Kategori
Kapital Society

Pekerja Bukan Hanya yang Mendapatkan Upah

Definisi umum pekerja yang banyak diamini orang-orang: semua manusia yang masih bergantung pada upah untuk hidup. Jadi, selama kamu mendapatkan gaji, dan kamu bergantung pada gaji tersebut untuk hidup, maka kamu adalah pekerja. Kamu adalah bagian dari kelas pekerja. Tak peduli posisimu di tempat kerja adalah staf atau manajer, jika kamu tidak ikut terlibat dalam pengaturan pembagian hasil usaha, terikat jam kerja, SOP, dan peraturan perusahaan yang tidak demokratis, maka suka atau tidak, rela atau tidak, ikhlas atau tidak, kamu adalah kelas pekerja. Definisi ini objektif, sehingga tidak ada urusannya dengan perasaanmu.

Dengan definisi yang sempit ini pun, ternyata masih banyak orang-orang yang tidak merasa dirinya adalah bagian kelas pekerja. Entah karena tidak paham atau tidak mau saja. Kelompok ini umumnya adalah orang-orang yang sudah puas dengan nominal gajinya. Mereka menganggap gaji yang didapatkan sudah cucok dengan tugas mereka. Namun, sekali lagi, karena definisi pekerja adalah sesuatu yang objektif, maka sekalipun kau puas dengan gajimu, fakta bahwa kau adalah kelas pekerja tidak menjadi luntur. Kau tetaplah kelas pekerja, yang tidak punya kebebasan untuk menentukan apa yang akan kau produksi, bagaimana memproduksinya, ke mana nilai produksi itu akan mengalir, dan bagaimana pembagian nilai lebih dari produksi tersebut.

Namun demikian, seperti yang sudah saya nyatakan, definisi pekerja yang seperti ini terlalu sempit. Ia hanya merangkul sebagian pekerja saja dan mengabaikan yang lain. Jika kita mendefinisikan pekerja hanya sebagai orang-orang yang mendapatkan gaji, bagaimana dengan orang-orang yang tidak mendapatkan gaji? Ibu rumah tangga, pegiat komunitas, pelajar, adalah para pekerja yang tidak digaji. Ya, mereka adalah pekerja.

Ibu rumah tangga, misalnya, hasil kerjanya sangat krusial untuk membuat suaminya terus produktif di tempat kerja. Selain itu, ia juga merawat tumbuh-kembang anaknya yang kelak akan menjadi tenaga kerja (sebab keluarga mereka terpaksa harus bergantung pada kerja upahan untuk hidup). Jadi, seluruh perusahaan bergantung pada kerja-kerja para ibu rumah tangga. Tanpa kerja-kerja tersebut, perusahaan tidak bisa hidup karena tenaga kerja tidak tersedia. Lalu bagaimana bisa kita tidak menganggap para ibu rumah tangga sebagai pekerja?

Ibu rumah tangga, pegiat komunitas, pelajar dan aktivitas sejenis bisa kita bilang sebagai kerja reproduktif. Hasil kerja mereka memungkinkan tenaga kerja produktif bisa ada dan terus produktif. Mari kita ambil contoh pekerjaan ibu rumah tangga lagi. Suami si ibu ini ketika pulang kerja terbebas dari pekerjaan rumah tangga seperti mencuci baju, memasak, menyapu, mengasuh anak, dll. Ia hanya perlu mandi, makan, santai-santai, lalu istirahat. Esoknya, ia bisa bangun pagi, tidak telat sampai di tempat kerja, pikirannya segar, sehingga bisa kembali produktif.

Penjelasan lebih lanjut tentang kerja reproduktif bisa dibaca di sini.

Dampak pemahaman ini tentu saja signifikan. Salah satunya yaitu dalam pembuatan serikat pekerja dan penyusunan visi-misinya. Sampai saat ini, secara umum serikat pekerja hanya merangkul para pekerja berupah saja. Bahkan tidak semua pekerja berupah, tapi hanya pekerja yang statusnya pegawai tetap. Pekerja outsourcing, kontrak, freelance, masih luput dari rangkulan serikat pekerja.

Untungnya, mulai ada insiatif bagus dari SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi). Ia tidak hanya merangkul para pegawai tetap, tapi juga tenaga-tenaga kontrak dan freelance yang lebih rentan. Langkah ini perlu dilanjutkan, diperbanyak, dan tentu saja diperluas untuk pekerja-pekerja yang tidak bergaji.

Kita perlu meyingkirkan jauh-jauh definisi sempit pekerja a la kapitalisme, yang menganggap kerja hanyalah kerja produktif (kerja di pabrik, kantor, dll). Aktivitas reproduktif (ibu rumah tangga, pegiat komunitas, pelajar) adalah kerja juga!

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan komentar