Kategori
Transportasi

Kisah Alur Pelayaran Dari Dua Masa

Sebagian peta lawas Nusantara
Oleh: Dandy IM

Mengemudi perahu susah bukan hanya karena ada ombak dan arus yang usil mengubah-ubah arah haluan tapi juga karena jalurnya yang tidak pasti. Karang yang kadang membentang begitu saja tanpa kabar membuat nakhoda perlu berhati-hati kalau ingin perahunya tidak kandas. Apalagi jika posisi nakhoda berada di buritan, ia perlu teman di haluan untuk memberikan instruksi arah perjalanan.

Hari itu saya tiba-tiba diajak teman mengunjungi Pulau Raas, Madura, yang berada di sebelah Timur sejauh satu jam perjalanan dari pulau tempat saya tinggal. Pulau itu kalau kau lihat di aplikasi peta digital akan tampak seperti daratan yang diseret dari suatu tempat yang tak terlalu jauh lalu terdampar di situ. Bebatuan yang kemudian menjadi jejeran karang seperti tercecer di sebelah Barat dan Utara pulau itu. Cerita rakyat memberi tahu bahwa pulau Raas dulunya menyatu dengan pulau di sebelah baratnya, Sapudi, tapi leluhur yang katanya sakti mandraguna tiba-tiba pengin membelah pulau menjadi dua. Namun, belahannya tidak seimbang. Pulau Raas mendapat bagian lebih sedikit. Hanya cukup untuk dijadikan satu kecamatan setelah zaman kemerdekaan. Sementara bagian Sapudi masih cukup untuk dijadikan dua kecamatan. Mungkin kesaktian leluhur itu belumlah cukup untuk mengangkat salah satu belahan pulau lalu meletakkannya di tempat yang diinginkan – mungkin juga beliau tidak berkenan. Setidaknya kan, kalau diangkat lalu diletakkan, Pulau Raas tidak perlu tercecer seperti itu. Tetapi fakta kemudian menunjukkan, barangkali setelah dibelah, daratan calon pulau Raas kemudian ditendang begitu saja ke Timur. Akhirnya, lautan yang memisahkan kedua pulau itu cukup dangkal dengan taburan karang tak beraturan yang menyebalkan.

Hamparan karang itulah yang mengganggu perjalanan laut saya dan penumpang lainnya – baiklah, sebetulnya penumpangnya hanya ada tiga: saya, adik saya, dan teman saya. Saya kira perahu akan segera sampai di Pulau Raas saat pasir di pantainya sudah terlihat jelas. Namun, si pengemudi tiba-tiba mengecilkan gas mesin perahu dan temannya berjalan ke arah haluan. Orang itu berdiri di haluan dan melihat ke sekeliling. Ia mencari celah di antara barisan karang. Pulau Raas memang terlalu jahanam dengan menghadirkan barisan karang di hampir sekelilingnya. Sehingga, untuk mencapai pelabuhan, para pengemudi perahu harus mencari suatu jalan yang tidak ada karangnya. Salah satu yang menjadi tanda ialah tiadanya ombak yang berbusa. Daerah yang dipenuhi karang memang akan membuat gulungan ombak dan timbullah buih-buih putih. Namun, itu belumlah cukup. Bisa saja laut di atas karang sedang tenang-tenang saja sehingga tidak timbul buih. Maka, orang yang berdiri di haluan tadi sangatlah penting perannya. Ia memberi aba-aba dengan tangan ke temannya yang berada di buritan dan memegang kendali.


Baca juga: Kisah Ibu Melalui Badai dan Pelabuhan Jahanam

Perahu yang kami tumpangi, setelah melewati sabuk karang, tiba-tiba berbelok lagi ke arah laut menjauhi daratan. Padahal kalau arah kapal dipertahankan lurus saja, sudah mengarah ke pelabuhan. Si pemegang kendali kemudian bilang bahwa arah lurus tadi akan menuju daerah laut yang dangkal. Dan benar saja, saat perahu menyisir laut agak jauh, saya berdiri dan melihat hamparan batuan di bagian laut yang lebih dekat dengan daratan. Untung saja si pengemudi perahu mengenal dengan baik laut ini.

Sayangnya, tidak hanya itu saja yang membuat penentuan alur pelayaran sangat menyulitkan. Masih ada faktor lain: pasang-surut. Alur yang digunakan saat perjalanan tadi ke Pulau Raas, ternyata tak bisa lagi digunakan ketika saya berlayar pulang ke arah Sapudi. Sebabnya, laut surut. Maka alur pelayaran awal terlalu dangkal untuk dilalui perahu. Sehingga, perahu lebih memilih alur pelayaran yang lebih jauh ke arah lautan. Salah satu awak perahu kembali berdiri di haluan dan mengabarkan dengan tangan kode untuk pengemudi di buritan. Gerak perahu seakan-akan menyerupai sepeda motor yang menghindar dari lubang yang bertebaran di jalan aspal. Ketika perahu sudah lepas dari ancaman karang dan nyaman di lautan dalam, gas mesin dibesarkan. Perahu siap menerjang ombak laut yang sedang membesar.


Awak kapal di haluan kapal memberi arahan ke temannya di buritan agar membelokkan perahu ke kiri.
Oleh: Dandy IM
Saya cukup beruntung kala itu karena perahu melewati karang secara jatmika. Teman saya, beberapa bulan yang lalu, tidak seberuntung itu. Perahu yang dikendarainya terdampar di seonggok karang. Perahu tak bisa ke mana-mana. Awak perahu juga tak tahu mesti berbuat apa. Satu-satunya yang bisa mereka jelaskan kepada penumpang: kita mesti menunggu sampai laut pasang. Menyebalkannya, Pulau Raas sudah tinggal kira-kira tiga kali pelemparan batu dan matahari sudah hampir bersembunyi. Gulita semakin mendekati. Satu-satunya keberuntungan waktu itu, kata teman saya, laut sedang bergerak pasang. Entah bagaimana menyedihkannya kalau laut waktu itu malah sedang dalam proses surut. Jahanamnya lagi – kau perlu tahu – perahu kayu tidak punya penerangan yang memadai. Ancaman gulita segera menjadi hantu yang berteriak-teriak di kepala.

Tak ingin kejadian semacam ini menimpa lagi, para pengemudi perahu di Pulau Raas menghafal dan belajar membaca tanda-tanda yang dapat membantu mereka dalam menentukan alur pelayaran. Informasi alur pelayaran menjadi penting.

Sebetulnya tidak hanya kesusahan saja yang dialami warga Raas karena hadirnya karang di sekeliling pulau mereka. Karang-karang itu juga menjadi pertahanan alami bagi pulau. Di bagian Utara dan Timur pulau Raas terdapat tidak kurang dari lima pulau yang lebih kecil dan penduduknya kadang-kadang usil ingin mencuri sesuatu di pulau Raas. Paling sering yang dicuri adalah hewan ternak, sapi atau kambing. Mereka datang membawa perahu. Saat sang pemilik tahu bahwa hewan ternaknya dicuri, ia langsung mengabarkan kerabat-kerabatnya. Karena pulau Raas yang relatif kecil, mereka kebanyakan adalah kerabat sehingga informasi pencurian segera tersebar cepat. Orang-orang langsung mengecek pantai yang dicurigai sebagai jalur yang digunakan para pencuri. Perahu para pencuri itu sebagian besar kandas saat ingin kabur. Mereka tidak menguasai alur pelayaran. Belum lagi laut yang memang sering tiba-tiba surut – orang Raas menyebutnya air maling. Kalaupun para pencuri itu bisa lolos, biasanya mereka tak sempat membawa hewan curian dan ditinggalkan di pantai.

Pentingnya informasi jalur pelayaran bukanlah hal baru. Jalur pelayaran sudah menjadi barang berharga sejak beberapa abad lalu. Misalnya, cerita dari abad ke-16 berikut.

Hampir limaratus tahun yang lalu, tepatnya tahun 1521, penjelajah Spanyol Sebastian del Cano berhasil membuat jalur rempah-rempah baru dengan membawa bumbu luhur itu langsung dari Maluku ke Eropa Barat. Ia memulai perjalanannya dari Tidore lalu ke Timor-timor, menyeberangi Samudra Hindia untuk sampai di ujung selatan Afrika, kemudian berlayar di Samudra Atlantik dan sampailah di Sevilla, Spanyol. Sejarah mencatat, perjalanan ini menjadi tanda pertama kalinya rempah (pala dan cengkeh) dibawa langsung dari Maluku ke Eropa Barat melalui jalur laut.


Baca juga: Apakah Raja-Raja Pesisir Berdagang?

Sebelumnya, rempah-rempah dari Maluku harus menempuh perjalanan yang lebih lama untuk sampai di pasaran Eropa. Setelah dipanen di Maluku Utara, rempah dikirim ke Hitu dan Banda, lalu ke pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa, pantai timur Sumatera, dan Selat Malaka. Di Malaka inilah perdagangan rempah-rempah terjadi dalam skala besar karena kondisinya sebagai kota perdagangan yang aduhai. Hubungan dagang yang baik dengan Gujarat membuat rempah-rempah dibawa ke India. Dari situ, rempah dibawa ke tanah Arab, lalu perjalanan berikutnya ke Eropa.

Penemuan alur pelayaran del Cano telah membuat jalur alternatif yang sangat berguna bagi perdagangan rempah. Biaya transportasi menjadi semakin murah. Rempah pun jadi semakin cepat sampai. Keuntungan lain, rempah bisa langsung dibeli di Maluku, tidak perlu melalui Malaka. Jalur pelayaran ini jugalah yang dipergunakan Belanda pada tahun 1596 untuk mendarat di Nusantara. Mereka menyusuri pantai Afrika dan berselancar di Selat Sunda. Jalur pelayaran menjadi modal utama para penjelajah Belanda untuk menggapai hasratnya. Seperti halnya Nami, rekan perjalanan Luffy di serial One Piece yang rela mencuri peta Grand Line dari Bajak Laut Buggy demi menambah pundi-pundi emasnya.


Dandy IM
PijakID
Kategori
Transportasi

Transportasi Laut Kepulauan Sumenep Madura Belum Berkeadilan

Sejak Suramadu dibuka tahun 2009, kapal feri jalur Kamal-Tanjuk Perak tentu kena imbasnya. Beberapa kapal dialihkan ke gugusan pulau di sebelah Timur pulau Madura yang perkembangannya tertinggal. Sebelumnya, kepulauan itu mengandalkan perahu kayu yang dikelola penduduk setempat. Meskipun, masih banyak pulau-pulau yang belum disinggahi kapal feri. Setelah hampir satu dekade, menarik untuk melihat keadaan pulau yang masih mengandalkan perahu kayu dan performa kapal perintis sebagai penyambung pulau-pulau itu.

Masih bertahan dengan perahu kayu

Pagi-pagi sekali sehabis subuh di hari Rabu, para pedagang menuju pelabuhan di pantai Selatan pulau Payangan. Tiga awak perahu juga telah bersiap. Mesin perahu sudah dipanaskan. Pedagang dan barang-barang yang mereka bawa diangkut dengan sampan kecil menuju perahu. Pemilik perahu memang sengaja tidak menambatkan perahunya di sisi dermaga, agar pemilik sampan kecil juga kebagian rezeki.

Pulau Payangan adalah salah satu dari seratus duapuluh tujuh pulau yang ada di Madura. Payangan termasuk yang kecil dibandingkan dengan yang lainnya. Namun, ia berpenghuni – beberapa pulau memang belum berpenghuni. Menariknya, pulau ini bahkan terlalu kecil untuk dijadikan desa. Sehingga, secara administrasi tingkat desa, ia menumpang ke pulau di selatannya, Sapudi. Seluruh Payangan adalah bagian desa Nonggunong yang terletak di pantai Utara pulau Sapudi. Jadi, kepala desa orang-orang Payangan ada di pulau lain.

Dengan kondisi semacam itu, orang Payangan menjadi sering berinteraksi dengan manusia Sapudi, khususnya yang berada di Nonggunong. Para pedagang di Rabu pagi itu, yang hendak pergi ke Pasar Nonggunong menjadi salah satu petunjuk adanya interaksi.

Hari sudah agak terang ketika para pedagang tiba di pasar Nonggunong. Sebetulnya, tidak semua yang ikut perahu itu adalah pedagang. Ada yang memang pergi ke pasar Nonggunong untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Para pedagang juga berbelanja untuk kebutuhan rumah tangganya sendiri. Mereka bertolak ke Payangan saat matahari mulai lengser ke Barat.

Gambaran geografi Pulau Payangan, Sapudi, dan Madura. Tanda panah menunjukkan jalur pelayaran dari Payangan ke Sapudi.
Grafis: Dandy IM

Ketersediaan perahu dan kenyamanan pelayaran menjadi sesuatu yang berharga bagi orang-orang Payangan. Itu adalah syarat agar kehidupan mereka tidak terisolasi dari dunia luar. Nestapa bagi mereka ketika musim badai datang. Perahu tidak berani berlayar. Terlalu besar guncangan yang diberikan ombak terutama pada haluan perahu. Akibatnya, barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari terlambat datang dan harganya pun melayang. Lauk yang menjadi pelezat makan pun berkurang pasokannya. Para nelayan tidak pergi melaut. Ikan-ikan raib dari menu hidangan.

Badai membuat jalinan ekonomi Payangan-Sapudi terputus. Apalagi hubungan dengan Kota Sumenep yang lebih jauh ke arah Barat Daya, lebih putus lagi. Pedagang di Sapudi berkurang pembelinya. Begitu juga pedagang dari Payangan. Mereka kehilangan kesempatan memasarkan barang dagangannya. Pembeli di masing-masing pulau otomatis juga kena imbasnya. Di saat-saat beginilah terasa benar pentingnya kapal penyambung antarpulau.

Baca juga: Membangun Pelabuhan Pada Abad Ke-16

Pemerintah Kabupaten Sumenep belum juga memberi solusi pada permasalahan ini. Tidak harus menyediakan kapal besi setiap minggu sebetulnya. Cukup dengan manajemen barang dan jadwal pelabuhan yang direncanakan dengan baik.

Saat ini, data dari Badan Meteorologi dan Geofisika sudah sedemikian apik. Data tersebut dapat dijadikan prediksi badai yang akan datang. Sehingga, misalnya, badai akan datang seminggu lagi. Segala kebutuhan primer semestinya dikirim ke pulau Payangan dan cukup untuk kebutuhan selama badai melanda. Mungkin dengan mengoperasikan kapal pengangkut barang pada saat itu saja. Sebab, penduduk pulau Payangan terlampau sedikit untuk diberikan layanan kapal setiap minggu. Secara ekonomi, hitung-hitungannya terlalu merugikan. Meskipun pada prinsipnya, kapal perintis lebih mengutamakan terbukanya akses bagi masyarakat ketimbang mencari keuntungan. Tetapi kita juga perlu realistis.

Semestinya hal semacam ini diterapkan juga ke pulau-pulau yang lebih jauh. Bukankah anggaran dari pemerintah pusat sejak tahun 2017 sudah memprioritaskan daerah yang berupa kepulauan?

Memperbaiki Manajemen Pelabuhan

Sehari sebelum tahun baru 2018, saya tiba di pelabuhan Kalianget, Sumenep, pukul enam pagi. Saya ingin pulang ke Sapudi. Pelabuhan mulai ramai. Saya langsung saja menuju loket tiket. Sebab dari pengalaman, pembelian tiket berebut, desak-desakan, tidak antre. Baru ada dua calon penumpang di sana. Seorang adalah guru saya di SMP, seorang lagi saya tak kenal tapi ia datang bersama guru saya. Kami mengobrol kira-kira limabelas menit. Selama itu, waktu tak terasa bergerak.

Namun, kebosanan segera menghampiri saya. Siapa yang suka menunggu tanpa kepastian? Perjalanan jauh dari Jogja membuat saya capek berdiri lama-lama di depan loket. Tidak ada informasi kapan loket akan buka. Di kaca loket hanya ditempel informasi harga tiket dan waktu pemberangkatan kapal. Pegawai yang memakai seragam Kementrian Perhubungan hanya berjalan mondar-mandir tanpa rasa bersalah. Mereka tak memberi penjelasan yang amat penting: kapan loket akan buka? Setidaknya, dengan informasi yang jelas, calon penumpang yang sudah bergerombol di situ bisa punya pertimbangan melakukan hal lain yang mendesak. Pergi ke toilet, misalnya.

Setelah loket dibuka, pelayanannya bikin tangan mengelus-elus dada. Ada dua lubang tiket, tapi yang masuk ruangan hanya satu orang. Teman-temannya yang lain, juga berseragam Kementrian Perhubungan, mondar-mandir tak jelas. Akibatnya, pembelian tiket menjadi lama. Padahal, ruangan itu sebetulnya masih mampu untuk melayani tiga lubang tiket. Calon penumpang yang mulai tidak keruan berdesak-desakan di depan loket juga dibiarkan. Apakah para pegawai Dinas Perhubungan di Sumenep tidak mempunyai standar operasional yang mengikat? Masa’ antrean tiket saja dibiarkan semrawut? Kalau begini bagaimana kapal perintis bisa diandalkan?

Usut punya usut, orang yang memakai seragam Kementrian Perhubungan yang kerjaannya dari tadi hanyalah mondar-mandir, ternyata melayani pembelian tiket melalui pintu belakang. Orang yang berada di dalam ruang tiket santai saja memberikan beberapa lembar tiket padanya dan menerima uang dengan tangan, tidak kalah santainya. Itu dilakukan di pintu belakang loket dan terlihat jelas oleh calon penumpang yang sedari tadi mengantre. Setelah mendapatkan lembaran tiket itu, ia menyerahkannya ke seseorang – segera saya tahu orang itu adalah guru di SMA Negeri 1 Gayam. SMA satu-satunya di pulau Sapudi.

Ironisnya, orang-orang yang mengantre itu tidak terlihat kesal. Mereka seperti menerima saja hal itu. Apakah ini memang menjadi sebuah kebiasaan? Apakah mereka menganggap orang yang punya uang berlebih pantas menerima pelayanan berbeda?

Sapudi memang semakin terlihat maju sejak adanya kapal perintis yang beroperasi dua kali dalam seminggu. Orang-orang yang merantau ke Jakarta sudah bisa pulang membawa mobil. Namun, di sisi lain, pebisnis perahu penumpang juga menjadi tipis pemasukannya. Hal ini memang sering luput dari rencana pengembangan kapal perintis. Usaha lokal dibiarkan mati dan disuruh berjuang sendiri mencari pekerjaan pengganti. Manajemen tiket yang menguntungkan orang-orang yang lebih berduit semakin menunjukkan adanya ketidakadilan.

Semoga saja pergantian bupati tahun ini bisa membuat kepulauan Sumenep menjadi lebih diperhatikan. Semestinya sudah mulai dipikirkan untuk memilih raja Sumenep yang perhatian dengan pengelolaan dan transportasi laut. Karena, apabila sadar, sebagian besar wilayah Sumenep adalah hamparan laut.