Kategori
Kapital Society

Pekerjaan Rumah Tangga Juga Aktivitas Ekonomi

Beberapa hari belakangan, linimasa Twitter kembali ramai. Masalahnya kini, adalah utas yang menggunakan judul Bekal buat Suami Hari Ini dianggap sebagai sebuah ‘penghambaan’ kepada laki-laki. Bahkan seorang netizen berkata, “I don’t think anybody should be this nice to a man“, yang kurang lebih berarti “yaelah ngapain sih bersikap baik sama laki-laki”.

Sejujurnya, saya tidak merasa bahwa utas tersebut bermasalah apalagi membawa semangat patriarki. Pertama, saya justru bersyukur karena lagi-lagi saya mendapatkan ide dan referensi resep masakan. Maklum, saya mulai bosan memasak menu yang itu-itu saja. Kedua, yang disampaikan si pembuat utas hanyalah sebuah bentuk love language atau bahasa cinta. Ketika kita sedang jatuh cinta atau lagi sayang-sayangnya sama seseorang, pasti kita ingin memberikan yang terbaik untuk si dia kan?

Jadi, tolong dibedakan ketika perempuan memasak karena tuntutan suami/laki-laki dengan perempuan yang berinisiatif memasak sendiri karena ingin memberikan bekal kepada orang yang tersayang. Lagipula, dengan memasakkan menu kesukaan pasangan tidak akan membuatmu terlihat lebih rendah atau lebih hina darinya. Dengan catatan, hal itu dilakukan atas inisiatif atau keinginanmu sendiri.

Namun, masalah bekal menjadi semakin runyam dan liar tatkala seorang netizen mencoba menyampaikan pandangan bahwa bagi sebagian feminis, memasak itu adalah pekerjaan yang tidak dibayar. Memasak juga tidak dianggap sebagai pekerjaan produktif yang bisa menghasilkan uang maupun keuntungan. Meski argumen tersebut muncul di luar konteks bekal, tetapi kali ini saya sungguh sepakat dengan apa yang ia bicarakan.

Pekerjaan seperti memasak, menyapu, mencuci hingga mengurus anak adalah kerja reproduktif, yang sayangnya tidak pernah diperhitungkan dalam ekonomi. Karena sifatnya yang tidak kasat mata dan kerap dilekatkan dengan beban reproduktif perempuan, pekerjaan ini selalu dipandang sebagai pekerjaan remeh temeh. Padahal jika dikaji lebih mendalam, pekerjaan reproduktif sesungguhnya memiliki peranan yang cukup besar dalam perekonomian.

Tangan Tak Terlihat Adam Smith

Pada tahun 1776 Adam Smith, Sang Bapak Ekonomi, pernah mengemukakan pendapat fenomenal yang dipercaya oleh para ekonom hingga sekarang. Ia berkata, “Bukan karena kebaikan tukang daging, tukang minuman, atau tukang roti kita bisa mendapatkan makan malam kita, melainkan karena mereka memikirkan kepentingan diri mereka sendiri.”

Menurut Smith, tukang daging, tukang minuman hingga tukang roti bekerja dengan keras bukan semata untuk menyenangkan pembelinya dengan berbuat baik. Mereka melakukannya agar pelanggannya puas, sehingga mereka pun mendapatkan uang darinya. Konsep kepentingan diri—mencari keuntungan—inilah yang kemudian memunculkan istilah pasar bebas.

Smith percaya, pasar bebas adalah cara terbaik untuk membentuk sistem ekonomi yang efisien. Sebab, ketika semua orang bekerja demi dirinya sendiri, maka semua orang juga akan memiliki akses atas barang-barang yang mereka perlukan. Roti dijual di toko roti, minuman tersedia di rak supermarket hingga listrik yang senantiasa menyala inilah yang membuatmu bisa menikmati sepiring makan malam.

Kepentingan diri menjamin bahwa segala sesuatu akan berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan tanpa adanya cukai atau regulasi sekalipun, pasar bebas memungkinkan seseorang untuk menjual atau membeli barang apapun sekaligus mengatur harga barang maupun jumlah barang. Kepentingan diri adalah tangan-tangan tak terlihat yang akan menjamah, menuntun hingga memutuskan segala sesuatu—meski kita tidak merasakan kehadirannya.

Konsep tersebut mungkin terasa logis, mengingat selama ini ekonomi hadir atas dasar butuh-sama-butuh. Namun Katrine Marçal dalam buku Who Cooked Adam Smith’s Dinner? A Story About Women and Economics menyangkal pendapat tersebut. Menurut Katrine, bagaimana mungkin Adam Smith mengungkapkan teori tangan tak terlihat, sementara sepanjang hidupnya ia tidak perlu mengurusi urusan domestik? Ada sosok ibunya yang mengurus dirinya, mencuci bajunya, dan memasakkan makan malam untuknya, sehingga ia terbebas dari pekerjaan tersebut.

Tukang daging, tukang roti, dan tukang minuman bisa saja menyediakan kebutuhan makan malam untukmu. Begitu pula dengan pekerja kantoran, mereka bisa fokus mengerjakan dokumen, mencatat keuangan perusahaan atau mengadakan meeting dengan klien. Mereka semua bisa melakukan pekerjaan produktif karena tidak dibebani dengan pekerjaan rumah tangga. Sementara itu, ada ibu atau istri yang tinggal di rumah, membersihkan kotoran di toilet, memasak makan malam, mencuci baju, mengurus anak, dan memastikan semuanya sudah beres saat mereka pulang ke rumah.

Ekonomi Kedua

Konon, kata ‘ekonomi’ berasal dari bahasa Yunani οἶκος (oikos) yang berarti keluarga atau rumah tangga dan νόμος (nomos) yang berarti peraturan, aturan atau hukum. Secara umum, ekonomi bisa diartikan sebagai aturan dalam rumah tangga.

Bicara soal ekonomi, berarti turut membicarakan uang, barang, jasa, investasi, produksi, distribusi, konsumsi, emas, harta, utang, piutang, dan sebagainya. Sayangnya, dari semuanya tidak ada satupun yang menyebutkan rumah tangga sebagai kegiatan ekonomi. Aktivitas seperti bersih-bersih, memasak, mencuci baju, menyetrika hingga mengurus anak tidak dianggap sebagai kegiatan ekonomi—hanya karena semua ini tidak menghasilkan ‘nilai’ yang dapat dibeli, ditukar, diperdagangkan atau dijual. Mirisnya, aktivitas tersebut mayoritas dilakukan oleh perempuan atau perempuan terpaksa melakukannya karena ‘kewajiban’ akibat beban reproduktif yang ditanggungnya.

Simone de Beauvoir dalam The Second Sex pernah mengatakan bahwa perempuan adalah ‘jenis kelamin kedua’. Perempuan tidak punya ‘kehadiran’ karena yang memberinya ‘makna’ adalah laki-laki. Perempuan juga digambarkan sebagai sang ‘liyan’ (the other) yang tidak hanya berbeda secara fisik, melainkan dalam berbagai hal juga sengaja dibeda-bedakan dan didiskriminasi oleh laki-laki.

Akibat titel ‘liyan’, apapun yang dilakukan perempuan menjadi tidak dihitung. Yang dihitung hanya kerja laki-laki saja. Konsep kerja seperti inilah yang kemudian menjadi dasar pandangan ekonomi dunia. Perempuan melakukan segala sesuatu yang tidak dilakukan laki-laki, tetapi ironisnya laki-laki justru bergantung darinya agar ia dapat leluasa melakukan kerja produktif.

Perempuan Juga Manusia Ekonomi

Ada salah satu komentar netizen dalam utas bekal kemarin yang cukup menganggu saya. Ia berkata, “It’s just cooking bro, it’s not that deep. Imagine being so woke you’re angry at people making meals,”. Dalam konteks love languange, membuat bekal untuk pasangan memang tidak ada salahnya. Bahkan saya sendiri juga senang-senang saja memasakkan sesuatu untuk pasangan saya.

Masalahnya ada pada kalimat it’s just cooking bro, it’s not that deep. Memasak memang bukan hal yang besar bahkan seharusnya sudah menjadi kebutuhan. Namun sayangnya, kalimat semacam itu sering digunakan untuk membenarkan kerja reproduktif yang tidak dihargai apalagi diberi upah. Dalam ekonomi, kegiatan memasak tidak pernah diperhitungkan karena dianggap tidak ‘bernilai’ dan tidak menghasilkan keuntungan. Ini juga menjawab mengapa selama ini, pekerja rumah tangga—yang biasanya dilakukan perempuan—tidak mendapatkan upah secara layak.

Sesungguhnya pekerjaan reproduktif adalah pekerjaan perawatan yang membutuhkan kasih sayang dan empati. Tanpa perawatan, mungkin bayi tidak akan bisa tumbuh, piring berserakan karena tidak dicuci atau daging lekas membusuk karena tidak kunjung dimasak. Namun, pekerjaan tersebut dianggap tidak membawa kemakmuran hanya karena tidak menghasilkan uang.

Padahal kerja perawatan ini sebagian besar dilakukan di rumah—yang seringnya dijadikan laki-laki sebagai tempat untuk pulang dari kerja produktif. Ketika pulang, laki-laki tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah, karena semuanya sudah dilakukan oleh istri atau ibunya. Ia bisa beristirahat seharian di rumah, mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari istri/ibunya, dan bisa memulihkan rasa laparnya, sehingga esok ketika hendak berangkat bekerja, ia sudah bugar kembali. Ia bisa fokus mengerjakan pekerjaannya di luar tanpa terbebani oleh urusan-urusan di rumah.

Meski kerjanya dianggap tak terlihat, tetapi melalui perawatan dan kasih sayangnya, perempuan ikut berkontribusi dalam pekerjaan si laki-laki. Tangan-tangan perempuan yang melakukan pekerjaan reproduktif mampu memberi makna bagi laki-laki di dunia kerja. Laki-laki bisa fokus meniti karier karena ia (merasa) tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah. Hal ini bukan semata-mata karena ketiadaan pembagian kerja di dalam rumah, melainkan bagaimana pekerjaan reproduktif juga turut berkontribusi dalam perekonomian.

Menghargai Kerja Reproduktif

Ketika SD dulu, saya membaca biografi Florence Nightingale yang dimuat dalam buku Seri Tokoh Dunia. Ia dikenal sebagai pelopor ilmu keperawatan modern yang berhasil menumbangkan stigma “perawat adalah pekerjaan hina”. Seperti namanya, ia lahir di kota Florence/Firenze, Italia dan merupakan anak dari seorang bangsawan ternama di Inggris.

Meski ditentang oleh keluarganya, Florence berkeyakinan bahwa Tuhan memanggilnya menjadi seorang perawat. Di kala Perang Krimea pecah pada 1853, Florence bersama puluhan relawan perawat lainnya pergi ke Laut Hitam untuk merawat korban perang. Dengan uang yang dimilikinya dan beberapa sumbangan dana dari The Times, Florence berhasil mengubah keadaan rumah sakit yang semula kotor menjadi bersih dan layak ditinggali. Ia juga menyuplai kebutuhan gizi pasien agar tidak mengalami gizi buruk. Semua perubahan sanitasi dan keberhasilan mengurangi angka kematian, ia catat secara mendetail menggunakan statistik sebagai argumentasi perubahan ke arah yang lebih baik pada bidang keperawatan di hadapan pemerintahan Inggris. Tak mengherankan jika kemudian ia digelari sebagai The Lady With The Lamp.

Florence Nightingale adalah contoh bahwa perempuan yang melakukan kerja perawatan bisa mendorong terjadinya perubahan. Meski yang dilakukannya adalah ‘kerja Tuhan’ dan berlandaskan kasih sayang, tapi tidak serta-merta semua yang dikerjakannya menjadi gratis dan tidak dibayar. Toh, sepanjang hidupnya, Florence mengupayakan upah yang layak untuk dunia keperawatan.

Hanya karena perempuan menginginkan upah dalam kerja perawatan—termasuk persoalan rumah tangga—bukan berarti perempuan tersebut egois atau mata duitan. Faktanya, jika sebuah pekerjaan diakui, dihargai, diapresiasi, dan didukung terutama secara finansial, maka seseorang akan menjadi lebih termotivasi dan merasa bahagia melakukan pekerjaan tersebut. Lagipula, siapa sih yang ingin terus-terusan merasa dieksploitasi?

Begitu pula dengan ibu Adam Smith. Ia memang ‘hanya’ ibu rumah tangga. Ia memasak, mencuci pakaian Smith, dan merawatnya ketika sakit. Namun kita juga harus mengakui, kalau bukan karena tangan-tangan penuh kasih dari ibunya, mungkin Smith tidak akan bisa berkata, “Bukan karena kebaikan tukang daging, tukang minuman, atau tukang roti kita bisa mendapatkan makan malam kita, melainkan karena mereka memikirkan kepentingan diri mereka sendiri.”

Kategori
Kapital Politik

Kartu Prakerja Hanya Memanjakan Startup

Sejak outbreak COVID-19 pertama di Indonesia, ekonomi sudah mulai carut-marut. Puncaknya, ketika 1,5 juta orang terpaksa kehilangan pekerjaan. Menurut keterangan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, dari jumlah tersebut, ada sebanyak 10% pemutusan hubungan kerja (PHK) sementara 90% lainnya dirumahkan oleh perusahaan masing-masing.

Di tengah gelombang besar PHK dan fenomena unpaid leave ini, kartu prakerja seolah-olah hadir sebagai juru selamat. Ia datang membawakan sedikit harapan kepada mereka yang hampir putus asa dengan iming-iming bantuan finansial.

Apa Itu Kartu Prakerja?

Wacana kartu prakerja sebenarnya bukan hal baru mengingat ini adalah program yang digadang-gadang Presiden Jokowi sejak pilpres 2019. Namun karena adanya peningkatan pengangguran akibat wabah virus corona, implementasi program ini pun dipercepat. Kementrian Keuangan disebut telah menggelontorkan dana sebesar Rp20 triliun. Dengan dana sebanyak ini, orang-orang yang terkena PHK atau dirumahkan sementara bisa menerima “gaji”. Plus, mereka yang ingin menambah keterampilan juga akan dibiayai langsung oleh negara.

Melalui kartu prakerja, peserta disebut akan mendapatkan insentif sebesar Rp3.550.000. Skema perhitungannya meliputi bantuan pelatihan sebesar Rp 1 juta, insentif pascapelatihan sebesar Rp 600 ribu per bulan selama 4 bulan, dan insentif survei bekerja sebesar Rp 50 ribu per survei yang dilakukan selama 3 kali survei atau jika dijumlahkan menjadi Rp 150 ribu.

Meskipun demikian, untuk mendapatkan insentif Rp 600 ribu selama 4 bulan, peserta diharuskan mengikuti pelatihan keterampilan terlebih dahulu. Mekanisme pelatihan yang tadinya offline pun diubah menjadi online yang tersedia dalam paket-paket pembelajaran. Paket ini disediakan oleh mitra kerja pemerintah, seperti Skill Academy oleh Ruangguru, MauBelajarApa, Pintaria, Sekolah.mu, Pijar Mahir, Bukalapak, Tokopedia, dan OVO.

Polemik Kartu Prakerja

Kartu prakerja sebenarnya dimaksudkan bagi anak-anak muda yang baru tamat sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan atau lulusan perguruan tinggi yang akan mencari kerja. Dengan kartu ini, para lulusan tersebut bisa mendapatkan program pelatihan keterampilan yang diharapkan akan menunjang karier mereka kelak. Namun karena wabah virus corona, kartu prakerja kemudian dijadikan sebagai solusi untuk membantu mereka yang terkena imbas PHK massal atau dirumahkan sementara.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Karena wabah virus corona, kartu prakerja kemudian dijadikan sebagai solusi untuk membantu mereka yang terkena imbas PHK massal atau dirumahkan sementara.[/mks_pullquote]

Masalahnya, siapa sih yang masih sempat mengembangkan skill di tengah pandemi corona? Bagi mereka yang masih bisa bekerja dari rumah, it’s okay, tetapi bagaimana dengan mereka yang kehilangan pekerjaan? Boro-boro memikirkan pengembangan diri, bisa makan saja sudah alhamdulillah.

Lagipula berdasarkan konsepnya, kartu prakerja memang ditujukan kepada siapa pun yang ingin membentuk keahlian diri sebelum terjun ke dunia kerja. Sehingga, program tersebut menjadi tidak efektif mengingat yang paling dibutuhkan masyarakat saat ini adalah uang. Toh, mereka yang di-PHK atau dirumahkan sementara bukan berarti nggak punya skill kan? Jadi, kenapa mereka harus ikutan pelatihan terlebih dahulu sebelum mendapatkan insentifnya?

Startup Malah Untung

Selain tidak efektif, pelatihan keterampilan secara daring ini justru memboroskan anggaran negara. Pertama, materi yang disampaikan sebenarnya bisa diakses secara gratis melalui sosial media atau YouTube. Modalnya juga murah, tak perlu membayar kelas seharga ratusan ribu, tetapi hanya cukup dengan paket internet unlimited yang disediakan oleh beberapa operator. FYI, ada lho paket data yang harganya nggak sampai Rp100 ribu.

Pun kemunculan kartu prakerja juga bisa menjadi masalah baru bagi para “pengangguran”. Bagaimana mereka bisa memperoleh akses internet yang bagus? Bagaimana pula jika mereka tidak memiliki gawai yang menunjang untuk mengikuti pembelajaran online? Masa harus keluar modal duluan, sementara kartu ini dimaksudkan untuk “mengganjal” perut yang sedang lapar.

Kedua, monopoli startup sebagai penyedia kelas online dikhawatirkan hanya akan menguntungkan startup itu sendiri. Tidak hanya persoalan anggaran triliunan yang akan mengalir ke dompet tebal mereka. Ada hal yang jauh lebih berharga ketimbang uang, yaitu data. Yes, benar sekali. Data para pengguna kartu pekerja dikhawatirkan akan dijadikan “modal” bisnis mereka.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Monopoli startup sebagai penyedia kelas online dikhawatirkan hanya akan menguntungkan startup itu sendiri. [/mks_pullquote]

Jikalau demikian, maka yang paling diuntungkan dari adanya kartu prakerja ini tentu saja perusahaan startup. Salah satu CEOnya saja menjadi staff khusus presiden, bukan tidak mungkin kan kalau ada konflik kepentingan? Bukan mau berburuk sangka (meskipun iya sih), tetapi saya merasa eman-eman banget kalau uang segitu hanya untuk mengisi pundi-pundi rupiah para petinggi startup. Lebih baik anggaran kursus ini dijadikan bantuan langsung tunai saja.

Kartu Prakerja Tidak Penting

Saya masih percaya sih kalau pemerintah memiliki niat baik. Melalui program kartu prakerja, pemerintah ingin sedikit membantu buruh yang terdampak PHK atau pekerja informal yang pendapatannya tertekan akibat penyebaran virus corona. Targetnya yang semula sejumlah 2 juta orang pun dinaikkan menjadi 5,6 juta orang agar semakin banyak orang terjangkau oleh program ini.

Namun sayangnya, kemunculan kartu prakerja justru menjadi kebijakan paling tidak bijak mengingat sebagian besar masyarakat yang terdampak itu sudah menguasai keahlian kerja di bidangnya masing-masing. Demi mendapatkan insentif sebesar Rp600 ribu selama 4 bulan berturut-turut, mereka diharuskan mengikuti pelatihan keterampilan online terlebih dahulu. Padahal di masa krisis begini, yang dibutuhkan adalah bantuan langsung tunai kan?

Lagipula jika masyarakat diberikan bantuan langsung tunai, maka daya beli yang tadinya lesu akan kembali pulih. Toh, ekonomi juga tetap bisa berjalan pelan-pelan seiring dengan bertumbuhnya kegiatan belanja kebutuhan pokok dan perputaran uang di masyarakat. Kalau hanya mencari resep untuk berbisnis rumahan, di YouTube dan IG TV juga banyak kali!