Kategori
Politik Society

Mengkritisi RUU Ketahanan Keluarga: Keluargaku Bukan Urusanmu, Bos!

Saya baru saja menamatkan buku State of Ibuism atau Ibuisme Negara dalam versi bahasa Indonesia. Buku yang ditulis oleh Julia Suryakusuma, seorang feminis intelektual Indonesia, ini secara gamblang memaparkan kejahatan yang dilakukan oleh Orde Baru, terutama yang berhubungan dengan perempuan. Orde Baru dengan sengaja memunculkan konstruksi “perempuan ideal” yang kemudian menjadi stigma dan dipercayai orang-orang hingga saat ini. Perempuan ala Orde Baru didefinisikan memiliki peran hanya sebatas pada bidang domestik saja. Dengan kata lain, Orde Baru berusaha mengkonstruksikan tugas utama seorang perempuan adalah menjadi istri dan juga ibu bagi anak-anaknya.

Adanya organisasi perempuan seperti Dharma Wanita dan PKK bukan serta merta untuk semangat pemberdayaan, tetapi dimaksudkan hanya untuk kepentingan penguasa belaka. Organisasi ini didirikan untuk memenuhi salah satu syarat perolehan bantuan dana dari luar negeri, yang tentu saja dananya tidak sampai ke anggotanya akibat korupsi berdalih “biaya administrasi”. Struktur hierarkinya pun tidak berdasarkan prestasi perempuan itu sendiri, melainkan mengikuti jabatan yang diemban oleh suami-suami mereka. Misalnya, istri Menteri Dalam Negeri akan selalu menjadi Ketua PKK dalam lingkup kementrian, istri Gubernur akan menjadi Ketua PKK setingkat provinsi, begitu seterusnya hingga level pedesaan. Meski telah menjabat menjadi Ketua PKK, seorang istri juga tidak bisa serta merta membuat keputusan secara mandiri. Ia tetap diharuskan meminta pertimbangan dari suaminya. Pun kegiatan yang dilaksanakan juga harus atas sepengetahuan kepala daerah yang bersangkutan a.k.a suami para ketua PKK.

Ibuisme negara yang diutarakan oleh Julia merupakan bentuk doktrin patriarki yang mengingkari peran perempuan. Mereka diwajibkan mengikuti kegiatan PKK yang kegiatan-kegiatannya sangat “rumahan” sekali. Pun mereka yang telah menjadi anggota PKK tidak bisa membuat keputusan secara mandiri, melainkan harus atas sepengetahuan pembina PKK alias suami dari Ketua PKK itu sendiri.

Pengingkaran “status” perempuan ini adalah dosa Orde Baru yang masih langgeng dan dilanggengkan sampai sekarang. Meski Orde Baru telah lama runtuh, tetapi pemerintah saat ini masih mengintervensi kehidupan warganya bahkan hingga ke ranah seksualitas seolah-olah warga tidak diizinkan untuk memiliki ruang privasi bagi dirinya sendiri. Pemerintah terus-terusan mengatur perilaku warganya melalui serentetan aturan yang berbelit-belit tanpa peduli apakah aturan tersebut bijak atau tidak.

Munculnya wacana RUU Ketahanan Keluarga adalah contoh bahwa pemerintah berusaha memasuki dan mengatur ranah privasi seseorang. Pemerintah sedang melakukan domestikasi perempuan dengan mengharuskan mereka untuk melayani suami, anak-anak, keluarga hingga masyarakat tanpa dibayar dan mendapatkan “status” atau kekuasaan yang sesungguhnya. Beberapa perempuan yang sudah mulai berdikari (berdiri di atas kaki sendiri alias mandiri) dianggap sebagai sebuah hal yang “abnormal”, sehingga peranannya akan selalu dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Salah satu persoalan RUU Ketahanan Keluarga yang memicu kontroversi dan perdebatan adalah pembagian kerja antara suami dan istri dalam keluarga. Pembagian kerja yang seharusnya berdasarkan kesepakatan, akan diatur melalui Pasal 25 yang berisi:

(2) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. sebagai kepala Keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan Keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan Keluarga;

b. melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;

c. melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta

d. melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.

(3) Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

b. menjaga keutuhan keluarga; serta

c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa tugas seorang istri adalah mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya sekaligus menjaga keutuhan keluarga. Sementara, suami didesak untuk menjadi kepala keluarga. Padahal dalam kehidupan rumah tangga, semua keputusan seharusnya didasarkan pada kesepakatan. Setiap orang yang berkontribusi dalam rumah tangga statusnya egaliter, tidak ada yang lebih berkuasa atau tidak berdaya. Jika istri memilih bekerja atau suami menjadi full time bapak rumah tangga seharusnya tidak menjadi masalah jika didasarkan pada kesepakatan bersama.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Padahal dalam kehidupan rumah tangga, semua keputusan seharusnya didasarkan pada kesepakatan. Setiap orang yang berkontribusi dalam rumah tangga statusnya egaliter, tidak ada yang lebih berkuasa atau tidak berdaya.[/mks_pullquote]

Meski RUU ini (katanya) tercipta sebagai bentuk kepedulian kepada tingkat perceraian, tapi nyatanya RUU tersebut justru memunculkan konstruksi “keluarga ideal” yang bias dan terkesan menutup mata pada kenyataan. Dalam Pasal 77 disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib memfasilitasi keluarga yang mengalami “krisis keluarga” karena tuntutan pekerjaan. Tuntutan pekerjaan yang dimaksud dalam ayat  2 antara lain adalah orang tua bekerja di luar negeri, kedua orang tua atau salah satu orang tua bekerja di luar kota, salah satu atau kedua orang tua bekerja dengan sebagian besar waktunya berada di luar rumah, atau kedua orang tua bekerja.

Sejujurnya, saya tidak suka dengan istilah “krisis keluarga” karena bagi saya setiap keluarga punya masalah dan kondisinya masing-masing. Jika kedua orang tua bekerja hingga jarang memiliki waktu bersama anak, itu bukan termasuk krisis keluarga melainkan karena himpitan ekonomi. Mohon diingat, ada persoalan kemiskinan struktural yang membuat setiap orang diharuskan bekerja hanya untuk sekadar makan dan bertahan hidup. Jika ada keluarga yang tidak utuh atau orang tua tunggal akibat perceraian, itu juga bukan termasuk krisis keluarga yang membahayakan dan dapat membawa perubahan negatif pada fungsi keluarga. Lah kalau suaminya pelaku KDRT bagaimana? Kalau salah satu orang tua meninggal bagaimana? Siapapun yang menciptakan istilah ini, saya cuma mau bilang, Anda itu beruntung lho punya keluarga utuh dan “ideal”. Jangan samakan kondisi Anda dengan orang lain!

Ditambah lagi, penyeragaman istilah “keluarga ideal” dikhawatirkan akan merusak pemahaman masyarakat tentang makna keluarga. Sekali lagi, tidak semua orang bisa dan beruntung memiliki keluarga “utuh” yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ada beberapa kondisi ketika satu keluarga hanya diisi satu orang tua atau tidak ada sama sekali. Ada juga orang tua yang dua-duanya bekerja demi tercukupinya kebutuhan sehari-hari bahkan terpaksa menjalani long distance marriage (LDM) karena tuntutan pekerjaan.

Aturan tersebut menandakan bahwa para pengusul ini tidak pernah bersosialisasi dengan masyarakat. Mereka menutup mata bahkan mengenyampingkan fakta keberagamanan sosial di masyarakat. Tidak semua orang seberuntung Anda Pak, Bu, yang memiliki keluarga harmonis dan selalu bisa menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Pun tidak semua orang bisa memilih di rumah saja tanpa dihantui rasa khawatir besok hendak makan apa.

Selain istilah “krisis keluarga” yang sangat keterlaluan ngawurnya, RUU ini juga sangat diskriminatif terhadap teman-teman LGBT. Dalam Pasal 85, “krisis keluarga” salah satunya diakibatkan karena penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual yang dimaksud salah satunya adalah homoseksualitas.

Padahal homoseksualitas merupakan salah satu orientasi seksual (selain heteroseksual dan biseksual) atau preferensi seksual yang tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin. Orientasi seksual biasanya terbentuk dari proses sosialisasi di dalam masyarakat dan bukan termasuk penyimpangan karena hanya berupa ketertarikan saja. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika, LGBT tidak termasuk penyakit atau gangguan mental. Sehingga, Pasal 87-89 yang menyatakan bahwa pelaku penyimpangan seksual (LGBT) wajib dilaporkan atau melaporkan diri ke badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan, menjadi tidak valid dan wagu. Lah mau diperiksa dan diobati bagaimana kalau LGBT saja bukan termasuk penyakit? Justru kaum LGBT inilah yang rentan terkena gangguan mental seperti depresi akibat persekusi yang dilakukan masyarakat.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Lah mau diperiksa dan diobati bagaimana kalau LGBT saja bukan termasuk penyakit? Justru kaum LGBT inilah yang rentan terkena gangguan mental seperti depresi akibat persekusi yang dilakukan masyarakat.[/mks_pullquote]

Toh pada tahun 1935, Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis yang menjadi pakar di dunia psikologi, sudah pernah bilang kalau homoseksualitas bukan penyakit. Makanya, beliau tidak menyarankan atau mendukung usaha-usaha penyembuhan terhadap homoseksualitas. Lhawong bukan penyakit kok mau disembuhin?

Tak hanya itu saja, dan ini kocak banget sih, RUU Ketahanan Keluarga juga akan mengatur pelaku bondage and discipline, sadism and masochism (BDSM).  Saya nggak ngerti deh kenapa orang-orang ini hobi banget mengurusi kehidupan seksual orang lain. Selama ada consent alias kesepakatan, yaudah sih biarin aja. Bukan urusan Anda. Nggak semua hal harus Anda urusin kan?

Mungkin dari julukannya, RUU Ketahanan Keluarga terlihat baik bak malaikat, tetapi kenyataannya aturannya sangat diskriminatif dan nggak masuk akal. Preferensi seksual, pilihan hidup, hingga pembagian peran suami istri adalah hal-hal privat yang semestinya tidak perlu diatur oleh negara. Jika negara ini masih percaya dengan asas-asas demokrasi, seharusnya negara bisa dong menjamin hak warganya?

Please deh Bapak Ibu Dewan, PR kalian itu banyak banget. Nggak usah nambah-nambahin kerjaan nggak penting dengan mengurusi privasi seseorang. Keluargaku bukan urusanmu, bos!

Oleh flonoviadinda

une femme libre

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s