Kategori
Transportasi

Tidak Ada Bulan Puasa di Pelabuhan Jangkar

Para pemudik mengantre tiket di Pelabuhan Jangkar
Foto: Dandy IM

Ketika aku mendapatkan pelanggan kelima, tanganku tiba-tiba dicengkeram oleh pemudik bodong itu. Aku dibawa ke pos polisi pemantau arus mudik lebaran. Semua tiket di tanganku dirampas. Di kejauhan, para pemudik mulai rusuh di depan lubang tiket.

Padahal sebelumnya aku yakin berjualan hari itu akan lancar seperti biasanya. Seorang kenalan yang menjadi pengurus Pelabuhan Jangkar sudah memberikan dua puluh tiket kapal ke genggamanku beberapa jam yang lalu. Para pemudik tujuan Pulau Raas juga telah menumpuk di depan lubang tiket. Dari raut wajah dan gerak-gerik badan mereka, tampak sebagian besar tidak biasa antre. Aku menjajakan tiket di genggamanku ke bola mata mereka yang sudah tidak sabar. Aku menjual tiket seharga duaratus ribu rupiah. Sedangkan harga aslinya tigapuluh enam ribu rupiah. Tentu saja lebih mahal sampai lima kali lipat. Mereka, para pemudik itu, kan jadi nggak perlu antre. Mengantre di lubang busuk itu juga tak menjamin kau bakal dapat tiket.

* 

Sehari sebelum rusuh di pelabuhan, aku menunda kepulanganku karena Hari raya Kuningan amat menggoda. Siapa yang bakal melewatkan kesempatan besar untuk meraup lembar-lembar uang di hari besar Hindu ini? Seakan melampaui kegundahan lirik lagu populer Pulang Malu Tak Pulang Rindu, debar jantung terjebak di antara pilihan cepat-cepat pulang atau menambah modal lebaran.

Pagi-pagi sekali di tanggal 9 Juni 2018, kaki tak kuasa menahan langkah ke alun-alun Puputan, Badung, Bali. Malam sebelumnya, aku sudah mengisi puluhan balon berbagai bentuk dengan gas helium untuk dijajakan kepada siapapun yang berpotensi membelinya. Di malam itu aku berharap taruhan esok hari berakhir epik.

Aku sudah berada di atas motor bebek keesokan harinya, membonceng istri dan satu anak perempuanku yang baru berumur lima tahun. Anakku duduk di antara aku dan istriku. Di kedua kakiku terdapat satu tas ukuran sedang dan kardus yang disusun. Sepengamatanku, pemudik lain yang membawa motor juga tak beda kondisinya denganku. Rimbun juga sepeda motor mereka dengan keluarga dan barang bawaan.

Sepeda motor menjadi tunggangan yang aku pilih karena kereta belum ada di Bali. Bus juga tidak bisa menjadi pilihan karena saking sepinya jalur ke arah Situbondo. Oh… ya, aku ini mau mudik ke Kepulauan Sumenep, tepatnya Pulau Sapudi, dengan memanfaatkan layanan penyeberangan di Pelabuhan Jangkar, Situbondo.

Kami tiba di Pelabuhan Jangkar bersamaan dengan matahari yang sedang terik. Aku tidak berpuasa. Istriku pun juga tidak. Mungkin aku memang tak terlalu perkasa melawan nafsu sendiri. Namun, banting raga mengejar duit ke pusat-pusat keramaian di Bali ditambah dengan pertarungan di jalan menggunakan roda dua membuat nafsu badani perlahan-lahan aku terima – semoga Tuhan memakluminya.

Baca juga: Perjalanan Udara ke Sumenep dan Kisah-Kisah yang Tercecer

Terik matahari di Pelabuhan Jangkar jadi begitu memuakkan saat bola mataku bergulir ke arah antrean sepeda motor. Panjangnya sudah bagai Naga Dasamuka. Bahkan ada tiga naga yang berbaris di sana. Aku makin kesal. Tapi entah mau kesal sama siapa. Apa memasang tulisan yang menandakan bahwa di sini antrean sepeda motor tujuan Pulau Sapudi, di situ tujuan Pulau Raas, di sana tujuan Pulau Madura begitu susah? Dengan mengandalkan naluri, aku antre di salah satu bagian, ternyata itu tujuan Pulau Raas. Aku mesti pindah ke antrean sebelah yang sudah diisi orang yang tiba di pelabuhan setelah aku. Anjing kan.

Setelah mencarikan tempat duduk istri dan anakku di warung makan yang sekaligus rumah – ruang tunggu pelabuhan menurutku tak layak jadi tempat istirahat – aku mencari informasi tentang tiket. Lagi-lagi menuruti naluri, aku bertanya ke seseorang yang berseragam Kementerian Perhubungan, tapi dia tidak memberikan jawaban yang bikin paham, lalu malah menunjuk orang berkaus hitam polos.

Jawaban orang berkaus hitam gampang ditebak: pemudik mesti banyak berdoa agar kendaraannya dapat diangkut oleh kapal yang hanya bisa diisi limapuluh sepeda motor. Terutama pemilik sepeda motor yang berada di antrean paling belakang seperti aku ini. Kalau doamu tidak dikabulkan, kau mesti menunggu esok hari. Untunglah para pengurus pelayaran ini menambah armada kapal saat arus mudik lebaran. Sebab biasanya kapal hanya beroperasi dua kali seminggu.

Sebetulnya kondisi semacam ini gampang diatasi dengan mengandalkan kenalanku, pegawai pelabuhan. Tapi tukang becak bedebah yang sampai ketahuan menjual tiket gelap itu membikin situasi jadi sulit. Pengawasan menjadi lebih ketat. Kenalanku itu tidak berani ambil risiko. Bau-baunya sudah tercium: aku, istri, dan anakku harus menunggu kapal besok!

Aku terus mengumpat dalam hati. Kekesalan seperti ini gampang sekali merangsang otakmu berangan-angan. Seandainya… seandainya tiket kapal laut di Pelabuhan Jangkar ini dapat dibeli melalui ponsel, seperti kereta api maupun pesawat. Pemudik sepertiku ini kan jadi tahu mesti pulang kapan dari Bali. Aku sudah perang di jalanan pakai motor bebek melawan truk-truk yang kelebihan muatan, sesampainya di pelabuhan malah nggak dapat tiket. Aku makin tak habis pikir, sistem tiket yang buruk ini masih terjadi di pelabuhan yang berada di Pulau Jawa.

* 

Tidak ada bulan puasa di Pelabuhan Jangkar. Warung ini, yang aku buka sejak lima tahun yang lalu tak pernah sepi. Pemudik, tukang becak, kuli, syahbandar, pegawai Perhubungan, dan bahkan para suami di sekitar pelabuhan yang tak betah di rumah karena istri mereka tak masak, mampir ke sini untuk menyumpal nafsu mulut mereka. Pelabuhan memang sangat menarik. Ia tampaknya mengalami evolusi paling lamban ketimbang kerabatnya yang lain: bandara, stasiun, dan terminal. Padahal, mungkin saja pelabuhan adalah tempat transit yang lebih lampau di negeri terkutuk ini.

Para perusuh di depan loket tiket itu bisa jadi belum mampir ke warung tercinta ini. Namun ada juga yang bilang, mereka berasal dari pulau yang bisa membuatmu pengin emosi melulu. Tapi ya calo yang tertangkap itu tolol juga. Mengapa mesti terang-terangan menjual tiket gelap di depan loket?

Walaupun membuka warung di bulan puasa, aku rasa Tuhan tidak marah padaku. Di warung inilah pemudik mendapatkan tempat yang nyaman setelah kecewa tak dapat tiket. Mereka mesti menunggu esok hari. Bahkan bisa jadi lusa. Aku tidak mengutip biaya ketika mereka menempati emperan warung, lincak, dan teras rumah samping warung sebagai tempat meluruskan punggung. Uang makan mereka sudah cukup buatku.

Memangnya apakah kau bisa tega merampas lebih banyak uang dari pemudik yang terlantar di pelabuhan apalagi membawa anak-anak? Rata-rata si anak tidak sabar. Mereka ingin cepat pulang. Mereka merengek. Mungkin protes karena setelah terlalu lelah menyisir jalanan Bali, Banyuwangi, dan Situbondo, kok ya masih tidur di emperan warung selama sehari semalam. Ini sudah lumayan, Nak, daripada kau masuk ruang tunggu pelabuhan yang kotornya masyaallah.

Bapak dari seorang anak bilang ke teman mengobrolnya, dengan ponsel canggih di tangan dan bahasa yang gaul nanggung, bahwa solusi dari kesemrawutan ini adalah tiket yang bisa dipesan langsung lewat ponsel. Identitas penumpang pun bakal jelas, sehingga semakin sempit peluang bagi tiket gelap. Aku yang mendengarnya terkesan. Itu akan membuat waktu tunggu pemudik di pelabuhan menjadi singkat dan warungku jadi sepi.

Dandy IM
PijakID
Kategori
Transportasi

Kisah Ibu Melalui Badai dan Pelabuhan Jahanam

Pelabuhan Tarebung, difoto dari Utara
Oleh: Dandy IM

Apa yang berkecamuk di kepalamu saat kau sudah berhasil turun dari kapal yang berbandul tetapi anak-anakmu masih belum juga menapak dermaga? Kau mungkin kesal pada angin yang harus berhembus kencang tepat saat kepulanganmu ke pulau yang menampung rumah tempat kau dulu dilahirkan. Setelahnya kau akan bertanya-tanya mengapa pelabuhan pertama yang bisa disandari kapal feri di pulau tempat tinggalmu tak henti-hentinya rusak terutama saat musim penghujan tiba? Kau hanya berharap para tentara itu membopong anakmu dengan selamat ke lantai dermaga – seperti dirimu. Kau sempat mengutuk dalam hati keputusan para tentara yang menggiringmu lebih dahulu ketimbang anak-anakmu.


Meskipun hatimu sudah tak keruan karena tidak sabar menunggu anak-anakmu datang ke pangkuanmu, kau masih saja menambahi beban pikiranmu dengan penderitaan di tengah laut selama enam jam sebelum tiba di dermaga pesakitan itu. Padahal, perjalanan normal hanya butuh empat jam. Sebetulnya kau ingin langsung membuang jauh-jauh pengalaman pahit yang kau alami ketika sudah mencapai daratan. Kau sudah meniatkannya di toilet kapal. Namun, suguhan pelabuhan sekarat yang memberi tambahan derita bagi dirimu dan penumpang lainnya, membuatmu tak bisa melepaskan begitu saja kenangan barusan dari cairan kepala.

Enam jam sebelumnya, kau sudah bersiap bersama anak-anakmu di pelabuhan Jangkar, Situbondo, Jawa Timur, sejak matahari masih cukup jauh dari garis horizon. Kau memang berangkat lebih awal dari Denpasar, Bali, tanpa iringan suami yang ingin meraup rezeki dengan menjual balon di malam tahun baru. Kedatanganmu di pelabuhan Jangkar tidak terlambat, tapi juga bisa dibilang agak terlalu cepat. Kau menyuruh anakmu yang paling besar mengantre tiket, sementara dirimu menjaga anak-anakmu yang lain di emperan kantor pelabuhan. Anakmu yang paling kecil senang melihat layang-layang saling beradu di pantai.

Segalanya baik-baik saja saat kapal sudah mulai meninggalkan pelabuhan Jangkar tepat saat matahari tenggelam setengah bagian. Nelayan masih berangkat melaut. Angin tak terlalu menerpa wajah. Awan juga tak kelabu. Kau mengira bisa tidur nyenyak dengan anak-anakmu yang sepertinya tak bakal rewel dengan perjalanan kapal yang mulus. Kau membuka bungkus kue kering manis yang kau bawa dari Bali. Anakmu yang kedua memintanya, sepertinya ia sedikit lapar. Untungnya kamu membawa makanan itu karena jajanan di kapal mahalnya keterlaluan. Sedangkan anakmu yang paling besar asik saja dari tadi menonton orkes dangdut pernikahan.

Kau hampir menempelkan punukmu ke bantal saat kapal mulai berbandul. Goyangannya memang beraturan. Namun, kau tahu kapal terbuat dari besi yang semestinyalah lebih berat daripada kayu. Ketika remaja dulu kau lebih sering naik perahu untuk bepergian ke pulau Jawa – tentu saja, karena saat zamanmu dulu kapal besi belum mampir di pulau yang kau tempati. Perahu yang miring diterpa angin, tidak butuh waktu lama untuk kembali ke posisi semula. Sementara kapal, kira-kira butuh tiga kali tarikan napas untuk berdiri tegak lagi. Tingkah kapal yang semacam itu sudah cukup membuatmu dan orang-orang di sekitarmu memandang dan berbisik satu sama lain – ada pula yang berkomat-kamit sendirian. Anakmu yang paling kecil mulai merengek. Anakmu yang paling besar bingung: lebih baik merebahkan badan, duduk, atau berdiri saat kondisi seperti ini. Berdiri tentu tidak mungkin karena kepalanya akan membentur atap di ruangan yang terisi kasur bertingkat ini. Setelah berganti posisi dari tidur ke duduk, mungkin setengah jam kemudian, anakmu yang pertama muntah. Untung ia sudah memberi kode terlebih dahulu, sehingga kau segera menyodorkan keresek hitam yang disediakan pengelola kapal. Sambil kau pijiti bahu anak itu, tanganmu yang lain juga mengusap-usap anakmu yang menangis. Namun, anak itu tak kunjung meredakan air matanya.


Baca juga: Apakah Raja-Raja Pesisir Berdagang?

Awalnya kau bisa menjaga gejolak lambungmu. Campuran kimia di kantong itu tidak naik meski digoyang tak henti-hentinya oleh ombak jahanam. Namun, saat perempuan tua di kasur sebelah memuntahkan isi lambungnya dengan wajah menghadap padamu – kenapa dia tidak muntah ke arah sebaliknya saja? – kau merasakan makanan encer di badanmu sudah sampai dada. Perempuan tua itu semakin tidak tahu diri. Ia muntah dengan suara yang menyedihkan, seperti kucing yang tak terlalu berisik saat muntah tapi sungguh menjijikkan. Kau lalu muntah sejadi-jadinya. Bahkan butiran nasi keparat itu masuk ke saluran hidungmu dan membikin kepalamu semakin pening saja. Rangkaian peristiwa ini belum cukup menyedihkan bila dibandingkan dengan kenyataan bahwa kau muntah saat membawa anak-anak. Apa yang lebih menyayat isi dadamu ketimbang terkulai lemas tak berdaya sehingga tidak punya tenaga untuk menjaga anak-anakmu di tengah badai?

Kenyataan ini yang membuat kau mengutuk seikhlas mungkin perencana pelabuhan yang tergeletak menyedihkan di pantai Tarebung, Sapudi, Kabupaten Sumenep. Mengapa mereka meletakkan pelabuhan yang sedemikian pentingnya di wilayah yang ombaknya begitu besar bahkan di musim yang tenang sekalipun? Memang, daerah wilayah itu lautnya sudah cukup dalam untuk kapal besi meski baru berjarak tigapuluh meter dari garis pantai. Biaya pembangunannya bisa saja tiga kali lebih murah apabila pelabuhan dibangun di wilayah Kalowang, misalnya. Tampaknya pemilik dana pelabuhan hanya memikirkan biaya murah sesaat semasa pembangunan saja. Ia mungkin tak berpikir biaya perawatan, perbaikan lebih tepatnya, yang akan jauh lebih mahal bahkan melampaui biaya pembangunannya. Gelagar dermaga selalu tak kuat menahan ombak di musim badai. Sehingga, setiap tahun perlu dibangun gelagar baru. Akhirnya, karena dana tidak terlalu tersedia, rakitan bambu menjadi pilihan yang digunakan. Bukankah itu juga membahayakan petugas pelabuhan yang menambatkan tali kapal saat ingin bersandar?

Pelabuhan Tarebung, difoto dari Selatan
Oleh: Dandy IM
Anak-anakmu sudah berada di pangkuanmu setelah mereka digendong tentara melewati undakan kapal yang tidak bisa menempel sempurna pada dermaga akibat digoyang ombak. Kakimu telah menapak daratan yang tak bergoyang, sehingga kau bisa pulang dengan damai ke rumahmu, bertemu dengan sanak saudara yang tak kaujumpai selama beberapa tahun – kau bahkan lupa tepatnya. Tentang pelabuhan itu, kau akhirnya hanya berharap para pembesar lebih serius membangun pelabuhan perintis. Tidak asal bangun saja tanpa memikirkan keberlanjutannya. Pelabuhan perintis yang mungkin tak menguntungkan berdasarkan hitung-hitungan duit, karena calon penumpang dan angkutan barang yang sedikit, tapi itu sangatlah berarti untuk membantu orang-orang kepulauan keluar dari keterpurukan.


Dandy IM
PijakID
Kategori
Transportasi

Membangun Pelabuhan Pada Abad Ke-16

Foto: Dandy IM

Salah satu yang dipikirkan Portugis saat berlayar ke Nusantara ialah mencari tempat berlabuh. Kapal yang berlayar selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tentu akan melempar sauh juga. Mereka tak bisa terus-terusan di laut. Lagi pula, mereka ingin berdagang. Sebagian besar aktivitas itu dilakukan di daratan.

Portugis beruntung. Kerajaan di berbagai pulau di Nusantara sudah memiliki pelabuhan. Bangunan itu menjadi tempat persinggungan awal dengan orang-orang asing. Pelabuhan menjadi tempat silang barang dagangan, cerita, dan kebiasaan. Di kawasan pesisir itu pula pertahanan awal sebuah kerajaan mulai diatur. Jalur pelayaran menjadi sangat berharga. Salah-salah, kapal bisa kandas di gosong pasir atau menabrak karang.

Maka menjadi menarik untuk mengetahui, bagaimana leluhur Nusantara membangun pelabuhan. Sayangnya, data yang saya punya hanyalah abad ke-16. Seluruh bahan yang saya tulis berasal dari buku karya Adrian B. Lapian, sejarawan Universitas Indonesia, yang berjudul Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17.

Pelabuhan tidak hanya menjadi tempat berlabuhnya kapal. Ia juga tempat yang aman bagi kapal untuk berlindung dari angin, ombak besar, dan arus yang menyeret. Sehingga, faktor ekologi menjadi penting. Pesisir yang tidak terlalu ribut menjadi pertimbangan utama.

Namun, orang-orang abad ke-16 awalnya lebih suka menggiring kapal mereka masuk sungai dan berlabuh agak ke dalam. Tentu saja air akan tenang-tenang saja di sungai. Alirannya akan begitu-begitu saja. Kapal menjadi lebih aman. Akan tetapi, pelabuhan menjadi tidak bisa dikembangkan. Terbatasnya lebar sungai menjadi hambatan.

Mengetahui hal itu, pelabuhan mulai dipindah ke muara. Kadang-kadang teluk dipilih meski kurang terlindung dari ombak. Setelah kepindahan ini, sungai sebagai jalur transportasi sebetulnya tak mati. Hasil pertanian masih diangkut dengan perahu kecil melewati sungai, alih-alih dibawa melalui daratan. Mungkin orang-orang dulu sadar transportasi air lebih menguntungkan daripada daratan. Dengan catatan, ada pengelolaan yang baik.


Baca: Jogja, Ilheus, Makassar, dan Imajinasi Negeri Maritim

Pelabuhan yang berada di muara sungai memunculkan masalah baru: pendangkalan. Waktu demi waktu, pasir yang dibawa aliran sungai menumpuk di muara. Akibatnya, kapal-kapal besar mudah kandas.

Pendangkalan pelabuhan segera menjadi masalah besar. Hingga kini pun, masalah pendangkalan menjadi masalah utama yang sering hinggap di berbagai pelabuhan Indonesia. Bahkan untuk pelabuhan yang sudah direncanakan matang-matang sekalipun, pendangkalan tetap bisa terjadi. Biaya untuk mengeruk timbunan lumpur di dasar laut sangatlah besar. Biaya itu menjadi yang terbesar dari semua biaya perawatan.

Akhirnya, kapal-kapal asing yang datang ke pelabuhan di pantai utara Jawa misalnya, lebih memilih mengirimkan sampan-sampan kecil ke pelabuhan. Sementara sang kapal sendiri melempar sauh jauh dari pelabuhan.

Kapal-kapal asing itu rela melakukan hal tersebut apabila pelabuhan yang dituju memang mempunyai daya tarik yang aduhai. Misalnya, kapal-kapal dari “negeri jauh” yang berkunjung ke kota Palembang. Menurut berita Ma Huan, kapal-kapal itu ditambatkan jauh dari kota. Lalu mereka mengirim sampan-sampan kecil memasuki muara dan akhirnya sampai di kota. Sebab kota Palembang kata Ma Huan sangat makmur dan jaya. Tanahnya amat subur. Kota itu bagai sebuah pepatah: hamburlah padi untuk satu musim, hasilnya menjadi beras untuk tiga musim.

Menjadi jelas bahwa, selain ekologi, untuk membangun pelabuhan yang maju juga diperlukan kota yang mapan. Arus perdagangan tinggi. Pajak tidak mencekik pedagang. Manusia-manusia yang menetap di daerah itu mudah berinteraksi dengan orang asing. Dan yang tak kalah penting: kepemimpinan yang matang. Agar orang-orang yang datang tidak bertingkah sembarangan.

Dengan demikian, salah satu cara yang realistis untuk kembali berjaya di lautan ialah memajukan kota-kota pelabuhan. Taburan pulau di bagian Timur Indonesia mestinya kembali dihidupkan dan berhenti memperkosa daratan pulau-pulau besar.


Dandy IM
PijakID