Kategori
Kapital Politik

Seberapa Efektif Jika Lockdown Ditetapkan di Indonesia?

Jagad media sedang gonjang-ganjing. Penyebabnya, publik semakin mendesak pemerintah untuk menerapkan lockdown atau karantina wilayah. Konsep ini dipercaya menjadi solusi paling ampuh untuk menghentikan penyebaran virus corona, yang sayangnya sering bertambah seiring dengan ramainya arus pergerakan manusia.

Beberapa negara seperti China, Italia, Prancis, Filipina, dan Malaysia telah menerapkan kebijakan tersebut demi membatasi pergerakan manusia. Meskipun demikian, beberapa negara seperti Korea Selatan dan Singapura berhasil menekan angka penyebaran tanpa melakukan karantina wilayah. Kedua negara ini lebih memilih untuk melakukan tes massal.

Karena penularannya melalui droplet atau percikan, membatasi jarak dan menghentikan sementara laju pergerakan manusia memang mampu menahan penyebaran virus yang lebih luas lagi. Namun, benarkah lockdown terbukti efektif menghentikan pandemi?

Memahami Konsep Lockdown

Secara umum, lockdown didefinisikan sebagai upaya untuk mengisolasi suatu wilayah agar populasi di dalamnya tidak keluar dari wilayah tersebut. Aturan ini bersikap temporer atau sementara, sehingga bisa dicabut sewaktu-waktu jika kondisi sudah dianggap membaik.

Meski bertujuan untuk mengisolasi wilayah, tetapi pada penerapannya tergantung kebijakan masing-masing kepala pemerintahan. Misalnya di Wuhan, China, lockdown diberlakukan secara total. Artinya, warga di sana tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah, beberapa ruang publik ditutup, transportasi umum dihentikan, dan tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan pribadi.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Meski bertujuan untuk mengisolasi wilayah, tetapi pada penerapannya tergantung kebijakan masing-masing kepala pemerintahan.[/mks_pullquote]

Sementara itu, lockdown di Italia dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak warganya. Meski ada anjuran untuk tetap berada di dalam rumah, warga masih tetap diperbolehkan pergi ke luar rumah. Apalagi jika memiliki alasan tertentu dan urgent, seperti membeli kebutuhan pangan.

Sayangnya, kebijakan lockdown yang dinilai cukup efektif untuk menangani pandemi, ternyata bisa menimbulkan masalah baru. Di India saja, meskipun PM Narendra Modi telah mengumumkan lockdown sejak 24 Maret 2020, alih-alih membatasi ruang gerak masyarakat, kebijakan tersebut justru menimbulkan chaos. Akibatnya, banyak orang kelaparan karena kesulitan mencari makanan. Pun tak sedikit pula para perantau yang mulai pulang kampung halaman karena sudah tidak memiliki penghasilan lagi.

Kebijakan lockdown mungkin bisa jadi solusi paling bagus untuk mereka yang sudah siap dan tentunya punya dana yang memadai. Namun jika tidak, alih-alih memerangi virus tak kasat mata ini, lockdown justru menimbulkan masalah baru, yaitu kelaparan dan kesenjangan sosial.

Lockdown atau Karantina Wilayah?

Meski wacana lockdown sudah digaungkan sejak outbreak pertama di Indonesia, tapi maknanya pun masih simpang siur. Kata Pak Mahfud sih, lockdown tidak sama dengan karantina wilayah. Menurutnya, lockdown mengacu pada pembatasan ketat di suatu wilayah dan melarang warga untuk keluar masuk dari wilayah tersebut. Sementara karantina wilayah adalah istilah lain dari physical distancing (pembatasan jarak fisik) dan masih memungkinkan warga untuk melakukan aktivitas seperti biasa.

Padahal menurut UU No. 6 Tahun 2018, karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit. Pun dalam postingan Instagram @badanbahasakemendikbud disebutkan bahwa lockdown adalah padanan kata dari karantina wilayah. Meskipun demikian, karantina wilayah bisa juga diartikan sebagai pembatasan perpindahan orang dan kerumunan di tiap wilayah yang telah ditetapkan. Nah lho, makin bingung kan 😦

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Menurut UU No. 6 Tahun 2018, karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit. [/mks_pullquote]

Mungkin saja yang dimaksud Pak Mahfud adalah perbedaan anggaran biaya. Apabila lockdown ditetapkan maka negara lah yang harus menanggung semua hajat hidup warganya tanpa terkecuali karena mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Namun, jika “karantina wilayah” yang ditetapkan, maka negara terbebas dari kewajiban menanggung biaya hidup warganya. Plus, warga juga masih diperbolehkan melakukan aktivitas seperti biasa meski ada pembatasan, sehingga roda ekonomi pun akan tetap berputar.

Efektif Sih, tapi…

Saya kembali terngiang dengan kutipan Presiden Ghana, Nana Akufo Addo, tentang kebijakan lockdown di negaranya. Kutipan yang terasa menyejukkan di tengan wabah COVID-19 ini pun menjadi viral di media sosial.

Tidak ada negara yang tidak mengalami kejatuhan ekonomi selama pandemi. Sekelas Wall Street saja sempat tumbang lebih dari 4% sejak Presiden Donald Trump memperingatkan bahwa korban meninggal akibat virus corona di AS bisa terus meningkat. Bursa Efek Indonesia juga pernah menghentikan perdagangan saham selama 30 menit karena IHSG anjlok 5% ke level 3.000. Kedua contoh tersebut adalah bukti bahwa baik negara maju atau negara berkembang atau negara miskin sekalipun pandemi tetap membuat perekonomian terombang-ambing.

Saya paham, lockdown memang akan membuat perekonomian ambruk. Bahkan belum resmi diberlakukan karantina wilayah saja sudah banyak perusahaan yang “merumahkan” karyawannya. Industri pariwisata dan perhotelan juga sudah melakukan efisiensi karena terancam gulung tikar.

Meskipun demikian, saya lebih setuju apabila lockdown ditetapkan. Semakin cepat diberlakukan pembatasan wilayah, maka semakin cepat pula kita move on dari pandemi. Saya sadar, saya bisa saja kehilangan pekerjaan dan penghasilan jika lockdown benar-benar ditetapkan. Namun, bukankah selama karantina negara wajib menanggung dan menyuplai semua kebutuhan warganya? Pun mereka yang kehilangan pekerjaan, akan mendapatkan santunan dari negara.

Selain itu, pemerintah saat ini hanya kebanyakan mengimbau physical distancing tanpa disertai sanksi tegas. Duh, kaya nggak paham aja deh sama kelakuan warga negara +62. Larangan saja banyak yang dilanggar, apa lagi kalau hanya sebuah imbauan?

Opsi lockdown juga semakin masuk akal mengingat bahwa kita harus melandaikan kurva penyebaran virus corona. Ini krusial banget lho karena penyakit COVID-19 masih tergolong baru, belum ada obat apalagi vaksinnya, sementara fasilitas kesehatan dan tenaga medis sangat terbatas. Lagipula, mereka yang sedang sakit juga butuh waktu kan buat sembuh dan agar rumah sakit tidak overload?

Namun, mengingat karakter masyarakat Indonesia, rasanya lockdown masih belum dijadikan keputusan yang tepat. Meskipun begitu, pemerintah tetap harus melakukan pengawasan ketat jika opsi physical distancing atau “karantina wilayah” ditetapkan. Jangan cuma mengeluarkan imbauan dan arahan saja atau malah berharap semua warga bakal disiplin. Percuma kalau tidak dibarengi dengan ketegasan mengatur laju pergerakan manusia.

Yang ada kita justru semakin bertanya-tanya: kapan ya mimpi buruk ini berakhir?