Kategori
Kapital

Pilkada Sumenep: Mengatasi Kemiskinan Tidak Cukup Hanya dengan Pelatihan Wirausaha

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Sumenep menempati urutan kedua tingkat kemiskinan terburuk se-Jawa Timur. Jumlah penduduk miskin di Sumenep mencapai 19,48 persen di tahun 2019. Dengan jumlah total penduduk 1.085.227 jiwa, berarti ada 211.402 penduduk miskin di kabupaten ujung timur Madura ini. Selama masa pemerintahan Busyro-Fauzi, dari tahun 2016 sampai 2019, tingkat kemiskinan di Sumenep hanya turun sebesar 0,59 persen. Ini jauh dari rata-rata pencapaian penurunan tingkat kemiskinan di Jawa Timur yang sebesar 1.67 persen.

Tandanya, perlu ada kerja yang lebih keras dan perubahan tata kelola pemerintahan di kabupaten Sumenep khususnya dalam usaha menyejahterakan rakyat. Pilkada Sumenep di tahun ini, yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020, adalah kesempatan bagi rakyat Sumenep untuk menentukan siapa yang layak mengelola uang pajak mereka agar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Permasalahan kemiskinan ini menjadi salah satu topik yang diangkat di debat publik Pilkada Sumenep pada hari Selasa (10/11). Kedua calon sempat mendapatkan pertanyaan yang mirip dari para panelis terkait kemiskinan.

Achmad Fauzi, calon bupati nomo urut 01 yang hadir sendiri, ditanya tentang apa langkah konkretnya untuk membuat rakyat Sumenep lebih sejahtera dan mandiri dengan bertumpu pada kearifan lokal. Ia bilang akan melaksanakan program wirausaha mandiri berbasis pesantren dan wirausaha muda. Program ini untuk mendorong para santri dan para pemuda di Sumenep agar memiliki semangat dan keterampilan berusaha secara mandiri, sehingga tidak bergantung pada ketersediaan lapangan pekerjaan. Apalagi di masa pandemi yang berlarut-larut ini, lapangan pekerjaan terus berkurang drastis, bahkan PHK terjadi di mana-mana. Dengan memiliki jiwa wirausaha, diharapkan para santri dan pemuda bisa menemukan banyak peluang ekonomi baru yang efeknya juga bisa menumbuhkan ketersediaan lapangan kerja. Itu tawaran dari Fauzi.

Sementara itu, pasangan nomor urut 02 Fattah Jasin – Ali Fikri ditanya oleh panelis tentang apa strategi mereka untuk menurunkan angka kemiskinan di Sumenep. Menurut Fattah, 5-10 tahun lalu, tingkat kemiskinan di Sumenep belum termasuk yang paling parah di Jawa Timur. Namun kini, Sumenep menempati urutan paling bawah bersama kabupaten Sampang. Fattah menguraikan hal ini untuk menggambarkan bahwa pembangunan di Sumenep selama ini tidak mampu menyejahterakan rakyat. Sayangnya, Fattah tidak memberikan rencana yang jelas bagaimana mengatasi masalah ini. Ia hanya bilang bahwa kategori kemiskinan perlu lebih diperinci lagi, agar penanganannya lebih tepat sasaran. Di segmen-segmen selanjutnya pun, Fattah memberikan jawaban yang sama seperti Fauzi terkait pengentasan kemiskinan, yaitu dengan melaksanakan program wirausaha.

Mantra “wirausaha” dan “entrepreneur” memang digemari oleh para peserta pemilu beberapa tahun terakhir. Mulai dari calon bupati, walikota, gubernur, sampai level presiden, keranjingan menggunakan istilah-istilah tersebut untuk menarik para pemilih. Program “mencetak para pengusaha” sebetulnya memang bagus karena menambah ilmu dan keterampilan masyarakat untuk membangun usaha sendiri. Namun demikian, seringkali narasi ini digencarkan untuk menutupi kenyataan sesungguhnya yang sungguh buruk, yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi yang berefek pada minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan.

Di kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Indonesia, dan bahkan dunia, peningkatan kesejahteraan masyarakat memang dibuat bergantung pada pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Dengan pertumbuhan yang cepat, yang ditandai dengan banyaknya barang dan jasa yang ditransaksikan sehingga investasi mengalir deras, maka akan semakin banyak orang yang bisa bekerja, lalu penghasilannya naik, lalu hidupnya lebih sejahtera. Sebaliknya, jika pertumbuhan ekonomi melambat sedikit saja, maka masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah langsung kena dampak berupa hilangnya sumber penghasilan. Pola pikir seperti ini yang dipahami oleh para calon pejabat.

Padahal, permasalahannya bukan hanya sesederhana itu. Kita sebetulnya juga perlu bertanya, apakah kue ekonomi yang dihasilkan dari pertumbuhan ekonomi dibagi secara adil dan merata? Tentu saja jawabannya tidak. Kue ekonomi lebih banyak dilahap oleh para kelas ekonomi atas, yang mempunyai banyak modal dan aset. Sementara kelas menengah ke bawah hanya menadah remah-remah kue berupa lapangan pekerjaan. Hal inilah yang membuat kita harus terus membuat ekonomi melaju kencang, agar setidaknya remah-remah yang didapatkan kelas menengah ke bawah semakin banyak. Dan tentu saja kelompok ekonomi atas mendapatkan bagian yang semakin luar biasa banyak.

Pembagian kue ekonomi yang tidak adil inilah yang seharusnya menjadi program pembenahan para calon kepala daerah. Bagaimana membuat aktivitas ekonomi yang sudah berjalan bisa dinikmati oleh sebagian besar rakyatnya? Bagaimana kekuatan politik pemerintah daerah bisa memaksa usaha-usaha besar yang dimonopoli satu-dua orang tidak mengambil terlalu banyak kue ekonomi sehingga bisa dibagikan kepada rakyat agar terlepas dari kemiskinan? Bagaimana bupati dan wakil bupati membantu para pekerja swasta agar bisa punya saham di tempat kerjanya masing-masing?

Aktivitas ekonomi di kabupaten Sumenep, dan daerah-daerah lain tentunya, sebetulnya sudah cukup untuk menyejahterakan rakyat. Namun, hal ini tidak bisa terwujud karena pundi-pundi ekonomi diembat orang-orang rakus.

Pembenahan ekonomi secara struktural inilah yang seharusnya menjadi program dan nantinya dilaksanakan. Momentum krisis akibat Covid-19 yang berefek ke segala sektor seharusnya menjadi momen pembenahan besar-besaran. Hanya memberi pelatihan dan pendampingan wirausaha kepada tiap-tiap individu berarti hanya membekali dan memotivasi rakyat untuk mengais remah-remah ekonomi yang amat sedikit itu. Selama para pemodal besar tidak dikoreksi kuasa monopolinya dalam ekonomi, maka ide-ide usaha baru yang minim modal itu pada akhirnya akan dicaplok juga oleh gurita-gurita besar.

Kategori
Beranda

Perjalanan Udara ke Sumenep dan Kisah-kisah yang Tercecer

Foto:  Josh

Anak kecil di sampingku berteriak sambil mengayunkan kedua tangannya di atas kepalanya bersamaan dengan roda pesawat yang meninggalkan landas pacu Bandar Udara Juanda. Anak kecil itu sepupuku. Ia baru berada di jenjang kelas 1 SD. Aku sendiri kaget setan kecil itu tiba-tiba berteriak. Aku periksa sabuk pengamannya, masih terpasang. Setan bedebah, ia ternyata berteriak sambil memasang wajah semringah.

Dua kursi di depanku tapi di banjar yang lain, seorang dewasa menoleh ke belakang, tepatnya ke kursiku, saat pesawat baling-baling itu belumlah mencapai posisi stabil. Anak setan di sampingku juga masih berteriak. Dari sorot matanya, aku merasa seorang dewasa itu memendam rasa kesal dan olok-olok. Di bundaran hitam matanya, aku dan sepupuku bagaikan makhluk norak yang baru kali pertama naik pesawat. Awalnya aku merasa hina ditatap olehnya. Namun melihat sepupuku masih riang tak terkira – bangsat kau setan kecil! – aku akhirnya senyum-senyum juga.

Setelah puas cengengesan, aku sadar bahwa seperti orang dewasa itulah aku beberapa tahun belakangan. Setiap kali pulang ke Madura dan melihat tingkah orang-orangnya yang menggelikan saat menghadapi perubahan atau teknologi baru, aku mencibir. Setelah aku pikir-pikir lagi di dalam pesawat, ternyata bukan tingkah mereka yang menggelikan, tapi kesombongan diriku yang memuakkan.

Pesawat rute Surabaya-Sumenep ini bisa dibilang baru. Terhitung mulai 27 September 2017, rute ini setiap hari dilayani oleh Wings Air yang berkapasitas 70 orang. Pesawat kecil ini langsung mengambil jalan pulang pergi: pukul 12:45 WIB terbang dari Juanda dan 14:20 WIB sudah ongkang-ongkang sayap di bandara yang sama. Perjalanan tiap hari ini menandakan dimulainya layanan komersial pertama di Bandara Trunojoyo, Sumenep. Sayang, saat itu penumpang yang ikut terbang bersama diriku hanya dua puluhan orang.

Baca juga: Mending Mana, Park and Ride atau Menambah Jalan?

Sebelumnya, bandara ini baru beroperasi sebagai bandara perintis di tahun 2015, dengan dua rute, yaitu ke Jember dan Surabaya. Susi Air melayani rute ini dengan pesawat yang hanya berkapasitas 12 orang. Rute Sumenep-Jember dan sebaliknya satu kali seminggu serta Sumenep-Surabaya dan sebaliknya dua kali seminggu. Sayangnya, karena minim jumlah penumpang, penerbangan ke Jember dihentikan di tahun 2016.

Tidak biasanya aku menempuh jalur udara ke Sumenep. Jalur bus yang sering menjadi pilihan terutama karena biayanya yang murah. Hari itu aku, nyannya (tante), om, dan dua anak mereka harus bergegas pulang karena minimal sore hari harus berada di rumah. Jenazah kakek yang sudah meninggal sehari sebelumnya belum juga dimakamkan, menunggu kedatangan kami berlima. Akhirnya pesawat jadi pilihan, dengan harapan perjalanan menjadi semakin singkat.

Setelah terbang selama tiga menit, pesawat berada di atas selat Madura. Dari posisi ini aku bisa melihat jembatan Suramadu yang tampak mungil dan daratan Bangkalan, kabupaten yang paling dekat dengan Surabaya. Sebentar saja aku dibuat kaget oleh pemandangan di daratan Bangkalan yang dekat selat. Aku bagai melihat lahan tambang kapur yang begitu luas dengan selimut warna putih keabu-abuan. Sejenak kemudian aku sadar, itu tambak garam. Dalam hati aku hanya berharap tambak-tambak itu tidak lagi dikotori ampas makanan manusia. Sebab dulu aku tiap hari melakukannya di tambak garam di Sampang ketika mengunjungi kerabat yang tinggal di sana. Aku bahkan jongkok di tepian tambak itu saat siang sedang terik.

Kami mendarat di Bandara Trunojoyo pukul 13.20 WIB. Sejenak keadaan menggelitik hati. Masih ada rasa tidak percaya, sekarang bisa secepat ini memindahkan badan dari Surabaya ke Sumenep. Karena sebelumnya kita harus menumpang bus selama empat jam. Belum lagi kalau uang terbatas sehingga terpaksa naik bus yang kotor, bau, dan sesak. Dengan bantuan burung besi, ada harapan kami bisa sampai di rumah lebih cepat. Terima kasih Jokowi, tim Jokowi, dan Tuhan, yang telah mewujudkan akses yang lebih cepat ke wilayah ini. Perlu menunggu 72 tahun setelah merdeka untuk membuat bandara komersial di kabupaten yang bahkan sama sekali tidak terletak di pinggiran negara ini.

Angkot kosong yang sudah aku pesan ketika masih di Surabaya telah menunggu di parkir bandara. Kami berlima langsung naik ke angkot. Sopir angkot pun langsung memacu kendaraannya. Kami menuju pelabuhan Dungkek yang terletak agak di utara. Butuh setengah jam perjalanan darat ke sana, sehingga kami sampai di pelabuhan itu pukul 14:00 WIB.

Selama perjalanan di angkot, tanteku sempat berandai-andai. Andai dibangun jembatan antara Pulau Madura dan Pulau Sapudi. Kami bisa lebih cepat lagi sampai di rumah. Menurutnya, tidak susah membangun jembatan itu. Dananya kan ada. Menurutnya, cukup alokasikan semua dana desa di Sapudi untuk membiayai pembangunan jembatan. Toh, jembatan itu untuk kepentingan orang-orang Sapudi juga.

Masalahnya, aku menanggapi angan-angan tanteku, jembatan itu akan melewati perairan yang butuh tiga sampai empat jam perjalanan laut. Sedangkan laut di bawah Jembatan Suramadu saja hanya butuh satu jam perjalanan kapal untuk melintasinya. Berarti biayanya akan beberapa kali lipat lebih besar daripada Suramadu. Dan, berapa orang saja yang akan dilayani?

Tentu saja tanggapanku terlalu serius untuk ide tanteku yang hanya berupa angan-angan yang muncul dari perjalanan yang tergesa-gesa. Tentu saja tanteku bercanda. Tapi aku pikir angan-angan itu diakibatkan oleh permasalahan yang serius. Mengapa orang-orang kepulauan kini juga keranjingan memimpikan jembatan yang menghubungkan pulau? Mengapa orang kepulauan sendiri kini lupa bahwa kapal dan perahu bisa dijadikan andalan penyeberangan? Sebab, tidak hanya tanteku saja, belakangan kerap aku dengar angan-angan serupa.

Baca juga: Kenapa Pembangunan Infrastruktur Diperlukan?

Aku menduga, angan-angan ini muncul dari rasa muak yang menerpa orang-orang kepulauan selama ini. Apa yang akan kau pikirkan saat melihat ibumu mati di tengah laut karena terlambat mencapai daratan di seberang? Kau harus membawa ibumu ke daratan itu karena di pulau yang kau huni, tenaga dan perkakas medisnya tidak memadai. Cerita tentang kematian seseorang di tengah lautan semacam ini kerap menjadi perbincangan di Pulau Sapudi. Kembali ke pertanyaan tadi, apa yang akan kau pikirkan? Mungkin mengumpat, mungkin juga mengelus-elus dada agar bersabar. Tapi mungkin juga terpikirkan pertanyaan, kenapa tidak ada jembatan yang nangkring di perairan ini? Kenapa puskesmas di dekat rumah begitu menyedihkan?

Setahun yang lalu, aku asik menonton tetanggaku di Sapudi sedang membuat rangka perahu. Panjangnya kira-kira tujuh meter dan lebarnya dua meter. Nantinya, rangka perahu ini dijadikan cetakan adonan fiber. Bahan ini dipilih agar nantinya perahu ringan, sampai-sampai bisa digotong oleh hanya satu orang. Perahu seringan ini tentu akan melaju kencang apalagi jika menggunakan mesin bertenaga tinggi.

Perancang perahu ini bukanlah lulusan perguruan tinggi. Ia hanya lulusan SMP. Ia dibantu temannya yang sehari-hari mengurusi bengkel di dekat rumah dan tower sinyal operator. Ia sempat berkelakar, perahu ini akan sangat berguna di saat-saat darurat. Misalnya, seperti kami yang diburu waktu untuk mengejar pemakaman. Selain itu, untuk membawa orang sakit yang butuh penanganan khusus di pulau seberang. Lagi-lagi ini sebuah angan-angan, yang muncul dari seseorang yang pernah merantau ke Batam. Ternyata, ia mempelajari cara pembuatan perahu semacam itu di perantauan.

Tidak hanya keadaan darurat semacam ini yang menjadi permasalahan transportasi kepulauan. Ketika waktu-waktu tertentu, arus mudik lebaran misalnya, layanan kapal feri tetap mengandalkan satu kapal mungil untuk melayani penumpang di pelabuhan Kalianget Sumenep, Pulau Sapudi, Pulau Raas, dan Pelabuhan Jangkar Situbondo sekaligus. Hanya satu kapal! Seperti hari-hari biasa. Penumpang jadi berdesak-desakan. Jadwal berubah-ubah karena menyesuaikan jumlah penumpang. Dan, yang menyedihkan, kapal naas itu jadi makin sering rusak.

Dua kondisi ini sudah cukup membuat angan-angan orang kepulauan, seperti tanteku, menanggalkan harapan kepada kapal atau perahu yang menyiksa dan beralih ke jembatan. Angan-angan itu, dari pemantauanku, semakin kuat. Pengurus negara maritim ini hendaknya mulai mengambil langkah untuk menyelamatkan pelayaran kepulauan. Sebab teror pola pikir lebih menyakitkan.

Dalam debat publik calon gubernur Jawa Timur awal Mei lalu, kedua pasangan calon saling menawarkan janji untuk membenahi dan memajukan transportasi laut di kepulauan Sumenep. Cerita dariku ini mungkin bisa menjadi sedikit sumbangan pemikiran apabila janji itu memang serius.

Sebab, bagi orang-orang kepulauan Sumenep, layanan penerbangan Surabaya-Sumenep tak banyak membantu apabila transportasi laut masih nggak keruan.

Dandy IM
PijakID
Kategori
Transportasi

Transportasi Laut Kepulauan Sumenep Madura Belum Berkeadilan

Sejak Suramadu dibuka tahun 2009, kapal feri jalur Kamal-Tanjuk Perak tentu kena imbasnya. Beberapa kapal dialihkan ke gugusan pulau di sebelah Timur pulau Madura yang perkembangannya tertinggal. Sebelumnya, kepulauan itu mengandalkan perahu kayu yang dikelola penduduk setempat. Meskipun, masih banyak pulau-pulau yang belum disinggahi kapal feri. Setelah hampir satu dekade, menarik untuk melihat keadaan pulau yang masih mengandalkan perahu kayu dan performa kapal perintis sebagai penyambung pulau-pulau itu.

Masih bertahan dengan perahu kayu

Pagi-pagi sekali sehabis subuh di hari Rabu, para pedagang menuju pelabuhan di pantai Selatan pulau Payangan. Tiga awak perahu juga telah bersiap. Mesin perahu sudah dipanaskan. Pedagang dan barang-barang yang mereka bawa diangkut dengan sampan kecil menuju perahu. Pemilik perahu memang sengaja tidak menambatkan perahunya di sisi dermaga, agar pemilik sampan kecil juga kebagian rezeki.

Pulau Payangan adalah salah satu dari seratus duapuluh tujuh pulau yang ada di Madura. Payangan termasuk yang kecil dibandingkan dengan yang lainnya. Namun, ia berpenghuni – beberapa pulau memang belum berpenghuni. Menariknya, pulau ini bahkan terlalu kecil untuk dijadikan desa. Sehingga, secara administrasi tingkat desa, ia menumpang ke pulau di selatannya, Sapudi. Seluruh Payangan adalah bagian desa Nonggunong yang terletak di pantai Utara pulau Sapudi. Jadi, kepala desa orang-orang Payangan ada di pulau lain.

Dengan kondisi semacam itu, orang Payangan menjadi sering berinteraksi dengan manusia Sapudi, khususnya yang berada di Nonggunong. Para pedagang di Rabu pagi itu, yang hendak pergi ke Pasar Nonggunong menjadi salah satu petunjuk adanya interaksi.

Hari sudah agak terang ketika para pedagang tiba di pasar Nonggunong. Sebetulnya, tidak semua yang ikut perahu itu adalah pedagang. Ada yang memang pergi ke pasar Nonggunong untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Para pedagang juga berbelanja untuk kebutuhan rumah tangganya sendiri. Mereka bertolak ke Payangan saat matahari mulai lengser ke Barat.

Gambaran geografi Pulau Payangan, Sapudi, dan Madura. Tanda panah menunjukkan jalur pelayaran dari Payangan ke Sapudi.
Grafis: Dandy IM

Ketersediaan perahu dan kenyamanan pelayaran menjadi sesuatu yang berharga bagi orang-orang Payangan. Itu adalah syarat agar kehidupan mereka tidak terisolasi dari dunia luar. Nestapa bagi mereka ketika musim badai datang. Perahu tidak berani berlayar. Terlalu besar guncangan yang diberikan ombak terutama pada haluan perahu. Akibatnya, barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari terlambat datang dan harganya pun melayang. Lauk yang menjadi pelezat makan pun berkurang pasokannya. Para nelayan tidak pergi melaut. Ikan-ikan raib dari menu hidangan.

Badai membuat jalinan ekonomi Payangan-Sapudi terputus. Apalagi hubungan dengan Kota Sumenep yang lebih jauh ke arah Barat Daya, lebih putus lagi. Pedagang di Sapudi berkurang pembelinya. Begitu juga pedagang dari Payangan. Mereka kehilangan kesempatan memasarkan barang dagangannya. Pembeli di masing-masing pulau otomatis juga kena imbasnya. Di saat-saat beginilah terasa benar pentingnya kapal penyambung antarpulau.

Baca juga: Membangun Pelabuhan Pada Abad Ke-16

Pemerintah Kabupaten Sumenep belum juga memberi solusi pada permasalahan ini. Tidak harus menyediakan kapal besi setiap minggu sebetulnya. Cukup dengan manajemen barang dan jadwal pelabuhan yang direncanakan dengan baik.

Saat ini, data dari Badan Meteorologi dan Geofisika sudah sedemikian apik. Data tersebut dapat dijadikan prediksi badai yang akan datang. Sehingga, misalnya, badai akan datang seminggu lagi. Segala kebutuhan primer semestinya dikirim ke pulau Payangan dan cukup untuk kebutuhan selama badai melanda. Mungkin dengan mengoperasikan kapal pengangkut barang pada saat itu saja. Sebab, penduduk pulau Payangan terlampau sedikit untuk diberikan layanan kapal setiap minggu. Secara ekonomi, hitung-hitungannya terlalu merugikan. Meskipun pada prinsipnya, kapal perintis lebih mengutamakan terbukanya akses bagi masyarakat ketimbang mencari keuntungan. Tetapi kita juga perlu realistis.

Semestinya hal semacam ini diterapkan juga ke pulau-pulau yang lebih jauh. Bukankah anggaran dari pemerintah pusat sejak tahun 2017 sudah memprioritaskan daerah yang berupa kepulauan?

Memperbaiki Manajemen Pelabuhan

Sehari sebelum tahun baru 2018, saya tiba di pelabuhan Kalianget, Sumenep, pukul enam pagi. Saya ingin pulang ke Sapudi. Pelabuhan mulai ramai. Saya langsung saja menuju loket tiket. Sebab dari pengalaman, pembelian tiket berebut, desak-desakan, tidak antre. Baru ada dua calon penumpang di sana. Seorang adalah guru saya di SMP, seorang lagi saya tak kenal tapi ia datang bersama guru saya. Kami mengobrol kira-kira limabelas menit. Selama itu, waktu tak terasa bergerak.

Namun, kebosanan segera menghampiri saya. Siapa yang suka menunggu tanpa kepastian? Perjalanan jauh dari Jogja membuat saya capek berdiri lama-lama di depan loket. Tidak ada informasi kapan loket akan buka. Di kaca loket hanya ditempel informasi harga tiket dan waktu pemberangkatan kapal. Pegawai yang memakai seragam Kementrian Perhubungan hanya berjalan mondar-mandir tanpa rasa bersalah. Mereka tak memberi penjelasan yang amat penting: kapan loket akan buka? Setidaknya, dengan informasi yang jelas, calon penumpang yang sudah bergerombol di situ bisa punya pertimbangan melakukan hal lain yang mendesak. Pergi ke toilet, misalnya.

Setelah loket dibuka, pelayanannya bikin tangan mengelus-elus dada. Ada dua lubang tiket, tapi yang masuk ruangan hanya satu orang. Teman-temannya yang lain, juga berseragam Kementrian Perhubungan, mondar-mandir tak jelas. Akibatnya, pembelian tiket menjadi lama. Padahal, ruangan itu sebetulnya masih mampu untuk melayani tiga lubang tiket. Calon penumpang yang mulai tidak keruan berdesak-desakan di depan loket juga dibiarkan. Apakah para pegawai Dinas Perhubungan di Sumenep tidak mempunyai standar operasional yang mengikat? Masa’ antrean tiket saja dibiarkan semrawut? Kalau begini bagaimana kapal perintis bisa diandalkan?

Usut punya usut, orang yang memakai seragam Kementrian Perhubungan yang kerjaannya dari tadi hanyalah mondar-mandir, ternyata melayani pembelian tiket melalui pintu belakang. Orang yang berada di dalam ruang tiket santai saja memberikan beberapa lembar tiket padanya dan menerima uang dengan tangan, tidak kalah santainya. Itu dilakukan di pintu belakang loket dan terlihat jelas oleh calon penumpang yang sedari tadi mengantre. Setelah mendapatkan lembaran tiket itu, ia menyerahkannya ke seseorang – segera saya tahu orang itu adalah guru di SMA Negeri 1 Gayam. SMA satu-satunya di pulau Sapudi.

Ironisnya, orang-orang yang mengantre itu tidak terlihat kesal. Mereka seperti menerima saja hal itu. Apakah ini memang menjadi sebuah kebiasaan? Apakah mereka menganggap orang yang punya uang berlebih pantas menerima pelayanan berbeda?

Sapudi memang semakin terlihat maju sejak adanya kapal perintis yang beroperasi dua kali dalam seminggu. Orang-orang yang merantau ke Jakarta sudah bisa pulang membawa mobil. Namun, di sisi lain, pebisnis perahu penumpang juga menjadi tipis pemasukannya. Hal ini memang sering luput dari rencana pengembangan kapal perintis. Usaha lokal dibiarkan mati dan disuruh berjuang sendiri mencari pekerjaan pengganti. Manajemen tiket yang menguntungkan orang-orang yang lebih berduit semakin menunjukkan adanya ketidakadilan.

Semoga saja pergantian bupati tahun ini bisa membuat kepulauan Sumenep menjadi lebih diperhatikan. Semestinya sudah mulai dipikirkan untuk memilih raja Sumenep yang perhatian dengan pengelolaan dan transportasi laut. Karena, apabila sadar, sebagian besar wilayah Sumenep adalah hamparan laut.