Kategori
Society

Siasat Supir Bus di Tengah Situasi Sulit Masa Pandemi

Ini perjalanan ke sekian kali naik bus antar-kota antar-provinsi (AKAP). Hanya saja dengan suasana berbeda. Perjalanan kali ini terjadi di masa pandemi.

Boleh jadi, sepenggal kisah ini jamak terjadi dalam keseharian pelaku dan penggerak perekonomian di sektor transportasi massal di tanah air. Kisah kali ini membahas seputar ‘siasat’ sopir bus di tengah krisis akibat dampak pandemi.

Kategori
Infrastruktur Politik

Evaluasi Skema Pembiayaan Infrastruktur dan Proses Pembangunan di Rezim Jokowi

Di sektor transportasi darat, Presiden Jokowi menargetkan ada 1800 km jalan tol baru, ribuan kilometer perbaikan jalan nasional, ribuan kilometer jalan rel, ratusan unit jembatan, satu paket Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta hingga puluhan bandara yang harus terselesaikan pada tahun 2019. Selain bertujuan untuk mengurai kemacetan, dalih pengadaan infrastruktur ini ditujukan untuk menekan biaya logistik hingga mencapai 20%.

Belum lagi pembangunan ribuan kilometer saluran irigasi, ratusan pasar, ratusan unit rumah susun sederhana sewa (rusunawa), puluhan ribu perumahan rakyat, puluhan pos lintas batas negara (PLBN), 49 bendungan, pembangkitan listrik tenaga uap (PLTU), pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan pelabuhan yang tentunya menelan biaya yang sangat besar selama 5 tahun ini.

Untuk mencapai ambisi pembangunan ini, banyak anggaran dana sektor lain yang dikorbankan. Salah satunya dengan mengorbankan alokasi dana subsidi energi seperti pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang malah mengakibatkan barang dan jasa mengalami inflasi lebih tinggi. Dengan berbagai usaha itu pun, paling nekat, pemerintah hanya berani mengalokasikan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sektor infrastruktur sebesar 415 triliun untuk tahun anggaran 2019 (20% dari APBN), meningkat dari dari tahun 2015 yang hanya 256 triliun, lalu berturut-turut 269 Triliun di tahun 2016, 388 triliun di tahun 2017, dan tahun lalu 410 triliun. Apakah penganggaran dana yang besar itu cukup untuk membiayai seluruh pembangunan? Sayangnya tidak.

Menurut para ahli ekonomi, Jokowi akan menghabiskan setidaknya 4000 triliun untuk membangun infrastuktur sampai masa pemerintahannya habis. Jika dilihat dari APBN infrastruktur selama 5 tahun di atas, angggap saja masih ada kekurangan anggaran 2000 triliun. Lalu dari mana asal dana 2000 triliun untuk menutupi kekurangan biaya pesta pembangunan Jokowi yang progresif itu?

Program Tax Amnesty, Usaha yang Gagal

Bulan Maret tahun 2018 sering kita dengar pemberitaan tentang Tax Amnesty (pengampunan pajak). Program ini ditempuh untuk mewujudkan ambisi pembangunan pemerintah dengan menekan para pembangkang pajak agar segera bertaubat, menjadi warga negara yang baik rutin bayar pajak. Program ini setidaknya punya dua tujuan. Pertama, tujuan jangka panjang, yaitu untuk meningkatkan pendapatan pajak tahunan di tahun-tahun kedepan. Kedua, tujuan jangka pendek, yaitu mengumpulkan dana repatriasi pembangkang pajak untuk menutup sebagian besar kekurangan biaya pembangunan dengan target pendapatan sampai 1000 triliun.

Sialnya, dari target capaian dana repatriasi sebesar 1000 triliun, yang terkumpul hanya 147 triliun atau 14,7 persen saja. Sehingga, dapat dikatakan program Tax Amnesty ini gatot alias gagal total untuk menolong ambisi pembangunan Jokowi.

Kebijakan Utang

Proyek pembangunan yang sangat banyak membuat anggaran belanja negara kita kian melecit tajam, jauh lebih besar dibanding pendapatan negara yang terkumpul. Akhirnya, defisit anggaran inilah yang menyebabkan pemerintah terpaksa harus berutang. Misalnya untuk saat ini, dalam rangka memenuhi APBN tahun 2018, pemerintah menyiapkan skenario utang dengan menerbitkan surat berharga negara (SBN) sebesar 414 triliun. Tetapi  ironisnya, 247,6  dari 414 triliun tersebut akan terbuang sia-sia hanya untuk membayar bunga utang-utang sebelumnya.

Skenario utang selanjutnya adalah mengajukan permintaan bantuan utang kepada negara sahabat atau pun lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). Secara persentase, 90 persen bentuk bantuan utang adalah berupa bantuan proyek, 10 persen lainnya berupa bantuan dana tunai. Contoh yang dapat kita lihat dari bantuan proyek adalah pembangunan MRT Jakarta dari Jepang, Water Resource and Irrigation Sector Management Program Phase-2 (WISMP-2) dari Bank Dunia, dan program tol laut dari Bank Dunia.

Meski kebijakan utang ini dinilai efektif untuk membantu mewujudkan program pemerintah, tapi banyak juga pihak-pihak yang berteriak lantang menentang kebijakan itu. Pasalnya, utang negara saat ini sudah mencapai 3866 trilliun dan akan bertambah menjadi 4280 triliun jika SBN baru resmi diterbitkan. Utang ini diprediksi para ahli ekonomi akan mencapai 5000 triliun pada akhir kepemimpinan Jokowi.

Namun, jika dilihat rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), Indonesia masih dalam batas aman dengan nilai sekitar 28 persen (di bawah angka aman 30 persen). Nilai rasio itu lebih kecil daripada negara ASEAN lainnya, bahkan jauh lebih kecil dari pada negara maju seperti Jepang (220 persen), Amerika (107 persen), Perancis (98 persen), Inggris (89 persen) dan Jerman (68 persen). Harus kita ketahui bahwa rata-rata waktu jatuh tempo pun masih aman yaitu selama 8,8 tahun (di atas 5 tahun).

Walaupun beberapa indikator menyatakan utang Indonesia masih aman, kebijakan utang ini harus diwaspadai. Jangan sampai pemerintah terus menuhankan kebijakan utang sebagai solusi utama untuk menutup masalah finansial negara. Karena bagaimana pun juga, bunga utang tersebut akan senantiasa membebani anggaran negara. Jika hal ini terus terjadi, maka akan ada dampak serius di kemudian hari, yakni harga tawar Indonesia di mata pihak pemberi utang menjadi semakin rendah. Akibatnya, kebijakan Indonesia mudah terintervensi. Si pemberi utang akan memaksa pemerintah membuat produk kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat secara penuh.

Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)

Kita masih mempunyai pertanyaan besar: bagaimana memenuhi ambisi pembangunan dengan kekurangan biaya mencapai 2000 triliun? Program Tax Amnesty faktanya tidak banyak membantu. Sejalan dengan kegagalan program tersebut, pemerintah juga ditekan untuk menghentikan perilaku utang yang sudah terlanjur dilakukan. Lalu, kalau sudah begitu, apakah kita harus memupuskan target pembangunan yang agung itu dan kembali mengandalkan APBN murni untuk membiayai proyek? Apakah kita rela menunggu lambatnya pembangunan gara-gara seretnya pembiayaan? Yang pasti tidak.

Berbagai kajian juga mengatakan, sangatlah tidak mungkin pembangunan negara sebesar ini dilakukan hanya dengan dana APBN saja. Oleh sebab itu kita membutuhkan bantuan. Solusi utamanya adalah mengikutsertakan swasta dalam skema pembangunan infrastruktur prioritas di Indonesia. Namun, untuk menjalankan program ini, pemerintah harus siap menghadapi banyak hambatan dan tantangan. Salah satu hambatannya yang sudah diterima adalah penyerangan dan pembelokan isu oleh beberapa oknum beberapa waktu lalu yang ingin menjatuhkan Jokowi dengan mengatakan, “Pemerintah jual-jual aset negara. Jalan, jembatan, pelabuhan hingga BUMN dijual semua.”

Isu “jual-jual aset” tersebut mungkin dilontarkan oleh orang yang kurang memahami skema kerjasama pemerintah-swasta yang biasa disebut public private partnership (PPP). Jadi asal nyeplos saja bilang ada transaksi jual beli aset kepada swasta, mentang-mentang pernah dilakukan pemerintahan periode dulu (penjualan Indosat dan Telkom oleh Presiden Megawati). Padahal tidak seperti demikian. Ya bisa dimaklumi, pada musim pemilu ini, isu apa pun, selagi bisa menjatuhkan lawan bisa digoreng.

Skema PPP ini banyak bentuknya, klasifikasinya antara lain: built own operate, build develop operate, design construct management finance, buy build operate, lease develop operate, warp around addition, built operate transfer, build own operate transfer, build rent own transfer, build lease operate transfer, dan build transfer operate (IMF, 2006). Partisipasi swasta dengan skema-skema tersebut dianggap membuat investasi publik menjadi menarik, terutama bagi negara-negara penganut ekonomi liberalisme untuk mempercepat pembangunan infrastruktur negaranya. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Ya sama, skema PPP inilah yang dibangun oleh pemerintah untuk memenuhi target pembangunan dengan kekurangan biaya 2000 triliun tersebut.

Pilihan pemerintah Indonesia jatuh kepada skema build operate transfer karena pemerintah masih ingin mengontrol PPP dengan mengadakan sebagian anggaran dan penjaminan risiko proyek. Singkatnya, skema ini memungkinkan pihak swasta untuk membangun infrastruktur yang diprioritaskan oleh pemerintah, lalu diberikan kesempatan mengambil keuntungan dari dioperasikannya infrastruktur tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Lalu setelah jatuh tempo, aset infrastruktur harus diserahkan kepada pemerintah.

Contohnya adalah pembangunan jalan tol. Ada pihak developer swasta yang ingin bekerjasama untuk membangun jalan. Lalu setelah proyek selesai dikerjakan, pihak developer tersebut diberikan kesempatan waktu 20 tahun untuk mengambil keuntungan dari tiket masuk tol. Setelah 20 tahun, tol tersebut diserahkan kepada pemerintah, lalu jalannya bisa digratiskan untuk umum oleh pemerintah.

Pastinya ada beberapa kelemahan dari skema built operate transfer ini. Salah satunya adalah kesulitan menarik investor. Developer mau pun investor hanya tertarik untuk berperan dalam proyek yang sifatnya sangat vital saja seperti Jalan Tol, MRT, Light Rapid Transit (LRT), pelabuhan dan PLTU. Sedangkan untuk pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), Sistem Pengelolaan Air Limbah (SPAL), rusunawa, dan jaringan irigasi kurang diminati karena nilai indeks pengembalian (Internal Rate of Return) tidak jelas.

Lalu, apakah skema yang lain bisa lebih baik? Ya tidak juga. Daripada buang tenaga mengganti skema baru yang tentunya membutuhkan tenaga untuk membuat regulasi baru, pemerintah sebaiknya lebih fokus untuk menghadapi tantangan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) ke depannya.

Tantangan pengembangan KPS/PPP kedepan, antara lain:

  1. Pemerintah perlu mengubah pola pikir Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dalam merencanakan skema pembiayaan proyek. Yaitu dengan mengalokasikan APBN infrastruktur sebagai fasilitator dan katalisator, sedangkan investasi swasta sebagai tulang punggung pembiayaan infrastruktur.
  2. Pemerintah bersama PJPK perlu menyiapkan dana untuk meningkatkan kelayakan proyek, baik dalam bentuk dukungan penyediaan tanah, fiskal, dan sebagian konstruksi.
    Meningkatkan minat perbankan dan institusi pembiayaan dalam negeri lainnya dalam pembiayaan proyek KPS dengan mendorong perubahan strategi bisnis dari yang awalnya Corporate Finance menjadi Project Finance.
  3. Harus ada penyelarasan/integrasi dalam keseluruhan proses pelaksanaan proyek, mulai dari penyiapan, transaksi dan perijinan sehingga ada kepastian jangka waktu dan proses dalam pelaksanaan proyek KPS.

Salah satu langkah awal yang dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut adalah dengan mengintegrasikan antara siklus perencanaan dan pelaksanaan proyek KPS dengan siklus perencanaan dan Penganggaran Tahunan dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Langkah kedua yang dapat dilakukan adalah membuka pintu bagi Pemerintah Daerah menerbitkan surat obligasi untuk membantu pembiayaan dalam rangka percepatan pembangunan di daerah masing-masing.

Evaluasi Proses Pembangunan

Kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur memang mau tidak mau harus dilakukan oleh siapa pun (ganti atau nggak ganti) presiden Indonesia mendatang. Namun skema untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur itu perlu didasari dengan perencanaan yang matang dan tentunya berkelanjutan. Perencanaan yang matang artinya pembangunan benar-benar diproyeksikan menjadi sesuatu yang menguntungkan dan tidak merugikan berbagai pihak. Jangan sampai hanya karena untuk mengejar target selesai pembangunan, mengorbankan sisi kemanusiaannya, misal tidak memperhatikan nasib orang tergusur/terdampak proyek.

Ganti untung saja tidak cukup. Pemerintah juga wajib mengganti lahan pekerjaan yang hilang akibat proyek pembangunan. Pemerintah seharusnya juga mengajak para terdampak ikut serta menikmati bunga pembangunan, misal selain memberikan uang ganti rugi, pihak terdampak juga diberikan sebagian saham dari operasional infrastruktur tersebut (untuk infrastruktur PPP komersil seperti jalan tol, bandara, pertambangan, atau industri). Sehingga masyarakat terdampak juga menikmati pertambahan nilai tahun ke tahun dari tanah yang direlakannya. Dan pemerintah wajib menyiapkan skema peraturan untuk mewujudkan itu.

Pembangunan harus berkelanjutan artinya pembangunan infrastruktur harus disertai proyeksi pembangunan sektor yang lain seperti ekonomi, industri, pariwisata, budaya, serta secara teknis dapat memenuhi masa layan bangunan (biasanya 50 Tahun). Sehingga nilai guna infrastruktur itu juga tinggi dan tidak dirasa terlalu mahal jika dilihat besarnya manfaat yang ditimbulkan.

Namun di balik semua itu, banyak yang dapat dikritik dari pembangunan di era Jokowi dan dapat dijadikan pelajaran kedepan. Kesan pembangunan mendadak (spontan) dan kejar target selama 5 tahun ini menimbulkan berbagai kontra, terutama dari kalangan aktivis lingkungan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seperti tidak diindahkan dan hanya dijadikan formalitas belaka. Padahal, AMDAL ini sangat penting untuk mengetahui kualitas lingkungan sebagai penunjang kehidupan di masa mendatang. AMDAL menjawab berbagai pertanyaan seberapa tinggikah pembangunan itu mempunyai risiko merusak lingkungan atau diterjang bencana, lalu bagaimana skema pencegahan dan mitigasi dari permasalahan tersebut?

AMDAL seharusnya dibuat dengan serius dengan penilaiaan yang sangat objektif. Jangan dipaksakan AMDAL seolah-olah “ok” namun nyatanya “belum tentu”. Contoh saja pembangunan New Yogyakarta International Air Port (NYIA) di Kulon Progo yang diproyeksikan menjadi aerocity, kota baru yang mengerubungi area bandara. Padahal menurut dokumen perencanaan nasional, area tersebut menjadi zona rawan bencana dan seharusnya dihindari untuk pembangunan skala besar. Okelah kalau memang infrastruktur bandaranya dibangun dengan konsep “anti gempa” dan “anti tsunami”. Nah, apa kabar dengan bangunan-bangunan aerocitynya? Apakah nantinya juga dibangun dengan konsep “anti gempa”? Kalau tidak bisa menjamin itu, yaa, penduduk aerocity-lah yang akan menjadi korbannya. Inilah yang seharusnya ada dalam AMDAL. Segala risiko dijelaskan secara detail dengan membuat parameter hitungan kuantitatif yang hasilnya akhirnya “ok” atau “tidak ok”. Kalau dipaksakan ya silahkan tanggung risikonya.

Kesimpulan

Pembangunan infrastruktur harus didasarkan kepada skala prioritas dan dokumen perencanaan jangka panjang yang telah dibuat. Jangan spontan ingin membangun tapi belum tahu bagaimana dampak dan manfaatnya kedepan.

Di sisi lain, pemerintahan Jokowi sudah baik dalam menuntaskan proyek-proyek yang diwacanakan sejak lama. Namun di sisi lainnya, kejar target infrastruktur yang terlalu menggebu-gebu yang cenderung memaksakan pembangunan tanpa didasari pelaksanaan feasibility study serius, akhirnya menimbulkan banyak kontra dikalangan aktivis lingkungan dan aktivis sosial karena timbul banyak kerugian masyarakat terdampak pembangunan dan kerusakan lingkungan.

Skema pembiayaan entah itu PPP, KPS atau yang lainnya juga harus direncanakan sedemikian sehingga dapat menarik lebih banyak investor lokal. Investor lokal yang tidak hanya dari kalangan konglomerat saja, tapi juga dari himpunan masyarakat yang menyatukan modalnya untuk turut serta dalam investasi bidang infrastruktur. Pemerintah harus menyiapkan wadah ini dan melakukan sosialisasi secara luas. Agar tidak hanya kalangan orang kaya saja yang menikmati bunga pembangunan, namun masyarakat dengan modal kecil yang terhimpun juga dapat menikmati madunya. Tidak menutup kemungkinan nanti ada “TOLMIRA” (Tol Milik Rakyat), “TOLMIBUTU” (Tol Milik Buruh Bersatu) dan lain sebagainya.

Kita berharap masa kepemimpinan kedepan, skema pembiayaan yang melibatkan investasi di kalangan masyarakat menjadi sebuah pertimbangan serius dan feasibility study (studi kelayakan pembangunan) juga dilakukan lebih konsisten sebelum dieksekusinya sebuah pembangunan. Tujuannya tidak lain agar tiada lagi masyarakat yang dirugikan dalam masa proses pelaksanaan maupun masa operasional infrastuktur tersebut. Sebaliknya, manfaatnya benar-benar dapat dirasakan masyarakat secara luas.

Kategori
Transportasi

Logistik Jawa Bagian Pertama: Trans Jawa Ternyata Tak Seperti yang Diduga

Pada 21 januari 2019 tarif Tol Trans Jawa resmi berbayar penuh setelah sebelumnya digratiskan saat baru diresmikan. Tarif Tol Trans Jawa ini ternyata membawa masalah terhadap pengemudi truk yang biasa membawa logistik. Mereka menilai bahwa tarif Tol Trans Jawa terlalu mahal sehingga membebani biaya logistik.

Menurut para supir truk, jika menggunakan Tol Trans Jawa, maka uang operasional mereka akan habis di jalan dan tidak bisa membawa pulang uang saku. Tidak adanya peningkatan uang jalan dari pemilik perusahaan membuat supir truk akhirnya kembali menggunakan jalur pantura.

Setelah adanya penetapan tarif normal Tol Trans Jawa, menurut data Dinas Perhubungan Kota Pekalongan, kenaikan lalu lintas di Kota Pekalongan naik sebesar 70%. Kenaikan tersebut didominasi oleh truk yang semula hanya 200 truk per jam hingga menjadi dua kali lipatnya9.

Menurut Corporate Finance Group Head PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR) Eka Setia Adrianto tidak semua operator mengeluhkan mahalnya harga Tol Trans Jawa. Justru beberapa ada yang berbahagia karena dengan adanya Tol Trans Jawa, waktu perjalanan terpangkas hingga setengahnya. Sehingga ritase (perjalanan pergi-pulang) dan efesiensi waktu akan menjadi lebih tinggi.

Baca juga: Biar Sukses, Tol Probolinggo-Banyuwangi Perlu Dibarengi Pengembangan Pelabuhan

Kendaraan logistik berat memang kerap menjadi topik debat praktisi politik, sosial, ekonomi, dan bisnis. Banyak negara yang menggratiskan tol untuk kendaraan logistik berat. Namun, banyak juga negara yang mengimplementasikan pembayaran pada tol.

Pemilik jasa ekspedisi harus memutar otak karena mereka harus mengatur strategi keuangan untuk bisa beroperasi dengan sehat.

Biaya Komponen Logistik

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa yang menjadi permasalahan utama dari mengeluhnya operator dan supir truk adalah tingginya biaya tol. Tarif tol ini kemudian akan meningkatkan biaya logistik yang harus dibebankan kepada operator. Tetapi sebenarnya apa saja komponen biaya keseluruhan yang harus ditanggung oleh operator? Biaya yang harus ditanggung operator secara garis besar dibagi menjadi dua, komponen tetap dan komponen operasional.

Baca juga: Terima Kasih Pak Jokowi, Jalan Tol Membuat Perjalanan Saya Singkat dan Enak

Untuk komponen tetap hal yang pertama adalah operator harus mempuyai modal untuk menyediakan atau mengadakan kendaraan logistik. Modal untuk membeli kendaraan ini yang kemudian menjadi salah satu komponen biaya yang harus ditanggung oleh operator. Tidak lupa juga kendaraan ini harus diasuransikan sesuai dengan masa layannya.

Sebelumnya operator telah memprediksi panjang umur kendaraan. Hal ini berguna untuk menghitung penurunan nilai dari kendaraan tersebut. Misal sebuah truk mempunyai masa layan sebelas tahun, sehingga setelah waktu sebelas tahun maka nilai truk tersebut menjadi nilai sisa. Selisih nilai sisa dengan harga kendaraan saat ini dibagi dengan jumlah tahun kendaraan tersebut menghasilkan nilai depresiasi per tahun.

Baca juga: Transjogja dan Masalah Transportasi Perkotaan yang Tak Akan Selesai

Misal, suatu kendaraan memiliki harga 1 miliar rupiah dan memiliki masa layan selama sepuluh tahun. Setelah sepuluh tahun dianggap harga kendaraan tersebut habis atau nol. Maka nilai depresiasi per tahun adalah seratus juta rupiah. Tentu saja perhitungan nilai depresiasi barang ini disederhanakan agar mudah dipahami.

Biaya modal lainnya yang harus ditanggung oleh operator adalah biaya untuk menggantikan kendaraan tersebut apabila sudah melewati masa layan. Biaya ini juga dibagi per tahun sampai pada saatnya perusahaan harus membeli kendaraan baru. Biaya modal untuk kendaraan ini juga memperhitungkan keausan ban dan biaya untuk perawatan bengkel.

Biaya operasional terdiri dari biaya bahan bakar, biaya tol (kalau lewat tol), biaya makan dan kebutuhan supir, biaya jembatan timbang, biaya tak terduga (ban bocor), dan lain-lain. Biaya-biaya tersebut dibebankan pada saat kendaraan membawa logistik sedangkan jika kendaraan tidak bergerak maka tidak memakan biaya operasional.

Apakah Tol Membuat Logistik Menjadi lebih Murah?

Jika melihat dari rincian biaya logistik yang ada di atas maka kita dapat membedah beragam biaya tersebut sesuai dengan rincian biaya-biaya beban perusahaan. Jika kita menggunakan tol, maka seharusnya waktu tempuh akan menjadi lebih rendah dikarenakan minimnya hambatan pada jalan tol. Truk juga tidak harus melewati jembatan timbang, sehingga biaya terpotong.

Permasalahan ekonomi dalam memilih tol atau jalan biasa adalah perbandingan antara waktu dengan biaya. Biaya tol akan menjadi masalah jika waktu yang dihemat tidak sebanding dengan harga. Biaya tol akan dapat diterima jika waktu yang dihemat jauh dari biaya yang dikeluarkan, sehingga ritase kendaraan akan lebih besar.

Baca juga: Banjir Bukan Salah Hujan

Namun permasalahan selanjutnya, biaya tol terlalu tinggi sehingga biaya operasional menjadi tinggi. Tingginya biaya tol sangat terasa karena untuk truk dan trailer dari Jakarta menuju Surabaya bisa di atas satu juta rupiah untuk biaya tolnya. Kenaikan biaya operasional ini sangat signifikan jika yang dibandingkan hanya biaya operasional.

Perlu ada studi lebih lanjut tentang efesiensi biaya. Tol banyak berpengaruh pada menurunkan harga pokok seperti bahan bakar, penggunaan ban, suku cadang, dan biaya modal kendaraan itu sendiri. Dengan menggunakan tol, maka kendaraan tidak banyak berhenti dan lebih halus perjalanannya. Jadi, saat menghitung biaya keseluruhan, harusnya lewat tol akan lebih hemat untuk jangka panjang.

Pertanyaannya adalah, bagaimana cara untuk menurunkan harga tol agar bisa sesuai dengan ekspektasi operator logistik? Pertama, kebijakan harga ini tergantung bagaimana model bisnis yang diterapkan oleh negara. Negara bisa menggunakan uang pajak untuk membangun tol, atau bisa menunjuk perusahaan untuk bekerja sama dengan pemerintah dengan sistem konsesi.

Jika jalan tol dibiayai oleh pemerintah, maka salah satu cara untuk menekan biaya tol adalah dengan menaikkan pajak. Kenaikan pajak yang paling berhubungan adalah pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar yang tentu saja akan menimbulkan protes besar-besaran di negara Indonesia.

Baca juga: Banjir di Tol Madiun, Apakah Tolnya Salah Desain?

Pilihan kedua adalah dengan cara konsesi. Untuk menekan biaya pengembalian investasi dengan harga yang lebih murah, maka harus dilakukan perpanjangan masa konsesi. Misalnya konsesi antara perusahaan dan pemerintah tadinya tiga puluh tahun, maka diperpanjang menjadi lima puluh tahun agar biaya tol dapat ditekan.

Narasi pemerintah yang berkata bahwa Tol Trans Jawa dimaksudkan untuk menekan biaya logistik patut dikaji lebih dalam. Ternyata permasalahan antara logistik dengan biaya tol yang mahal tidak terjadi di Indonesia saja, namun terjadi juga di negara-negara Eropa. Tol Trans Jawa akan lebih masuk akal apabila dinarasikan untuk mengurangi beban saat musim lebaran, bukan untuk menurunkan harga logistik.

Lalu bagaimana caranya untuk menekan biaya logistik? Biaya logistik dapat ditekan salah satunya dengan cara memilih moda transportasi yang tepat. Pertanyaannya bagaimana cara memilih moda transportasi yang tepat untuk logistik? Pembahasan tersebut akan kami lanjutkan pada artikel yang akan datang.

Kategori
Transportasi

Transjogja dan Masalah Transportasi Perkotaan yang Tak Akan Selesai

Sebagai kota pelajar, Yogyakarta setiap tahunnya terus kedatangan mahasiswa-mahasiswa dari luar daerah yang akan menuntut ilmu di kota ini. Pada tahun 2018, khusus untuk UGM saja terdapat 9.152 mahasiswa baru. Jika setengahnya saja berasal dari luar daerah, berarti lebih dari 4500 mahasiswa yang akan tinggal di kota ini. Belum lagi di universitas-universitas lain yang juga menerima mahasiswa baru dari luar kota. Padahal mahasiswa lama yang telah menyelesaikan studi tidak semua pergi meninggalkan kota ini, dan juga masih banyak yang belum menyelesaikan studinya.
 
Salah satu masalah yang akan dihadapi oleh daerah ini akibat dari pendatang tahunan ini adalah perihal transportasi. Saat ini sangat wajar setiap orang memiliki kendaraan masing-masing. Hampir semua orang memiliki kendaraan pribadi sebagai sarana mobilitas hariannya. Termasuk mahasiswa perantau yang datang untuk menuntut ilmu di kota ini. Bukan hanya sepeda motor, tidak sedikit pula yang menggunakan mobil. Apalagi sekarang banyak indekos yang sudah menyediakan fasilitas parkir mobil bagi penghuninya.
 
 
Secara kasat mata, tanpa perlu analisis lalu lintas, terlihat jelas kemacetan sudah menjadi masalah yang pelik di wilayah Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul). Ketersediaan transportasi massal bukanlah jawaban atas kemacetan yang ada, karena pada kenyataannya pengguna layanan ini hanya didominasi oleh pelajar, turis, dan lansia. Sangat jarang terlihat pekerja atau mahasiswa menggunakan Trans Jogja untuk bepergian. Bahkan sering kali bangku penumpang, yang jumlahnya hanya dua puluh itu, tidak penuh di luar jam sibuk.
 
Selalu ada saja alasan untuk tidak menggunakan Trans Jogja. Masalah informasi mengenai rute trayek yang paling sering. Padahal pramugara/pramugari di setiap armada maupun penjaga di halte selalu bersedia untuk menjelaskan dengan detail trayek yang harus dinaiki beserta lokasi transitnya jika penumpang bertanya. Bahkan mereka akan menuliskannya di secarik kertas sebagai petunjuk untuk memudahkan penumpang mengikuti instruksinya.
 
 
Memang Trans Jogja mempunyai kekurangan yang telak jika dibandingkan dengan kendaraan pribadi maupun transportasi daring kalau berbicara soal waktu perjalanan. Waktu tempuh yang terlalu lama dan waktu tunggu yang tidak menentu jelas jauh dari kenyamanan kendaraan yang selalu siap kau nyalakan. Tapi pernahkah kita berpikir kalau kurangnya armada bus juga ditentukan berdasarkan penggunanya dan lamanya waktu tempuh bus adalah akibat dari kemacetan jalan yang diakibatkan kendaraan-kendaraan pribadi itu?
 
Lebih dari perencanaan yang baik, kecerdasan kolektif masyarakat diperlukan untuk mewujudkan transportasi ideal. Ironisnya, hal itu belum terjadi di kota pelajar.
Kategori
Transportasi

Pelan-Pelan Orang Akan Kembali ke Taksi Konvensional

Datangnya taksi online (taksol) melawan taksi konvensional (takkon) dianggap sebagai inovasi model bisnis yang menjadi disrupsi bagi dunia transportasi umum non-trayek. Harga yang pasti dan relatif lebih murah membuat taksol menjadi pilihan banyak masyarakat. Stigma terhadap harga takkon yang bisa “argo kuda” pun menjadi salah satu alasan orang banyak berpindah ke jasa taksol.

Perbedaan harga antara taksol dengan takkon dipengaruhi oleh banyak hal. Takkon harus memenuhi banyak persyaratan agar perusahaan takkon tersebut dapat diberikan izin oleh Kementrian Perhubungan (Kemenhub). Salah satu contohnya adalah minimal harus punya lima kendaraan, harus memiliki tempat penyimpanan kendaraan, memiliki bengkel sendiri, serta memiliki pengemudi yang memiliki izin khusus.

Selain syarat investasi yang besar di atas, perusahaan takkon harus mengurus izin yang cukup sulit dan banyak. Selain hal teknis, perusahaan juga harus mempersiapkan manajemen, layanan pelanggan, pengelolaan sumber daya manusia, pemasaran, asuransi, dan masih banyak lagi. Investasi besar ini yang kemudian membuat harga tarif takkon jadi menggelembung.

Penyedia jasa taksol kemudian mengambil celah ini, dengan sistem sharing economy (ekonomi berbagi) yang menggunakan masyarakat sebagai aset utama penyedia jasa taksol, biaya birokrasi yang sangat besar tersebut dapat dipangkas. Karena tidak perlu menyiapkan armada sendiri, perusahaan penyedia jasa taksol menjadi lebih mudah dan murah untuk mengembangkan bisnisnya.

Sistem sharing economy ini ternyata memiliki kelemahan. Walaupun pihak manajemen penyedia aplikasi sudah melakukan upaya-upaya untuk memperkecil human error pada mitra pengemudinya, masih banyak variabel yang tidak dapat dikontrol. Hal ini berkaitan dengan pelayanan dan kenyamanan penumpang.

Pertama, tidak adanya seleksi yang bersifat kemampuan dari penyedia jasa taksol. Seleksi untuk menjadi mitra pengemudi taksol lebih banyak ditekankan pada masalah administrasi seperti KTP, KK, SKCK, STNK, dan lain-lain. Tidak ada pemeriksaan kendaraan yang dilakukan oleh manajemen aplikasi taksol. Kemudian tidak ada juga tes kemampuan mitra pengemudi sehingga aplikasi taksol hanya menilai performa dari banyaknya pekerjaan yang diselesaikan bukan dari kualitas pekerjaan.

Kedua, walaupun ada sistem lapor, seringkali terjadi perbedaan kendaraan dan/atau perbedaan pengemudi. Perbedaan kendaraan dan/atau pengemudi ini sangat berisiko terhadap keamanan dan keselamatan penumpang. Walaupun model bisnis taksol ini bukan sepenuhnya sebagai angkutan umum non-trayek, tetapi penyedia jasa apapun wajib menjaga pelanggannya.

Ketiga, jumlah armada yang banyak tidak menjamin ketersediaan armada dalam memenuhi permintaan pelanggan. Sistem kerja yang tidak diatur membuat ketersediaan armada yang stand by tidak dapat dipastikan. Sering ada kejadian pada jam sibuk, ketika lalu lintas sangat padat, ketersediaan taksol malah sangat jarang, karena dipengaruhi oleh mood dari pengemudi.

Hal-hal di atas seringkali diremehkan oleh pelanggan. Padahal pelanggan mempunyai hak untuk mendapatkan kenyamanan dan keselamatan dalam bertransportasi. Hal yang dibandingkan pelanggan hanyalah masalah harga. Pelanggan mencari harga yang termurah tanpa memikirkan pelayanan yang akan mereka dapatkan.

Persaingan antara taksol dan takkon adalah masalah persepsi dalam menentukan model bisnis. Taksol menerapkan perang harga termurah dengan cara memotong pengeluaran sebesar-besarnya. Takkon menerapkan sistem value added atau penambahan nilai dengan cara memberikan pelayanan yang lebih nyaman dan lebih aman daripada taksol.

Tantangan untuk takkon adalah memberikan pelayanan yang membuat pelanggan lebih nyaman dalam menggunakan jasa takkon, seperti memberikan harga yang pasti untuk pelanggan, ketepatan waktu penjemputan, ketersediaan armada, dan pengalaman berkendara yang dapat membuat pelanggan rela mengeluarkan uang yang lebih untuk menggunakan jasa taksi konvensional.

Apabila taksi konvensional dapat menemukan formula yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut, maka pelan-pelan pelanggan taksol akan mulai berpindah kembali ke takkon. Asal pelanggan bisa disadarkan akan pentingnya keamanan, keselamatan, dan kenyamanan dalam bertransportasi.