Kategori
Kapital

Gig Economy: Perusahaan Melimpahkan Risiko Bisnis kepada Pekerja

Gig economy adalah istilah untuk menyebut sistem kerja kontrak pendek, freelance, outsourcing, dan “on-demand work” (kerja sesuai pesanan, misalnya ojek online). Penamaan tersebut untuk membedakan model industri ini dengan sistem pekerja/pegawai tetap. Dalam gig economy, pemberi kerja tidak menganggap penerima kerja sebagai pekerja di perusahaannya, tapi sebagai “mitra”, seperti dipopulerkan oleh beberapa start-up di Indonesia.

Gig economy tidak hanya terjadi di industri digital yang belakangan marak. Model ekonomi ini juga terjadi di berbagai sektor lain, misalnya konstruksi. Berbagai perusahaan konstruksi kerap menawarkan pekerjaan kontrak per proyek. Misalnya, lowongan drafter untuk proyek Jembatan Siliwangi. Jika proyek sudah selesai, putus kontrak. Tukang batu, kayu, besi yang sangat berperan dalam industri konstruksi juga bisa disebut sebagai pekerja gig karena tidak punya kepastian status sebagai pegawai tetap. Mereka sudah biasa dilempar sana-sini antar-proyek sesuai kehendak sang mandor.

Penjabaran definisi umum tentang gig economy ini penting, agar ketika kita membayangkan pekerja gig tidak hanya fokus ke yang serba digital saja.

Telah banyak yang mengkritisi gig economy. Ada dua kelompok kritik. Pertama, kritik terhadap pendapatan pekerja. Gig economy dianggap memperkecil pendapatan pekerja jika dibandingkan dengan waktu bekerjanya. Artinya, waktu dan beban kerja yang dibutuhkan untuk mendapatkan upah yang layak semakin panjang dan berat.

Seorang freelancer desain grafis harus bekerja lebih panjang, mengambil beberapa pekerjaan, dengan jam kerja tak keruan (sering lembur) agar penghasilannya dalam sebulan setidaknya melebihi upah minimum provinsi (UMP). Lemburnya pun dihargai sama, tidak seperti pekerja tetap yang upah per jam untuk lembur lebih besar. Belum lagi kalau bicara bonus yang menjadi hak pegawai tetap. Freelancer tidak mempunyai kesempatan mendapatkan bonus karena tidak dianggap karyawan.

Kritik kedua yaitu tentang kontrol perusahaan yang semakin besar pada para penerima kerja. Penjelasan kritik ini lebih mudah jika menggunakan contoh perusahaan platform. Misalnya ojek online. Para pengojek harus mematuhi semua langkah-langkah yang sudah ditentukan oleh platform. Mulai dari bagaimana ia menerima pesanan, dari titik mana pesanan berasal, berapa lama harus sampai ke titik penjemputan, bagaimana berinteraksi dengan pemesan, bagaimana sistem pembayaran yang ia terima, dan bagaimana ia mengajukan komplain. Jika tidak mengikuti langkah-langkah tersebut, pekerjaannya tidak dianggap selesai. Selain itu, perusahaan platform juga bisa mengubah-ubah ketentuan/algoritma platformnya tanpa persetujuan pekerja. Perusahaan platform lebih tidak akuntabel. Keputusan-keputusan tersebut juga didasarkan pada data pekerja dan pelanggan yang setiap hari dikumpulkan. Perusahaan tersebut menjadi lebih berkuasa karena mengetahui secara detail profil pekerja.

Namun demikian, 2 kritik di atas belum menyasar konsekuensi yang lebih krusial dari sistem kerja yang fleksibel. Kritik pertama, tentang berkurangnya pendapatan, tidak sepenuhnya benar karena banyak pekerja gig yang upahnya sangat tinggi dengan jam kerja yang pendek. Umumnya ini didapatkan oleh pekerja dengan keahlian yang masih langka, misalnya programmer dan data science. Untuk kritik yang kedua, memang benar perusahaan semakin punya kontrol yang kuat pada pekerja fleksibel. Namun, lagi-lagi, untuk pekerja yang mempunyai keahlian langka, mereka bisa dengan mudah menolak pekerjaan jika terlalu membatasi dan memaksa.

Oleh karena itu, kita perlu membangun kritik yang lebih krusial: gig economy membuat perusahaan melimpahkan risiko bisnis kepada pekerja. Pelimpahan ini kerap tak kentara. Mungkin juga karena jarang dibahas.

Yang namanya perusahaan tentu punya risiko kekurangan pelanggan dan naiknya bahan baku atau modal operasional. Berbagai risiko ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik perusahaan. Namun, pemilik perusahaan tentu saja ingin memperkecil risiko bisnis yang muncul dari ketidakpastian ini. Salah satu cara yang efektif, dan kini banyak digunakan, yaitu melimpahkan risiko bisnis kepada pekerja.

Menurut Bieber & Moggia (2020), ada 4 cara yang digunakan oleh perusahaan untuk mewujudkan pelimpahan risiko tersebut. Pertama, kontrak kerja durasi pendek. Ini sangat berguna bagi perusahaan, sebab ketika pemasukan sedang seret, pekerja tidak perlu dipecat. Tinggal ditunggu masa kontraknya habis. Dengan begitu, perusahaan tak perlu memberikan pesangon. Sebaliknya, jika penjualan terus bagus, kontrak kerja bisa diperpanjang sedikit demi sedikit.

Yang kedua, jam kerja yang fleksibel. Perusahaan tidak perlu membayar pekerja jika tidak ada pekerjaan. Ini sangat menguntungkan dibandingkan dengan mengontrak karyawan tetap yang harus terus dibayar per bulan. Pekerja pun akhirnya tidak mempunyai kepastian kerja.

Kerja yang fleksibel ini juga berarti perusahaan bisa memanggil pekerja kapan saja. Respon perusahaan terhadap permintaan pelanggan menjadi lebih cepat. Walau tengah malam, misalnya, Gojek dan Grab masih bisa melayani pelanggan karena ada pekerja yang stand by (dengan iming-iming berupa imbalan lebih, yang sebetulnya tidak seberapa dibanding dengan yang seharusnya didapatkan pekerja).

Yang ketiga, pengaturan upah yang fleksibel. Perusahaan dapat dengan mudah mengubah-ubah nilai upah tiap komponen pekerjaan. Keputusan ini menjadi lebih mudah dilakukan karena perusahaan tidak terikat perjanjian dengan serikat pekerja. Di sebuah perusahaan yang pekerjanya berstatus pegawai tetap, apalagi terdapat serikat pekerja, perubahan upah mesti menempuh jalur negoisasi yang panjang. Ya walaupun di Indonesia banyak kasus perubahan/pemotongan upah yang dilakukan sepihak oleh perusahaan.

Yang terakhir, perusahaan terbebas dari asuransi pekerja. Dalam sistem pegawai tetap, perusahaan wajib menanggung asuransi ketenagakerjaan dan ikut iuran asuransi kesehatan bersama pekerja. Namun, dalam gig economy, perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk hal ini. Pekerja pun akhirnya tidak mendapatkan hak-hak yang semestinya ia dapatkan dari negara terkait asuransi.

Keempat cara di atas digunakan dalam bentuk yang berbeda-beda oleh berbagai perusahaan gig economy. Yang jelas, keempat cara tersebut sangat berguna bagi perusahaan untuk mengurangi pengeluaran di sektor tenaga kerja.

Akibat dari pelimpahan risiko ini, pekerja dihadapkan pada 2 risiko. Pertama, ia tidak dapat membuat perencanaan yang matang tentang masa depannya. Karena tidak ada kepastian apakah bulan depan atau 2 bulan lagi masih bekerja, ia tidak dapat menyusun target di tiap tahap rencana hidupnya. Misalnya, ia tidak bisa memastikan kapan ia sudah mampu secara finansial untuk menikah. Termasuk kapan punya anak, jika ingin. Misalnya lagi, ia bakal kesulitan merencanakan kapan ia akan mulai membeli rumah. Siapa pula yang bisa memastikan bahwa ia akan tetap menetap di kota yang sekarang? Tidak ada jaminan bulan depan ia masih dapat pekerjaan di tempat yang sama, lalu terpaksa harus pindah ke kota lain demi tetap bisa bekerja.

Yang kedua, karena jam kerja yang tak keruan dan begitu panjang, pekerja gig menjadi tak punya banyak waktu untuk pengembangan diri. Keahliannya jadi itu-itu saja, karena mengerjakan pekerjaan yang itu-itu mulu, dan tak punya tenaga, pikiran, dan waktu untuk belajar hal-hal baru. Perpindahan yang cepat antara satu perusahaan ke perusahaan yang lain, juga membuat pekerja tak punya jenjang karir yang jelas. Masa depannya semakin buram.

Kategori
Kapital

Konsep Bekerja di Rumah Berbahaya

 


Sebenarnya sudah banyak yang menjelaskan potensi bahaya dari konsep “bekerja di rumah”. Tapi kebanyakan hanya sampai pada pembahasan tentang waktu kerja yang makin semrawut, tingkat keresahan yang semakin tinggi, dan semakin tipisnya batas antara waktu kerja dan rehat. Permasalahan ini penting juga tentunya. Namun sebetulnya ada masalah yang lebih tragis lagi.

Namun demikian, sebelum bicara soal masalah yang lebih tragis tersebut, saya ingin bercerita sedikit tentang keburukan Gojek. Karena kasusnya mirip.

Masalah terbesar Gojek itu bukan karena ia menyingkirkan bentuk usaha lama (ojek pangkalan, misalnya). Efek buruk terbesar dari model bisnis yang semacam ini ialah pelimpahan atau pengalihan modal bisnis kepada pekerja. Gojek tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pengadaan kendaraan bermotor, bahan bakarnya, perawatannya, dan asuransinya. Tidak hanya itu, Gojek juga tidak terbebani oleh biaya kesehatan pekerjanya. Singkatnya, Gojek tidak terlibat langsung dalam proses produksi. Ia hanya memanen untung dengan mengintervensi sektor finansial (perputaran uang).

Untuk mengamankan posisinya yang lepas dari berbagai tanggung jawab di atas, Gojek menyebut para driver sebagai mitra, bukan karyawan. Dampaknya, masalah yang muncul saat proses pengantaran penumpang sepenuhnya dilimpahkan ke driver. Gojek tidak mau tahu. Apabila masalah tersebut memberi dampak buruk, maka Gojek langsung memutus hubungan dengan driver secara sepihak.

Tentunya hal yang sama dilakukan oleh Grab.

Sahabat liberal yang menjunjung tinggi kebebasan pasar, kemungkinan besar akan mengernyitkan dahi lalu bertanya, apa yang salah dengan cara tersebut? Kan driver sendiri yang mendaftar ke Gojek. Tidak ada paksaan. Dan tentunya setiap pekerjaan punya risiko dong?

Orang-orang semacam ini selalu menyingkirkan persoalan struktural yang membentuk keadaaan tertentu. Mereka melihat masalah sesempit pikiran cebong dan kampret sewaktu pemilu. Padahal, ada kondisi yang membuat banyak orang terpaksa mendaftar ke Gojek untuk melanjutkan hidup. Mencari pekerjaan semakin sulit. Bisnis konvensional skala kecil non-online tergerus. Situasi seperti ini membuat banyak orang mau tidak mau mengambil kesempatan apapun yang menghasilkan isi perut. Termasuk menjadi driver Gojek.

Baiklah, cukup bercerita tentang Gojek. Mari kembali ke topik.

Saya rasa iming-iming kenikmatan bekerja di rumah mirip sekali dengan misi Gojek. Perusahaan tidak ingin ikut campur di urusan produksi. Ini bisa dipahami karena mengatur proses produksi membutuhkan biaya dan tenaga yang sangat banyak. Jika modal dan prosesnya dilimpahkan ke pekerja, perusahaan bisa memperlebar jangkauan promosinya.

Bukankah ini bencana? Di tengah kepemilikan aset yang terkonsentrasi di segelintir orang, perusahaan ingin menggunakan aset pekerja yang tidak seberapa untuk menjalankan bisnis!

Bayangkan kamu adalah pengangguran sejak lulus kuliah 3 bulan yang lalu. Kondisi finansial keluargamu pas-pasan sehingga tidak mampu lagi menopang biaya hidupmu. Yang tersisa padamu hanyalah smartphone, laptop standar, ijazah kuliah, dan sedikit uang di dompet dan ATM. Dalam kondisi terdesak, kamu akhirnya mencari lowongan pekerjaan lepas yang sesuai dengan keahlianmu. Syukur, kamu mendapatkan beberapa. Dan semuanya dikerjakan remote (tidak perlu ke kantor). Kamu mengambil semua pekerjaan tersebut karena bayarannya yang cukup kecil. Jadi kalau diambil semuanya, jumlahnya jadi lumayan. Ya walaupun tenggat waktunya berimpitan.

Kamu mengerjakan semua pekerjaan tersebut secara paralel, ganti-gantian. Kadang di warung kopi,  tapi lebih sering di rumah. Atas usahamu yang sedemikian keras sampai mengorbankan jam tidur, seluruh pekerjaan selesai tepat waktu. Kamu pun tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan upah yang dijanjikan. Kamu puas dengan jumlahnya. Apalagi ditambah dengan kebebasan waktu kerja dan banyak waktu yang bisa kamu habiskan di rumah, warung kopi, dan bertemu teman-teman. Kerja terasa mengasikkan.

Kamu tidak sadar, ada banyak biaya yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan tetapi dilimpahkan kepadamu. Sebut saja biaya tempat kerja, listrik, air, internet, dan secangkir kopi. Kamu dieksploitasi dua kali. Pertama, kamu dieksploitasi melalui kerja upahan. Ada nilai lebih dari kerja/produktivitasmu yang diambil juga oleh perusahaan yang memberimu kerja (tentang ini saya menjelaskan lebih detail di sini). Kedua, modal produksi yang kamu punya (tempat, alat kerja, dan bahan pendukung lainnya) dipakai secara gratis oleh perusahaan. Keuntungan perusahaan pun semakin besar karena biaya bisnisnya sangat murah.

Salah satu kampanye “bekerja di rumah” yang bikin saya sebal yaitu yang dihubung-hubungkan dengan emansipasi perempuan, khususnya ibu rumah tangga. Katanya, iklim kerja yang memungkinkan pekerja bekerja di rumah sangat membantu ibu rumah tangga yang masih harus mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus anak. Kampanye ini biasanya mengutip studi dari World Economic Forum (WEF) yang menyatakan bahwa kontribusi perempuan Indonesia di bidang ekonomi masih rendah. Indeksnya 0,685 (skala 0-1). Dengan indeks ini, Indonesia menempati urutan ke-68 dari 153 negara. WEF menyarankan pemerintah Indonesia berbuat sesuatu agar lapangan pekerjaan yang ramah bagi ibu rumah tangga lebih banyak. Salah satunya dengan mendorong perusahaan lebih cepat menerapkan teknologi agar pekerja bisa bekerja di rumah.

Kelompok yang merasa sedang memperjuangkan kesetaraan gender kemungkinan besar akan sepakat dengan tawaran WEF ini. Sebab, mereka berpikir hal tersebut akan membuat semakin banyak perempuan punya kesempatan memasuki dunia kerja. Bekerja, bagi sebagian besar orang, adalah sarana aktualisasi diri. Perempuan yang bekerja adalah bukti bahwa ia juga bisa berkontribusi aktif dalam roda ekonomi jika diberi kesempatan.

Namun, bagi saya, justru tawaran dari WEF tersebut adalah pertanda buruk dan bahkan akan mendatangkan bencana. Saya bilang pertanda buruk karena ketika ibu rumah tangga sudah harus bekerja agar rumah tangganya hidup nyaman, berarti penghasilan suaminya sudah tidak mencukupi. Hidup keluarga tersebut semakin sulit dan negara tidak memberikan jaring pengaman ekonomi.

Hasutan WEF juga akan berujung pada bencana jika dipraktikkan karena akan semakin banyak tenaga, pikiran, dan softskill manusia yang diambil alih oleh dunia kerja. Softskill perempuan yang sebelumnya bisa digunakan untuk membuat masyarakat menjadi lebih baik, tidak eksploitatif, saling toleransi, saling bantu, sadar gender, memperkuat komunitas, dirampas oleh dunia kerja untuk berproduksi demi menambah kekayaan para pemilik modal yang sudah kaya raya.

Cara berpikir yang seperti ini kemungkinan besar susah diterima oleh banyak orang. Ini wajar karena secara umum manusia sudah kehilangan imajinasi tentang dunia tanpa relasi upah. Jika ingin hidup, maka manusia wajib bekerja. Jika ingin mengaktualisasi diri, dianggap sukses, dianggap berguna, maka jalan yang paling baik adalah bekerja. Inilah pikiran umum yang berlaku saat ini.

Sebagai kelas pekerja, yang terpaksa menukar tenaga fisik, pikiran, dan softskill demi mendapatkan uang untuk hidup, kita perlu merebut kembali imajinasi tentang cara dunia bekerja. Segala iming-iming, walaupun di permukaan terlihat menakjubkan, harus kita periksa apakah akan membawa kita keluar dari jurang eksploitasi atau malah semakin membuat kita bergantung sepenuhnya pada dunia kerja. Termasuk tawaran bekerja di rumah.

Kategori
Society

Cita-Cita Freelance

Waktu sekolah dulu, ada iming-iming menarik yang ditawarkan dunia pekerjaan. Namanya freelance. Orang bilang, kalau kita freelance, bekerja jadi menyenangkan. Waktu bisa kita atur sendiri. Kapan bekerja, kapan istirahat, sudah tidak lagi diatur oleh sistem yang kaku. Kita sendiri yang menentukannya. Barangkali karena sedari kecil sampai dewasa kita dihadapkan pada sistem pendidikan yang senang sekali mengatur-ngatur, freelance bagai angin sorga yang lewat di tengkuk kita. Sejuk.

Namun begitu selesai dengan urusan sekolah lalu masuk dunia kerja, kita mendapati ternyata freelance tak seindah taman istana.

Jika kita bicara freelance secara umum dan mengabaikan sedikit jenis freelance yang bayarannya jumbo, nampak sekali freelance adalah tumpuan saat kepepet. Sebagian besar dari kita bekerja freelance karena belum punya pekerjaan tetap atau pemasukan rutinnya tidak cukup untuk hidup. Parahnya lagi, karena satu freelance tak langsung memenuhi kebutuhan dasar, kita jadi mengambil banyak freelance. Jam kerja jadi lebih panjang. Kita makin sering begadang. Bukannya dulu dibilang, jika freelance, kita bebas mau kerja kapan aja, dan istirahat kapan aja? Tapi kok ini malah bekerja setiap saat? Bahkan saat waktunya istirahat?

Belum lagi, kebanyakan freelance tidak ada hitam di atas putih. Tak ada jaminan. Situasinya menjadi tak pasti. Sebetulnya ini bisa diantisipasi jika si pekerja meneliti lebih jauh pekerjaan yang ditawarkan. Tapi kebutuhan hidup seringkali mendesak. Dan itu menuntut kita mengambil pekerjaan dengan cepat.

Apakah freelance sebagai pembebas kelas pekerja sebetulnya hanyalah mimpi yang mustahil? Sudahkah waktunya kita, kelas pekerja, membuang jauh mimpi itu dan kembali menyerahkan tenaga dan pikiran kita ke pasar kerja yang biasanya?

Sebuah perubahan yang luar biasa mendasar memang akan terlihat mustahil hari ini, tapi belum tentu tak ada harapan di hari esok. Termasuk cita-cita freelance, yang lebih suka saya sebut sebagai pekerja bebas daripada pekerja lepas. Lalu apa yang membuat harapan ini punya peluang untuk menjadi kenyataan?

Jawabannya adalah roda industri 4.0 yang mulai bergulir. Orang sering keliru melihat peluang dari industri jenis ini. Barangkali karena kenyang dengan dongeng pemerintah yang bilang bahwa revolusi industri 4.0 datang membawa banyak ancaman. Persaingan akan semakin ketat. Kelas pekerja dituntut menguasai beragam keahlian baru agar tidak tersingkir dari dunia kerja. “Belajar dan berlatihlah dengan keras. Jangan malas. Jika tidak, kalian (kelas pekerja) akan kehilangan pekerjaan. Dan akan bertahan hidup dengan menjadi freelance (termasuk pekerja kontrak) yang nasibnya tak jelas,” begitu kira-kira kata pemerintah.

Menguraikan tantangan memang perlu. Tapi menjadi tak bijak jika hanya dibuat untuk menakut-nakuti, dan menutupi kesempatan.

Peluang di era industri 4.0 bagi pembebasan pekerja memang perlu diurai dengan panjang dan rinci. Tapi penyederhanaannya kira-kira begini. Kita sama-sama tahu di masa kini, apa-apa jadi serba otomatis. Gerbang tol tinggal tempel kartu. Buka rekening bank tinggal ketuk-ketuk layar hape. Bikin logo tinggal klik. Proses ini tak lagi membutuhkan manusia. Robot yang mengerjakannya. Kalau begitu, ya sudah, biarkan robot-robot ini bekerja. Robot palang pintu tol bekerja untuk penjaga pintu tol. Robot finansial bekerja untuk orang yang bekerja di bank. Robot pembuat logo bekerja untuk para desainer grafis. Kasarnya begitu. Efisiensi semacam ini secara ekonomi cukup untuk membiayai kebutuhan hidup mantan pekerja dan pengangguran. Kelas pekerja punya penghasilan tetap, tanpa bekerja.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, orang kalau dikasih duit tanpa bekerja bukannya malah jadi pemalas? Ow… kita perlu cek asumsi ini. Benarkah memang demikian? Soalnya, menurut penelitian terbaru dari Semeru Institute, orang yang dikasih Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak kemudian menjadi malas. Orang tetap bekerja. Orang tetap melakukan hal-hal yang ia suka. Ya… intinya orang bisa melakukan hal lain selain bekerja.

Jika gaji tetap tanpa bekerja ini benar-benar terwujud, si penjaga palang pintu tol, pekerja bank, dan desainer grafis barulah bisa menjadi freelance yang kita cita-citakan. Dalam arti, bekerja karena pengen. Bukan bekerja biar bisa hidup.