Kategori
Transportasi

Transit Oriented Development yang Tidak Diceritakan Pemerintah

Transportasi adalah komponen penting dalam mendukung ekonomi. Pakar ekonomi menyebut transportasi sebagai kendaraan untuk memperkencang laju perekonomian. Ekonomi merupakan aktivitas yang sangat dipengaruhi oleh transaksi. Kebutuhan produksi, distribusi, dan konsumsi masyarakat digerakkan oleh perpindahan barang dan jasa. Oleh karena itu, transportasi menjadi hal krusial dalam kemajuan ekonomi. Manfaat transportasi secara ekonomi meliputi perpindahan orang, perpindahan barang, menjaga stabilitas harga barang, meningkatkan ekonomi wilayah, perkembangan wilayah, serta menjaga stabilitas harga.

Transportasi secara langsung tidak bisa menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Perencanaan transportasi yang baik dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, yang selanjutnya membuat orang mudah untuk bertransaksi sehingga dapat menurunkan angka kemiskinan.

Perencanaan transportasi harus mempertimbangkan aspek lingkungan, hal ini dikarenakan lingkungan memberikan keuntungan bagi kelangsungan hidup manusia dalam bentuk jasa ekosistem. Jasa ekosistem yang dimaksud adalah pemberian udara segar, air, makanan, perlindungan terhadap iklim, dan lain-lain. Di sisi lain transportasi memberikan dampak negatif yang cukup besar bagi lingkungan.

Konflik kepentingan yang saling bertolak belakang ini tentu saja jika tidak diatur, pasti transportasi yang akan menang dikarenakan permintaan akan transportasi terus meningkat. Oleh karena itu, perencanaan transportasi harus dapat mengelola dan meminimalisisr dampak dari pembangunan transportasi sehingga planet bumi dalam jangka panjang tetap menjadi planet yang layak huni.

Salah satu upaya dalam meminimalkan dampak dari pembangunan adalah dengan merencanakan transportasi dengan prinsip transportasi berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Penerapan pembangunan berkelanjutan di bidang transportasi adalah dengan cara membangun suatu sistem transportasi yang berkelanjutan dengan cara mengatur penggunaan bahan bakar, emisi kendaraan, tingkat keamanan berkendara, kemacetan, serta akses sosial dan ekonominya tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak dapat diantisipasi generasi yang akan datang.

PERENCANAAN TRANSPORTASI BERKELANJUTAN

Perencanaan transportasi berkelanjutan memiliki dua sisi yang harus diperhatikan, yaitu mengontrol permintaan dan penawaran dalam bertransportasi. Transportasi bukanlah barang ekonomi utama yang dapat berdiri sendiri tanpa ada faktor lain yang mempengaruhi. Tinggi atau rendahnya permintaan dan penawaran transportasi tergantung dengan seberapa besar kegiatan ekonomi yang akan ditunjang oleh transportasi tersebut.

Apabila dikaitkan dengan transportasi berkelanjutan yang ramah lingkungan, maka pengendalian permintaan dan penawaran bisa dijabarkan menjadi pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dan mengajak masyarakat untuk menggunakan transportasi umum. Bersamaan kedua hal tersebut menjadi suatu konsep yang terkenal dengan nama push and pull policy yaitu mendorong masyarakat untuk pindah ke transportasi umum.

Selain menimbulkan kemacetan, kendaraan pribadi juga menimbulkan polusi udara dan kebisingan. Energi yang digunakan untuk kendaraan pribadi pun jauh lebih besar. Ilustrasinya, emisi dari kendaraan pribadi adalah 10 dan kendaraan bus adalah 100. Memang bus lebih besar emisinya, tapi ia dapat menampung 50 orang. Jadi emisi per orang pada kendaraan pribadi adalah 10 sedangkan pada kendaraan bus hanya 2.

Tentu saja apa pun kondisinya kendaraan umum tidak akan bisa mencapai kenyamanan dan kemudahan kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi bisa membawa penumpang dari pintu ke pintu, sedangkan kendaraan umum hanya bisa membawa penumpang dari poin ke poin. Untuk itu diperlukan sinergi antara tata ruang dengan transportasi umum, karena pada ujungnya penumpang harus tetap berjalan kaki/bersepeda untuk bertransportasi dari poin menuju pintu rumahnya.

Jakarta sudah menerapkan tranportasi yang berkelanjutan dengan mengembangkan jaringan-jaringan transportasi umum seperti BRT, LRT, MRT, dan angkutan kota. Transportasi umum tersebut kemudian dibantu dengan ojek daring maupun dengan disiapkannya tempat park and ride di sekitar simpul-simpul transportasi.

Lebih jauhnya lagi, pengelolaan transportasi harus diintegrasikan dengan tata ruang yang baik. Tata ruang perumahan yang berklaster-klaster tentu saja akan menyulitkan untuk bertransportasi dengan transportasi umum dikarenakan jarak dari rumah menuju halte-halte sangat jauh. Oleh karena itu, ada sebuah konsep pengembangan wilayah yang mempertimbangkan konektivitas. Konsep ini disebut Transit Oriented Development (TOD).

TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT

Transit Oriented Development (TOD) pada dasarnya adalah memastikan orang dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain menggunakan transportasi umum. Contohnya adalah seseorang dapat menggunakan transportasi umum dari kos di Yogyakarta sampai dengan rumah di Jakarta, semua tanpa terputus dari transportasi umum massal (bukan menggunakan taksi atau ojek daring).

TOD yang sering didengar di berita pada umumnya berkutat pada pembangunan apartemen dan mall di sekitaran lokasi transit. Pada esensinya TOD bukan hanya sekadar membangun pusat pemukiman dan perbelanjaan yang diserahkan pada pengembang besar yang berorientasi terhadap profit, namun justru menyiapkan ekosistem lingkungan yang kondusif untuk masyarakat dengan harga yang terjangkau.

transit oriented development
Konsep TOD

TOD berdasar pada delapan konsep utama yang harus diintegrasikan bersama-sama. Ketika kedelapan faktor ini dilaksanakan bersama-sama, maka layanan transportasi akan menjadi lebih nyaman serta kegiatan ekonomi akan semakin berkembang. Delapan konsep tersebut adalah connect, compact, transit, densify, mix use, cycle, shift, dan walk.

Connect berarti perencanaan TOD menghubungkan manusia dengan kebutuhannya. Kebutuhan tersebut bisa berupa barang dan jasa, maupun sekadar bertemu dengan manusia lainnya. Bayangkan dengan perencanaan perumahan sekarang yang terletak sangat jauh dari pusat transaksi ekonomi sehingga manusia tidak punya rasa saling terkoneksi dengan lingkungannya.

Compact dimaksudkan agar masyarakat tinggal di tempat yang rapat dan efisien. Rapat dalam hal ini maksudnya adalah di dalam radius yang dekat, manusia dapat memenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang, pangan, papan, hiburan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Densify mengajak orang untuk membangun bangunan tempat tinggal ke arah vertikal. Semakin padat penduduk maka permintaan akan barang dan jasa per luasan daerah akan semakin tinggi, sehingga akan masuk akal untuk toko-toko layanan barang dan jasa untuk berjualan di tempat tersebut. Semakin baik dan menarik lingkungan tersebut maka akan semakin banyak pula toko yang berjualan.

Mix used membuat orang tidak perlu berjalan/bepergian jauh untuk memenuhi kebutuhannya. Perencanaan daerah komersil akan lebih baik jika skalanya kecil namun terdapat banyak orang yang berjualan. Misalkan saja daripada mempunyai 1 hypermart lebih baik memiliki 20 minimart yang tersebar di lingkungan. Pemenuhan kebutuhan ini harus dapat dijangkau dalam walking distance rata-rata orang Indonesia yaitu 300 meter.

Kegiatan bersepeda sangat efektif untuk bertransportasi di dalam lingkungan. Jika jarak berjalan kaki terlalu jauh, maka bersepeda menjadi alternatif lain. Terkadang rute bus tidak menjangkau tempat yang ingin kita tuju dan tidak efisien dalam berpindah. Dengan sepeda kita bisa langsung menuju tempat yang kita inginkan tanpa menggunakan kendaraan pribadi. Bahkan jika menggunakan sepeda lipat, banyak layanan transportasi yang sudah memperbolehkan membawa sepeda di atas kendaraan.

Tramsit menjadi penting dalam perencanaan TOD. Berjalan kaki dan bersepeda sangat efektif dalam bertransportasi di dalam lingkungan, namun jika memikirkan keberlanjutan transportasi dalam satu kota, maka transportasi umum menjadi kunci utama dalam perpindahan. Stasiun/halte transit harus menjadi bagian dari lingkungan dan direncanakan nyaman untuk dijangkau. Akan tidak masuk akal apabila perencanaan stasiun/halte berada di pinggir tol, karena stasiun/halte menjadi tidak aksesibel bagi masyarakat.

Shift merencanakan perpindahan antara satu moda dengan moda lainnya. Moda jarak jauh harus terintegrasi dengan layanan komuter, layanan komuter harus terintegrasi dengan moda yang lebih kecilnya atau tersedia layanan pejalan kaki yang nyaman.

Akses pejalan kaki tidak hanya cukup untuk dibangun infrastruktur dasarnya saja, walau pun trotoar untuk pejalan kaki adalah akses dasar namun butuh rekayasa sosial untuk orang mau berjalan kaki. Pernahkah kalian melihat pedestrian sangat nyaman dan tidak panas namun jarang ada yang mau berjalan di trotoar tersebut? Ini dikarenakan trotoar tersebut belum memenuhi empat aspek berjalan kaki yang nyaman, alasan, keamanan, kenyamanan, menarik.

Orang harus punya alasan untuk berjalan kaki, yaitu karena menggunakan kendaraan umum akan lebih tidak nyaman daripada berjalan kaki. Tempat berjalan kaki harus aman dari kejahatan maupun dari kendaraan bermotor. Tempat pejalan kaki juga harus nyaman dengan jalan yang bagus dan tidak panas. Serta tempat pejalan kaki harus menarik, oleh karena itu kita tidak nyaman berjalan di sepanjang Jalan Kaliurang dan nyaman berjalan di Malioboro, karena Malioboro menawarkan pemandangan yang membuat kita terdistraksi dengan perjalanan kita sendiri.

Permasalahan saat ini adalah pusat-pusat pengembangan TOD diserahkan kepada swasta yang berorientasi keuntungan, sehingga sangat tidak masuk akal bagi swasta untuk mengembangkan wilayah yang begitu mahal harga tanahnya untuk kalangan menengah dan bawah. Pada akhirnya area TOD tadi hanya berisi pemukiman mewah serta mall kelas atas.

Perencanaan kawasan TOD harus ada intervensi pemerintah di dalamnya. Ini untuk menekan harga properti di sekitaran kawasan transit agar dapat lebih dijangkau oleh masyarakat. Ingat transportasi yang baik dapat meningkatkan efesiensi ekonomi yang mana peningkatan kesejahteraan lebih dibutuhkan oleh kalangan menengah dan bawah agar terjadi pemerataan ekonomi.

Intervensi pemerintah dalam penanganan masalah transportasi adalah untuk menghindari biaya tinggi pada layanan transportasi. Layanan transportasi yang mahal membuat isolasi secara geografis, sosial, dan ekonomi yang mana akan berpengaruh pada masyarakat miskin. Di daerah pedesaan, ketidaktersediaan layanan transportasi membuat logistik pertanian terhambat, kurangnya kesempatan kerja bagi pekerja sektor non-pertanian, serta akses pada layanan sosial. Pada daerah urban, mahal dan susahnya proses bertransportasi membuat pertumbuhan kendaraan pribadi menjadi meningkat. Untuk membuat masyarakat menjadi beralih ke transportasi umum, maka harus direncanakan pula integrasi transportasi publik dari level desa sampai antar-negara.

INTEGRASI TRANSPORTASI PUBLIK

Integrasi transportasi publik merupakan serangkaian ekosistem transportasi dari yang paling mikro sampai yang paling makro. Integrasi transportasi ini mengatur dari perjalanan antar-desa sampai dengan perjalanan antar-negara. Untuk mendukung transportasi yang berkelanjutan, maka konektivitas simpul-simpul transportasi ini harus diperhatikan.

Integrasi transportasi dapat dilihat dari dua jenis pola perjalanan. Pertama, pola perjalanan antar-daerah. Kedua, pola perjalanan pelaju (commuting). Perjalanan antar-daerah bergantung pada moda pesawat, kereta api, kapal penyebrangan, kapal laut, Bus AKDP maupun AKAP, dan angkutan danau. Perjalanan pelaju atau (commuting) bergantung pada angkudes, angkot, KRL, MRT, LRT, BRT, dan lain sebagainya.

Integrasi antar-moda dirancang untuk berada berdekatan atau dalam satu wilayah yang sama. Ini membuat masyarakat diberikan kemudahan untuk berpindah moda dan mengurangi risiko keinginan untuk menggunakan kendaraan pribadi untuk melanjutkan perjalanan. Jaringan transportasi dimulai dari dibangunnya akses pedestrian yang baik menuju halte-halte pengumpan, lalu dari halte pengumpan itu diteruskan ke titik simpul transportasi untuk kemudian dapat berpindah antar-simpul.

Perencanaan transportasi yang inklusif tidak dapat diberikan sepenuhnya kepada swasta, biaya yang besar untuk pengembangan transportasi membuat investor tidak tertarik untuk mengembangkan jaringan transportasi tersebut. Untuk itu perlu peran pemerintah sebagai pemilik perusahaan yang memastikan bahwa jasa transportasi dapat dipenuhi dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.

Pada akhirnya, kunci dari perencanaan transportasi adalah keputusan politik para penguasanya. Usaha dari masyarakat saja tidak cukup untuk membuat konsep TOD ini menjadi berhasil, apalagi jika pemerintahnya tidak paham apa yang dimaksud dengan TOD, maka yang dibangun hanya apartemen dan mall mewah yang mana akan semakin menyulitkan akses bagi masyarakat menengah dan miskin

Kategori
Society Transportasi

Memahami Hak dan Kewajiban Pesepeda di Jalan

Kegiatan bersepeda populer kembali di tengah wabah. Hal ini dikarenakan bersepeda merupakan pilihan olahraga yang berisiko rendah terhadap penularan virus karena dilakukan di luar ruangan. Namun di luar bahasan tentang virus, banyak kegaduhan di antara warganet yang mengomentari fenomena ini baik secara positif maupun negatif. Terutama kejadian-kejadian di jalan raya yang melibatkan pesepeda.

Kategori
Society

Jalan yang Berubah Jadi Sungai Saat Hujan Kok Dianggap Biasa

Kota memang ajaib. Ketika di desa sungai terbentuk dari proses alami, di kota bisa dibikin. Tidak ingin sungai yang biasa-biasa, orang-orang cerdas di kota membangun sungai yang mulus. Beda sekali dengan sungai di desa yang penuh batu dan lumpur. Saking mulusnya, dasar sungai yang dilapisi aspal itu dapat dilewati roda kendaraan. Palingan satu saja kekurangan sungai artifisial di kota: airnya cuma muncul pas hujan deras.

Barangkali ada sensasi tersendiri jika menggunakan kendaraan di atas aspal yang digenangi air hujan. Melihat cipratan air dari ban seru juga sih. Tapi itu kan bikin basah diri sendiri dan orang lain. Belum lagi jika kendaraan yang kita pakai gampang macet kalau lewat genangan. Merepotkan. Selain itu, menurut para ahli, jalan aspal yang digenangi air, akan mudah rusak saat dilewati kendaraan. Aspalnya jadi lunak kali ya.

Kalau dipikir-pikir sih, orang-orang cerdas di kota nggak bakal membuat jalan aspal punya fungsi ganda jadi sungai kalau tahu bakal cepat rusak. Makanya dibikinlah saluran di samping jalan-jalan itu. Harapannya, air yang jatuh di badan jalan aspal akan segera masuk ke selokan. Kalau jalannya tidak tergenang, tentunya akan lebih awet.

Sayangnya, rencana pembangunan tak melulu sama dengan pelaksanaan. Bisa kita amati dengan mudah. Seberapa layak sih lubang di pinggir jalan yang tugasnya mengarahkan air ke selokan? Tiap seratus meter, ada berapa? Seberapa besar? Apakah lubang tersebut tidak ketutupan?

Sialnya lagi, di kota, air yang mengalir di jalan tidak hanya berasal dari air hujan yang jatuh di badan jalan. Ada kiriman ternyata. Dari mana? Dari atap bangunan yang berada tepat di pinggir jalan.

Pemandangan air hujan jatuh dari atap bangunan lalu mengalir ke jalan sangat mudah kita jumpai. Dan mudah pula kita maklumi. Kita bisa menemukannya di jalan-jalan besar maupun di jalan sempit. Bangunan di pinggir jalan berlomba-lomba ingin menjadi paling banyak menyumbang air hujan ke sungai aspal di depannya.

Orang cerdas di kota tahu, selokan di pinggir jalan didesain dan dibangun hanya untuk menampung air hujan yang jatuh di badan jalan. Tapi orang cerdas lain di kota saling berebut mendirikan bangunan pusat jual-beli yang paling dekat dengan jalan. Lalu berpikir tentang bangunannya sendiri. Gimana biar ga banyak genangan di sekitar bangunannya. Pilihan yang paling banyak diambil ialah membeton halaman toko dengan kemiringan yang mengarah ke jalan. Selain membuat nyaman para pengunjung memarkirkan kendaraannya, air yang jatuh di sekitar toko langsung meluncur ke jalan. Berkah bagi sungai aspal karena mendapatkan suplai air hujan.

Orang cerdas di kota tuh banyak. Makanya kemudian ada yang bersuara: janganlah jalan aspal dijadikan sungai. Biarlah air hujan mengalir di sungai-sungai betulan saja, jangan yang buatan. Orang cerdas jenis ini meminta para pemilik bangunan pinggir jalan bertanggung jawab pada seluruh air hujan yang jatuh di tempatnya. Air hujannya jangan sampai keluar dari area bangunan! Barangsiapa yang masih mengeluarkan air aliran hujan, kena denda! Terserah bagaimana caranya. Air hujan itu diolah terus digunakan. Diserapkan ke dalam bumi. Dibikin kolam renang. Terserah.

Tentu saja banyak yang sinis sama ide orang cerdas di atas. Dengan kepadatan bangunan di pinggir jalan, bagaimana mungkin tidak mengeluarkan air hujan sama sekali? Kalau mau diserapkan ke dalam tanah, bakal sekuat apa tanah menampungnya?

Orang sinis ini menyarankan ide lain. Gimana kalau kita terima saja bahwa jalan aspal itu punya fungsi ganda sebagai sungai di musim penghujan. Kalau toh itu bikin kita kesusahan dan mendapatkan kerugian, mungkin saja itu memang cobaan dari Sang Pencipta. Barangsiapa senantiasa sabar dengan ujian di dunia, kelak di hari kemudian akan dibalas surga.

Kategori
Society

Sampah, Sampah, Sampah, Kalau Banyak Mau Jadi Apa?

Sejauh pengamatan saya, tercatat dua kali media nasional telah memberitakan penutupan Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Pada tahun 2018 Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi mengancam akan menutup TPS Bantar Gebang. Kemudian, baru-baru ini terjadi pemboikotan TPST Piyungan, Bantul oleh warga sekitar.

Boikot tersebut membuat sampah pada TPS-TPS kecil yang ada di perumahan atau di pasar menumpuk. Tumpukan sampah ini menimbulkan pemandangan yang tidak elok dan bau yang mengganggu.

Menurut Detikcom, warga menutup TPST Piyungan karena truk-truk yang membawa sampah merusak jalan kampung. Selain itu, tumpukan sampah di TPST tersebut menimbulkan bau yang menyengat ketika musim hujan.

Penutupan TPS oleh warga sejatinya adalah akibat dari pengelolaan sampah yang kurang baik. Sebenarnya apa saja yang membuat sampah bisa menumpuk sampai sebuah kota kewalahan untuk mengurusi sampah-sampah tersebut?

Penyebab tumpukan sampah bisa disebabkan oleh berbagai hal. Penumpukan sampah bisa terjadi karena berlebihnya sampah dibandingkan kapasitas tampungan sampahnya. Kemudian, kurangnya tempat pengelolaan kembali sampah yang bisa didaur ulang.

Integrasi antar-daerah juga terkadang bermasalah. Contohnya, DKI Jakarta kan membuang sampahnya di TPS Bantar Gebang, Bekasi. Jika birokrasi antara kedua Pemda tidak harmonis, maka kejadian boikot TPS kapan saja bisa terjadi.

Permasalahan tata ruang wilayah menjadi induk dari permasalahan-permasalahan tersebut. Sistem zonasi seharusnya diatur dengan baik sehingga di tempat pembuangan sampah tidak ada pemukiman dengan radius tertentu, sehingga masyarakat tidak terganggu dengan aktivitas TPS.

Tata ruang ini tidak hanya mengatur posisi TPSnya saja, tapi juga jalur transportasi truk agar semaksimal mungkin tidak melewati pemukiman warga. Infrastruktur prasarananya pun perlu diperhatikan dengan seksama agar tidak terjadi kerusakan-kerusakan jalan yang tidak diinginkan.

Solusi Permasalahan Sampah

Solusi permasalahan sampah bisa dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah dari sisi masyarakat kemudian pendekatan kedua dilakukan dari sisi pemerintah.

Hal yang bisa dilakukan masyarakat adalah mengurangi sampah dengan gerakan zero waste, yaitu mengurangi penggunaan bungkusan plastik pada setiap belanja. Zero waste juga bisa dengan cara memanfaatkan sisa bahan makanan untuk dimasak agar tidak semerta-merta dibuang ke tempat sampah.

Mulai membiasakan diri untuk tidak meminta plastik jika hanya berbelanja sedikit dan membawa tas belanjaan jika memang ingin belanja dengan jumlah banyak. Faktor kali dari gerakan ini pasti akan berdampak besar terhadap volume sampah yang terbuang.

Sampah juga harus dipilah dan benar-benar dibuang sesuai dengan kategori. Harapannya, sampah organik dapat diproses kembali menjadi bahan organik. Sampah plastik dan sampah lain yang bisa didaur ulang akan masuk ke tempat daur ulang. Baru nanti residu atau sampah sisa yang masuk ke TPS.

Solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan menata ulang TPS dengan pemukiman warga agar tidak terjadi komplain di kemudian hari. Perbaikan infrastruktur jalan akses juga harus diperhatikan. Pengelolaan sampah ini harus terintegrasi dari mulai perumahan sampai dengan TPS akhir.

Sampah selalu menjadi tantangan di daerah urban maupun rural. Pemerintah dan masyarakat harus menyesuaikan sistem pengelolaan sampah sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Integrasi yang baik antara pengelolaan dan pengurangan sampah diharapkan dapat mengurangi permasalahan sampah di kemudian hari.

Kategori
Infrastruktur

Banjir, Penanganan vs Perencanaan

Intensitas hujan yang belakangan tinggi membuat banjir terjadi di beberapa daerah baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hujan memang memiliki peranan penting dalam proses terjadinya banjir. Namun, di balik kejadian banjir, ternyata tersimpan sebab akibat yang kompleks mulai dari sisi teknis, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain.

Jika kita ingin membahas penanganan banjir, maka kita perlu melihat permasalahan secara utuh. Kita tidak bisa melihat fenomena banjir hanya dari satu sudut pandang saja.

Penanganan banjir yang komprehensif artinya adalah kita melihat fenomena banjir dari satu siklus hidrologi yang utuh. Apabila kita melihat hanya dari satu sampel daerah saja, jelas, penanganan banjir tidak bisa terjadi secara berkelanjutan.

Jika air hujan yang berubah menjadi limpasan langsung terlalu banyak dan sungai-sungai tidak bisa menampung debit air, maka air akan meluap. Inilah yang menyebabkan banjir. Kebanyakan masyarakat membahas penyebab banjir hanya sekadar masalah membuang sampah di sungai saja. Hal itu memang benar. Tetapi untuk perencanaan yang lebih komprehensif, sebenarnya ada hal yang lebih penting.

Daerah rural (desa) harus bisa lebih banyak menyerap air hujan ke dalam tanah. Penyerapan air ini juga dalam rangka menjaga kestabilan air tanah. Jika air tidak terserap, maka jangan heran akan terjadi kekeringan. Proses banjir memang tidak bisa dilepaskan dari dampak kekeringan nantinya.

Misal saja jumlah air yang melimpas ke daerah urban tinggi karena air dari daerah rural tidak terserap. Maka, daerah urban yang cenderung sudah menjadi perkotaan akan menerima air dalam jumlah besar dan tidak dapat ditampung, atau dalam bahasa kerennya “banjir kiriman”.

Fenomena ini dapat dijelaskan dari dua sisi, dari sisi rural maupun dari sisi urban. Daerah urban merupakan daerah yang menarik orang datang karena prospek perekonomiannya bagus. Akibatnya, pembangunan daerah urban tersebut tidak dapat terkendali dan semakin padat.

Di sisi lain, lemahnya penegakan hukum dalam masalah koefisien bangunan dan perencanaan wilayah, membuat alih fungsi lahan di daerah rural begitu masif. Tanah pertanian yang sangat baik dalam menyerap air hujan banyak yang berubah jadi permukiman.

Pengembangan wilayah juga tidak bisa lepas dari ego masing-masing daerah. Ego inilah yang membuat daerah-daerah rural menjadi berkembang menuju daerah urban. Tidak ketatnya peraturan pemerintah dalam mengatur tata ruang membuat hal-hal seperti ini dapat terjadi.

DKI Jakarta memang dirancang untuk menjadi wilayah perkotaan dan Kota Bogor menjadi daerah rural. Berkembangnya metropolitan membuat pembangunan Jakarta mulai menyasar pinggiran seperti Tanggerang, Bekasi, dan Bogor. Oleh karena itu, Bogor mau tidak mau harus mengembangkan wilayahnya menjadi penyokong ibukota.

Permasalahannya, Bogor juga berfungsi sebagai daerah rural yang tugasnya adalah menjaga volume air agar tidak langsung terlimpas ke Jakarta. Dengan adanya pembangunan dan alih fungsi menjadi perkotaan, maka tugas tersebut otomatis akan menjadi hilang.

Bahkan daerah Puncak dan Cisarua yang tadinya banyak lahan terbuka, berubah menjadi tempat rekreasi dengan pembangunan yang berkembang cepat. Semakin berkuranglah daerah resapan air yang harusnya menahan laju dan volume air ke Jakarta.

Penanganan banjir bisa dilakukan dengan dua cara. Menggunakan rekayasa teknik atau membuat perencanaan wilayah yang baik. Rekayasa teknik membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan tidak bisa berkelanjutan, tapi ini perlu dilakukan jika pelaksanaan tata ruang terlanjur buruk.

Sementara itu, cara yang paling “murah” adalah dengan penegakan hukum tata ruang yang baik. Proses perizinan harus diperketat oleh pemerintah daerah setempat, guna menjaga siklus air agar terjaga dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas kita akhirnya paham. Banjir ternyata bukan hanya menjadi permasalahan warga yang buang sampah sembarangan atau hujan yang tiada henti. Peran pemerintah pun di sini sangat krusial dalam perencanaan tata kota agar siklus air dapat berjalan dengan baik.

Kategori
Beranda

Banjir Bukan Salah Hujan

Paling mudah memang menyebut hujan deras sebagai penyebab banjir. Namun, sikap ini tidak membawa kita pada jalan untuk memahami persoalan. Mengapa? Karena hujan toh segitu-gitu aja. Tidak bertambah atau berkurang secara signifikan. Memang dewasa ini kita semakin mahfum bahwa terjadi perubahan iklim di bumi ini. Akan tetapi, hal itu tak membuat jumlah hujan yang turun pada hari dan jam tertentu berubah drastis.

Sayangnya, penjelasan tentang penyebab banjir dari lembaga pemerintah sering hanya mentok di frasa “terjadi hujan deras”. Kalau penjelasan ini muncul sesaat setelah ada kejadian banjir, bisa dimaklumi. Sebab, pemerintah mungkin memang belum tahu secara pasti apa penyebab banjir yang sedang terjadi. Namun, kalau berhari-hari kemudian tak kunjung ada penjelasan apa penyebab banjir sesungguhnya serta bagaimana pemerintah dan kita, masyarakat, harus menyelesaikannya, patut kita bertanya apakah pemerintah serius mau menyelesaikan masalah banjir atau tidak?

Media, yang semestinya menjadi anjing penjaga aktivitas pemerintah, malah juga sering hanya puas melahap penjelasan “terjadi hujan deras”. Bukannya menjadi anjing yang menggonggong kalau para pegawai rakyat tidak menjalankan amanat rakyat, Media hanya menjadi pengeras suara. Cuma jadi microphone. Revolusi 4.0 yang sering kita dengar seakan tak mengubah cara kerja dan pola pikirnya. Padahal perkembangan digital memberikan kemudahan bagi pekerja Media untuk belajar, mehamami konteks, dan menyimpan memori kejadian banjir. Sehingga, ketika suatu saat terjadi banjir, Media dapat menggunakan pisau pengetahuannya untuk membedah peristiwa, serta membantu publik dan pemerintah memahami banjir berdasarkan ingatan kejadian-kejadian sebelumnya.

Bagaimana pemerintah bisa memberi penjelasan yang tuntas soal banjir? Pertama, simpan dan susun dengan baik data yang berhubungan dengan banjir. Seperti: curah hujan, kualitas drainase, serta penggunaan lahan dan perubahannya. Pekerjaan ini sekarang lebih mudah dengan bantuan teknologi komputer dan informasi. Jika ini dilakukan, pemerintah bisa punya data potensi banjir yang lengkap dan detail, bukan hanya asumsi umum saja. Hal ini juga akan membantu pemerintah dalam melakukan langkah pencegahan. Jadi tidak hanya bekerja pas terjadi banjir saja.

Selain untuk keperluan kerja pemerintah, data tersebut semestinya juga dibuka seluas-luasnya pada publik. Agar publik tahu dan bisa berkontribusi baik pemikiran maupun perbuatan untuk penyelesaian banjir. Selain karena hari ini adalah era keterbukaan informasi, bukankah hakikat demokrasi adalah partisipasi rakyat yang tinggi dalam urusan publik? Mengingat, sampai hari ini pemerintah belum cukup terbuka soal data bencana.

Kedua, meningkatkan kualitas petugas inspeksi banjir. Orang-orang inilah yang akan mengumpulkan fakta di lapangan lalu melaporkannya. Bagaimanapun, beragam data sekunder pada bagian pertama tadi, mesti didukung oleh data primer (data terbaru) yang langsung diambil di tempat kejadian. Banyak hal yang bisa didapatkan oleh orang yang terjun ke lapangan, misalnya kapan banjir mulai terjadi (hari, jam, tanggal), berapa lama, seberapa tinggi air banjirnya, seberapa cepat air banjirnya mengalir.

Dan yang tak kalah penting, yang berhubungan dengan tulisan ini, yaitu melacak sumber banjir. Air banjir tersebut berasal dari mana? Pertanyaan ini yang akan mengantarkan kita pada penjelasan soal penyebab banjir. Misal, air banjir berasal dari air sungai yang meluap. Berarti sungai tak mampu menampung aliran air yang melewatinya. Apakah sungai tersebut mengalami degradasi (kerusakan)? Ataukah terjadi aliran permukaan yang lebih deras di bagian hulu akibat kerusakan lahan? Pertanyaan-pertanyaan ini yang selanjutnya mesti dijawab oleh tim inspeksi.

Ketiga, melatih para pegawai penyampai informasi banjir agar punya komunikasi publik yang baik dan efektif. Urusan banjir secara khusus, dan bencana alam secara umum, menyangkut nyawa manusia. Jika informasi tidak disampaikan dengan baik, atau penyampai informasi tak bisa membedakan mana saat serius mana bercanda, ujung-ujungnya masyarakat yang dirugikan. Dan dampaknya akan berkepanjangan: kita tak akan pernah belajar dari kesalahan dan banjir akan terus-terusan menerjang.

Saya kira kita perlu mengubah secara radikal cara pandang kita terhadap fenomena alam. Alam tak pernah salah. Ia hanya mengikuti hukumnya untuk mencari keseimbangan baru karena perubahan yang dibuat manusia. Seperti ujaran lawas: air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Jika tanah tak bisa lagi menyerap air hujan untuk dibawa ke tempat terendah (karena tanahnya sudah dibeton atau dipaving), niscaya air hujan akan menjadi limpasan yang siap menggenangi kumpulan rumah. Dan apakah kita terus akan puas dengan menganggap “hujan lebat” sebagai penyebab banjir? Kapan kita intropeksi diri pada apa-apa yang sudah kita bangun?

Kategori
Transportasi

Pendirian Bangunan Asal-asalan, Banjir Menerjang Jogja

Walau sore masih rintik, warga melihat jembatan Nganggen yang runtuh. Kerusakan ini membuat akses mereka ke desa sebelah harus melalui jalan yang lebih jauh.
Foto: Dandy IM

Jembatan Nganggen, di Bantul, DIY, runtuh terbawa banjir pada Selasa (28/11). Hanya tersisa fondasi jembatan yang termangu sendirian. Balok jembatan, kerikil, dan aspal berguling-guling terbawa aliran air. Itu terjadi di siang hari yang gulita. Saat tetesan hujan masih terjun bebas. Hilangnya jembatan itu membuat dua desa, Tamantirto dan Bangunjiwo, menjadi terpisah.

Kejadian ini menjadi sangat krusial – meski terjadi di wilayah pinggiran. Sebab pada prinsipnya, sekali jalan dibangun, tidak boleh ditutup. Makanya, ketika ada perbaikan, jalan tak boleh ditutup sama sekali. Separuh badan jalan tetap harus disediakan bagi para pengendara.

Dugaan awal akan cepat menyalahkan konstruksi jembatan. Terutama orang-orang yang hanya memantau kejadian lewat layar yang hanya segenggam. Media arus utama juga tidak memberikan penjelasan yang tuntas. Seakan-akan ini hanyalah keruntuhan jembatan biasa di desa yang biasa-biasa saja. Esok atau lusa, kita sudah lupa.

Mungkin jembatan itu memang dibangun asal-asalan dan tidak ada perawatan. Tetapi, banjir yang menggenang sampai 40 meter dari bibir sungai jelas bukanlah beban yang wajar bagi jembatan Nganggen. Bentang jembatan yang hanya 15 meter tentu bukan lawan sepadan bagi terjangan arus banjir sebesar itu.

Grafis: Ridwan AN

Lalu, kenapa terjadi banjir? Mengapa di daerah yang masih banyak sawah dan permukimannya tidak padat tergenang air? Apakah hujan yang tak henti-henti selama dua hari menjadi penyebab utamanya?

Intensitas hujan yang tinggi memang menjadi penyebab. Namun, dengan menyadari bahwa genangan air itu tidak tenang-tenang saja, tapi mengalir sepanjang bantaran sungai, tentu bisa disimpulkan bahwa ini adalah banjir kiriman. Topografi Jogja yang miring dari Utara ke Selatan, membuat kita paham dari mana banjir itu datang.

Lebar sungai di bawah jembatan Nganggen sekitar 8 meter. Dengan lebar sebesar itu dan bentuk tampang sungai yang mendekati trapesium, dapat diperkirakan debit maksimum yang dapat ditampung adalah 11 meter kubik per detik.

Untuk mengukur perkiraan debit banjir yang terjadi, perlu penelusuran DAS (Daerah Aliran Sungai) di daerah hulu (sebelah Utara) Jembatan Nganggen. DAS adalah daerah yang berpengaruh terhadap volume air yang mengalir di sungai. Sederhananya, air hujan yang jatuh di daerah ini, setelah melalui saluran atau mengalir di dalam tanah, akan bermuara di sungai. Berikut hasil penelusuran tim riset Pijak menggunakan Afri GIS.

Grafis: Ridwan AN

Luasan DAS yang ditinjau oleh tim riset Pijak adalah 673 hektare. Dari luasan ini, 479 hektare berupa perumahan padat, gudang/pabrik, dan jalan (warna merah). Bila dirata-rata, koefisien limpasan daerah semacam ini adalah 0,9. Artinya, apabila menggunakan drainase konvensional yang anti-air, maka 90 persen air hujan akan mengalir ke sungai. Sedangkan luas sisanya berupa sawah seluas 194 hektare (warna hijau). Untuk daerah sawah, besarnya koefisien limpasan adalah 0,6. Sehingga, air yang mengalir keluar dari sawah menuju sungai sebanyak 60 persen.

Baca juga: Mencegah Banjir Sejak Dari Rumah

Hujan yang mendera daerah Jogja dari Senin (27/11) sampai Selasa (28/11) yang nyaris tanpa jeda itu, membuat intensitas hujan menjadi tinggi, sekitar 300 mm. Dengan intensitas hujan sebesar ini, dan koefisien limpasan serta luas DAS yang sudah dijelaskan sebelumnya, perkiraan debit yang akan diterima sungai di Jembatan Nganggen sebesar 19 meter kubik per detik. Maka, ada air sebesar 8 meter kubik per detik (19 dikurangi 11) yang tidak dapat ditampung oleh sungai. Kelebihan air inilah yang menggenangi sawah di kiri-kanan sungai, dan merusak tanamannya. Aliran air ini jugalah yang memberikan tekanan tambahan pada jembatan Nganggen. Tekanan terus menerus dari aliran air ini membuat jembatan runtuh. Sebab jembatan itu tidak didesain menahan aliran air sebesar itu.

Semoga ulasan ini dibaca oleh para manusia yang mendirikan bangunan di Utara jembatan Nganggen. Karena, kiriman air hujan dari bangunan-bangunan itulah yang sejatinya menyebabkan runtuhnya jembatan tersebut – sekaligus membuat dua desa terpisah. Keputusan para penghuni rumah itu untuk membuang saja air hujan yang jatuh di genteng rumah mereka melalui saluran atau jalan aspal telah membuat para petani hanya bisa memandangi tanamannya yang porak-poranda diterjang banjir. Tidak hanya itu, kiriman banjir dari bangunan asal-asalan itu telah mengancam para penghuni rumah di sekitar jembatan. Mereka takut jiwa dan harta bendanya diterjang banjir yang semakin meninggi.

Kali ini jembatan Nganggen yang runtuh. Bisa saja esok, lusa, bulan depan, atau tahun depan, giliran bangunan publik lain di Selatan Jogja yang binasa. Itu bisa saja terjadi jika pendirian bangunan di daerah pusat Kota Jogja terus berlangsung secara sporadis.

Kondisi semacam ini semestinya tidak dibiarkan. Perlu gerak bersama untuk mengubah cara pandang kita. Air hujan yang mendarat di atap rumah kita, itu menjadi milik kita. Sebaiknya kita simpan saja. Selain karena limpasan air itu mengancam orang lain yang berada di wilayah yang lebih rendah, air juga mulai langka. Tidak cukupkah kabar kekeringan di berbagai daerah menjadi pelajaran bagi kita untuk mulai menyimpan persediaan air? Meskipun kita tinggal di kota, yang pasokan airnya mungkin aman, tapi air hujan juga bisa mengurangi kadar pencemaran di sekitar rumah. Dengan meresapkan air hujan, limbah-limbah yang bersembunyi di dalam tanah sekitar rumah menjadi lebih encer.

Apabila masih ngotot untuk tidak mengubah pola pendirian bangunan, lalu apakah mau mengganti rugi berbagai kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh air kiriman dari rumah kita? Namun, jika pun kita malah lebih suka mengganti beragam kerusakan itu, daripada mencegahnya, berarti kita masih terjebak di kubangan yang sama. Kita masih lebih suka memperbaiki kerusakan daripada mencegahnya (mitigasi). Kita masih lebih tertarik untuk kelayapan saat bencana terjadi daripada memikirkan solusi agar kejadian itu tidak terulang lagi.

Dandy IM
PijakID