Kategori
Kapital

Apa yang Dirampas oleh Kapitalisme?

Biasanya, kalau bicara tentang eksploitasi pekerja, sebagian besar orang bicara tentang upah murah. Upah minimum di suatu daerah dibandingkan dengan biaya hidup di daerah tersebut. Besaran upah dibandingkan dengan kuantitas dan kualitas kerja yang dilakukan. Ini betul.

Namun, ada lagi yang dirampas oleh kapitalisme, dan efeknya lebih ganas, yaitu samudra kemungkinan. Sederhananya begini. Jutaan anak muda sudah belajar di universitas. Selama di kampus, walaupun hanya belajar satu bidang ilmu saja, dia punya miliaran kemungkinan ide di kepalanya untuk mendesain dunia yang lebih baik, yang ekonominya adil, adil gender, tidak rasis, dll. Potensi kemungkinan ini hancur-lebur ketika ia masuk dunia kerja. Ia terpaksa menyerahkan sebagian besar waktunya untuk melakukan aktivitas yang ditetapkan oleh perusahaan, agar bisa melanjutkan hidup. Bahkan di waktu non-kerjanya, energinya sudah habis untuk melakukan hal lain. Bahkan untuk sekadar berpikir hal lain! Apalagi semakin banyak model-model kerja hari ini yang tidak hanya menyedot fisik dan pikiran analitis sederhanya saja, tapi juga sofskill yang melibatkan emosi (mood). Softskill pun kini lebih kencang dieksploitasi.

Walaupun hari-hari ini banyak perusahaan yang seakan ramah pada sisi kreatif, kebebasan, dan gairah eksploratif pekerja, tapi tetap saja harus dalam kerangka kemajuan dan keuntungan perusahaan. Miliaran kemungkinan kreatif yang berada dalam diri pekerja dipaksa melayani dan menjaga keberlangsungan sistem ekonomi dan kehidupan yang eksploitatif.

Saya menuliskan ini bukan adalam kerangka seperti yang dimunculkan oleh Megawati, “mana konstribusi anak muda bagi negara?”. Yang saya maksud di sini adalah kerugian di level individu dan society (masyarakat). Bagi individu, ia tidak punya banyak waktu dan energi untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan yang ia inginkan. Pengembangan dirinya dipaksa berada di dalam rel. Jikapun bisa keluar dari rel, itu membutuhkan pemaksaan energi yang tidak main-main, sehingga tubuh dan psikisnya menjadi rentan. Ketika individu-individunya sudah begini, maka kerugian sudah pasti juga dialami oleh society. Sebuah masyarakat tidak bisa menggapai hidup yang lebih baik, nyaman, aman, dan tidak menindas. Inilah yang dirampas: kesempatan.

Samudra kemungkinan ini yang menurut Karl Marx tak bernilai. Nilainya tidak dapat diukur atau dikonversi menjadi upah. Jadi, upah sebesar apapun, bahkan 100 juta per bulan sekalipun, tetaplah eksploitatif. Meskipun secara subjektif atau orang yang punya gaji segitu tidak merasa dirinya sedang dieksploitasi, secara objektf ia tetap sedang dieksploitasi. Eksploitasi kerja tidak ada hubungannya dengan perasaan orang yang bekerja (merasa dieksploitasi atau tidak). Karena ini bukan cuma tentang besaran gaji yang tidak sepadan dengan beban kerja. Tapi juga tentang potensi kemungkinan yang dikubur.

Terlalu fokus pada eksploitasi yang berhubungan dengan upah murah dan melupakan samudra kemungkinan yang dirampas akan membuat visi pekerja hanya sampai pada upah yang layak. Pekerja seharusnya mempunyai visi yang jauh lebih besar dari itu. Pekerja harus punya kendali pada kerjanya, apa yang akan dia kerjakan, bagaimana ia mengerjakannya, seberapa lama ia harus mengerjakan itu, dan bagaimana pembagian hasil kerja tersebut.

Kategori
Kapital Society

Pekerja Bukan Hanya yang Mendapatkan Upah

Definisi umum pekerja yang banyak diamini orang-orang: semua manusia yang masih bergantung pada upah untuk hidup. Jadi, selama kamu mendapatkan gaji, dan kamu bergantung pada gaji tersebut untuk hidup, maka kamu adalah pekerja. Kamu adalah bagian dari kelas pekerja. Tak peduli posisimu di tempat kerja adalah staf atau manajer, jika kamu tidak ikut terlibat dalam pengaturan pembagian hasil usaha, terikat jam kerja, SOP, dan peraturan perusahaan yang tidak demokratis, maka suka atau tidak, rela atau tidak, ikhlas atau tidak, kamu adalah kelas pekerja. Definisi ini objektif, sehingga tidak ada urusannya dengan perasaanmu.

Dengan definisi yang sempit ini pun, ternyata masih banyak orang-orang yang tidak merasa dirinya adalah bagian kelas pekerja. Entah karena tidak paham atau tidak mau saja. Kelompok ini umumnya adalah orang-orang yang sudah puas dengan nominal gajinya. Mereka menganggap gaji yang didapatkan sudah cucok dengan tugas mereka. Namun, sekali lagi, karena definisi pekerja adalah sesuatu yang objektif, maka sekalipun kau puas dengan gajimu, fakta bahwa kau adalah kelas pekerja tidak menjadi luntur. Kau tetaplah kelas pekerja, yang tidak punya kebebasan untuk menentukan apa yang akan kau produksi, bagaimana memproduksinya, ke mana nilai produksi itu akan mengalir, dan bagaimana pembagian nilai lebih dari produksi tersebut.

Namun demikian, seperti yang sudah saya nyatakan, definisi pekerja yang seperti ini terlalu sempit. Ia hanya merangkul sebagian pekerja saja dan mengabaikan yang lain. Jika kita mendefinisikan pekerja hanya sebagai orang-orang yang mendapatkan gaji, bagaimana dengan orang-orang yang tidak mendapatkan gaji? Ibu rumah tangga, pegiat komunitas, pelajar, adalah para pekerja yang tidak digaji. Ya, mereka adalah pekerja.

Ibu rumah tangga, misalnya, hasil kerjanya sangat krusial untuk membuat suaminya terus produktif di tempat kerja. Selain itu, ia juga merawat tumbuh-kembang anaknya yang kelak akan menjadi tenaga kerja (sebab keluarga mereka terpaksa harus bergantung pada kerja upahan untuk hidup). Jadi, seluruh perusahaan bergantung pada kerja-kerja para ibu rumah tangga. Tanpa kerja-kerja tersebut, perusahaan tidak bisa hidup karena tenaga kerja tidak tersedia. Lalu bagaimana bisa kita tidak menganggap para ibu rumah tangga sebagai pekerja?

Ibu rumah tangga, pegiat komunitas, pelajar dan aktivitas sejenis bisa kita bilang sebagai kerja reproduktif. Hasil kerja mereka memungkinkan tenaga kerja produktif bisa ada dan terus produktif. Mari kita ambil contoh pekerjaan ibu rumah tangga lagi. Suami si ibu ini ketika pulang kerja terbebas dari pekerjaan rumah tangga seperti mencuci baju, memasak, menyapu, mengasuh anak, dll. Ia hanya perlu mandi, makan, santai-santai, lalu istirahat. Esoknya, ia bisa bangun pagi, tidak telat sampai di tempat kerja, pikirannya segar, sehingga bisa kembali produktif.

Penjelasan lebih lanjut tentang kerja reproduktif bisa dibaca di sini.

Dampak pemahaman ini tentu saja signifikan. Salah satunya yaitu dalam pembuatan serikat pekerja dan penyusunan visi-misinya. Sampai saat ini, secara umum serikat pekerja hanya merangkul para pekerja berupah saja. Bahkan tidak semua pekerja berupah, tapi hanya pekerja yang statusnya pegawai tetap. Pekerja outsourcing, kontrak, freelance, masih luput dari rangkulan serikat pekerja.

Untungnya, mulai ada insiatif bagus dari SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi). Ia tidak hanya merangkul para pegawai tetap, tapi juga tenaga-tenaga kontrak dan freelance yang lebih rentan. Langkah ini perlu dilanjutkan, diperbanyak, dan tentu saja diperluas untuk pekerja-pekerja yang tidak bergaji.

Kita perlu meyingkirkan jauh-jauh definisi sempit pekerja a la kapitalisme, yang menganggap kerja hanyalah kerja produktif (kerja di pabrik, kantor, dll). Aktivitas reproduktif (ibu rumah tangga, pegiat komunitas, pelajar) adalah kerja juga!

Kategori
Kapital

Logika Platform dan Para Pekerja yang Semakin Terhempas

Anak muda hari ini, yang termasuk kelas menengah-atas dan berada di kota, sedang senang-senangnya bicara tentang platform. Walaupun arti kata “platform” dalam KBBI cukup luas, tapi yang dimaksud anak-anak muda ini umumnya mengacu pada platform digital, yakni website, aplikasi digital, dan akun media sosial. Sayangnya, sejauh pengamatan saya, obrolan tentang platform terlalu mengekor pada narasi yang dibawa oleh para CEO startup unicorn, pegawai negara yang ingin terlihat update, dan aktivis lawas alias tua yang berusaha keras untuk relevan, seperti Budiman Sudjatmiko. Ada satu pernyataan menggelikan dari Budiman, yang saya rasa mewakili mental keriuhan seputar platform: “Apps apa yang sudah kamu buat? Software apa yang sudah kamu buat untuk menyelesaikan masalah distribusi barang?”. Menurut Budiman, pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang perlu ditujukan pada anak muda hari ini. Bukan malah ditanya kenapa nggak sering demo. Sebab, kata Budiman, zaman sudah berubah. Berbagai macam persoalan kini bisa dengan mudah diselesaikan dengan membuat aplikasi, yang didukung teknologi mutakhir seperti blockchain dan artificial intelligence.

Mental berpikir para CEO startup unicorn dan Budiman ini, yang sedikit-sedikit bikin platform digital untuk “menyelesaikan” masalah ekonomi, sosial, dan politik, disebut sebagai solutionism oleh pengkritik teknologi terkemuka Evgeny Morozov. Bukannya membedah masalah mendasar dan struktural yang melanggengkan ketidakadilan, para solutionism hanya mengutak-atik permukaan atau efek di hilir saja. Memang dampaknya langsung kelihatan, mendapatkan banyak pujian, dan karenanya terasa menyejukkan hati. Dipuji sebagai orang-orang yang solutif dan inovatif menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Padahal masalah utamanya tidak terjamah.

Salah satu contoh solutionism yaitu Gojek dan Grab yang membuat layanan Go-Ride dan Grab Bike. Sejak kemunculannya sampai sekarang, layanan ini disebut sebagai inovasi yang luar biasa dalam bidang transportasi dan ekonomi. Di bidang transportasi, mereka membuat perjalanan semakin mudah dan cepat. Orang yang biasanya capek membawa kendaraan di tengah kemacetan atau berdesakan di angkutan umum, kini bisa cepat sampai tujuan dengan menggunakan ojek online. Di bidang ekonomi, dua perusahaan ini dipuji karena membuka banyak lapangan pekerjaan dengan model sharing economy (ekonomi berbagi).

Padahal, masalah mendasar transportasi adalah layanan kendaraan umum belum optimal sehingga tidak menjadi pilihan utama. Sedangkan masalah mendasar ekonomi adalah penguasaan aset yang terpusat di segelintir orang dan ketergantungan pada pertumbuhan terus-menerus, sehingga lama-lama jenuh. Dua perusahaan ini, Gojek dan Grab, muncul sebagai “solusi semu” bagi persoalan tersebut. Beberapa pegawai negara, yang pemalas dan miskin akal, girang bukan main dan berbusa-busa memuji “inovasi” ini. Ujungnya mudah ditebak, kemacetan tidak teratasi (malah semakin buruk, jalanan makin semrawut) dan sharing economy yang dulunya dielu-elukan kini terlihat jelas dijadikan alibi oleh perusahaan aplikasi untuk lepas dari tanggung jawab dan membuat pekerja semakin rentan.

Supaya tidak menjadi seperti orang-orang toxic positivity (racun optimisme) ini, yang terlalu percaya platform digital dan berbagai teknologi 4.0 akan menyelesaikan banyak masalah krusial, kita perlu memahami apa itu platform. Seperti apa alur logikanya, bagaimana ia bekerja, dan siapa saja yang menopang keberadaannya. Hal ini penting bagi pikiran dan imajinasi kita, agar tidak mudah diracuni oleh bacotan CEO startup dan aktivis karatan.

WAJAH PLATFORM

Platform punya beberapa wajah dan fungsi. Berikut saya urai satu per satu.

Semua bisa jadi pengusaha

Mencari kerja semakin sulit. Abaikan ocehan para penjaja industri 4.0 yang bilang penyebabnya adalah teknologi semakin berkembang pesat sehingga mengganti manusia di tempat kerja. Biang kerok utamanya adalah merosotnya sektor industri, sehingga tak lagi mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup. Padahal, manusia semakin banyak tinggal di kota dan bergantung pada lapangan pekerjaan di sektor ini. Ruang hidupnya di desa sudah hancur oleh perkebunan, pertambangan, pariwisata, atau memang dibiarkan mati perekonomiannya.

Terima kasih platform. Manusia kelas menengah-bawah kini tak lagi harus bergantung pada kerja upahan. Berkat platform, semua orang bisa menjadi pengusaha. Tak lagi butuh banyak modal untuk memulai. Cukup dengan barang dan tenaga yang sudah dimiliki, seperti sepeda motor, kamar kosong, keahlian memijit, atau kegemaran membuat kue. Banyak hal terpangkas, mulai dari modal awal, urusan administrasi, biaya pemasaran, sampai pengelolaan. Hal-hal yang sebelumnya menjadi hambatan bagi kelas menengah-bawah untuk bersaing di pasar transaksi. Yang penting mau bekerja keras. Kini persaingannya lebih setara. Privilege tak lagi menjadi tabir hambatan.

Begitulah kira-kira angan-angan mulia model bisnis platform.

Contohnya begini. Sebelum ada platform, orang yang mau bikin bisnis penginapan setidaknya harus keluar modal dan tenaga yang lumayan. Modal untuk membangun gedung penginapan beberapa kamar, biaya pemasaran, perawatan gedung, gaji pekerja, serta tenaga untuk mengurus berbagai syarat administrasi dan pengelolaan penginapan. Kini, Anda cukup punya kamar atau rumah kosong, lalu daftarkan di Airbnb. Anda pun sudah menjadi pengusaha penginapan yang mampu menjangkau pasar internasional.

Kemampuan platform untuk memberi kesempatan yang sama pada semua orang inilah yang disebut sebagai terobosan. Ia membobol tembok-tembok yang selama ini dibangun oleh para pebisnis kelas kakap atau pemodal besar. Platform memungkinkan ibu rumah tangga bersaing seorang diri dengan hotel di wilayahnya dalam bisnis penginapan. Platform dipandang sebagai sebuah wadah yang egaliter. Tidak hirarkis seperti korporasi lawas.

Namun demikian, kesan kesetaraan dan kebebasan yang ditempelkan pada platform adalah ilusi. Platform sangat hirarkis dan berhasrat untuk memonopoli segala bidang kehidupan. Walaupun kelihatannya antara penjual dan pembeli di Tokopedia berinteraksi secara bebas, cara mereka berinteraksi tetaplah diatur dan dikendalikan oleh Tokopedia. Tokopedia juga bisa sesuka hati mengubah aturan main yang ada. Usaha Tokopedia untuk merekrut sebanyak mungkin orang untuk menjadi pedagang tidak bisa kita pandang sebagai peluang kesetaraan ekonomi, tapi sebagai strategi dominasi di pasar kerja. Ya, semua orang kini bisa menjadi pengusaha. Tapi hanyalah pengusaha-pengusaha kecil yang dijadikan sapi perah.

Mengapa sapi perah? Pemilik platform untung besar dan terus berkembang umumnya karena mengalihkan berbagai biaya atau modal usaha kepada para pekerjanya. RedDoorz, misalnya. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya pembangunan atau sewa bangunan, operasional, dan biaya tidak terduga lainnya. Mereka lepas tangan dari urusan proses produksi dan pelayanan penginapan. Tanggung jawab ini dialihkan pada para pemilik penginapan. RedDoorz hanya membajak proses transaksi. Begitu juga dengan Grab yang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menyiapkan moda transportasi dan mengoperasikannya. Para pekerja RedDoorz dan Grab-lah, yang sebutannya diperhalus menjadi “mitra”, yang menyiapkan modal bisnis dan menjalakannya.

Membangun kekuatan politik

Salah satu yang paling menyebalkan dari bisnis ojek online adalah tuntutannya untuk diakui sebagai angkutan umum. Padahal, jelas-jelas dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Tahun 2009 sepeda motor tidak diakui atau dilarang menjadi angkutan umum. Hal ini karena sepeda motor tidak memenuhi syarat-syarat keselamatan dalam transportasi. Pengendara dan penumpangnya rentan mengalami kecelakaan fatal. Berdasarkan data kepolisian, 73 persen kecelakan di jalan melibatkan sepeda motor. Untungnya, baru-baru ini Wakil Ketua Komisi V DPR RI Nurhayati Monoarfa menyatakan sebagian besar fraksi menolak permohonan sepeda motor menjadi angkutan umum. Selain karena faktor keselamatan, penolakan ini juga untuk mengingatkan pemerintah bahwa penyediaan layanan transportasi umum yang berkualitas, bisa diandalkan, dan berkeselamatan adalah tanggung jawab mereka.

Sikap dari DPR ini tentu saja mendapatkan respon dari para pengemudi ojek online. Mereka kecewa. Sikap DPR akan membuat ojek online tetap menjadi angkutan umum yang ilegal. Alhasil, lapangan pekerjaan mereka menjadi serba terancam.

Gangguan pada layanan ojek online tentu saja akan memicu respon dari pengguna/konsumen. Mereka menikmati layanan ini. Berbagai urusan menjadi lebih mudah, mulai dari bepergian sampai memesan makanan dan minuman. Keluhan dari konsumen ini akan mudah direspon oleh para pegawai pemerintah, biar terkesan memihak pada rakyat. Saya sendiri susah lupa pada langkah Jokowi membatalkan keputusan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang melarang ojek online di tahun 2015. Menurut Jokowi, ojek online dibutuhkan oleh masyarakat.

Dari kilas balik peristiwa di atas, kita bisa melihat bahwa perusahaan platform sudah mempunyai kekuatan politik yang mampu menantang kekuatan birokrasi negara. Kekuatan politik yang saya maksud di sini bukan dalam ranah politik elektoral, tapi kemampuan membentuk logika atau pandangan publik tentang suatu masalah. Dalam kasus ojek online, perusahaan aplikasi sudah berhasil membuat rakyat semakin lupa pada haknya dalam transportasi. Orang-orang kini memandang dirinya sebagai konsumen, yang seharusnya diberi kebebasan memilih layanan transportasi. Negara tidak boleh melarang-larang ojek online karena layanan ini sangat memudahkan aktivitas sehari-hari. Mengapa negara anti-kemajuan? Mengapa anti-inovasi? Begitulah pertanyaan yang akan muncul dari pikiran konsumen. Kita semakin lupa bahwa kita adalah warga negara. Kita seharusnya dilayani oleh negara, terutama dalam kebutuhan mendasar seperti transportasi. Kita semakin tak sadar bahwa kita adalah rakyat yang terbentuk atas dasar solidaritas, bukan individualitas yang menjadi ciri konsumen.

Mengontrol pekerja lebih ketat

Sebelum era platform, sebenarnya kita sudah bisa melihat bahwa para pekerja manufaktur, misalnya industri peniti, sistem kerjanya dikontrol oleh mesin. Tiap bagian lini perakitan sudah punya tugas dan tanggung jawab masing-masing. Seluruh pekerja harus menyelesaikan pekerjaan di bagiannya agar sistem mesin berjalan dengan baik. Manusia menjadi penopang kinerja mesin dan daftar tugasnya disesuaikan dengan kebutuhan dan ritme operasional mesin.

Namun demikian, para pekerja manufaktur masih bisa mengelak dari rangkaian aturan lini perakitan. Mereka masih mampu memodifikasi beberapa metode kerja, agar pekerjaan bisa menjadi lebih mudah dan cepat bagi mereka. Kepastian status sebagai karyawan tetap dan lokasi kerja yang memungkinkan interaksi intens antar-pekerja, membuat mereka mampu bersama-sama mempertanyakan berbagai aturan dan kerja dari manajemen.

Di era platform, kontrol pemilik usaha kepada para pekerja lebih kuat lagi. Platform memungkinkan pemberi kerja menerjemahkan aturan kerja yang dikehendaki menjadi urutan perintah di aplikasi. Para pekerja harus mengikuti alur perintah tersebut secara tepat, tanpa modifikasi sedikitpun. Jika si pekerja tidak mengikutinya, pekerjaannya tidak akan selesai. Platform mendikte pekerjaan sampai hal-hal yang detail.

Penjual nasi uduk yang mendaftar di Grab Food harus mengikuti seluruh proses transaksi yang semuanya sudah ditetapkan dan diatur oleh Grab. Mulai dari apa saja informasi yang harus ia berikan, bagaimana barang jualannya ditampilkan, bagaimana ia menerima pesanan, berinteraksi dengan pembeli, memproses pesanan, sampai bagaimana mekanisme pembayaran yang ia dapatkan. Jika ada satu saja proses yang ia tak mau ikuti, transaksinya tidak akan selesai.

Apa yang dilakukan oleh platform sehingga ia bisa punya kontrol yang luar biasa besar pada pekerja?

Pertama, platform mengumpulkan sebanyak mungkin data operasional dan memonopolinya. Ia tidak membagikannya pada pekerja. Akhirnya, pekerja menjadi buta. Pekerja tidak tahu secara pasti kapan permintaan konsumen sedang banyak atau sedikit. Seorang penyedia jasa pijit yang mendaftarkan diri di perusahaan aplikasi tidak tahu kapan dan seberapa banyak pesanan dari konsumen. Ia pun tidak mendapatkan kepastian. Fleksibilitas kerja yang sering ditawarkan oleh bisnis platform sejatinya adalah bentuk ketidakpastian kerja.

Selain itu, pencatatan data seluruh aktivitas pekerja juga memungkinkan platform memasang berbagai target yang harus dipenuhi oleh pekerja. Misalnya, berapa lama pekerja harus menyediakan waktunya, berapa lama ia harus merespon, berapa minimal rating dari konsumen yang harus didapatkan, dan berapa banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mendapatkan tambahan upah yang layak?

Kedua, platform mengelabui pekerja dengan membuat berbagai bentuk gamesreward, notifikasi berisi pesan-pesan manis, dan berbagai cara lainnya agar pekerja selalu menyerahkan badan dan pikirannya pada aplikasi. Biar pekerja senang menggunakan aplikasi kerjanya dan terus berproduksi.

Yang terakhir, platform memungkin para pekerjanya tidak saling mengenal, karena bekerja di tempat yang berbeda-beda. Walaupun beberapa orang berpendapat ini adalah sistem yang bagus karena pekerja tidak perlu ke kantor, tapi ini juga membuat sesama pekerja sulit berserikat untuk menghadapi otoritas manajemen jika kebijakannya merugikan. Alhasil, platform semakin kuat cengkeramannya.

Memang ada fenomena para pengojek online yang solidaritasnya sangat kuat. Mereka mampu mendesak pemerintah membuat atau membatalkan sebuah kebijakan. Namun perlu dilihat juga apakah sistem organisasi mereka mampu melawan atau setidaknya bertahan dari logika sistem platform yang sangat eksploitatif ini.

Platform juga memunculkan metode kontrol baru. Jika perusahaan konvensional mengontrol pekerjanya secara terpusat, dengan melakukan berbagai evaluasi capaian kerja tiap periode, platform mengalihkan tugas evaluasi ini kepada konsumen. Konsumenlah yang diberikan kewenangan untuk menilai layanan dan hasil kerja seorang pekerja. Pekerja mendapatkan bonus atau sanksi berdasarkan penilaian tersebut. Contohnya dengan sistem rating bintang dan komentar. Sudah sering kita mendengar seorang pekerja ojek online diblokir akunnya karena mendapatkan bintang 1 dari konsumen.

Pendelegasian kontrol ini membuat Platform semakin kurang tugasnya sebagai sebuah perusahaan. Ia bisa mengurangi biaya dan tenaga yang seharusnya digunakan untuk menjalankan evaluasi. Namun, jangan salah mengira bahwa kekuatan untuk mengontrol pekerja sudah tidak lagi di tangan platform. Seperti yang dikemukakan oleh Eka Kurniawan di Jawa Pos. Ia bilang, kekuasaan untuk mengontrol tindak-tanduk orang lain kini tidak lagi terpusat di tangan penguasa, tapi terdistribusi ke hampir semua orang. Ia mencontohkan perilaku orang-orang di media sosial, yang hobinya “sekadar mengingatkan” tingkah laku orang lain yang tidak sejalan dengan keyakinannya. Kata Eka:

“[…] yang kita hadapi bukanlah kekuasaan terpusat yang sangat kuat, tapi kekuasaan yang memencar dan terus-menerus mencari perimbangan dalam dirinya. Sebagian merupakan kelompok-kelompok kuat, baik karena jumlah, uang, maupun teknologi. Kelompok-kelompok kecil bukan berarti gampang dihadapi. Sering kali mereka lebih berisik, mengganggu. Mati satu tumbuh seribu.”

Setiap orang yang mempunyai media sosial memang bisa nyolot ke akun lain yang tidak ia sukai. Namun, perilaku orang lain yang seperti apa yang muncul di lini masanya, cara ia nyolot ke orang lain, serta bagaimana omongan nyolot tersebut terdistribusi ke akun-akun lain, semuanya diatur oleh platform. Di sinilah Eka Kurniawan keliru dengan menganggap kuasa untuk mengontrol sudah terdistribusi. Yang terdistribusi adalah aktivitas mengontrolnya, sedangkan kuasa (power) untuk mengatur sistem kontrol semakin terpusat di platform.

PEKERJA PLATFORM

Setelah menjelaskan wajah-wajah platform yang sesunguhnya, berikut ini saya akan menuliskan 5 macam pekerja platform beserta uraian yang saya rasa perlu. Supaya jelas, siapa saja sebenarnya penggerak utama bisnis platform.

“Inovator”

Pekerja platform yang pertama ialah orang-orang yang sering disebut media sebagai “inovator”. Mereka adalah para pendiri start up yang produktif membuat berbagai macam platform. Semakin banyak bidang kehidupan yang kini dicaplok oleh platform, mulai dari keuangan, pertanian, perikanan, transportasi, belanja bahan pokok, investasi, sampai pendidikan. Sayangnya, walaupun lahan bisnisnya berbeda-beda, secara umum bentuk platform yang muncul bisa dibilang serupa. Sebagian besar wajah platform yang hadir mengikuti model yang sudah saya uraikan panjang lebar di atas.

Para “inovator” ini bisa dilihat sebagai orang-orang yang “kreatif”, pekerja keras, yang mau begadang panjang demi menemukan lahan baru yang bisa di-platform-kan. Harapannya, “inovasi” yang mereka temukan mampu menarik lirikan para pemodal besar untuk berinvestasi di platformnya. Jika kita mau jujur, sebetulnya “inovasi” para pendiri start up ini tidak inovatif-inovatif amat. Bentuknya begitu-begitu saja. Mereka hanya terus berusaha memburu berbagai bentuk kehidupan yang belum dimasuki bisnis platform.

Kondisi ini sangat disayangkan. Mereka-mereka ini adalah para pemuda yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi yang sangat layak, yang kebanyakan orang tidak mendapatkannya, tapi “inovasi”nya tidak ke mana-mana karena pemahamannya pada platform digital sudah diracuni oleh narasi CEO start up unicorn. Para “inovator” ini tidak lagi punya bayangan tentang model platform yang lain, yang koordinasi sosialnya bukan hanya kompetesi dan pasar bebas, tapi solidaritas.

Yang termasuk kategori “inovator” ini bukan hanya para pendiri start up sebetulnya, tapi juga para pekerja tetap di perusahaan platform. Mereka inilah yang sebetulnya terus melakukan inovasi hari demi hari, selama bekerja. Patut dicatat juga bahwa untuk perusahaan platform yang masih kecil, pendiri dan pekerja sering kali adalah orang yang sama.

Freelancer

Ini adalah para pekerja yang menawarkan berbagai keahlian top hari ini, seperti desain grafis, pemprograman komputer, jurnalisme, content creator, dan analisis data. Berbeda dengan pekerja tetap, kontrak mereka dengan pemberi kerja hanya per proyek. Mereka banyak ditemui di platform seperti Sribulancer dan FastWork. Para freelancer bisa memperoleh pendapatan yang layak jika mendapatkan pekerjaan yang bagus dan mampu menyelesaikan banyak pekerjaan. Walaupun, tentu saja, sering kali waktu kerjanya bisa lebih panjang dan tak menentu. Antara waktu istirahat dan bekerja sering tak ada bedanya.

Bentuk hubungan kerja yang semacam ini sebetulnya sudah ada sebelum era platform. Kita mengenalnya sebagai outsourcing. Sistem outsourcing adalah strategi perusahaan konvensional untuk mengurangi biaya membayar karyawan. Banyak hal terpotong dengan sistem outsourcing, yakni bonus kerja, iuran asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, dan pesangon. Platform mempercepat dan memperluas penerapan sistem kerja yang seperti ini. Dengan konsep freelance, platform sebetulnya menghilangkan peran perusahaan outsourcing, dengan memanfaatkan teknologi terkini yang memungkinkan pengusaha langsung berhubungan dengan pekerja outsource. Alhasil, lebih banyak lagi biaya yang bisa dihemat.

Pekerja Gig

Biasanya, pekerja gig disamakan dengan freelancer. Namun, sesungguhnya perlu dibedakan. Mereka umumnya adalah pekerja jasa yang meskipun berinteraksi di platform dengan konsumen, tapi juga harus melaksanakan tugas di lapangan. Mereka adalah para pengemudi ojek daring, jasa pijat, jasa bersih-bersih kamar, jasa antar-makanan dan barang, dan pekerjaan lain yang sejenis. Mereka adalah pekerja yang bayarannya minim dan harus terbebani dengan biaya operasional serta risiko. Misalnya risiko kecelakaan bagi para pengemudi ojek daring, atau pelecehan seksual bagi pijat online. Selain itu, pekerja gig juga harus menghadapi komplain dari pelanggan beserta konsekuensinya. Sedangkan si platform lepas tangan.

Pelatih algoritma

Pekerja industri 4.0 sering kali dianggap sebagai orang-orang yang punya skill tinggi. Padahal, para pengisi survei di internet, pengetes berbagai aplikasi dan website baru, dan kerjaan lain yang intinya mengajari algoritma agar semakin pintar adalah pekerja industri 4.0 juga. Mereka adalah pekerja kognitif yang tidak memerlukan keahlian tinggi, cukup tahan saja melakukan berbagai pekerjaan berulang-ulang. Seluruh kegiatan kerja dilakukan secara online.

Pemilik akun media sosial

Semua orang yang beraktivitas di Twitter, Facebook, Instagram, dan media sosial lainnya selama ini tidak dianggap sebagai pekerja. Padahal, mereka memproduksi nilai yang dijadikan profit oleh pemilik platform. Seluruh konten yang mereka hasilkan, baik itu berupa teks, gambar, video, atau gabungan ketiganya adalah produk yang ditampilkan oleh platform kepada pengguna lain.

Para pengguna medsos, kita, adalah produsen sekaligus konsumen. Data aktvitas kita di media sosial, mau itu isinya kisah cinta, sedih, amarah, hinaan, cacian, ekspresi agama, politik, nasihat, maupun dakwah, semuanya dijadikan komoditas oleh platform untuk dijual kepada para pengiklan. Saya sudah pernah membahasnya secara detail di artikel berjudul “Kita adalah Bahan Baku, Buruh, dan Komoditas dalam Ekonomi Digital”. Menyedihkannya lagi, kerja-kerja yang dilakukan kelompok ini tidak dibayar oleh platform. Hanya sebagian kecil saja yang bisa menjadikan kontennya penghasil uang, misalnya dengan menerima endorse. Tapi toh itu bukan dari platform.

Kategori
Society

Mencintai Pekerjaan yang Berbasis Upah adalah Sebuah Kegilaan

Beberapa orang sangat mencintai pekerjaannya. Saking cintanya, ia merasa aktivitas bekerja adalah hidup itu sendiri. Ia menemukan dirinya saat bekerja. Ia merasakan kepuasan yang amat nikmat ketika bisa menyalurkan segala keahliannya, mulai dari keterampilan fisik, pikiran, hingga emosi, menjadi aktivitas yang berguna bagi dirinya secara ekonomi dan juga masyarakat luas. Lama-lama ia percaya, bekerja adalah salah satu sarana yang efektif untuk aktualisasi diri. Profesi yang ia idam-idamkan sejak kanak-kanak kini menjadi kenyataan.

Perasaan seperti uraian di atas lebih mudah hinggap pada orang yang pekerjaannya berhubungan dengan “kemajuan masyarakat”. Misalnya pekerja konstruksi. Pegawai pemerintah, politisi, media massa, dosen, dan tentunya masyarakat sendiri kerap kali melabeli profesi ini sebagai pekerjaan yang tidak hanya cukup menjanjikan secara finansial, tapi juga berkontribusi pada “pembangunan bangsa”. Mereka, para pekerja konstruksi, membangun bendungan untuk mengairi sawah; membangun jalan untuk meningkatkan keterhubungan; membangun gedung perkantoran berlantai banyak untuk memajukan kegiatan ekonomi; membangun dinding sungai untuk mencegah banjir; dst.

Contoh lainnya yaitu profesi yang bergerak di bidang pelayanan publik, seperti tukang ledeng. Orang-orang yang bekerja di bidang ini mudah terjerumus pada ilusi dengan menganggap pekerjaannya adalah aksi-aksi yang heroik. Apalagi saat melihat sebuah keluarga tersenyum bahagia karena air bersih sudah mengalir lancar ke rumahnya. Perasaan nikmat semacam ini akhirnya mengelabui alam bawah sadar si tukang ledeng. Ia menjadi sangat semangat bekerja. Bahkan ia sukarela mengerjakan tugas di luar tanggung jawabnya. Ia tidak hanya mencurahkan fisik dan pikirannya, tapi juga emosinya untuk membangun kerja sama tim, koordinasi, kekompakan, agar pelayanan air bersih semakin handal. Dengan melakukan ini, ia pikir perusahaan akan semakin baik dalam pelayanan, sehingga semakin banyak masyarakat yang mendapatkan manfaatnya.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Kini ada kecenderungan kuat para pekerja menyerahkan seluruh potensi yang dimiliknya (fisik, pikiran, softskill) kepada perusahaan/lembaga negara tempat ia bekerja karena merasa nyaman, dihargai, dibayar “pantas”, dimanusiakan, dianggap keluarga, dan dijamin “masa depannya”.”[/mks_pullquote]

Pola pikir semacam ini juga bisa menjangkiti jurnalis yang merasa tulisan-tulisannya sangat berguna bagi kejernihan informasi di ruang publik; dosen yang merasa aktivitas mengajarnya mencerdaskan kehidupan bangsa; dan pegawai start up marketplace (Bukalapak, Shopee, Tokopedia, dll) yang merasa pekerjaannya membantu kehidupan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah).

Saya bukannya ingin bilang bahwa profesi-profesi di atas sesungguhnya tidak ada gunanya bagi masyarakat, atau negara, atau bangsa. Mungkin memang ada gunanya dan berdampak luas. Saya tidak ingin masuk ke perdebatan itu. Yang saya ingin permasalahkan, kini ada kecenderungan kuat para pekerja menyerahkan seluruh potensi yang dimiliknya (fisik, pikiran, softskill) kepada perusahaan/lembaga negara tempat ia bekerja karena merasa nyaman, betah, bahagia, dihargai, dibayar “pantas”, dimanusiakan, dilibatkan, dipuji, dianggap keluarga, dan dijamin “masa depannya”. Titik paling ekstrim dari sikap mental semacam ini, yaitu seperti yang saya tulis di awal, si pekerja menganggap pekerjaannya adalah bagian dari hidupnya.

Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa ada orang begitu yang cinta pada pekerjaannya sampai menyerahkan seluruh jiwanya? Apakah mental pekerja yang seperti ini memang sudah ada sejak munculnya sistem kerja upahan yang eksploitatif di masa revolusi industri pertama?

Untuk membongkar hal ini, kita perlu menyelidiki apakah sistem manajemen sumberdaya manusia di perusahaan masa kini berbeda dengan beberapa era sebelumnya? Jika iya, apakah perubahan sistem manajemen tersebut berpengaruh pada persepsi pekerja terhadap pekerjaannya?

HENRY FORD

Di era sebelumnya, tugas pekerja di pabrik atau perusahaan sangat spesifik dan monoton. Ia melakukan pekerjaan yang itu-itu saja. Karena berulang-ulang, lama kelamaan ia tidak perlu lagi berpikir untuk melakukannya. Tinggal dikerjakan saja. Bisa jadi ia bisa bekerja sambil melamun, saking hafalnya. Pekerja ini tidak perlu memeras emosi, kreatifitas, dan softskill-nya untuk bekerja.

Sistem kerja yang seperti ini, menurut narasi populer, dimulai oleh Henry Ford. Ia bersama koleganya pada tahun 1903 membangun sebuah perusahaan bernama Ford Motor Company yang memproduksi mobil secara masif. Ia banyak menggunakan metode Scientific Management yang ditemukan oleh peneliti bernama Frederick W. Taylor. Sederhananya, metode manajemen seperti ini memecah sebuah pekerjaan besar menjadi beberapa pekerjaan kecil yang lebih spesifik. Beberapa pekerjaan kecil tersebut terkait secara linier. Misalnya, untuk memproduksi mobil Ford, pekerjaan dipecah menjadi produksi ban, mesin, mur-baut, kaca, rangka, dll. Tiap-tiap pekerjaan ini dikerjakan khusus dan terpisah oleh pekerja yang berbeda-beda. Tiap pekerja sudah punya tugas masing-masing. Jadi pekerja ban tidak mengerjakan pekerjaan mesin, dan sebaliknya. Setelah masing-masing bagian ini siap, dibawalah ke sebuah tempat untuk dirakit. Metode semacam ini kemudian digunakan secara luas di dunia industri manufaktur. Kini kita mengenalnya sebagai metode lini perakitan (assembly line).

Dengan menerapkan metode tersebut, Ford berhasil memproduksi mobil secara massal. Ini membuat Ford sukses besar karena perusahaan mobil lain belum bisa melakukannya, sebab masih menggunakan metode produksi yang lama, yaitu semua bahan mobil dikerjakan langsung di suatu tempat tanpa pembagian tugas yang spesifik bagi pekerjanya. Selain itu, hasrat membeli mobil pada zaman tersebut memang sedang bergairah.

Karena diproduksi secara massal, proses produksi memerlukan standar, agar kualitas barang konsisten. Lalu disusunlah standar ban, mesin, rangka, dan bagian-bagian lainnya. Penyusunan standar ini membuat pekerja melakukan pekerjaan yang berulang-ulang, dan seperti yang saya nyatakan sebelumnya, pekerja sampai tidak perlu banyak berpikir. Sudah hafal. Ini membuat pekerja sedikit sekali menggunakan kreatifitasnya untuk bekerja.

ERA BARU

Metode produksi yang diterapkan Ford ternyata tidak berjalan mulus dalam jangka panjang. Ia menemui titik jenuh. Barang berstandar yang diproduksi secara massal akhirnya membuat pasar kelebihan suplai. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan perusahaan dalam menciptakan hasrat-hasrat baru di benak konsumen. Para pembeli akhirnya bosan karena barang yang muncul itu-itu saja. Monoton.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Perusahaan tidak lagi berproduksi/membuat barang berdasarkan kemauan perusahaan sendiri atau standar-standar yang sudah ditentukan. Kini perusahaan membuat barang berdasarkan kemauan konsumen.”[/mks_pullquote]

Keadaan tersebut membuat para pemilik modal jumbo berpikir keras bagaimana mengatasi kesulitan tersebut. Entah kapan dan di mana munculnya, hari ini sudah banyak perusahaan yang menerapkan metode produksi baru. Bagaimana metodenya? Perusahaan tidak lagi berproduksi/membuat barang berdasarkan kemauan perusahaan sendiri atau standar-standar yang sudah ditentukan. Kini perusahaan membuat barang berdasarkan kemauan konsumen. Ini bisa dilihat dengan maraknya studi konsumen yang dilakukan oleh perusahaan. Mereka ingin tahu apa yang sedang dihasrati oleh para pembeli.

Namun, kita perlu hati-hati dalam hal ini. Apakah benar itu memang kemauan konsumen? Apakah konsumen memang tahu apa yang benar-benar mereka inginkan? Masihkah konsumen mampu membedakan antara keinginan dan kebutuhan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas jika ditelusuri terus akan membuat kita bergumam, “Tidak, konsumen tidak tahu. Hasrat konsumen untuk membeli barang dan jasa bisa dibentuk.” Amatilah bagaimana produk-produk baru bermunculan lalu digemari. Dari amatan tersebut akan tersingkap, produk tersebut laku keras bukan hanya karena kegunaannya. Bahkan faktor kegunaan semakin kecil pengaruhnya. Yang paling berpengaruh adalah cerita di baliknya. Bagaimana orang-orang menggunakannya? Apakah orang saya kagumi menyukainya? Waw, ada misi kemanusiaan di balik produk tersebut! Luar biasa, saya bisa membantu sesama dengan membeli barang ini! Gila, saya merasa sedang bersama artis Korea dambaan saya ketika menggunakan barang ini!

Perusahaan yang mengetahui fakta ini akan mengatur sedemikian rupa agar iklim kerja di perusahaannya tidak hanya membuat pekerja bekerja seadanya, sesuai tugas masing-masing, seperti pada zaman Henry Ford. Suasana perusahaan harus mendorong para pekerjanya bisa bekerja secara kreatif. Bekerja secara kreatif sangat penting bagi perusahaan yang ingin terus eksis di zaman ini. Mengapa? Karena produk harus terus dibuat spesifik. Produk tidak boleh umum/monoton. Perusahaan harus selalu membuat produk-produk baru yang mempunyai perbedaan dengan produk sebelumnya. Perbedaan ini sangat penting, sebab konsumen hari ini sebetulnya mengkonsumsi perbedaan. Dengan mengkonsumsi produk yang berbeda, konsumen bisa membentuk identitas baru yang berbeda dengan yang sudah ada. Sang konsumen pun bisa berteriak pada dunia, “Ini gue! Gue berbeda!”

Barang dan jasa yang baru, spesifik, berbeda, punya identitas, hanya bisa muncul dari para pekerja yang terus menyerahkan keahlian kreatifnya/softskill-nya pada perusahaan. Perusahaan melakukan apapun untuk mewujudkan hal itu. Ia membuat program jalan-jalan, outbound, dan sarana refreshing lainnya. Ia mendesain tempat kerja agar nyaman bagi pekerjanya, sehingga tidak terasa sedang bekerja, malah seperti di rumah. Ia mengatur agar para manajer dan direktur tidak berjarak secara emosional dengan bawahannya. Harus dekat, akrab, bersahabat. Para manajer dan direktur diatur agar tidak menghalang-halangi ide yang muncul dari bawahannya. Harapannya, dengan iklim yang seperti ini, potensi kreatif dari para pekerja terus bermunculan.

Saya merasa perlu mengutip beberapa manfaat outbond yang ditulis Markaz Organizer:

  1. Meningkatkan kemampuan aktualisasi diri seorang karyawan,
  2. Menumbuhkan jiwa leadership karyawan yang mungkin selama ini belum tampak,
  3. Melatih kerja sama tim,
  4. Menumbuhkan arti penting kebersamaan,
  5. Menjadi sarana refreshing bagi karyawan.

Markaz Organizer menambahkan, dengan beragam jenis permainan outbound yang diselenggarakan, harapannya karyawan semakin bersemangat ketika kembali bekerja dan dapat melahirkan ide-ide serta terobosan yang bermanfaat bagi kemajuan perusahaan. Ini adalah penjelasan yang sangat jujur di balik penyelenggaraan outbound. Jadi para pekerja jangan sekali-kali berpikir bahwa outbound diselenggarakan karena perusahaan peduli dengan kesehatan mental karyawannya. Apalagi sampai berpikir bahwa perusahaan sudah terasa bagai keluarga. Kita, kelas pekerja, harus terus ingat bahwa perusahaan melakukan hal tersebut (menciptakan iklim kerja yang nyaman, membungkus kerja menjadi aksi-aksi heroik atas nama “pembangunan” atau “pelayanan masyarakat”), karena tanpa kegiatan/iklim perusahaan semacam itu, umur perusahaan tidak akan panjang.

Sialnya, manajemen perusahaan yang berubah ini malah membuat beberapa pekerja menjadi cinta buta pada pekerjaan/profesinya. Motifnya bermacam-macam. Ada yang cinta buta karena merasa dihargai di lingkungan kerja, menemukan dirinya dalam kerja-kerja yang ia lakukan, merasa bermanfaat bagi sesama, merasa ikut mencerdaskan bangsa, merasa ikut menyehatkan sesama, dan bahkan menemukan arti hidup dalam profesinya. Tidak ada kata lain yang pas untuk menyebut fenomena ini selain “kegilaan”. Kita telah menjadi gila karena seluruh jiwa kita dirampas oleh tempat kerja. Jiwa kita hancur.

Kategori
Kapital

Mimpi-mimpi Buruk dalam Omnibus Law Cipta Kerja

Jika berbicara ketenagakerjaan, kita akan dihadapkan pada tiga istilah populer, yaitu buruh, pekerja, dan karyawan. Mungkin sebagian dari kita masih mempertanyakan, apa sih perbedaan dari ketiganya? Kalau memang sama, kenapa harus dibedakan?

Faktanya, sebagian orang memang masih menganggap buruh adalah mereka yang bekerja pada bidang rendahan, kasar, dan utamanya mengandalkan kekuatan otot. Karena dianggap hanya mengandalkan otot, buruh seolah-olah menjadi pekerjaan paling hina dan kerap dipandang sebelah mata. Di sisi lain, pekerja/karyawan adalah mereka yang dianggap bekerja pada sektor lebih ‘tinggi’ seperti perkantoran dan umumnya mengandalkan isi otak. Menjadi karyawan bisa jadi nilai plus karena untuk mencapainya saja butuh gelar pendidikan dan pengalaman.

Perbedaan pemaknaan istilah buruh dan pekerja/karyawan ini menandakan adanya gap yang timpang antarpekerja itu sendiri. Padahal kenyataannya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 3, menjelaskan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Selama kita bukan pemilik modal, maka kita adalah buruh/pekerja. Selama kita masih menerima upah, maka kita tetap menjadi buruh maupun pekerja.

Saya rasa sudah basi banget deh jika kita terus-terusan merasa bahwa pekerja dan buruh adalah dua hal yang berbeda. Tak peduli bagaimana kau mengindentifikasikan diri, nasibmu dan pekerjaanmu akan bergantung pada omnibus law yang “cilaka” itu.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Selama kita bukan pemilik modal, maka kita adalah buruh/pekerja. Selama kita masih menerima upah, maka kita tetap menjadi buruh maupun pekerja.”[/mks_pullquote]

Menurut kamus Hukum Merriam-Webster, istilah omnibus law sebenarnya berasal dari omnibus bill, yaitu undang-undang yang mencakup berbagai isu atau topik. Kata “omnibus” sendiri berasal dari bahasa Latin yang berarti “segalanya”. Nah, tujuan pemerintah mengajukan omnibus kepada DPR adalah untuk mengamendemen beberapa UU sekaligus. Plus, katanya sih, RUU tersebut disiapkan untuk memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ekonomi global.

Salah satu polemik yang dihadapi ketika muncul wacana omnibus law adalah persoalan tenaga kerja. Sebagai pekerja, kita pasti ingin dong hak-hak kita dilindungi oleh pemerintah? Namun, adanya pengajuan RUU ini justru menimbulkan kontroversi karena dikhawatirkan akan melanggengkan sistem perbudakan di kalangan buruh/pekerja.

Setidaknya, sepemahaman saya, ada 5 poin utama yang berpotensi menimbulkan kontroversi di kalangan buruh/pekerja, yaitu sebagai berikut.

Dihapusnya upah minimum

Katanya, pemerintah ingin mengatur sistem upah per jam yang artinya akan menghilangkan sistem upah minimum. Jadi, apabila buruh/pekerja mampu bekerja 40 jam setiap minggu, maka ia akan mendapatkan upah seperti biasa. Masalahnya, kalau jam kerja buruh/pekerja kurang dari 40 jam dalam seminggu, upah yang dibayarkan pasti akan di bawah minimum kan?

Padahal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sudah cukup berpihak pada buruh karena pekerja tidak boleh mendapatkan upah di bawah upah mininum. Artinya, kalau hal tersebut masih dilakukan, sama saja dengan kejahatan dan pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.

Lhawong sudah ada aturan bagus begini saja, masih banyak pengusaha nakal yang ngasih gaji di bawah UMR. Masih ada juga pengusaha otoriter yang maksa-maksa kerja di atas 40 jam. Lah gimana jadinya kalau aturan ngawur ini ditetapkan? Duh, makin nangis menjadi buruh 😦

Cuti Khusus Ditiadakan

Pada UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemberi kerja diharuskan tetap membayarkan upah kepada pekerja yang sakit, hari pertama dan kedua masa haid hingga melahirkan. Namun sayangnya, Omnibus Law hanya menjelaskan bahwa pekerja yang tidak masuk kerja atau tidak melakukan kerja karena berhalangan, maka upahnya tidak dibayarkan. Keputusan dibayar atau tidaknya upah pekerja ketika tidak bekerja ini sepenuhnya adalah kewenangan pengusaha.

Jadi, jelas kan kalau aturan ini sangat memberatkan buruh, terutama perempuan? Padahal Menteri Lingkungan Hidup Jepang, Shinjiro Koizumi saja mau mengambil cuti melahirkan untuk ayah berkenaan dengan kelahiran anaknya. Masa aturan cuti di Indonesia masih pakai sistem rodi gini?

Tidak Ada Pesangon Lagi

Sebagai mantan pekerja yang pernah terkena lay-off alias efisiensi karyawan, saya merasa kebijakan ini nggak jelas dan abu-abu. Dalam Pasal 156 Ayat (1) dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa “ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Namun, dalam Omnibus Law Cipta Kerja hanya dijelaskan bahwa ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. Dengan kata lain, perubahan ini menandakan ketiadaan jaminan bagi pekerja untuk mendapatkan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Duh, masih untung di-PHK masih dapet pesangon. Lah kalau pekerja/buruh dipaksa menandatangani surat resign agar perusahaan terhindar dari kewajiban membayar pesangon gimana? Ada jaminan nggak kalau perusahaan tidak akan berbuat seenak udelnya sendiri?

Tidak Ada Kejelasan Status Pekerja dan Maraknya Tenaga Outsourcing

Bicara soal status pekerja, ada dua istilah perjanjian kerja yang perlu diketahui, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Menurut Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi No. 100/MEN/IV.2004, PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Dengan kata lain, PKWT adalah karyawan kontrak dan tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. PKWT dapat berjalan paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.

Nah, perjanjian kerja dengan model PKWT tidak mengenal uang pesangon. Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja tersebut diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Sementara itu, Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja yang pekerjanya memiliki hubungan kerja bersifat tetap. Biasanya pekerja jenis ini boleh melalui proses percobaan (probation) selama maksimal 3 bulan. Selama masa percobaan tersebut pengusaha tidak boleh mengupah pekerja di bawah upah minimum yang berlaku. Selain itu, pekerja yang bekerja dengan model PKWTT ini juga berhak mendapatkan pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Beberapa pekerjaan yang dianggap bisa dilakukan dalam satu waktu pun akan dialihkan menjadi tenaga outsourcing, sehingga pengusaha atau perusahaan tidak perlu repot-repot membayar uang pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja.”[/mks_pullquote]

Sayangnya, dalam omnibus law, perjanjian kerja diatur melalui fleksibilitas pasar kerja. Alias tidak ada lagi kepastian kerja dan pengangkatan status menjadi karyawan tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Apabila aturan ini ditetapkan, maka buruh/pekerja rentan terkena PHK. Beberapa pekerjaan yang dianggap bisa dilakukan dalam satu waktu pun akan dialihkan menjadi tenaga outsourcing, sehingga pengusaha atau perusahaan tidak perlu repot-repot membayar uang pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja. Selain itu, pekerja juga terancam tidak mendapatkan jaminan sosial seperti jaminan hari tua dan jaminan pensiun.

Kesempatan Luas bagi Tenaga Kerja Asing

Kabarnya nih, omnibus law akan membuka ruang yang lebih lebar bagi para tenaga kerja asing (TKA). Padahal UU Ketenagakerjaan sudah mengatur bahwa jabatan yang boleh diduduki oleh TKA adalah yang membutuhkan keterampilan tertentu dan belum dimiliki oleh pekerja lokal. Mengutip dari CNBC Indonesia, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan bahwa perizinan TKA akan lebih dipermudah tanpa harus melalui birokrasi yang berbelit-belit.

Meskipun begitu, TKA yang dimaksud hanya boleh bekerja selama 2 bulan saja dan apabila diperpanjang masa kerjanya maksimal hanya 1 bulan. Setelah itu, TKA diperbolehkan untuk kembali ke negaranya.

Namun, bukankah dengan dipermudahnya akses hubungan kerja dengan TKA, justru malah membuka peluang ‘nakal’ bagi para ekspatriat? Lhawong nggak ada peraturan seperti ini saja, saya jamin, masih banyak kok TKA yang berseliweran di sana-sini dengan bebas. Seorang teman yang bekerja di sebuah agency di Bali, pernah bercerita kalau kebanyakan TKA tidak memiliki izin khusus untuk bekerja. Bahkan visa yang dimiliki pun hanya menggunakan visa turis, bukan visa kerja. Para TKA ini bebas membuat ‘perusahaan’, merekrut karyawan, dan tentunya mendapatkan hak istimewa berupa gaji yang cukup besar dibandingkan dengan orang Indonesia sendiri. Duh, miris banget nggak sih? Apakah ini yang dinamakan kolonialisme dunia modern?

Sebagai pekerja/buruh aktif, saya jelas menolak keberadaan omnibus law cipta kerja. Sebab, peraturan ngawur dan sok tau ini hanya akan menambah daftar kekerasan negara terhadap rakyat. Sebaliknya, negara malah terang-terangan memberikan kekebalan dan hak istimewa kepada para pengusaha (dan kapitalisme). Kalau begitu, nggak ada artinya dong amanah untuk menyejahterakan rakyat? 🙂