Kategori
Politik Society

Pilkada Jember: Yang Terpenting di Masa Pandemi adalah Keselamatan

Dalam pembukaan Forum Festival 2020, Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud menyatakan bahwa tujuan terpenting di masa pandemi hari ini adalah keselamatan. Keselamatan yang dimaksud oleh Hilmar bukan hanya tentang usaha menurunkan jumlah korban Covid-19 dan menemukan vaksin, tapi juga tentang bagaimana menyusun tata kehidupan baru yang menempatkan faktor keselamatan sebagai dasar desain kehidupan. Sebab pola kehidupan kita hari ini menempatkan pemburuan harta sebanyak-banyaknya sebagai motivasi utama, sehingga faktor lingkungan, ikatan sosial, dan kekeluargaan dikesampingkan. Kita tidak bisa terus hidup dengan pola kehidupan seperti hari ini. Jika pun vaksin Covid-19 sudah ditemukan, tak ada jaminan pandemi-pandemi selanjutnya tak datang lagi.

Menurut Hilmar, pola hidup new normal atau kebiasaan baru mestinya tidak hanya dimaknai sebagai adaptasi pada kehadiran virus, misalnya dengan menyusun hal-hal yang seharusnya dilakukan agar terhindar dari virus (menjaga jarak, memakai masker, rajin cuci tangan, dll). New normal adalah membenahi hal-hal mendasar dalam kehidupan yang akan membuat tempat kita hidup, bumi, tetap bisa ditinggali. Misalnya, Hilmar memberi contoh, perlunya pembenahan besar-besaran di sektor pertanian dan peternakan. Sebab sudah banyak penelitian yang menunjukkan hubungan yang sangat erat antara sistem pertanian-peternakan yang tidak berkelanjutan (mementingkan penumpukan profit dibandingkan pemenuhan kebutuhan hidup) dengan kemunculan berbagai virus baru.

Pandemi tidak hanya membuat orang terpapar virus, sakit, dan bahkan sudah banyak yang mati. Pandemi juga menyadarkan kita bahwa hal-hal mendasar yang membuat kita bisa terus sehat, nyaman bekerja dan beraktivitas, bisa berpikir jernih dan berkreasi, ternyata selama ini tidak kita urus dengan baik. Apa itu? Pertama, sistem layanan kesehatan. Hari ini mungkin masih banyak yang sepakat bahwa kesehatan adalah hak mendasar setiap manusia. Dalam prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), semua manusia berhak hidup. Namun, apakah prinsip dan kepercayaan kita ini menjadi dasar dalam desain layanan kesehatan? Masih sungguh jauh dari harapan. Ternyata kita tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk hidup.

Layanan kesehatan yang baik hanya bisa diakses dengan mudah oleh orang-orang yang banyak duit. Sementara yang miskin dan hampir miskin hanya bisa mengandalkan layanan kesehatan gratis dari negara yang layanannya tidak lengkap, ruwet, harus menunggu lama, dan hal-hal yang menguji kesabaran lainnya. Sebelum pandemi masalah ini tidak terlalu mendapat sorotan. Malah ada kecenderungan dianggap wajar. Namun, saat pandemi menghantam, ketika banyak karyawan dipecat oleh bosnya, ketika pemasukan bisnis seret, biaya kesehatan segera mencuat. Kelas menengah pun kena dampak pengelolaan dan infrastruktur layanan kesehatan yang buruk.

Yang kedua adalah sistem pendidikan. Masalah pendidikan mirip dengan masalah layanan kesehatan: sangat tidak terjangkau. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, per tahun 2019, hanya 9,98 persen pemuda yang menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi. Ini menyedihkan sekali. Bagaimana juntrungnya kita membiarkan hanya sekitar 10 persen anak muda yang bisa kuliah?

Ini bisa terjadi karena umumnya kita memandang perguruan tinggi hanya sebagai salah satu tahap yang perlu dilalui agar seseorang bisa mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, kita menganggap wajar bahwa yang bisa kuliah kebanyakan hanya yang punya banyak uang. Sudah biasa logika semacam ini hinggap di pikiran kita: kalau pengin dapat pekerjaan, ya investasi dong? Kuliah adalah investasi diri!

Pendidikan tidak bisa dilihat hanya sebagai kepentingan individu. Ada kepentingan kita sebagai masyarakat dalam dunia pendidikan. Di masa krisis ini, kepentingan tersebut terlihat lebih jelas. Bagaimana jika seorang anak tukang tambal ban di pedesaan Jember sebetulnya punya potensi kecerdasan untuk menemukan vaksin Covid-19, tapi karena ia tak mampu sekolah sampai perguruan tinggi, ia tidak bisa mengembangkan potensinya? Tidak hanya anak ini yang rugi. Tapi kita, sebagai sebuah bangsa, yang rugi. Kita menyia-nyiakan banyak sekali potensi sumber daya manusia yang bisa membuat hidup ini menjadi lebih baik.

Dari dunia sektor ini saja, kesehatan dan pendidikan, bisa dilihat bahwa desain kehidupan kita tidak berdasar pada tujuan keselamatan. Belum lagi kalau berbicara sektor pangan, perumahan, transportasi, dan hak-hak mendasar lainnya.

Topik tentang strategi keluar dari krisis Covid-19 ini ternyata juga muncul di debat Pilkada Jember yang dihelat pada hari Minggu (15/11). Panelis memberikan pertanyaan pada ketiga paslon, kurang lebih begini: Apa strategi Anda untuk mengoptimalkan APBD agar bisa membantu rakyat bangkit dari krisis yang dipicu Covid-19?

Paslon 01, Faida-Vian, memberikan jawaban yang tepat sasaran: APBD harus diatur sedemikian rupa untuk keselamatan rakyat. Penjabarannya yaitu dengan melanjutkan layanan kesehatan gratis, termasuk perluasan operasi gratis di Kabupaten Jember. Selain itu, program beasiswa bagi para pemuda, termasuk para santri, untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang sudah dikerjakan oleh Faida di periode pertamanya akan dilanjutkan dan diperluas. Rencana ini sesuai dengan prinsip keselamatan yang sudah diuraikan di atas. Jadi tidak hanya memperkecil jumlah korban Covid-19, tapi membenahi hak-hak dasar masyarakat.

Pasangan Hendy-Firjaun, paslon 02, menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, DPRD, Bappeda, BKPD, dan masyarakat dalam penyusun APBD, sehingga terbentuk rencana kerja yang ideal. Mereka juga bilang akan memfokuskan anggaran untuk pencegahan dan penanganan pandemi. Selain itu, pasangan ini juga berjanji akan memberikan bantuan modal kepada masyarakat sebagai daya ungkit kebangkitan ekonomi.

Walaupun menyebut penanganan pandemi, jawaban Hendy-Firjaun hanya menyasar permasalahan di permukaan, yang langsung nampak, yaitu banyak orang yang terkena virus. Mereka tidak membedah persoalan yang berada di balik layar, yaitu tidak terpenuhinya hak-hak dasar rakyat untuk hidup dan berbahagia yang kini semakin sulit didapatkan di masa pandemi. Bagi orang yang tidak terkena virus, menjalani hidup hari-hari ini tetap saja lebih sulit. Apalagi jika untuk mendapatkan hak-hak dasar saja mereka harus membeli.

Hendy-Firjaun malah mengumbar janji untuk langsung memberikan bantuan modal kepada masyarakat. Ini janji yang keliru. Di masa pandemi ini, menurut ekonom Chatib Basri, investasi dan pelonggaran kredit tidak signifikan untuk memulihkan ekonomi. Sebab daya beli dan minat konsumsi masyarakat masih begitu rendah. Yang pertama harus diselesaikan adalah masalah Covid-19, sambil memastikan rakyat tetap mendapatkan hak-hak dasar untuk hidup layak.

Sementara itu, terkait APBD, paslon 03 Abdussalam-Ifan akan membuat BUMD maju dan berkembang, dengan cara memberikan stimulus (aliran dana) untuk BUMD yang sudah ada dan akan membentuk beberapa BUMD baru. Abdussalam menyebut secara khusus BUMD di bidang pertanian dan pariwisata. Selain itu, mereka juga menjelaskan bahwa belanja modal harus menjadi pendorong bergeraknya sektor-sektor utama di Jember, agar target pertumbuhan ekonomi bisa tercapai. Seperti Hendy-Firjaun, paslon 03 ini juga menekankan pentingnya perencanaan APBD yang partisipatif, yakni dengan melibatkan masyarakat.

Entah karena tidak menyimak pertanyaan atau mencoba menghindar, paslon ini tidak membahas perencanaan APBD dalam konteks krisis akibat pandemi. Padahal moderator sudah memberi penekanan pada saat membaca pertanyaan, bahwa situasi hari ini dan hari esok sudah berbeda karena ada faktor Covid-19. Jawaban yang diberikan paslon 03 ini adalah jawaban umum yang biasa dilantunkan oleh kebanyakan calon kepala daerah. Tidak ada strategi untuk penanganan pandemi yang muncul. Janji untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui stimulus pemerintah sebetulnya mengulangi kesalahan jawaban yang diberikan paslon 02. Ekonomi baru bisa bergerak tumbuh lagi jika masalah kesehatan sudah bisa ditangani. Dan masyarakat akan kembali produktif jika sudah dipastikan hak-hak dasarnya terlayani.

Jawaban yang jelas dan tepat sasaran yang diberikan oleh paslon 01 rasanya tidak terlepas dari faktor pengalaman Faida yang sukses menjalankan periode pertamanya sebagai bupati. Ia benar-benar memastikan hak-hak dasar rakyat terpenuhi. Selain layanan kesehatan gratis dan beasiswa untuk belajar di perguruan tinggi, ia juga sukses menjalankan program 1 desa 1 ambulans. Seluruh desa di Jember, yang berjumlah 248 itu, semuanya diberikan jatah 1 ambulans. Bahkan di tiap-tiap kecamatan, yang berjumlah 31, juga disediakan ambulans. Keberadaan ambulans ini sangat krusial dalam pelayanan kesehatan di masyarakat, terutama masyarakat pelosok. Kecepatan dan kenyamanan perjalanan pasien memang menjadi salah satu kunci keberhasilan layanan kesehatan yang optimal. Pemenuhan hak-hak dasar di masa Covid-19 seperti ini perlu terus dilanjutkan dan ditingkatkan di kabupaten Jember, serta perlu diikuti oleh daerah-daerah lain.

Kategori
Beranda Politik Transportasi

Solusi Masalah Nasional Ada di Daerah

Satu waktu, saya berada di lapangan Blang Padang, Aceh. Saya ikut menyimak bagaimana Muktamar Muhammadiyah berlangsung, bertemu dengan penjual stiker yang (konon) selalu hadir dalam acara-acara besar.

Heran juga, kok hanya jualan stiker bisa keliling Indonesia dengan dagangan yang sepele. Toh, semua orang bisa berjualan stiker.

Saya juga sempat merasakan bagaimana “hidup” di jalanan lintas Sumatra di atas roda bus AKAP lintas pulau. Menikmati pergantian waktu dengan lagu dangdut dari satu kaset saja, sehingga hapal lirik lagu yang mengiringi perubahan waktu di sepanjang perjalanan.

Sungguh, perjalanan memberikan pengalaman yang terekam kuat di memori. Ada beragam bahasa, budaya, rasa kuliner dan tentu saja saujana alias bentang alam yang indah menyajikan hal baru, pemahaman baru dan kesadaran baru. Inilah negeriku, negeri yang memiliki keragaman, perbedaan, keberagaman. Negeri yang memiliki rentang jarak si kaya dan si miskin.

Di lain kesempatan, saya mendapatkan pengalaman bertemu dengan bahasa dan penutur yang berbeda. Membuat rasa perlunya belajar memahami aneka bahasa dan ekspresi dalam berkomunikasi.

Lewat perjalanan singkat dengan berbagai moda angkutan, berangkat dengan naik kapal laut dan menelusuri perjalanan darat di Sumatera, beberapa waktu lalu menyisakan kenangan dan ingatan.

Bangsa ini, melewati masa dan fase penting untuk mengelola keberagaman yang ada. Ada hal yang membuat semua yang berbeda menjadi bersatu.

Urusan beda pilihan menu makanan dan kebersamaan di meja makan atau kenduri untuk memohon dapat keselamatan dunia dan akhirat adalah hal biasa.

Ini baru soal makanan. Di sepanjang jalan lintas Sumatra bisa ditemukan perbedaan atap khas yaitu seng dan di Jawa dengan genteng tanah liat.

Di waktu yang lain Sulawesi Selatan,  menikmati kopi di Wajo,  mendengarkan obrolan warung kopi soal politik dan urusan keliling dapur. Jalur kereta api baru sampai Baru, itu entah apa kabarnya saat ini.

Makanlah olahan ikan yang lezat di Mimika, Timika, Papua. Ada kota modern Kuala Kencana, di sana tak jauh dari lapangan golf. Air bersihnya bisa langsung diminum. Ada juga pasar rakyat tempat mama-mama jualan hasil bumi dengan berjalan kaki.

Jangan bicara soal angkutan umumnya. Ada angkutan umumnya. Namun, terminalnya sepi dari aktivitas. Mobil angkutan umum hingga ke pelosok jauh dari kondisi ideal. Kalau menulis #ceritapinggirjalan bisa menemui mama-mama Papus jalan ke pasar untuk menjual petatas dan hasil bumi sayuran aneka rupa juga buah-buahan di sore hari.

Di masa pandemi, banyak dari kita terpaksa #dirumahsaja #jagajarak #pakaimasker. Namun kita terusik juga oleh minimnya kesadaran perubahan perilaku #hidupsehat.

Ada banyak kisah yang berhamburan di masa pemilihan kepala daerah, termasuk masalah lama yang bermunculan lagi. Mari jalan-jalan sejenak ke pelosok di luar Jakarta, di luar narasi newsroom media mainstream alam pikiran orang pusat. Mari nikmati dunia pelan, dunia milik orang biasa yang bersahaja.

Sampean sudah pernah ke Sumenep, mendengarkan kokok ayam gaoknya? Kalau belum mari sama-sama dolan sebentar ke daerah, bukan sebagai pejabat yang melakukan kunker.

Simak debatnya di pilkada Sumenep, asyik juga. Paslon 02 menawarkan pembangunan bandara, paslon 01 bilang akan menghubungkan pulau yang ada dengan angkutan pesawat. Keren ya?

Ada 270 pilkada, eman rasanya kalau hanya bicara masalah di pusat kuasa. masalah nasional beres kala masalah daerah, hadir solusinya.

Solusi apa yang penting dihadirkan, dijanjikan oleh para calon kepala daerah?

***

Rasanya kembali memastikan hadirnya pemenuhan hak-hak dasar bagi rakyat di daerah masih relevan diajukan. Hak dasar apa saja yang butuh segera diberikan?

Soal ini tentu tiap daerah punya karakter dan kebutuhan solusi kebijakan yang berbeda.

Semoga, momentum gelaran hajatan pilkada serentak benar-benar menghadirkan kepemimpinan yang dibutuhkan rakyat. Pemimpin yang memudahkan urusan rakyat mengakses dan mendapatkan hak-hak dasarnya.

Selamat memilih pemimpin daerah, semoga pandemi segera berlalu. Kita semua bisa leluasa lagi beraktivitas. Bangkit dari dampak keterpurukan.

Kategori
Kapital

Pilkada Sumenep: Mengatasi Kemiskinan Tidak Cukup Hanya dengan Pelatihan Wirausaha

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Sumenep menempati urutan kedua tingkat kemiskinan terburuk se-Jawa Timur. Jumlah penduduk miskin di Sumenep mencapai 19,48 persen di tahun 2019. Dengan jumlah total penduduk 1.085.227 jiwa, berarti ada 211.402 penduduk miskin di kabupaten ujung timur Madura ini. Selama masa pemerintahan Busyro-Fauzi, dari tahun 2016 sampai 2019, tingkat kemiskinan di Sumenep hanya turun sebesar 0,59 persen. Ini jauh dari rata-rata pencapaian penurunan tingkat kemiskinan di Jawa Timur yang sebesar 1.67 persen.

Tandanya, perlu ada kerja yang lebih keras dan perubahan tata kelola pemerintahan di kabupaten Sumenep khususnya dalam usaha menyejahterakan rakyat. Pilkada Sumenep di tahun ini, yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020, adalah kesempatan bagi rakyat Sumenep untuk menentukan siapa yang layak mengelola uang pajak mereka agar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Permasalahan kemiskinan ini menjadi salah satu topik yang diangkat di debat publik Pilkada Sumenep pada hari Selasa (10/11). Kedua calon sempat mendapatkan pertanyaan yang mirip dari para panelis terkait kemiskinan.

Achmad Fauzi, calon bupati nomo urut 01 yang hadir sendiri, ditanya tentang apa langkah konkretnya untuk membuat rakyat Sumenep lebih sejahtera dan mandiri dengan bertumpu pada kearifan lokal. Ia bilang akan melaksanakan program wirausaha mandiri berbasis pesantren dan wirausaha muda. Program ini untuk mendorong para santri dan para pemuda di Sumenep agar memiliki semangat dan keterampilan berusaha secara mandiri, sehingga tidak bergantung pada ketersediaan lapangan pekerjaan. Apalagi di masa pandemi yang berlarut-larut ini, lapangan pekerjaan terus berkurang drastis, bahkan PHK terjadi di mana-mana. Dengan memiliki jiwa wirausaha, diharapkan para santri dan pemuda bisa menemukan banyak peluang ekonomi baru yang efeknya juga bisa menumbuhkan ketersediaan lapangan kerja. Itu tawaran dari Fauzi.

Sementara itu, pasangan nomor urut 02 Fattah Jasin – Ali Fikri ditanya oleh panelis tentang apa strategi mereka untuk menurunkan angka kemiskinan di Sumenep. Menurut Fattah, 5-10 tahun lalu, tingkat kemiskinan di Sumenep belum termasuk yang paling parah di Jawa Timur. Namun kini, Sumenep menempati urutan paling bawah bersama kabupaten Sampang. Fattah menguraikan hal ini untuk menggambarkan bahwa pembangunan di Sumenep selama ini tidak mampu menyejahterakan rakyat. Sayangnya, Fattah tidak memberikan rencana yang jelas bagaimana mengatasi masalah ini. Ia hanya bilang bahwa kategori kemiskinan perlu lebih diperinci lagi, agar penanganannya lebih tepat sasaran. Di segmen-segmen selanjutnya pun, Fattah memberikan jawaban yang sama seperti Fauzi terkait pengentasan kemiskinan, yaitu dengan melaksanakan program wirausaha.

Mantra “wirausaha” dan “entrepreneur” memang digemari oleh para peserta pemilu beberapa tahun terakhir. Mulai dari calon bupati, walikota, gubernur, sampai level presiden, keranjingan menggunakan istilah-istilah tersebut untuk menarik para pemilih. Program “mencetak para pengusaha” sebetulnya memang bagus karena menambah ilmu dan keterampilan masyarakat untuk membangun usaha sendiri. Namun demikian, seringkali narasi ini digencarkan untuk menutupi kenyataan sesungguhnya yang sungguh buruk, yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi yang berefek pada minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan.

Di kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Indonesia, dan bahkan dunia, peningkatan kesejahteraan masyarakat memang dibuat bergantung pada pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Dengan pertumbuhan yang cepat, yang ditandai dengan banyaknya barang dan jasa yang ditransaksikan sehingga investasi mengalir deras, maka akan semakin banyak orang yang bisa bekerja, lalu penghasilannya naik, lalu hidupnya lebih sejahtera. Sebaliknya, jika pertumbuhan ekonomi melambat sedikit saja, maka masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah langsung kena dampak berupa hilangnya sumber penghasilan. Pola pikir seperti ini yang dipahami oleh para calon pejabat.

Padahal, permasalahannya bukan hanya sesederhana itu. Kita sebetulnya juga perlu bertanya, apakah kue ekonomi yang dihasilkan dari pertumbuhan ekonomi dibagi secara adil dan merata? Tentu saja jawabannya tidak. Kue ekonomi lebih banyak dilahap oleh para kelas ekonomi atas, yang mempunyai banyak modal dan aset. Sementara kelas menengah ke bawah hanya menadah remah-remah kue berupa lapangan pekerjaan. Hal inilah yang membuat kita harus terus membuat ekonomi melaju kencang, agar setidaknya remah-remah yang didapatkan kelas menengah ke bawah semakin banyak. Dan tentu saja kelompok ekonomi atas mendapatkan bagian yang semakin luar biasa banyak.

Pembagian kue ekonomi yang tidak adil inilah yang seharusnya menjadi program pembenahan para calon kepala daerah. Bagaimana membuat aktivitas ekonomi yang sudah berjalan bisa dinikmati oleh sebagian besar rakyatnya? Bagaimana kekuatan politik pemerintah daerah bisa memaksa usaha-usaha besar yang dimonopoli satu-dua orang tidak mengambil terlalu banyak kue ekonomi sehingga bisa dibagikan kepada rakyat agar terlepas dari kemiskinan? Bagaimana bupati dan wakil bupati membantu para pekerja swasta agar bisa punya saham di tempat kerjanya masing-masing?

Aktivitas ekonomi di kabupaten Sumenep, dan daerah-daerah lain tentunya, sebetulnya sudah cukup untuk menyejahterakan rakyat. Namun, hal ini tidak bisa terwujud karena pundi-pundi ekonomi diembat orang-orang rakus.

Pembenahan ekonomi secara struktural inilah yang seharusnya menjadi program dan nantinya dilaksanakan. Momentum krisis akibat Covid-19 yang berefek ke segala sektor seharusnya menjadi momen pembenahan besar-besaran. Hanya memberi pelatihan dan pendampingan wirausaha kepada tiap-tiap individu berarti hanya membekali dan memotivasi rakyat untuk mengais remah-remah ekonomi yang amat sedikit itu. Selama para pemodal besar tidak dikoreksi kuasa monopolinya dalam ekonomi, maka ide-ide usaha baru yang minim modal itu pada akhirnya akan dicaplok juga oleh gurita-gurita besar.