Kategori
Kapital Society

Pekerjaan Rumah Tangga Juga Aktivitas Ekonomi

Beberapa hari belakangan, linimasa Twitter kembali ramai. Masalahnya kini, adalah utas yang menggunakan judul Bekal buat Suami Hari Ini dianggap sebagai sebuah ‘penghambaan’ kepada laki-laki. Bahkan seorang netizen berkata, “I don’t think anybody should be this nice to a man“, yang kurang lebih berarti “yaelah ngapain sih bersikap baik sama laki-laki”.

Sejujurnya, saya tidak merasa bahwa utas tersebut bermasalah apalagi membawa semangat patriarki. Pertama, saya justru bersyukur karena lagi-lagi saya mendapatkan ide dan referensi resep masakan. Maklum, saya mulai bosan memasak menu yang itu-itu saja. Kedua, yang disampaikan si pembuat utas hanyalah sebuah bentuk love language atau bahasa cinta. Ketika kita sedang jatuh cinta atau lagi sayang-sayangnya sama seseorang, pasti kita ingin memberikan yang terbaik untuk si dia kan?

Jadi, tolong dibedakan ketika perempuan memasak karena tuntutan suami/laki-laki dengan perempuan yang berinisiatif memasak sendiri karena ingin memberikan bekal kepada orang yang tersayang. Lagipula, dengan memasakkan menu kesukaan pasangan tidak akan membuatmu terlihat lebih rendah atau lebih hina darinya. Dengan catatan, hal itu dilakukan atas inisiatif atau keinginanmu sendiri.

Namun, masalah bekal menjadi semakin runyam dan liar tatkala seorang netizen mencoba menyampaikan pandangan bahwa bagi sebagian feminis, memasak itu adalah pekerjaan yang tidak dibayar. Memasak juga tidak dianggap sebagai pekerjaan produktif yang bisa menghasilkan uang maupun keuntungan. Meski argumen tersebut muncul di luar konteks bekal, tetapi kali ini saya sungguh sepakat dengan apa yang ia bicarakan.

Pekerjaan seperti memasak, menyapu, mencuci hingga mengurus anak adalah kerja reproduktif, yang sayangnya tidak pernah diperhitungkan dalam ekonomi. Karena sifatnya yang tidak kasat mata dan kerap dilekatkan dengan beban reproduktif perempuan, pekerjaan ini selalu dipandang sebagai pekerjaan remeh temeh. Padahal jika dikaji lebih mendalam, pekerjaan reproduktif sesungguhnya memiliki peranan yang cukup besar dalam perekonomian.

Tangan Tak Terlihat Adam Smith

Pada tahun 1776 Adam Smith, Sang Bapak Ekonomi, pernah mengemukakan pendapat fenomenal yang dipercaya oleh para ekonom hingga sekarang. Ia berkata, “Bukan karena kebaikan tukang daging, tukang minuman, atau tukang roti kita bisa mendapatkan makan malam kita, melainkan karena mereka memikirkan kepentingan diri mereka sendiri.”

Menurut Smith, tukang daging, tukang minuman hingga tukang roti bekerja dengan keras bukan semata untuk menyenangkan pembelinya dengan berbuat baik. Mereka melakukannya agar pelanggannya puas, sehingga mereka pun mendapatkan uang darinya. Konsep kepentingan diri—mencari keuntungan—inilah yang kemudian memunculkan istilah pasar bebas.

Smith percaya, pasar bebas adalah cara terbaik untuk membentuk sistem ekonomi yang efisien. Sebab, ketika semua orang bekerja demi dirinya sendiri, maka semua orang juga akan memiliki akses atas barang-barang yang mereka perlukan. Roti dijual di toko roti, minuman tersedia di rak supermarket hingga listrik yang senantiasa menyala inilah yang membuatmu bisa menikmati sepiring makan malam.

Kepentingan diri menjamin bahwa segala sesuatu akan berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan tanpa adanya cukai atau regulasi sekalipun, pasar bebas memungkinkan seseorang untuk menjual atau membeli barang apapun sekaligus mengatur harga barang maupun jumlah barang. Kepentingan diri adalah tangan-tangan tak terlihat yang akan menjamah, menuntun hingga memutuskan segala sesuatu—meski kita tidak merasakan kehadirannya.

Konsep tersebut mungkin terasa logis, mengingat selama ini ekonomi hadir atas dasar butuh-sama-butuh. Namun Katrine Marçal dalam buku Who Cooked Adam Smith’s Dinner? A Story About Women and Economics menyangkal pendapat tersebut. Menurut Katrine, bagaimana mungkin Adam Smith mengungkapkan teori tangan tak terlihat, sementara sepanjang hidupnya ia tidak perlu mengurusi urusan domestik? Ada sosok ibunya yang mengurus dirinya, mencuci bajunya, dan memasakkan makan malam untuknya, sehingga ia terbebas dari pekerjaan tersebut.

Tukang daging, tukang roti, dan tukang minuman bisa saja menyediakan kebutuhan makan malam untukmu. Begitu pula dengan pekerja kantoran, mereka bisa fokus mengerjakan dokumen, mencatat keuangan perusahaan atau mengadakan meeting dengan klien. Mereka semua bisa melakukan pekerjaan produktif karena tidak dibebani dengan pekerjaan rumah tangga. Sementara itu, ada ibu atau istri yang tinggal di rumah, membersihkan kotoran di toilet, memasak makan malam, mencuci baju, mengurus anak, dan memastikan semuanya sudah beres saat mereka pulang ke rumah.

Ekonomi Kedua

Konon, kata ‘ekonomi’ berasal dari bahasa Yunani οἶκος (oikos) yang berarti keluarga atau rumah tangga dan νόμος (nomos) yang berarti peraturan, aturan atau hukum. Secara umum, ekonomi bisa diartikan sebagai aturan dalam rumah tangga.

Bicara soal ekonomi, berarti turut membicarakan uang, barang, jasa, investasi, produksi, distribusi, konsumsi, emas, harta, utang, piutang, dan sebagainya. Sayangnya, dari semuanya tidak ada satupun yang menyebutkan rumah tangga sebagai kegiatan ekonomi. Aktivitas seperti bersih-bersih, memasak, mencuci baju, menyetrika hingga mengurus anak tidak dianggap sebagai kegiatan ekonomi—hanya karena semua ini tidak menghasilkan ‘nilai’ yang dapat dibeli, ditukar, diperdagangkan atau dijual. Mirisnya, aktivitas tersebut mayoritas dilakukan oleh perempuan atau perempuan terpaksa melakukannya karena ‘kewajiban’ akibat beban reproduktif yang ditanggungnya.

Simone de Beauvoir dalam The Second Sex pernah mengatakan bahwa perempuan adalah ‘jenis kelamin kedua’. Perempuan tidak punya ‘kehadiran’ karena yang memberinya ‘makna’ adalah laki-laki. Perempuan juga digambarkan sebagai sang ‘liyan’ (the other) yang tidak hanya berbeda secara fisik, melainkan dalam berbagai hal juga sengaja dibeda-bedakan dan didiskriminasi oleh laki-laki.

Akibat titel ‘liyan’, apapun yang dilakukan perempuan menjadi tidak dihitung. Yang dihitung hanya kerja laki-laki saja. Konsep kerja seperti inilah yang kemudian menjadi dasar pandangan ekonomi dunia. Perempuan melakukan segala sesuatu yang tidak dilakukan laki-laki, tetapi ironisnya laki-laki justru bergantung darinya agar ia dapat leluasa melakukan kerja produktif.

Perempuan Juga Manusia Ekonomi

Ada salah satu komentar netizen dalam utas bekal kemarin yang cukup menganggu saya. Ia berkata, “It’s just cooking bro, it’s not that deep. Imagine being so woke you’re angry at people making meals,”. Dalam konteks love languange, membuat bekal untuk pasangan memang tidak ada salahnya. Bahkan saya sendiri juga senang-senang saja memasakkan sesuatu untuk pasangan saya.

Masalahnya ada pada kalimat it’s just cooking bro, it’s not that deep. Memasak memang bukan hal yang besar bahkan seharusnya sudah menjadi kebutuhan. Namun sayangnya, kalimat semacam itu sering digunakan untuk membenarkan kerja reproduktif yang tidak dihargai apalagi diberi upah. Dalam ekonomi, kegiatan memasak tidak pernah diperhitungkan karena dianggap tidak ‘bernilai’ dan tidak menghasilkan keuntungan. Ini juga menjawab mengapa selama ini, pekerja rumah tangga—yang biasanya dilakukan perempuan—tidak mendapatkan upah secara layak.

Sesungguhnya pekerjaan reproduktif adalah pekerjaan perawatan yang membutuhkan kasih sayang dan empati. Tanpa perawatan, mungkin bayi tidak akan bisa tumbuh, piring berserakan karena tidak dicuci atau daging lekas membusuk karena tidak kunjung dimasak. Namun, pekerjaan tersebut dianggap tidak membawa kemakmuran hanya karena tidak menghasilkan uang.

Padahal kerja perawatan ini sebagian besar dilakukan di rumah—yang seringnya dijadikan laki-laki sebagai tempat untuk pulang dari kerja produktif. Ketika pulang, laki-laki tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah, karena semuanya sudah dilakukan oleh istri atau ibunya. Ia bisa beristirahat seharian di rumah, mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari istri/ibunya, dan bisa memulihkan rasa laparnya, sehingga esok ketika hendak berangkat bekerja, ia sudah bugar kembali. Ia bisa fokus mengerjakan pekerjaannya di luar tanpa terbebani oleh urusan-urusan di rumah.

Meski kerjanya dianggap tak terlihat, tetapi melalui perawatan dan kasih sayangnya, perempuan ikut berkontribusi dalam pekerjaan si laki-laki. Tangan-tangan perempuan yang melakukan pekerjaan reproduktif mampu memberi makna bagi laki-laki di dunia kerja. Laki-laki bisa fokus meniti karier karena ia (merasa) tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah. Hal ini bukan semata-mata karena ketiadaan pembagian kerja di dalam rumah, melainkan bagaimana pekerjaan reproduktif juga turut berkontribusi dalam perekonomian.

Menghargai Kerja Reproduktif

Ketika SD dulu, saya membaca biografi Florence Nightingale yang dimuat dalam buku Seri Tokoh Dunia. Ia dikenal sebagai pelopor ilmu keperawatan modern yang berhasil menumbangkan stigma “perawat adalah pekerjaan hina”. Seperti namanya, ia lahir di kota Florence/Firenze, Italia dan merupakan anak dari seorang bangsawan ternama di Inggris.

Meski ditentang oleh keluarganya, Florence berkeyakinan bahwa Tuhan memanggilnya menjadi seorang perawat. Di kala Perang Krimea pecah pada 1853, Florence bersama puluhan relawan perawat lainnya pergi ke Laut Hitam untuk merawat korban perang. Dengan uang yang dimilikinya dan beberapa sumbangan dana dari The Times, Florence berhasil mengubah keadaan rumah sakit yang semula kotor menjadi bersih dan layak ditinggali. Ia juga menyuplai kebutuhan gizi pasien agar tidak mengalami gizi buruk. Semua perubahan sanitasi dan keberhasilan mengurangi angka kematian, ia catat secara mendetail menggunakan statistik sebagai argumentasi perubahan ke arah yang lebih baik pada bidang keperawatan di hadapan pemerintahan Inggris. Tak mengherankan jika kemudian ia digelari sebagai The Lady With The Lamp.

Florence Nightingale adalah contoh bahwa perempuan yang melakukan kerja perawatan bisa mendorong terjadinya perubahan. Meski yang dilakukannya adalah ‘kerja Tuhan’ dan berlandaskan kasih sayang, tapi tidak serta-merta semua yang dikerjakannya menjadi gratis dan tidak dibayar. Toh, sepanjang hidupnya, Florence mengupayakan upah yang layak untuk dunia keperawatan.

Hanya karena perempuan menginginkan upah dalam kerja perawatan—termasuk persoalan rumah tangga—bukan berarti perempuan tersebut egois atau mata duitan. Faktanya, jika sebuah pekerjaan diakui, dihargai, diapresiasi, dan didukung terutama secara finansial, maka seseorang akan menjadi lebih termotivasi dan merasa bahagia melakukan pekerjaan tersebut. Lagipula, siapa sih yang ingin terus-terusan merasa dieksploitasi?

Begitu pula dengan ibu Adam Smith. Ia memang ‘hanya’ ibu rumah tangga. Ia memasak, mencuci pakaian Smith, dan merawatnya ketika sakit. Namun kita juga harus mengakui, kalau bukan karena tangan-tangan penuh kasih dari ibunya, mungkin Smith tidak akan bisa berkata, “Bukan karena kebaikan tukang daging, tukang minuman, atau tukang roti kita bisa mendapatkan makan malam kita, melainkan karena mereka memikirkan kepentingan diri mereka sendiri.”

Kategori
Kapital Politik

Kartu Prakerja Hanya Memanjakan Startup

Sejak outbreak COVID-19 pertama di Indonesia, ekonomi sudah mulai carut-marut. Puncaknya, ketika 1,5 juta orang terpaksa kehilangan pekerjaan. Menurut keterangan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, dari jumlah tersebut, ada sebanyak 10% pemutusan hubungan kerja (PHK) sementara 90% lainnya dirumahkan oleh perusahaan masing-masing.

Di tengah gelombang besar PHK dan fenomena unpaid leave ini, kartu prakerja seolah-olah hadir sebagai juru selamat. Ia datang membawakan sedikit harapan kepada mereka yang hampir putus asa dengan iming-iming bantuan finansial.

Apa Itu Kartu Prakerja?

Wacana kartu prakerja sebenarnya bukan hal baru mengingat ini adalah program yang digadang-gadang Presiden Jokowi sejak pilpres 2019. Namun karena adanya peningkatan pengangguran akibat wabah virus corona, implementasi program ini pun dipercepat. Kementrian Keuangan disebut telah menggelontorkan dana sebesar Rp20 triliun. Dengan dana sebanyak ini, orang-orang yang terkena PHK atau dirumahkan sementara bisa menerima “gaji”. Plus, mereka yang ingin menambah keterampilan juga akan dibiayai langsung oleh negara.

Melalui kartu prakerja, peserta disebut akan mendapatkan insentif sebesar Rp3.550.000. Skema perhitungannya meliputi bantuan pelatihan sebesar Rp 1 juta, insentif pascapelatihan sebesar Rp 600 ribu per bulan selama 4 bulan, dan insentif survei bekerja sebesar Rp 50 ribu per survei yang dilakukan selama 3 kali survei atau jika dijumlahkan menjadi Rp 150 ribu.

Meskipun demikian, untuk mendapatkan insentif Rp 600 ribu selama 4 bulan, peserta diharuskan mengikuti pelatihan keterampilan terlebih dahulu. Mekanisme pelatihan yang tadinya offline pun diubah menjadi online yang tersedia dalam paket-paket pembelajaran. Paket ini disediakan oleh mitra kerja pemerintah, seperti Skill Academy oleh Ruangguru, MauBelajarApa, Pintaria, Sekolah.mu, Pijar Mahir, Bukalapak, Tokopedia, dan OVO.

Polemik Kartu Prakerja

Kartu prakerja sebenarnya dimaksudkan bagi anak-anak muda yang baru tamat sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan atau lulusan perguruan tinggi yang akan mencari kerja. Dengan kartu ini, para lulusan tersebut bisa mendapatkan program pelatihan keterampilan yang diharapkan akan menunjang karier mereka kelak. Namun karena wabah virus corona, kartu prakerja kemudian dijadikan sebagai solusi untuk membantu mereka yang terkena imbas PHK massal atau dirumahkan sementara.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Karena wabah virus corona, kartu prakerja kemudian dijadikan sebagai solusi untuk membantu mereka yang terkena imbas PHK massal atau dirumahkan sementara.[/mks_pullquote]

Masalahnya, siapa sih yang masih sempat mengembangkan skill di tengah pandemi corona? Bagi mereka yang masih bisa bekerja dari rumah, it’s okay, tetapi bagaimana dengan mereka yang kehilangan pekerjaan? Boro-boro memikirkan pengembangan diri, bisa makan saja sudah alhamdulillah.

Lagipula berdasarkan konsepnya, kartu prakerja memang ditujukan kepada siapa pun yang ingin membentuk keahlian diri sebelum terjun ke dunia kerja. Sehingga, program tersebut menjadi tidak efektif mengingat yang paling dibutuhkan masyarakat saat ini adalah uang. Toh, mereka yang di-PHK atau dirumahkan sementara bukan berarti nggak punya skill kan? Jadi, kenapa mereka harus ikutan pelatihan terlebih dahulu sebelum mendapatkan insentifnya?

Startup Malah Untung

Selain tidak efektif, pelatihan keterampilan secara daring ini justru memboroskan anggaran negara. Pertama, materi yang disampaikan sebenarnya bisa diakses secara gratis melalui sosial media atau YouTube. Modalnya juga murah, tak perlu membayar kelas seharga ratusan ribu, tetapi hanya cukup dengan paket internet unlimited yang disediakan oleh beberapa operator. FYI, ada lho paket data yang harganya nggak sampai Rp100 ribu.

Pun kemunculan kartu prakerja juga bisa menjadi masalah baru bagi para “pengangguran”. Bagaimana mereka bisa memperoleh akses internet yang bagus? Bagaimana pula jika mereka tidak memiliki gawai yang menunjang untuk mengikuti pembelajaran online? Masa harus keluar modal duluan, sementara kartu ini dimaksudkan untuk “mengganjal” perut yang sedang lapar.

Kedua, monopoli startup sebagai penyedia kelas online dikhawatirkan hanya akan menguntungkan startup itu sendiri. Tidak hanya persoalan anggaran triliunan yang akan mengalir ke dompet tebal mereka. Ada hal yang jauh lebih berharga ketimbang uang, yaitu data. Yes, benar sekali. Data para pengguna kartu pekerja dikhawatirkan akan dijadikan “modal” bisnis mereka.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Monopoli startup sebagai penyedia kelas online dikhawatirkan hanya akan menguntungkan startup itu sendiri. [/mks_pullquote]

Jikalau demikian, maka yang paling diuntungkan dari adanya kartu prakerja ini tentu saja perusahaan startup. Salah satu CEOnya saja menjadi staff khusus presiden, bukan tidak mungkin kan kalau ada konflik kepentingan? Bukan mau berburuk sangka (meskipun iya sih), tetapi saya merasa eman-eman banget kalau uang segitu hanya untuk mengisi pundi-pundi rupiah para petinggi startup. Lebih baik anggaran kursus ini dijadikan bantuan langsung tunai saja.

Kartu Prakerja Tidak Penting

Saya masih percaya sih kalau pemerintah memiliki niat baik. Melalui program kartu prakerja, pemerintah ingin sedikit membantu buruh yang terdampak PHK atau pekerja informal yang pendapatannya tertekan akibat penyebaran virus corona. Targetnya yang semula sejumlah 2 juta orang pun dinaikkan menjadi 5,6 juta orang agar semakin banyak orang terjangkau oleh program ini.

Namun sayangnya, kemunculan kartu prakerja justru menjadi kebijakan paling tidak bijak mengingat sebagian besar masyarakat yang terdampak itu sudah menguasai keahlian kerja di bidangnya masing-masing. Demi mendapatkan insentif sebesar Rp600 ribu selama 4 bulan berturut-turut, mereka diharuskan mengikuti pelatihan keterampilan online terlebih dahulu. Padahal di masa krisis begini, yang dibutuhkan adalah bantuan langsung tunai kan?

Lagipula jika masyarakat diberikan bantuan langsung tunai, maka daya beli yang tadinya lesu akan kembali pulih. Toh, ekonomi juga tetap bisa berjalan pelan-pelan seiring dengan bertumbuhnya kegiatan belanja kebutuhan pokok dan perputaran uang di masyarakat. Kalau hanya mencari resep untuk berbisnis rumahan, di YouTube dan IG TV juga banyak kali!

Kategori
Kapital Society

Rasanya Kembali Bekerja di Jogja Meski Udah Tau Gajinya Gitu-gitu Aja

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah cuitan yang isinya mengkritisi kinerja pemerintah DIY, utamanya kepada Ngarso Dalem. Sayangnya, cuitan kritis tersebut justru mendapat berbagai penolakan dan cacian. Komentar-komentar pembelaannya pun saya rasa sangat keterlaluan, seolah-olah mengkritisi kehidupan di Jogja adalah sebuah dosa besar.

Di antara hujatan yang bikin saya geleng-geleng kepala, saya heran banget melihat komentar orang-orang dan bagaimana mereka meromantisasi Jogja. Katanya warganya ramah-ramah, tapi kenyataannya yang saya lihat, komentar tersebut tidak menujukkan keramahan apalagi kebaikan. Katanya makanan di Jogja serba murah meriah, padahal faktanya harga makanan di Solo masih jauh lebih murah. Katanya warga Jogja cinta toleransi, tapi menurut survei dari lembaga masyarakat justru kasus intoleransi semakin meningkat di Jogja.

Saya jadi merasa, sikap defensif ini hanyalah sebuah reaksi karena takut mengakui hal yang sebenarnya. Mungkin takut hidupnya bakal serba kekurangan kalau nggak menerapkan prinsip nrimo ing pandum. Atau mungkin takut juga bakal dikira “membangkang” kepada Sultan. Entahlah, yang jelas saya gedek banget bacanya.

Sebagai buruh pekerja yang digaji berdasarkan UMR Jogja, saya tidak setuju jika perhitungan UMR hanya ditentukan berdasarkan pada kebutuhan barang pokok saja. Toh, setiap kali harga kebutuhan naik seperti cabai atau beras, kita pasti merasa resah dan sambat kan? Kenaikan harga cabai ini bahkan sudah selevel dengan “bencana” nasional lho! Kalau kenyataannya saja begitu, saya bisa bilang dong kalau harga sembako itu relatif sama di seluruh Indonesia? Kalau harga kebutuhan pokok saja sudah relatif sama, kenapa UMR Jogja masih segitu-gitu aja? Masa iya UMR Jogja lebih kecil dibandingkan Kabupaten Sumenep yang daerahnya masih terbilang sepi dan orang-orangnya bisa cari bahan makanan sendiri

Yang bikin saya makin heran sekaligus ngelus dada adalah ada aja orang-orang yang langsung menuduh bahwa si empunya kritik bukan orang asli Jogja. Kebanyakan selalu menyangkal dengan “Gaji segitu cukup kok” atau yang lebih kasar “Kalau nggak bisa bersyukur, ya nggak usah kerja di Jogja”. Sepurane bos, nggak semua orang punya banyak pilihan. Bekerja di Jogja saja adalah pilihan paling sulit, apalagi sudah tahu gajinya cuma segitu-gitu aja.

Saya sendiri “terpaksa” kembali ke Jogja karena sebuah alasan. Sejak awal, saya sudah sadar dan tahu bahwa penghasilan saya pasti akan berkurang drastis dibanding ketika saya masih bekerja di ibu kota. Namun karena keadaan, akhirnya cuma bisa yaudalaya.

Awalnya saya berusaha menutupi keresahan tersebut dengan dalih “rezeki nggak akan ke mana”. Saya juga sering baik-baikin diri sendiri, “Gapapa, rezeki nggak cuma dalam bentuk uang kok” padahal sebenarnya saya sedang denial aja sih. Tanpa sadar, saya sedang mengaburkan keresahan saya dengan meromantisasi Jogja. Bahwa menjadi orang Jogja plus Jawa itu harus bisa nrimo. Nggak boleh maruk alias serakah.

Namun, lama-lama saya nggak tahan. Saya mulai muak bersikap denial terhadap diri sendiri padahal ada ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang jelas-jelas nyata di depan mata. Saya sadar, bersikap denial justru membuat kesehatan mental terganggung, sehingga apapun yang saya lakukan pasti akan disisipi dengan sambat.

Bagi saya yang masih single, masih tinggal nebeng dengan orang tua, dan selalu dapat jatah makan siang di kantor, gaji yang didapat tentu saja masih mencukupi kebutuhan saya. Saya masih bisa menabung, saya masih bisa makan enak, dan saya masih bisa merencanakan liburan untuk refreshing. Namun, dalam beberapa kondisi, saya menyadari betapa kecilnya upah dan nilai jasa yang dibayarkan kepada saya.

Bukannya nggak bersyukur, tapi sehari-hari saja saya terbiasa hidup secara hemat, bahkan cenderung pelit kepada diri sendiri. Saya hampir nggak pernah nongki apalagi ngopi atau beli boba, jajan juga jarang-jarang karena nggak ada temennya *ups, sudah mengurangi hasrat bela-beli buku tapi kadang-kadang masih merasa kurang. Apalagi ditambah fakta menyebalkan bahwa ternyata saya belum bisa lepas dari lingkaran sandwich generation 😦

Sejak kesehatan saya mulai menurun, saya benar-benar menyadari bahwa proteksi diri selain BPJS Kesehatan itu penting banget. Sayangnya, dengan gaji yang nggak seberapa, saya jadi mikir-mikir lagi jika hendak menggunakan asuransi kesehatan lain yang biayanya lumayan mahal. Yaaaaa pengennya sih selalu sehat wal’afiat, tapi siapa coba yang bisa menjamin?

Ada satu fenomena unik yang bikin saya kagum kepada warlok Jogja. Katanya, sebagai masyarakat berhati nyaman itu harus menerapkan prinsip nrimo ing pandum, tapi kok bisa gonta-ganti kendaraan bermotor ya? Saya salut banget, sebab dengan gaji selevel UMR Jogja aja masih bisa kredit motor NMax. Jujur, saya tuh kalau kepengen sesuatu, dipikirnya sampai bikin ubun-ubun pusing lho. Kadang udah mau check out, tapi mikir lagi karena takut ada kebutuhan dadakan, sehingga akhirnya lebih memilih untuk mengalokasikan uang tersebut ke dana darurat aja.

Jadi, boleh nggak saya dikasih tau tips dan triknya mencicil motor ala gaji UMR Jogja? Kok bisa sih?

Sekali lagi, mengkritisi ketimpangan dan UMR Jogja bukan berarti nggak bersyukur lho ya. Tapi heran aja gitu, sekelas Jogja yang katanya daerah istimewa masa ketimpangan justru merajalela di sini?

Katanya warga Jogja percaya Ngarso Dalem nggak akan menelantarkan warganya. Nah, kalau beliau emang pengen warganya hidup tenteram dan sejahtera, kenapa beliau dan jajarannya masih mengizinkan pembangunan hotel, mal, dan apartemen? Apa belum cukup masalah kekeringan air sumur akibat pembangunan yang keterlaluan masifnya? Lagipula, dengan UMR yang ‘cuma segitu’, yakin warganya bisa menikmati pembangunan tersebut?

Untuk warga lokal Jogja, please jangan melulu menyalahkan kaum pendatang yang berinvestasi di Jogja. Lhawong mereka beneran punya duit kok! Harga properti yang ditawarkan di Jogja bisa jadi dianggap lebih murah ketimbang properti di daerah asal mereka. Sementara, properti dengan harga segitu (mungkin) masih dianggap cukup mahal jika penghasilannya hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Logikanya, buat makan aja masih prihatin, boro-boro mikirin harga properti. Nggak akan kebeli. Sudah tahu kan kalau anak muda Jogja terancam tunawisma karena harga properti yang gila-gilaan?

Saya menulis ini dengan rasa sedih sekaligus kesal. Sedih karena saya semakin banyak tahu (dan dikasih tahu) ketimpangan sosial di mana-mana, sekaligus merasa kesal karena respon orang-orang yang antikritik gitu-gitu aja. Yang dibela cuma bab makanan murah aja tapi lupa kalau kebutuhan primer nggak cuma makan.

Kebutuhan sandang mungkin masih bisa terpenuhi, tapi bagaimana dengan kebutuhan papan? Kenyataannya, harga tanah sudah menjulang sangat tinggi dan bikin siapapun menjerit karena semakin susah diwujudkan.

Sebagai warga asli Jogja ber-KTP Sleman, saya sih udah nggak mau romantis-romantisan lagi. Udah cukup, takut overdosis. Toh, ada PR besar yang menunggu, yaitu  mengkritisi pemerintah DIY dan meminta pertanggung jawabannya.

FYI, Pemda DIY selalu dapat anggaran APBN berupa Dana Istimewa yang jumlahnya mencapai milyaran tiap tahun lho! Masa warga asli Jogja nggak kepo dana ini udah dialokasikan buat apa aja? 🙂

Kategori
Politik Society

Mengkritisi RUU Ketahanan Keluarga: Keluargaku Bukan Urusanmu, Bos!

Saya baru saja menamatkan buku State of Ibuism atau Ibuisme Negara dalam versi bahasa Indonesia. Buku yang ditulis oleh Julia Suryakusuma, seorang feminis intelektual Indonesia, ini secara gamblang memaparkan kejahatan yang dilakukan oleh Orde Baru, terutama yang berhubungan dengan perempuan. Orde Baru dengan sengaja memunculkan konstruksi “perempuan ideal” yang kemudian menjadi stigma dan dipercayai orang-orang hingga saat ini. Perempuan ala Orde Baru didefinisikan memiliki peran hanya sebatas pada bidang domestik saja. Dengan kata lain, Orde Baru berusaha mengkonstruksikan tugas utama seorang perempuan adalah menjadi istri dan juga ibu bagi anak-anaknya.

Adanya organisasi perempuan seperti Dharma Wanita dan PKK bukan serta merta untuk semangat pemberdayaan, tetapi dimaksudkan hanya untuk kepentingan penguasa belaka. Organisasi ini didirikan untuk memenuhi salah satu syarat perolehan bantuan dana dari luar negeri, yang tentu saja dananya tidak sampai ke anggotanya akibat korupsi berdalih “biaya administrasi”. Struktur hierarkinya pun tidak berdasarkan prestasi perempuan itu sendiri, melainkan mengikuti jabatan yang diemban oleh suami-suami mereka. Misalnya, istri Menteri Dalam Negeri akan selalu menjadi Ketua PKK dalam lingkup kementrian, istri Gubernur akan menjadi Ketua PKK setingkat provinsi, begitu seterusnya hingga level pedesaan. Meski telah menjabat menjadi Ketua PKK, seorang istri juga tidak bisa serta merta membuat keputusan secara mandiri. Ia tetap diharuskan meminta pertimbangan dari suaminya. Pun kegiatan yang dilaksanakan juga harus atas sepengetahuan kepala daerah yang bersangkutan a.k.a suami para ketua PKK.

Ibuisme negara yang diutarakan oleh Julia merupakan bentuk doktrin patriarki yang mengingkari peran perempuan. Mereka diwajibkan mengikuti kegiatan PKK yang kegiatan-kegiatannya sangat “rumahan” sekali. Pun mereka yang telah menjadi anggota PKK tidak bisa membuat keputusan secara mandiri, melainkan harus atas sepengetahuan pembina PKK alias suami dari Ketua PKK itu sendiri.

Pengingkaran “status” perempuan ini adalah dosa Orde Baru yang masih langgeng dan dilanggengkan sampai sekarang. Meski Orde Baru telah lama runtuh, tetapi pemerintah saat ini masih mengintervensi kehidupan warganya bahkan hingga ke ranah seksualitas seolah-olah warga tidak diizinkan untuk memiliki ruang privasi bagi dirinya sendiri. Pemerintah terus-terusan mengatur perilaku warganya melalui serentetan aturan yang berbelit-belit tanpa peduli apakah aturan tersebut bijak atau tidak.

Munculnya wacana RUU Ketahanan Keluarga adalah contoh bahwa pemerintah berusaha memasuki dan mengatur ranah privasi seseorang. Pemerintah sedang melakukan domestikasi perempuan dengan mengharuskan mereka untuk melayani suami, anak-anak, keluarga hingga masyarakat tanpa dibayar dan mendapatkan “status” atau kekuasaan yang sesungguhnya. Beberapa perempuan yang sudah mulai berdikari (berdiri di atas kaki sendiri alias mandiri) dianggap sebagai sebuah hal yang “abnormal”, sehingga peranannya akan selalu dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Salah satu persoalan RUU Ketahanan Keluarga yang memicu kontroversi dan perdebatan adalah pembagian kerja antara suami dan istri dalam keluarga. Pembagian kerja yang seharusnya berdasarkan kesepakatan, akan diatur melalui Pasal 25 yang berisi:

(2) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. sebagai kepala Keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan Keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan Keluarga;

b. melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;

c. melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta

d. melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.

(3) Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

b. menjaga keutuhan keluarga; serta

c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa tugas seorang istri adalah mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya sekaligus menjaga keutuhan keluarga. Sementara, suami didesak untuk menjadi kepala keluarga. Padahal dalam kehidupan rumah tangga, semua keputusan seharusnya didasarkan pada kesepakatan. Setiap orang yang berkontribusi dalam rumah tangga statusnya egaliter, tidak ada yang lebih berkuasa atau tidak berdaya. Jika istri memilih bekerja atau suami menjadi full time bapak rumah tangga seharusnya tidak menjadi masalah jika didasarkan pada kesepakatan bersama.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Padahal dalam kehidupan rumah tangga, semua keputusan seharusnya didasarkan pada kesepakatan. Setiap orang yang berkontribusi dalam rumah tangga statusnya egaliter, tidak ada yang lebih berkuasa atau tidak berdaya.[/mks_pullquote]

Meski RUU ini (katanya) tercipta sebagai bentuk kepedulian kepada tingkat perceraian, tapi nyatanya RUU tersebut justru memunculkan konstruksi “keluarga ideal” yang bias dan terkesan menutup mata pada kenyataan. Dalam Pasal 77 disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib memfasilitasi keluarga yang mengalami “krisis keluarga” karena tuntutan pekerjaan. Tuntutan pekerjaan yang dimaksud dalam ayat  2 antara lain adalah orang tua bekerja di luar negeri, kedua orang tua atau salah satu orang tua bekerja di luar kota, salah satu atau kedua orang tua bekerja dengan sebagian besar waktunya berada di luar rumah, atau kedua orang tua bekerja.

Sejujurnya, saya tidak suka dengan istilah “krisis keluarga” karena bagi saya setiap keluarga punya masalah dan kondisinya masing-masing. Jika kedua orang tua bekerja hingga jarang memiliki waktu bersama anak, itu bukan termasuk krisis keluarga melainkan karena himpitan ekonomi. Mohon diingat, ada persoalan kemiskinan struktural yang membuat setiap orang diharuskan bekerja hanya untuk sekadar makan dan bertahan hidup. Jika ada keluarga yang tidak utuh atau orang tua tunggal akibat perceraian, itu juga bukan termasuk krisis keluarga yang membahayakan dan dapat membawa perubahan negatif pada fungsi keluarga. Lah kalau suaminya pelaku KDRT bagaimana? Kalau salah satu orang tua meninggal bagaimana? Siapapun yang menciptakan istilah ini, saya cuma mau bilang, Anda itu beruntung lho punya keluarga utuh dan “ideal”. Jangan samakan kondisi Anda dengan orang lain!

Ditambah lagi, penyeragaman istilah “keluarga ideal” dikhawatirkan akan merusak pemahaman masyarakat tentang makna keluarga. Sekali lagi, tidak semua orang bisa dan beruntung memiliki keluarga “utuh” yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ada beberapa kondisi ketika satu keluarga hanya diisi satu orang tua atau tidak ada sama sekali. Ada juga orang tua yang dua-duanya bekerja demi tercukupinya kebutuhan sehari-hari bahkan terpaksa menjalani long distance marriage (LDM) karena tuntutan pekerjaan.

Aturan tersebut menandakan bahwa para pengusul ini tidak pernah bersosialisasi dengan masyarakat. Mereka menutup mata bahkan mengenyampingkan fakta keberagamanan sosial di masyarakat. Tidak semua orang seberuntung Anda Pak, Bu, yang memiliki keluarga harmonis dan selalu bisa menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Pun tidak semua orang bisa memilih di rumah saja tanpa dihantui rasa khawatir besok hendak makan apa.

Selain istilah “krisis keluarga” yang sangat keterlaluan ngawurnya, RUU ini juga sangat diskriminatif terhadap teman-teman LGBT. Dalam Pasal 85, “krisis keluarga” salah satunya diakibatkan karena penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual yang dimaksud salah satunya adalah homoseksualitas.

Padahal homoseksualitas merupakan salah satu orientasi seksual (selain heteroseksual dan biseksual) atau preferensi seksual yang tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin. Orientasi seksual biasanya terbentuk dari proses sosialisasi di dalam masyarakat dan bukan termasuk penyimpangan karena hanya berupa ketertarikan saja. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika, LGBT tidak termasuk penyakit atau gangguan mental. Sehingga, Pasal 87-89 yang menyatakan bahwa pelaku penyimpangan seksual (LGBT) wajib dilaporkan atau melaporkan diri ke badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan, menjadi tidak valid dan wagu. Lah mau diperiksa dan diobati bagaimana kalau LGBT saja bukan termasuk penyakit? Justru kaum LGBT inilah yang rentan terkena gangguan mental seperti depresi akibat persekusi yang dilakukan masyarakat.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Lah mau diperiksa dan diobati bagaimana kalau LGBT saja bukan termasuk penyakit? Justru kaum LGBT inilah yang rentan terkena gangguan mental seperti depresi akibat persekusi yang dilakukan masyarakat.[/mks_pullquote]

Toh pada tahun 1935, Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis yang menjadi pakar di dunia psikologi, sudah pernah bilang kalau homoseksualitas bukan penyakit. Makanya, beliau tidak menyarankan atau mendukung usaha-usaha penyembuhan terhadap homoseksualitas. Lhawong bukan penyakit kok mau disembuhin?

Tak hanya itu saja, dan ini kocak banget sih, RUU Ketahanan Keluarga juga akan mengatur pelaku bondage and discipline, sadism and masochism (BDSM).  Saya nggak ngerti deh kenapa orang-orang ini hobi banget mengurusi kehidupan seksual orang lain. Selama ada consent alias kesepakatan, yaudah sih biarin aja. Bukan urusan Anda. Nggak semua hal harus Anda urusin kan?

Mungkin dari julukannya, RUU Ketahanan Keluarga terlihat baik bak malaikat, tetapi kenyataannya aturannya sangat diskriminatif dan nggak masuk akal. Preferensi seksual, pilihan hidup, hingga pembagian peran suami istri adalah hal-hal privat yang semestinya tidak perlu diatur oleh negara. Jika negara ini masih percaya dengan asas-asas demokrasi, seharusnya negara bisa dong menjamin hak warganya?

Please deh Bapak Ibu Dewan, PR kalian itu banyak banget. Nggak usah nambah-nambahin kerjaan nggak penting dengan mengurusi privasi seseorang. Keluargaku bukan urusanmu, bos!

Kategori
Kapital

Mimpi-mimpi Buruk dalam Omnibus Law Cipta Kerja

Jika berbicara ketenagakerjaan, kita akan dihadapkan pada tiga istilah populer, yaitu buruh, pekerja, dan karyawan. Mungkin sebagian dari kita masih mempertanyakan, apa sih perbedaan dari ketiganya? Kalau memang sama, kenapa harus dibedakan?

Faktanya, sebagian orang memang masih menganggap buruh adalah mereka yang bekerja pada bidang rendahan, kasar, dan utamanya mengandalkan kekuatan otot. Karena dianggap hanya mengandalkan otot, buruh seolah-olah menjadi pekerjaan paling hina dan kerap dipandang sebelah mata. Di sisi lain, pekerja/karyawan adalah mereka yang dianggap bekerja pada sektor lebih ‘tinggi’ seperti perkantoran dan umumnya mengandalkan isi otak. Menjadi karyawan bisa jadi nilai plus karena untuk mencapainya saja butuh gelar pendidikan dan pengalaman.

Perbedaan pemaknaan istilah buruh dan pekerja/karyawan ini menandakan adanya gap yang timpang antarpekerja itu sendiri. Padahal kenyataannya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 3, menjelaskan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Selama kita bukan pemilik modal, maka kita adalah buruh/pekerja. Selama kita masih menerima upah, maka kita tetap menjadi buruh maupun pekerja.

Saya rasa sudah basi banget deh jika kita terus-terusan merasa bahwa pekerja dan buruh adalah dua hal yang berbeda. Tak peduli bagaimana kau mengindentifikasikan diri, nasibmu dan pekerjaanmu akan bergantung pada omnibus law yang “cilaka” itu.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Selama kita bukan pemilik modal, maka kita adalah buruh/pekerja. Selama kita masih menerima upah, maka kita tetap menjadi buruh maupun pekerja.”[/mks_pullquote]

Menurut kamus Hukum Merriam-Webster, istilah omnibus law sebenarnya berasal dari omnibus bill, yaitu undang-undang yang mencakup berbagai isu atau topik. Kata “omnibus” sendiri berasal dari bahasa Latin yang berarti “segalanya”. Nah, tujuan pemerintah mengajukan omnibus kepada DPR adalah untuk mengamendemen beberapa UU sekaligus. Plus, katanya sih, RUU tersebut disiapkan untuk memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ekonomi global.

Salah satu polemik yang dihadapi ketika muncul wacana omnibus law adalah persoalan tenaga kerja. Sebagai pekerja, kita pasti ingin dong hak-hak kita dilindungi oleh pemerintah? Namun, adanya pengajuan RUU ini justru menimbulkan kontroversi karena dikhawatirkan akan melanggengkan sistem perbudakan di kalangan buruh/pekerja.

Setidaknya, sepemahaman saya, ada 5 poin utama yang berpotensi menimbulkan kontroversi di kalangan buruh/pekerja, yaitu sebagai berikut.

Dihapusnya upah minimum

Katanya, pemerintah ingin mengatur sistem upah per jam yang artinya akan menghilangkan sistem upah minimum. Jadi, apabila buruh/pekerja mampu bekerja 40 jam setiap minggu, maka ia akan mendapatkan upah seperti biasa. Masalahnya, kalau jam kerja buruh/pekerja kurang dari 40 jam dalam seminggu, upah yang dibayarkan pasti akan di bawah minimum kan?

Padahal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sudah cukup berpihak pada buruh karena pekerja tidak boleh mendapatkan upah di bawah upah mininum. Artinya, kalau hal tersebut masih dilakukan, sama saja dengan kejahatan dan pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.

Lhawong sudah ada aturan bagus begini saja, masih banyak pengusaha nakal yang ngasih gaji di bawah UMR. Masih ada juga pengusaha otoriter yang maksa-maksa kerja di atas 40 jam. Lah gimana jadinya kalau aturan ngawur ini ditetapkan? Duh, makin nangis menjadi buruh 😦

Cuti Khusus Ditiadakan

Pada UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemberi kerja diharuskan tetap membayarkan upah kepada pekerja yang sakit, hari pertama dan kedua masa haid hingga melahirkan. Namun sayangnya, Omnibus Law hanya menjelaskan bahwa pekerja yang tidak masuk kerja atau tidak melakukan kerja karena berhalangan, maka upahnya tidak dibayarkan. Keputusan dibayar atau tidaknya upah pekerja ketika tidak bekerja ini sepenuhnya adalah kewenangan pengusaha.

Jadi, jelas kan kalau aturan ini sangat memberatkan buruh, terutama perempuan? Padahal Menteri Lingkungan Hidup Jepang, Shinjiro Koizumi saja mau mengambil cuti melahirkan untuk ayah berkenaan dengan kelahiran anaknya. Masa aturan cuti di Indonesia masih pakai sistem rodi gini?

Tidak Ada Pesangon Lagi

Sebagai mantan pekerja yang pernah terkena lay-off alias efisiensi karyawan, saya merasa kebijakan ini nggak jelas dan abu-abu. Dalam Pasal 156 Ayat (1) dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa “ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Namun, dalam Omnibus Law Cipta Kerja hanya dijelaskan bahwa ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. Dengan kata lain, perubahan ini menandakan ketiadaan jaminan bagi pekerja untuk mendapatkan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Duh, masih untung di-PHK masih dapet pesangon. Lah kalau pekerja/buruh dipaksa menandatangani surat resign agar perusahaan terhindar dari kewajiban membayar pesangon gimana? Ada jaminan nggak kalau perusahaan tidak akan berbuat seenak udelnya sendiri?

Tidak Ada Kejelasan Status Pekerja dan Maraknya Tenaga Outsourcing

Bicara soal status pekerja, ada dua istilah perjanjian kerja yang perlu diketahui, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Menurut Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi No. 100/MEN/IV.2004, PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Dengan kata lain, PKWT adalah karyawan kontrak dan tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. PKWT dapat berjalan paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.

Nah, perjanjian kerja dengan model PKWT tidak mengenal uang pesangon. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja tersebut diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Sementara itu, Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja yang pekerjanya memiliki hubungan kerja bersifat tetap. Biasanya pekerja jenis ini boleh melalui proses percobaan (probation) selama maksimal 3 bulan. Selama masa percobaan tersebut pengusaha tidak boleh mengupah pekerja di bawah upah minimum yang berlaku. Selain itu, pekerja yang bekerja dengan model PKWTT ini juga berhak mendapatkan pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Beberapa pekerjaan yang dianggap bisa dilakukan dalam satu waktu pun akan dialihkan menjadi tenaga outsourcing, sehingga pengusaha atau perusahaan tidak perlu repot-repot membayar uang pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja.”[/mks_pullquote]

Sayangnya, dalam omnibus law, perjanjian kerja diatur melalui fleksibilitas pasar kerja. Alias tidak ada lagi kepastian kerja dan pengangkatan status menjadi karyawan tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Apabila aturan ini ditetapkan, maka buruh/pekerja rentan terkena PHK. Beberapa pekerjaan yang dianggap bisa dilakukan dalam satu waktu pun akan dialihkan menjadi tenaga outsourcing, sehingga pengusaha atau perusahaan tidak perlu repot-repot membayar uang pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja. Selain itu, pekerja juga terancam tidak mendapatkan jaminan sosial seperti jaminan hari tua dan jaminan pensiun.

Kesempatan Luas bagi Tenaga Kerja Asing

Kabarnya nih, omnibus law akan membuka ruang yang lebih lebar bagi para tenaga kerja asing (TKA). Padahal UU Ketenagakerjaan sudah mengatur bahwa jabatan yang boleh diduduki oleh TKA adalah yang membutuhkan keterampilan tertentu dan belum dimiliki oleh pekerja lokal. Mengutip dari CNBC Indonesia, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan bahwa perizinan TKA akan lebih dipermudah tanpa harus melalui birokrasi yang berbelit-belit.

Meskipun begitu, TKA yang dimaksud hanya boleh bekerja selama 2 bulan saja dan apabila diperpanjang masa kerjanya maksimal hanya 1 bulan. Setelah itu, TKA diperbolehkan untuk kembali ke negaranya.

Namun, bukankah dengan dipermudahnya akses hubungan kerja dengan TKA, justru malah membuka peluang ‘nakal’ bagi para ekspatriat? Lhawong nggak ada peraturan seperti ini saja, saya jamin, masih banyak kok TKA yang berseliweran di sana-sini dengan bebas. Seorang teman yang bekerja di sebuah agency di Bali, pernah bercerita kalau kebanyakan TKA tidak memiliki izin khusus untuk bekerja. Bahkan visa yang dimiliki pun hanya menggunakan visa turis, bukan visa kerja. Para TKA ini bebas membuat ‘perusahaan’, merekrut karyawan, dan tentunya mendapatkan hak istimewa berupa gaji yang cukup besar dibandingkan dengan orang Indonesia sendiri. Duh, miris banget nggak sih? Apakah ini yang dinamakan kolonialisme dunia modern?

Sebagai pekerja/buruh aktif, saya jelas menolak keberadaan omnibus law cipta kerja. Sebab, peraturan ngawur dan sok tau ini hanya akan menambah daftar kekerasan negara terhadap rakyat. Sebaliknya, negara malah terang-terangan memberikan kekebalan dan hak istimewa kepada para pengusaha (dan kapitalisme). Kalau begitu, nggak ada artinya dong amanah untuk menyejahterakan rakyat? 🙂

Kategori
Kapital Society

Pengalaman Bekerja di Jogja yang UMRnya Segitu-Gitu Aja Tapi Disuruh Bersyukur

Belum lama ini Pemerintah Provinsi DIY menyepakati kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang akan diberlakukan pada tahun 2020 mendatang. Isi kesepakatan ini adalah adanya kenaikan 8,51% dari UMP DIY tahun 2019, yaitu menjadi Rp1.704.608,25. Sementara untuk UMK tahun 2020 masing-masing adalah Gunung Kidul Rp1.705.000 ; Kulon Progo Rp1.750.500 ; Bantul Rp1.790.500 ; Sleman Rp1.846.000 ; dan Kota Yogyakarta Rp2.004.000.

Informasi mengenai kenaikan upah seharusnya bisa menjadi kabar bahagia bagi kaum buruh dan pekerja. Lagian, siapa sih yang tak ingin jika gajinya juga ikutan naik? Tapi bagi pekerja kreatif seperti saya, kenaikan ini tetap saja tidak akan menghilangkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang merajalela di Jogja. Wis kadung cah.

Di tengah biaya hidup yang kian merangkak naik, pembangunan yang keterlaluan pesatnya, dan kebutuhan hidup yang tiada habisnya, saya merasa standar UMP dan UMK di DIY (mari kita sebut Jogja saja) masih terasa belum layak. Iya sih naik, tapi emangnya cukup memenuhi 3 kebutuhan pokok alias sandang, pangan, dan papan?

Saat saya bekerja di Jakarta, banyak teman saya yang sering bilang, “Hidup di Jogja enak ya? Makanannya murah-murah,”. Sering banget kaya gitu dan biasanya saya timpali saja dengan “Enggak kok, sama aja kaya Jakarta. Harga makanannya juga 11:12 kali. Kecuali kalau tinggalnya di suatu desa pelosok di ujung Bantul, Gunungkidul atau Kulonprogo,” tentunya dengan nada setengah bercanda. Lantas, teman saya langsung tersenyum kecut sebab angan-angan tentang keromantisan Jogja seketika sirna dari benaknya.

Kadang-kadang saya kesal sekali dengan dengan orang-orang yang meromantisasi Jogja. Katanya, Jogja itu kota yang nyaman untuk ditinggali. Katanya, makanan di Jogja itu enak-enak dan serba murah. Katanya, biaya hidup di Jogja itu enggak setinggi Jakarta. Aduh, mohon maaf ya saudara-saudaraku, saya yang dari mbrojol sampai mengalami quarter life of crisis di Jogja merasakan banget kalau Jogja tuh udah berubah 180 derajat!

Saya ingat banget, dulu belum ada hotel dan apartemen wow di area Jakal Km. 5. Gunung Merapi juga masih kelihatan dari situ. Masih adem lah ngeliatnya. Sekarang, area Jakal sepertinya sudah menjelma sebagai ajang jualan iklan dan baliho. Setiap kali melintasi Jakal, saya merasa iklan-iklan itu seolah saling berdesakkan dan berebutan agar dapat dilihat oleh siapapun yang melintasi jalanan.

Soal harga makanan? Saya sih berani menjamin bahwa harga makanan di Jogja relatif sama kok dengan kota-kota besar lainnya. Coba wis kamu makan ayam geprek atau nasi ayam krispi ala ala pasti bakal dipatok harga minimal Rp 10ribu. Atau makan nasi rames di warung makan prasmanan pun bisa habis Rp 10ribuan. Lantas, apa bedanya dengan makan nasi ayam warteg di ibu kota?

Saya memang tidak menyangkal bahwa masih ada beberapa tempat makan yang mematok harga murah untuk setiap menunya. Ada tapi nggak banyak. Contohnya di dekat kantor saya yang sekarang, ada ibu-ibu yang berjualan nasi rames. Waktu itu, saya membeli seporsi nasi dengan 2 macam sayur dan 3 tempe mendoan. Semuanya hanya dihargai sebesar Rp 5ribu saja.  Rasanya kepingin nangis deh apalagi dengan harga segitu, ibunya nggak segan-segan memberikan porsi nasi yang cukup untuk 2 orang!

Dengan harga yang ya Allah reeeeeek murah banget, seharusnya saya senang ya bisa berhemat. Tapi entah kenapa, saya justru merasa sedih sekaligus kasihan. Masa iya sih jualan semurah itu? Ibunya dapat untung nggak ya? Atau beliau hanya sekadar berjualan untuk mengikuti passion seperti yang sering digadang-gadang oleh kaum milenial? Atau mungkin, ibunya sengaja mematok harga murah supaya dagangannya lebih laku?

Padahal menurut saya, harga barang pokok relatif sama lho! Coba saja telusuri pasar-pasar, harga cabai dan ayam sama aja kan? Seharusnya harga makanan juga bisa relatif sama dong? Biaya hidup (di luar gaya hidup ya) juga pasti rata-ratanya sama kan? Tapi kenapa hanya Jogja saja yang memiliki UMP terendah se-Indonesia?

Lain pedagang, lain pula pekerja. Sebagai pekerja kreatif, saya merasakan kompetisi kerja di Jogja ini lumayan susah. Selain karena SDMnya yang melimpah, kebutuhan perusahaan kadang-kadang kompleks banget. Apalagi didukung dengan budaya pakewuh alias nggak enakan dari individu yang bersangkutan, siap-siap aja dijadikan sasaran empuk eksploitasi kerja berkedok “minta tolong”.

Dulu sewaktu masih kuliah, saya pernah bekerja part time sebagai tim kreatif di sebuah media lokal di Jogja. Niatnya sih emang mau cari uang jajan lebih sekaligus pengalaman biar nggak kaget-kaget banget sama dunia kerja. Sebulan, dua bulan, tiga bulan saya masih fine-fine aja dengan jobdesc-nya bahkan mulai menyenanginya. Namun, setelah hampir 3 tahun bekerja di sana, kok jadi merasa “dimanfaatin” ya?

Setahu saya, beban dan jam kerja pekerja part time itu seharusnya setengah dari beban dan jam kerja pekerja full time kan? Namun yang saya rasakan, kerjaan saya nggak ada bedanya tuh dengan pekerja full time. Apalagi saya juga sering mengerjakan hal lain di luar jobdesc, waktu libur dan cuti sering diganggu pekerjaan padahal jelas-jelas jam kerja adalah Senin-Jumat, eh gajinya ya gitu-gitu aja. Gaji nggak nyampe UMK Sleman, eh masih aja dipotong gaji tanpa alasan. KZL!

Selain beratnya load kerjaan, saya juga menyayangkan banget sikap atasan yang jarang memberikan apresiasi, terlebih ketika saya berhasil menyelesaikan target kerja dengan baik. Sedih nggak sih kalau hasil kerjamu nggak diapresiasi? Apresiasi nggak melulu soal bonus lho, melainkan juga kesempatan belajar atau sekadar ucapan “terima kasih”. Kalau lingkungannya toxic begini mah, gimana pekerja nggak rentan terkena stres?

Sebalnya, ketika saya mengeluhkan soal gaji maupun apreasiasi, ada beberapa orang yang menganggap saya tidak bersyukur. “Mbok ya nrimo, disyukuri, kabeh wong duwe rezekine dhewe-dhewe,”. Atau yang lebih ekstrem lagi, “Nek ora gelem duwe gaji cilik, yo rasah kerja ning Jogja. Lungo wae seko Jogja. Jogja ki dudu kanggo wong sing ora bisa nrimo ing pandum”. Owalah jnck, jelas-jelas di depan mata ada ketidakadilan, ada kesenjangan, dan ada upaya eksploitasi masa didiamkan dan diterima aja? Lha iki bangsamu dhewe sing njajah lho, dudu londo opo maneh aseng!

Jujur aja, menurut saya meromantisasi Jogja sudah masuk ke tahap keterlaluan bahkan cenderung overdosis. Nggak ada romantis-romantisnya sama sekali jika di depan matamu ada ketidakadilan, kesenjangan bahkan relasi kuasa yang timpang. Lagipula, perhitungan upah dan gaji seharusnya tidak hanya berdasarkan “biaya hidup” yang katanya murah, melainkan juga harus memperhitungkan aspek-aspek lain seperti performa kerja, nilai jasa, dll. Lagipula, bukankah setiap usaha, tenaga dan pikiran ada imbalan yang jauh lebih pantas dan layak untuk diterima?

Kategori
Society

Cita-Cita Freelance

Waktu sekolah dulu, ada iming-iming menarik yang ditawarkan dunia pekerjaan. Namanya freelance. Orang bilang, kalau kita freelance, bekerja jadi menyenangkan. Waktu bisa kita atur sendiri. Kapan bekerja, kapan istirahat, sudah tidak lagi diatur oleh sistem yang kaku. Kita sendiri yang menentukannya. Barangkali karena sedari kecil sampai dewasa kita dihadapkan pada sistem pendidikan yang senang sekali mengatur-ngatur, freelance bagai angin sorga yang lewat di tengkuk kita. Sejuk.

Namun begitu selesai dengan urusan sekolah lalu masuk dunia kerja, kita mendapati ternyata freelance tak seindah taman istana.

Jika kita bicara freelance secara umum dan mengabaikan sedikit jenis freelance yang bayarannya jumbo, nampak sekali freelance adalah tumpuan saat kepepet. Sebagian besar dari kita bekerja freelance karena belum punya pekerjaan tetap atau pemasukan rutinnya tidak cukup untuk hidup. Parahnya lagi, karena satu freelance tak langsung memenuhi kebutuhan dasar, kita jadi mengambil banyak freelance. Jam kerja jadi lebih panjang. Kita makin sering begadang. Bukannya dulu dibilang, jika freelance, kita bebas mau kerja kapan aja, dan istirahat kapan aja? Tapi kok ini malah bekerja setiap saat? Bahkan saat waktunya istirahat?

Belum lagi, kebanyakan freelance tidak ada hitam di atas putih. Tak ada jaminan. Situasinya menjadi tak pasti. Sebetulnya ini bisa diantisipasi jika si pekerja meneliti lebih jauh pekerjaan yang ditawarkan. Tapi kebutuhan hidup seringkali mendesak. Dan itu menuntut kita mengambil pekerjaan dengan cepat.

Apakah freelance sebagai pembebas kelas pekerja sebetulnya hanyalah mimpi yang mustahil? Sudahkah waktunya kita, kelas pekerja, membuang jauh mimpi itu dan kembali menyerahkan tenaga dan pikiran kita ke pasar kerja yang biasanya?

Sebuah perubahan yang luar biasa mendasar memang akan terlihat mustahil hari ini, tapi belum tentu tak ada harapan di hari esok. Termasuk cita-cita freelance, yang lebih suka saya sebut sebagai pekerja bebas daripada pekerja lepas. Lalu apa yang membuat harapan ini punya peluang untuk menjadi kenyataan?

Jawabannya adalah roda industri 4.0 yang mulai bergulir. Orang sering keliru melihat peluang dari industri jenis ini. Barangkali karena kenyang dengan dongeng pemerintah yang bilang bahwa revolusi industri 4.0 datang membawa banyak ancaman. Persaingan akan semakin ketat. Kelas pekerja dituntut menguasai beragam keahlian baru agar tidak tersingkir dari dunia kerja. “Belajar dan berlatihlah dengan keras. Jangan malas. Jika tidak, kalian (kelas pekerja) akan kehilangan pekerjaan. Dan akan bertahan hidup dengan menjadi freelance (termasuk pekerja kontrak) yang nasibnya tak jelas,” begitu kira-kira kata pemerintah.

Menguraikan tantangan memang perlu. Tapi menjadi tak bijak jika hanya dibuat untuk menakut-nakuti, dan menutupi kesempatan.

Peluang di era industri 4.0 bagi pembebasan pekerja memang perlu diurai dengan panjang dan rinci. Tapi penyederhanaannya kira-kira begini. Kita sama-sama tahu di masa kini, apa-apa jadi serba otomatis. Gerbang tol tinggal tempel kartu. Buka rekening bank tinggal ketuk-ketuk layar hape. Bikin logo tinggal klik. Proses ini tak lagi membutuhkan manusia. Robot yang mengerjakannya. Kalau begitu, ya sudah, biarkan robot-robot ini bekerja. Robot palang pintu tol bekerja untuk penjaga pintu tol. Robot finansial bekerja untuk orang yang bekerja di bank. Robot pembuat logo bekerja untuk para desainer grafis. Kasarnya begitu. Efisiensi semacam ini secara ekonomi cukup untuk membiayai kebutuhan hidup mantan pekerja dan pengangguran. Kelas pekerja punya penghasilan tetap, tanpa bekerja.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, orang kalau dikasih duit tanpa bekerja bukannya malah jadi pemalas? Ow… kita perlu cek asumsi ini. Benarkah memang demikian? Soalnya, menurut penelitian terbaru dari Semeru Institute, orang yang dikasih Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak kemudian menjadi malas. Orang tetap bekerja. Orang tetap melakukan hal-hal yang ia suka. Ya… intinya orang bisa melakukan hal lain selain bekerja.

Jika gaji tetap tanpa bekerja ini benar-benar terwujud, si penjaga palang pintu tol, pekerja bank, dan desainer grafis barulah bisa menjadi freelance yang kita cita-citakan. Dalam arti, bekerja karena pengen. Bukan bekerja biar bisa hidup.

Kategori
Kapital

Algoritma Akan Mengambil Alih Pekerjaan Manusia

Algoritma kini ada di mana-mana. Telepon pintar, internet, media sosial, hingga jam tangan pintar semuanya memakai algoritma. Ketika kamu membuka Twitter, Instagram, atau Facebook, postingan teratas mungkin kebanyakan berasal dari teman-temanmu, atau orang-orang yang postingannya sering disukai dan dikomentari olehmu. Itu semua adalah hasil algoritma.

Sederhananya, algoritma adalah deretan logika matematika yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk perintah tertentu. Orang yang membuat algoritma biasanya disebut programmer.

Algoritma hingga hari ini sudah membuat banyak manusia kehilangan pekerjaannya. Penjaga pintu tol, teller bank, agen perjalanan, adalah beberapa contohnya. Namun demikian, sebetulnya kebanyakan dari kita masih yakin manusia tidak akan pernah digantikan sepenuhnya oleh algoritma dalam dunia pekerjaan. Alasannya, manusia mempunyai perasaan, empati, dan pengetahuan etis, sementara algoritma tidak. Benarkah demikian?

Justru karena manusia punya perasaan (emosi), ia punya kelemahan. Ia cenderung menuruti emosinya, daripada kebajikan-kebajikan yang bertahun-tahun diajarkan oleh orang tua, guru, dan tukang dongeng, Apalagi di saat tertekan. Mengapa begitu? Sebab emosi di dalam diri manusia adalah hasil evolusi berjuta-juta tahun dalam menghadapi seleksi alam, hingga akhirnya ia menguasai alam bawah sadar manusia dalam mengambil keputusan.

Sementara itu, algoritma tidak mengalami evolusi. Ia tidak dibebani emosi yang mengganggunya dalam mengambil keputusan. Ia patuh pada kode-kode yang membentuknya.

Mari ambil contoh. Seorang manusia sedang mengendarai mobil. Tiba-tiba, beberapa meter di depannya ada anak kecil mengejar bola yang menggelinding ke jalan. Manusia ini hanya punya 2 pilihan: menabrak si anak kecil karena sudah tak sempat mengerem, atau berpindah jalur untuk menghindar dengan risiko tertabrak kendaraan dari arah berlawanan.

Jika kamu yang menyetir mobil, pilihan mana yang kamu ambil? Kalau kamu menjawabnya sekarang (saat membaca tulisan ini), mungkin kamu mengambil pilihan kedua. Namun, jika kamu benar-benar sedang di dalam mobil itu, bisa jadi kamu malah memutuskan untuk menabrak si anak kecil. Ini bukan berarti kamu egois. Tapi reaksi-reaksi kimia di dalam dirimu sudah terbiasa mengambil pilihan untuk tetap bertahan hidup selama berjuta-juta tahun berevolusi.

Berbeda dengan manusia, algoritma tidak punya tuntutan untuk bertahan hidup. Ia hanya manut pada kode-kode yang ditulis programmer dengan bantuan filsuf. Kode-kode ini pasti tidak sempurna. Pasti ada kesalahan di sana-sini. Namun, jika algoritma dalam mobil tanpa pengemudi sudah terbukti bisa mengurangi jumlah kecelakaan daripada supir manusia yang tersandera emosi, maka manusia akan sepakat memakai algoritma sebagai supir baru mereka.

Dan ini berlanjut ke bidang pekerjaan yang lain.