![]() |
Walau sore masih rintik, warga melihat jembatan Nganggen yang runtuh. Kerusakan ini membuat akses mereka ke desa sebelah harus melalui jalan yang lebih jauh. Foto: Dandy IM |
Jembatan Nganggen, di Bantul, DIY, runtuh terbawa banjir pada Selasa (28/11). Hanya tersisa fondasi jembatan yang termangu sendirian. Balok jembatan, kerikil, dan aspal berguling-guling terbawa aliran air. Itu terjadi di siang hari yang gulita. Saat tetesan hujan masih terjun bebas. Hilangnya jembatan itu membuat dua desa, Tamantirto dan Bangunjiwo, menjadi terpisah.
Kejadian ini menjadi sangat krusial – meski terjadi di wilayah pinggiran. Sebab pada prinsipnya, sekali jalan dibangun, tidak boleh ditutup. Makanya, ketika ada perbaikan, jalan tak boleh ditutup sama sekali. Separuh badan jalan tetap harus disediakan bagi para pengendara.
Dugaan awal akan cepat menyalahkan konstruksi jembatan. Terutama orang-orang yang hanya memantau kejadian lewat layar yang hanya segenggam. Media arus utama juga tidak memberikan penjelasan yang tuntas. Seakan-akan ini hanyalah keruntuhan jembatan biasa di desa yang biasa-biasa saja. Esok atau lusa, kita sudah lupa.
Mungkin jembatan itu memang dibangun asal-asalan dan tidak ada perawatan. Tetapi, banjir yang menggenang sampai 40 meter dari bibir sungai jelas bukanlah beban yang wajar bagi jembatan Nganggen. Bentang jembatan yang hanya 15 meter tentu bukan lawan sepadan bagi terjangan arus banjir sebesar itu.
![]() |
Grafis: Ridwan AN |
Lalu, kenapa terjadi banjir? Mengapa di daerah yang masih banyak sawah dan permukimannya tidak padat tergenang air? Apakah hujan yang tak henti-henti selama dua hari menjadi penyebab utamanya?
Intensitas hujan yang tinggi memang menjadi penyebab. Namun, dengan menyadari bahwa genangan air itu tidak tenang-tenang saja, tapi mengalir sepanjang bantaran sungai, tentu bisa disimpulkan bahwa ini adalah banjir kiriman. Topografi Jogja yang miring dari Utara ke Selatan, membuat kita paham dari mana banjir itu datang.
Lebar sungai di bawah jembatan Nganggen sekitar 8 meter. Dengan lebar sebesar itu dan bentuk tampang sungai yang mendekati trapesium, dapat diperkirakan debit maksimum yang dapat ditampung adalah 11 meter kubik per detik.
Untuk mengukur perkiraan debit banjir yang terjadi, perlu penelusuran DAS (Daerah Aliran Sungai) di daerah hulu (sebelah Utara) Jembatan Nganggen. DAS adalah daerah yang berpengaruh terhadap volume air yang mengalir di sungai. Sederhananya, air hujan yang jatuh di daerah ini, setelah melalui saluran atau mengalir di dalam tanah, akan bermuara di sungai. Berikut hasil penelusuran tim riset Pijak menggunakan Afri GIS.
![]() |
Grafis: Ridwan AN |
Luasan DAS yang ditinjau oleh tim riset Pijak adalah 673 hektare. Dari luasan ini, 479 hektare berupa perumahan padat, gudang/pabrik, dan jalan (warna merah). Bila dirata-rata, koefisien limpasan daerah semacam ini adalah 0,9. Artinya, apabila menggunakan drainase konvensional yang anti-air, maka 90 persen air hujan akan mengalir ke sungai. Sedangkan luas sisanya berupa sawah seluas 194 hektare (warna hijau). Untuk daerah sawah, besarnya koefisien limpasan adalah 0,6. Sehingga, air yang mengalir keluar dari sawah menuju sungai sebanyak 60 persen.
Baca juga: Mencegah Banjir Sejak Dari Rumah
Hujan yang mendera daerah Jogja dari Senin (27/11) sampai Selasa (28/11) yang nyaris tanpa jeda itu, membuat intensitas hujan menjadi tinggi, sekitar 300 mm. Dengan intensitas hujan sebesar ini, dan koefisien limpasan serta luas DAS yang sudah dijelaskan sebelumnya, perkiraan debit yang akan diterima sungai di Jembatan Nganggen sebesar 19 meter kubik per detik. Maka, ada air sebesar 8 meter kubik per detik (19 dikurangi 11) yang tidak dapat ditampung oleh sungai. Kelebihan air inilah yang menggenangi sawah di kiri-kanan sungai, dan merusak tanamannya. Aliran air ini jugalah yang memberikan tekanan tambahan pada jembatan Nganggen. Tekanan terus menerus dari aliran air ini membuat jembatan runtuh. Sebab jembatan itu tidak didesain menahan aliran air sebesar itu.
Semoga ulasan ini dibaca oleh para manusia yang mendirikan bangunan di Utara jembatan Nganggen. Karena, kiriman air hujan dari bangunan-bangunan itulah yang sejatinya menyebabkan runtuhnya jembatan tersebut – sekaligus membuat dua desa terpisah. Keputusan para penghuni rumah itu untuk membuang saja air hujan yang jatuh di genteng rumah mereka melalui saluran atau jalan aspal telah membuat para petani hanya bisa memandangi tanamannya yang porak-poranda diterjang banjir. Tidak hanya itu, kiriman banjir dari bangunan asal-asalan itu telah mengancam para penghuni rumah di sekitar jembatan. Mereka takut jiwa dan harta bendanya diterjang banjir yang semakin meninggi.
Kali ini jembatan Nganggen yang runtuh. Bisa saja esok, lusa, bulan depan, atau tahun depan, giliran bangunan publik lain di Selatan Jogja yang binasa. Itu bisa saja terjadi jika pendirian bangunan di daerah pusat Kota Jogja terus berlangsung secara sporadis.
Kondisi semacam ini semestinya tidak dibiarkan. Perlu gerak bersama untuk mengubah cara pandang kita. Air hujan yang mendarat di atap rumah kita, itu menjadi milik kita. Sebaiknya kita simpan saja. Selain karena limpasan air itu mengancam orang lain yang berada di wilayah yang lebih rendah, air juga mulai langka. Tidak cukupkah kabar kekeringan di berbagai daerah menjadi pelajaran bagi kita untuk mulai menyimpan persediaan air? Meskipun kita tinggal di kota, yang pasokan airnya mungkin aman, tapi air hujan juga bisa mengurangi kadar pencemaran di sekitar rumah. Dengan meresapkan air hujan, limbah-limbah yang bersembunyi di dalam tanah sekitar rumah menjadi lebih encer.
Apabila masih ngotot untuk tidak mengubah pola pendirian bangunan, lalu apakah mau mengganti rugi berbagai kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh air kiriman dari rumah kita? Namun, jika pun kita malah lebih suka mengganti beragam kerusakan itu, daripada mencegahnya, berarti kita masih terjebak di kubangan yang sama. Kita masih lebih suka memperbaiki kerusakan daripada mencegahnya (mitigasi). Kita masih lebih tertarik untuk kelayapan saat bencana terjadi daripada memikirkan solusi agar kejadian itu tidak terulang lagi.