sepakat menggunakannya.
Namun demikian, walaupun robot sudah lebih minim kesalahan, masih ada hambatan etis. Rasanya masih banyak manusia yang tidak akan rela anaknya diasuh oleh robot. Akan jadi apa anak itu jika sebagian besar waktu di masa pertumbuhannya dihabiskan bersama robot? Bisa jadi pertanyaan ini terus menghantui kita. Tak mengapa. Dan sebetulnya, jika pekerjaan fisik dan pikiran sudah diambil alih oleh robot, kita akan punya lebih banyak waktu bersama anak, pasangan, dan orang tua kita. Ini adalah salah satu keuntungan yang kita dapat saat sebagian besar pekerjaan jadi otomatis. Sebab sudah terlalu lama manusia mesti kehilangan banyak waktu bersama keluarga dan teman karena harus bekerja.
Ada dua hal yang akan menghambat agenda ini. Pertama, upah pekerja yang sangat murah. Buat apa perusahaan negara dan swasta merelakan waktu dan uang untuk mengatur ulang sistem kerja agar bisa mempekerjakan robot saat mereka bisa terus menggunakan tenaga murah manusia? Oleh karena itu, usaha menyerahkan pekerjaan pada robot mesti dibarengi desakan pada pemerintah agar menaikkan upah buruh. Minimal sampai perusahaan berpikir ulang jika mau menggunakan tenaga manusia. Sederhananya, nilai tenaga manusia harus lebih tinggi daripada robot.
[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”20″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Sebab sudah terlalu lama manusia mesti kehilangan banyak waktu bersama keluarga dan teman karena harus bekerja.”[/mks_pullquote]
Yang kedua, berdasarkan pengalaman, perusahaan butuh waktu yang lama untuk menerapkan terobosan teknologi terbaru. Misalnya, pada tahun 1990-an, saat inovasi di bidang teknologi informasi bergairah, dunia bisnis sangat lamban memanfaatkannya. Kira-kira butuh sampai 15 tahun di negara maju. Ini memang bisa dimaklumi karena perusahaan butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Organisasinya perlu diatur ulang, pekerjanya harus belajar keahlian baru, dan proses produksinya mesti disesuaikan agar teknologi yang digunakan efektif. Jika penerapan teknologi informasi di dunia bisnis saja lambat, bagaimana dengan teknologi 4.0 yang lebih kompleks?
Selain hambatan teknis ini, perusahaan kan juga perlu mempertimbangkan perputaran uang. Target jangka pendek dalam bisnis mereka harus tercapai agar bisa terus hidup. Dengan demikian, walaupun penerapan teknologi terbaru akan membuat hidupnya lebih panjang, perusahaan perlu meyakinkan diri dulu, apakah investasi uang dan waktu demi penggunaan teknologi tidak akan membuatnya jatuh ke lubang kebangkrutan?
Oleh karena itu, harapan agar sebanyak mungkin pekerjaan menggunakan tenaga robot sulit terjadi akibat proses ekonomi. Agenda ini harus digerakkan oleh kebijakan politik. Negaralah yang harus melaksanakannya. Apa yang bisa dilakukan oleh negara? Perbanyak investasi di bidang penelitian dan penerapan teknologi demi menggantikan sebanyak mungkin manusia di dunia kerja. Hal ini memang bertentangan dengan langkah pemerintah hari ini yang menempuh berbagai cara agar investasi bisa membuka sebanyak mungkin lapangan pekerjaan. Masalahnya, seberapa banyak lapangan pekerjaan yang bisa disediakan bagi manusia di hari depan? Dan misalnya pun jumlahnya masih lumayan, bisa bertahan berapa lama?
Mari kita ingat kembali si manusia pincang yang disuruh mengejar macan tutul.
2. Kurangi jam kerja
Ada 4 keuntungan bagi para pekerja jika agenda kedua ini terlaksana. Pertama, pelimpahan pekerjaan pada robot (otomatisasi), yang sudah dibahas di poin 1, akan semakin cepat. Seperti upah murah, jam kerja normal saat ini (8 jam 5 hari) juga menghambat otomatisasi. Walaupun para penguasa, pengusaha, dan tentunya pekerja tahu bahwa saat ini banyak sekali pekerjaan yang bisa diselesaikan lebih singkat dengan adanya teknologi, tapi aturan jam kerja yang ada masih dianggap sebagai kewajaran. Sedikit sekali yang mempermasalahkannya. Bahkan, antar-pekerja sendiri, masih saja ada semacam persaingan untuk lama-lamaan bekerja, sambil memandang sinis pekerja yang pulang tepat waktu. Situasi semacam ini sulit mendorong dunia pekerjaan agar secepatnya menerapkan ragam teknologi terbaru. Ngapain juga? Sudahlah upah pekerja murah, jam kerjanya masih panjang sehingga terus bisa diperas maksimal.
Yang kedua, beban lingkungan akan berkurang. Kegiatan manusia dalam bekerja membutuhkan banyak sekali energi yang memproduksi emisi. Mulai dari berangkat kerja hingga pulang ke rumah. Pas berangkat, sebagian besar pekerja memakai kendaraan (yang energinya dari minyak atau listrik, sama saja); sampai kantor, minimal memakai listrik dan air; pas pulang, pakai kendaraan lagi. Jika jam kerja berkurang, energi yang digunakan pun akan berkurang.
Baca juga: Cita-Cita Freelance
Keuntungan ketiga ialah kesehatan mental pekerja akan lebih baik. Tingkat kecemasan dan stres yang dialami pekerja akan menurun. Rutinitas pekerja dan deretan tuntutan dari kantor memicu rasa cemas dan stres yang bisa jadi tidak disadari oleh sebagian pekerja karena kedatangannya yang sedikit demi sedikit. Namun, seperti kata pepatah, lama-lama bisa jadi bukit. Untungnya, manusia secara natural mempunyai keluarga dan teman yang bisa menjadi tempat mengikis stres dan rasa cemas.
Akan tetapi sungguh ironis, usaha pekerja dalam menjaga kesehatan mentalnya dan orang-orang yang membantunya, digunakan secara gratis oleh perusahaan. Kok bisa? Mari kita lihat sebuah keluarga yang suaminya bekerja dan istrinya mengurus keperluan rumah (bentuk yang masih dominan di Indonesia, dan mungkin, dunia). Di pagi hari, sang suami cukup mengerahkan tenaga untuk bangun, mandi, berpakaian, dan siap-siap sarapan. Ia tidak perlu memasak, mencuci piring, dan mungkin juga tidak perlu nyapu. Ini bukan berarti ia tidak mau membantu istrinya, tapi pekerjaan tersebut akan membuat ia tergesa-gesa ke kantor, cemas di perjalanan, dan stres saat mendapati dirinya terlambat presensi di kantor. Karena bantuan dari istrinyalah, ia bisa lebih tenang dalam perjalanan dan kadar stresnya tidak naik signifikan. Perusahaan tentu senang jika pekerjanya datang tepat waktu dengan kondisi fisik dan mental yang prima. Tidak hanya senang, perusahaan sangat bergantung pada hal ini. Jika pekerja datang terlambat, apalagi kalau pikirannya mumet, produktivitas perusahaan terganggu. Target bisa meleset. Pemasukan pemilik perusahaan menjadi berkurang.
Sialnya, pekerjaan si istri tadi tidak dibayar oleh perusahaan. Secara umum, saat ini perusahaan hanya membayar hasil kerja (produktivitas) pekerjanya saja. Pekerjaan reproduksi seperti yang dilakukan oleh si istri dianggap bukan urusan perusahaan.
Pengurangan jam kerja, dengan demikian, juga merupakan usaha untuk membayar aktivitas yang selama ini tidak dianggap kerja, yaitu pekerjaan rumah yang umumnya dilakukan oleh para istri. Misalnya, sang suami cukup bekerja Senin sampai Kamis, tanpa pengurangan gaji. Di hari Jumat, ia bisa menggantikan istrinya menuntaskan pekerjaan rumah atau piknik bersama istrinya sambil dibayar oleh perusahaan.
Baca juga: Wisuda Kampus Penyumbang Kerusakan Lingkungan
Yang terakhir, dan sebetulnya paling penting, pengurangan jam kerja akan memperkuat organisasi kelas pekerja. Cita-cita dan konsep semolek apapun baru bisa terealisasi jika didiskusikan lalu diterapkan. Agar penerapannya efektif dan sesuai dengan target yang diharapkan, maka perlu dijalankan oleh organisasi yang profesional.
[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”20″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Secara umum, saat ini perusahaan hanya membayar hasil kerja (produktivitas) pekerjanya saja. Pekerjaan reproduksi seperti yang dilakukan oleh si istri dianggap bukan urusan perusahaan.”[/mks_pullquote]
Sejauh pengamatan saya, organisasi kelas pekerja kerap kali kehabisan tenaga untuk konsisten memperjuangkan program-programnya. Sebab anggotanya masih perlu menyerahkan tenaga dan pikirannya dari Senin sampai Jumat di tempat kerja. Hanya tersisa 2 hari, Sabtu dan Minggu, yang bisa digunakan secara penuh untuk mengurus organisasi. Para pekerja yang lain memilih untuk tidak aktif dalam organisasi pekerja karena merasa sudah terlalu capek badan dan pikiran bekerja 5 hari penuh.
Pengurangan jam kerja bisa diterapkan dalam dua model: kurangi durasi kerja dalam satu hari atau kurangi hari kerja. Lebih enak yang mana? Tentu ini relatif. Namun, jika mempertimbangkan dampaknya terhadap perkuatan organisasi kelas pekerja, pengurangan hari kerja lebih baik. Akan ada satu hari penuh yang bisa dimanfaatkan para pekerja untuk saling berbagi cerita dan merancang agenda bersama.
3. Terapkan gaji dasar
Apabila agenda pertama dan kedua tercapai, yaitu sebanyak mungkin pekerjaan telah diserahkan ke robot dan jam kerja dikurangi (tapi ingat, tujuan besarnya adalah tidak harus bekerja sama sekali), maka kita akan punya banyak sekali waktu luang dan pilihan untuk melakukan apapun yang kita suka. Namun, ini tidak akan ada artinya jika kita tidak punya penghasilan tetap. Waktu melimpah yang dimiliki seorang pengangguran hari ini, misalnya, bukan waktu luang yang kita idam-idamkan, bukan? Walau sepintas terlihat memiliki banyak sekali waktu luang, tapi karena ia tidak punya uang untuk hidup, maka hari demi hari ia lalui dengan bekerja serabutan demi melanjutkan hidup.
Oleh karena itu, agenda ketiga ini juga sangat penting, yaitu mengatur sistem agar semua orang mendapatkan gaji dasar. Yang dimaksud gaji dasar ialah gaji tetap yang diberikan kepada seseorang tanpa bekerja. Beberapa negara yang sudah mulai mencoba menerapkan model semacam ini menyebutnya dengan istilah universal basic income (UBI). Tentu saja, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar tujuan agenda ini benar-benar tercapai.
Pertama, gaji dasar harus diberikan kepada semua orang, tanpa terkecuali. Jadi tidak seperti BLT (bantuan langsung tunai) yang hanya ditargetkan kepada sekelompok orang dengan kriteria tertentu. Mulai dari orang yang paling miskin hingga yang paling kaya, semuanya harus dapat, tanpa syarat. Ini juga termasuk upaya untuk meniadakan penyelewengan dana seperti yang terjadi pada BLT. Sudah jamak kita dengar tentunya bahwa dana BLT seringkali tidak sampai pada penerima yang berhak. Jika semua diputuskan dapat gaji, perdebatan apakah si ini lebih miskin daripada si itu, yang memberi celah penyelewengan, tidak akan terjadi lagi.
Memang, ada semacam ego dari para pejabat yang merasa bisa mengatasi penyelewengan bantuan dengan menggunakan teknologi terkini, misalnya big data analysis (analisis data raksasa) dan artificial intelligence (kecerdasan buatan). Namun, algoritma punya bias. Manusia yang menyusun algoritma mempunyai beragam stereotip, sehingga kode-kode yang ia susun akan ditulari berbagai keyakinan subjektif yang melekat pada dirinya atau pihak yang memesan desain padanya. Centrelink Scandal di Australia yang menyebabkan lebih dari 400.000 orang punya hutang pada Centrelink karena sebagian besar keputusan diserahkan pada algoritma yang disusupi pola pikir diskriminasi, mestinya meredakan ego semacam ini.
Baca juga: Pemuda Seperti Apa yang Mengucap Sumpah Oktober?
Yang kedua, gaji dasar harus mencukupi kebutuhan hidup yang layak. Maksudnya, gaji yang diberikan bukan hanya cukup untuk hidup seadanya. Tapi bagaimana kita mengukur hidup yang layak? Ini memang pertanyaan yang bisa bikin terjerumus. Biar tidak terperosok, lagi-lagi kita perlu membedakan mana yang merupakan kebutuhan dan keinginan lebih. Bukankah kebutuhan itu juga bisa subjektif? Betul. Namun, kita bisa menggunakan hasil penelitian (sehingga objektif) tentang apa itu hunian layak, makanan bergizi, pakaian layak, dan kebutuhan dasar hidup lain. Perlu ditekankan lagi di sini bahwa ini bukan berarti semua orang dipaksa hidup dalam kondisi yang sama (sebelum dituduh sebagai ajakan untuk mendirikan negara komunis versi propaganda film Hollywood). Setiap usaha tetap dihargai. Jika kamu memilih bekerja dua hari dalam satu minggu – padahal tanpa bekerja pun kamu sudah bisa hidup layak, maka keringatmu selama dua hari itu tetap harus dibayar. Jangan mentang-mentang karena kamu sudah punya gaji dasar, kalau kamu memilih bekerja (karena bosan piknik, misalnya), terus perusahaan/negara nggak mau bayar kamu lagi.
Besarnya gaji dasar tentu akan berbeda-beda sesuai dengan wilayah tinggal. Karena toh, kenyataannya saat ini biaya hidup di masing-masing kota berbeda. Beberapa orang mungkin akan berpikir bahwa hal ini bisa memicu masalah baru, yaitu manusia akan semakin menumpuk di kota-kota besar. Apabila melihat situasi saat ini, ketika kota-kota besar semakin padat saja, sepintas argumen ini ada benarnya. Namun, jika diamati lebih dalam, manusia berbondong ke kota karena uang hanya berputar-putar di kota saja. Walaupun biaya hidup di kampung jauh lebih rendah, tapi tetap saja namanya biaya kan butuh uang. Belum lagi penghancuran lahan hidup di desa yang masif belakangan ini, demi menjaga roda produksi perusahaan-perusahaan raksasa terus berputar. Semakin banyak orang yang tidak punya pilihan lain selain mengais-ngais uang di kota.
Gaji dasar bisa menjadi solusi untuk mengurai kepadatan penduduk.
Yang terakhir, program gaji dasar harus dipisahkan dari subsidi. Ketika mendiskusikan model gaji dasar, beberapa orang mungkin akan berpikir, bagaimana jika berbagai subsidi yang kini dilaksanakan oleh negara (bahan bakar, pendidikan, tiket perjalanan, kesehatan, hingga listrik) digabung saja dengan gaji dasar, sehingga subsidi bentuknya tidak lagi berupa pelayanan, tapi langsung berbentuk uang yang digabung dengan nilai gaji dasar? Lebih simpel. Jadi, uang yang akan diterima oleh rakyat akan tambah besar (gaji dasar + uang subsidi). Ide ini bermasalah. Sebab, mengubah bentuk subsidi menjadi uang tunai yang langsung diberikan kepada rakyat akan membuat pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang sebelumnya dikelola oleh negara beralih pada pihak swasta. Bayangkan saja subsidi pendidikan yang bentuknya pelayanan negara diubah menjadi uang tunai lalu diberikan ke setiap kepala. Dampaknya, negara tidak mampu lagi memberikan layanan pendidikan (karena sudah tak punya dana). Layanan pendidikan swasta yang berprinsip pasar bebas (siapa yang bayar lebih banyak, ia yang dapat lebih bagus) akan tumbuh subur dan menjadi pilihan satu-satunya bagi rakyat. Ini bukannya menyelesaikan masalah malah nambah masalah.
Baca juga: Pengalaman Bekerja di Jogja yang UMRnya Segitu-Gitu Aja Tapi Disuruh Bersyukur
Saya yakin pembaca pasti bertanya-tanya, memangnya duit dari mana buat anggaran gaji dasar? Penjelasannya akan panjang sehingga tidak memungkinkan untuk diurai di artikel ini. Namun saya akan menyederhanakannya, ya… walaupun brutal.
Sebetulnya tinggal kita pegang erat-erat pemahaman bahwa setiap ada pekerjaan yang sukses diserahkan pada robot, maka gaji yang selama ini dibayar ke pekerja, harus tetap diberikan padanya. Bukan malah pekerjanya diusir terus dipaksa mencari pekerjaan baru. Nah, bisa dibayangkan kan dari mana uangnya? Ya dari gaji yang selama ini didapatkan oleh pekerja. Lalu bagaimana dengan pengangguran? Patut kita ingat, saat robot yang bekerja, produktivitasnya berkali-kali lipat daripada manusia, sehingga nilai ekonomi yang dihasilkan juga jauh lebih besar. Akan lebih banyak transaksi di Tokopedia daripada di Matahari dengan demand yang sama. Akan lebih banyak kendaraan yang lewat di gerbang tol dengan sensor (atau malah tidak perlu lagi gerbang) daripada dijaga manusia. Akan lebih banyak urusan perizinan yang rampung dengan robot birokrasi daripada manusia birokrasi.
[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”20″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Sebetulnya tinggal kita pegang erat-erat pemahaman bahwa setiap ada pekerjaan yang sukses diserahkan pada robot, maka gaji yang selama ini dibayar ke pekerja, harus tetap diberikan padanya.”[/mks_pullquote]
Contoh di atas kemungkinan besar bikin sebagian orang bertanya: memangnya teknologi itu punya siapa? Kok enak banget pekerja yang udah nggak relevan skill-nya tetap dikasih uang dengan alasan ada robot yang menggantikannya. Memangnya robot punya dia? Bukankah ini tidak menghargai pemilik perusahaan yang sudah berinovasi sedemikian kerasnya agar kerja-kerja di tempatnya menjadi otomatis?
Pertanyaan tersebut bisa muncul jika kita beranggapan bahwa inovasi teknologi terjadi murni hanya karena peran swasta. Seakan-akan Ruang Guru, Gojek, KoinWorks, Bukalapak, dll bisa muncul dengan sendirinya tanpa ada peran negara. Padahal, infrastruktur dasar yang digunakan oleh perusahaan teknologi hari ini disediakan oleh negara dan, tentunya, dari uang rakyat. Hanya negaralah yang bisa membangun infrastruktur teknologi jangka panjang tanpa tuntutan kesehatan arus keuangan. Hanya negara yang bisa dengan santainya membangun hal-hal yang tidak langsung berguna dalam waktu dekat dan bisa tahan diomeli oleh “investor”nya, yaitu rakyat.
Selain contoh penjelasan sederhana ini, kita juga bisa mempertimbangkan saran dari para peneliti. Mereka, misalnya, menyarankan pembiayaan gaji dasar berasal dari peningkatan nilai pajak bagi konglomerat, pengurangan program pemerintah yang tumpang tindih, pajak produksi karbon, hingga pemotongan anggaran militer.
4. Periksa ulang budaya kerja
Poin 1 sampai dengan 3 berhubungan dengan politik dan ekonomi. Poin 4 ini berhubungan dengan budaya, sehingga saya rasa tantangannya lebih sulit.
Kapitalisme yang berjaya selama beberapa abad di muka bumi ini membikin sebagian besar manusia berpikir bahwa aktivitas kerja mustahil dipisahkan dari hidup. Jika ingin hidup, haruslah bekerja. Sangat jarang orang dengan lantang berseru bahwa semua manusia bisa hidup tanpa harus bekerja.
Berbagai macam pembenaran digunakan oleh manusia untuk mengokohkan asumsi ini. Salah satunya agama.
Agama, secara implisit, mengajarkan pada manusia bahwa tidak apa-apa menderita di muka bumi, nanti di surga kau bisa menuruti segala hasratmu. Bahkan hasrat paling liar sekalipun. Asalkan, ketika masih di bumi, kau singkirkan dulu jauh-jauh hasrat yang tidak sesuai dengan ajaran agamamu. Walaupun suatu saat kau sadar bahwa kau menderita karena telah berkali-kali merepresi hasrat terdalammu, sebab melanggar aturan agama, norma masyarakat, ideologi negara, tetaplah ingat bahwa nanti kau bisa melampiaskan semuanya di surga.
Keyakinan semacam ini (menderita dahulu, bersenang-senang nanti) juga dipakai oleh manusia dalam memandang dunia kerja. Walaupun sudah dieksploitasi habis-habisan, mulai dari tenaga fisiknya (menggali tanah), pikirannya (membuat rencana pemasaran), hingga perasaannya (kisah sedihnya di twitter dijual), sebagian besar manusia tetap memandang ini sebagai keniscayaan. Sampai-sampai tidak terpikirkan untuk menghadirkan surga di bumi.
Apakah kita benar-benar sudah kehilangan imajinasi dunia tanpa kerja? Sebetulnya tidak. Diam-diam kita memimpikan berada di situasi yang sudah tak perlu lagi memikirkan isi dompet. Istilah kerennya, financial freedom. Seperti anak cucu konglomerat yang bisa bebas menentukan “malam minggu”nya jatuh di hari apa. Untuk mencapai situasi ini, ada yang bekerja sekeras mungkin, ada yang karena saking tak sabarnya, ia korupsi. Maksud korupsi di sini bukan hanya tentang aktivitas mengembat duit rakyat, tapi juga mengorupsi hasrat dan mimpi yang ada pada dirinya, mengembosinya pelan-pelan dengan alasan menerima realita, sambil berharap ada nabi yang datang membawa perubahan.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan kalimat berikut: tidak ada ratu adil yang akan datang menolong kita. Perubahan harus kita perjuangkan bersama.
Kritik dan sanggahan sila kirim ke dandyidwal@gmail.com