Kategori
Kapital

Pilkada Sumenep: Mengatasi Kemiskinan Tidak Cukup Hanya dengan Pelatihan Wirausaha

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Sumenep menempati urutan kedua tingkat kemiskinan terburuk se-Jawa Timur. Jumlah penduduk miskin di Sumenep mencapai 19,48 persen di tahun 2019. Dengan jumlah total penduduk 1.085.227 jiwa, berarti ada 211.402 penduduk miskin di kabupaten ujung timur Madura ini. Selama masa pemerintahan Busyro-Fauzi, dari tahun 2016 sampai 2019, tingkat kemiskinan di Sumenep hanya turun sebesar 0,59 persen. Ini jauh dari rata-rata pencapaian penurunan tingkat kemiskinan di Jawa Timur yang sebesar 1.67 persen.

Tandanya, perlu ada kerja yang lebih keras dan perubahan tata kelola pemerintahan di kabupaten Sumenep khususnya dalam usaha menyejahterakan rakyat. Pilkada Sumenep di tahun ini, yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020, adalah kesempatan bagi rakyat Sumenep untuk menentukan siapa yang layak mengelola uang pajak mereka agar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Permasalahan kemiskinan ini menjadi salah satu topik yang diangkat di debat publik Pilkada Sumenep pada hari Selasa (10/11). Kedua calon sempat mendapatkan pertanyaan yang mirip dari para panelis terkait kemiskinan.

Achmad Fauzi, calon bupati nomo urut 01 yang hadir sendiri, ditanya tentang apa langkah konkretnya untuk membuat rakyat Sumenep lebih sejahtera dan mandiri dengan bertumpu pada kearifan lokal. Ia bilang akan melaksanakan program wirausaha mandiri berbasis pesantren dan wirausaha muda. Program ini untuk mendorong para santri dan para pemuda di Sumenep agar memiliki semangat dan keterampilan berusaha secara mandiri, sehingga tidak bergantung pada ketersediaan lapangan pekerjaan. Apalagi di masa pandemi yang berlarut-larut ini, lapangan pekerjaan terus berkurang drastis, bahkan PHK terjadi di mana-mana. Dengan memiliki jiwa wirausaha, diharapkan para santri dan pemuda bisa menemukan banyak peluang ekonomi baru yang efeknya juga bisa menumbuhkan ketersediaan lapangan kerja. Itu tawaran dari Fauzi.

Sementara itu, pasangan nomor urut 02 Fattah Jasin – Ali Fikri ditanya oleh panelis tentang apa strategi mereka untuk menurunkan angka kemiskinan di Sumenep. Menurut Fattah, 5-10 tahun lalu, tingkat kemiskinan di Sumenep belum termasuk yang paling parah di Jawa Timur. Namun kini, Sumenep menempati urutan paling bawah bersama kabupaten Sampang. Fattah menguraikan hal ini untuk menggambarkan bahwa pembangunan di Sumenep selama ini tidak mampu menyejahterakan rakyat. Sayangnya, Fattah tidak memberikan rencana yang jelas bagaimana mengatasi masalah ini. Ia hanya bilang bahwa kategori kemiskinan perlu lebih diperinci lagi, agar penanganannya lebih tepat sasaran. Di segmen-segmen selanjutnya pun, Fattah memberikan jawaban yang sama seperti Fauzi terkait pengentasan kemiskinan, yaitu dengan melaksanakan program wirausaha.

Mantra “wirausaha” dan “entrepreneur” memang digemari oleh para peserta pemilu beberapa tahun terakhir. Mulai dari calon bupati, walikota, gubernur, sampai level presiden, keranjingan menggunakan istilah-istilah tersebut untuk menarik para pemilih. Program “mencetak para pengusaha” sebetulnya memang bagus karena menambah ilmu dan keterampilan masyarakat untuk membangun usaha sendiri. Namun demikian, seringkali narasi ini digencarkan untuk menutupi kenyataan sesungguhnya yang sungguh buruk, yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi yang berefek pada minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan.

Di kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Indonesia, dan bahkan dunia, peningkatan kesejahteraan masyarakat memang dibuat bergantung pada pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Dengan pertumbuhan yang cepat, yang ditandai dengan banyaknya barang dan jasa yang ditransaksikan sehingga investasi mengalir deras, maka akan semakin banyak orang yang bisa bekerja, lalu penghasilannya naik, lalu hidupnya lebih sejahtera. Sebaliknya, jika pertumbuhan ekonomi melambat sedikit saja, maka masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah langsung kena dampak berupa hilangnya sumber penghasilan. Pola pikir seperti ini yang dipahami oleh para calon pejabat.

Padahal, permasalahannya bukan hanya sesederhana itu. Kita sebetulnya juga perlu bertanya, apakah kue ekonomi yang dihasilkan dari pertumbuhan ekonomi dibagi secara adil dan merata? Tentu saja jawabannya tidak. Kue ekonomi lebih banyak dilahap oleh para kelas ekonomi atas, yang mempunyai banyak modal dan aset. Sementara kelas menengah ke bawah hanya menadah remah-remah kue berupa lapangan pekerjaan. Hal inilah yang membuat kita harus terus membuat ekonomi melaju kencang, agar setidaknya remah-remah yang didapatkan kelas menengah ke bawah semakin banyak. Dan tentu saja kelompok ekonomi atas mendapatkan bagian yang semakin luar biasa banyak.

Pembagian kue ekonomi yang tidak adil inilah yang seharusnya menjadi program pembenahan para calon kepala daerah. Bagaimana membuat aktivitas ekonomi yang sudah berjalan bisa dinikmati oleh sebagian besar rakyatnya? Bagaimana kekuatan politik pemerintah daerah bisa memaksa usaha-usaha besar yang dimonopoli satu-dua orang tidak mengambil terlalu banyak kue ekonomi sehingga bisa dibagikan kepada rakyat agar terlepas dari kemiskinan? Bagaimana bupati dan wakil bupati membantu para pekerja swasta agar bisa punya saham di tempat kerjanya masing-masing?

Aktivitas ekonomi di kabupaten Sumenep, dan daerah-daerah lain tentunya, sebetulnya sudah cukup untuk menyejahterakan rakyat. Namun, hal ini tidak bisa terwujud karena pundi-pundi ekonomi diembat orang-orang rakus.

Pembenahan ekonomi secara struktural inilah yang seharusnya menjadi program dan nantinya dilaksanakan. Momentum krisis akibat Covid-19 yang berefek ke segala sektor seharusnya menjadi momen pembenahan besar-besaran. Hanya memberi pelatihan dan pendampingan wirausaha kepada tiap-tiap individu berarti hanya membekali dan memotivasi rakyat untuk mengais remah-remah ekonomi yang amat sedikit itu. Selama para pemodal besar tidak dikoreksi kuasa monopolinya dalam ekonomi, maka ide-ide usaha baru yang minim modal itu pada akhirnya akan dicaplok juga oleh gurita-gurita besar.