Kategori
Society

Siasat Supir Bus di Tengah Situasi Sulit Masa Pandemi

Ini perjalanan ke sekian kali naik bus antar-kota antar-provinsi (AKAP). Hanya saja dengan suasana berbeda. Perjalanan kali ini terjadi di masa pandemi.

Boleh jadi, sepenggal kisah ini jamak terjadi dalam keseharian pelaku dan penggerak perekonomian di sektor transportasi massal di tanah air. Kisah kali ini membahas seputar ‘siasat’ sopir bus di tengah krisis akibat dampak pandemi.

Kategori
Transportasi

Satu Desa Satu Bus: Layanan Transportasi dengan Semangat Kebersamaan

Salah satu tantangan terbesar penyediaan transportasi publik di pedesaan adalah minimnya jumlah penumpang. Penduduk desa relatif lebih sedikit daripada perkotaan. Jarak antar-rumah lebih renggang, bahkan berjauhan. Kebutuhan perjalanan pun jelas lebih sedikit.

Kondisi yang seperti ini membuat layanan transportasi di pedesaan sangat sulit dilayani oleh perusahaan swasta, yang kepentingan utamanya adalah profit. Di mana-mana gagal. Pendapatan dari ongkos perjalanan tidak menutupi biaya operasional.

Guru Besar Transportasi Teknik Sipil UGM, Sigit Priyanto di Tribun Jogja edisi 23 April 2018 menyatakan bahwa pemerintah daerah harus memberi subsidi untuk Angkudes (angkutan desa). Pasalnya, penumpang Angkudes tidak stabil dari sisi permintaan (demand). Bahkan, menurut Sigit, fungsi Angkudes sesungguhnya adalah mengembangkan ekonomi daerah dengan membuka akses ke daerah-daerah terisolir.

Namun demikian, kemampuan dana dari pemerintah daerah seringkali juga terbatas. Selain itu, untuk menentukan mana trayek yang lebih layak untuk dilayani oleh Angkudes yang disubsidi juga menghadapi berbagai kesulitan. Dengan jumlah armada yang terbatas, bagaimana kita menentukan bahwa wilayah tertentu dari pedesaaan layak untuk dikembangkan dengan menyediakan layanan Angkudes, sementara sebagian wilayah lain tidak?

Dengan kesulitan dan keterbatasan dana pemerintah ini, maka salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menyerahkan pengaturan trayek kepada masyarakat langsung. Cukup sediakan armadanya, tapi tidak perlu ditentukan trayeknya secara kaku melalui analisis teknik dari para insinyur transportasi. Biarkan penduduk desa, dengan panduan dari aparatur desa, yang tiap hari menentukan daerah mana yang perlu dilayani oleh armada tersebut. Model teknisnya bisa dengan meminta masyarakat melapor ke desa jika membutuhkan layanan kendaraan massal, nanti diputuskan bersama mana kebutuhan yang paling mendesak.

Ide semacam ini muncul dalam perhelatan Pilkada 2020. Calon bupati dan calon wakil bupati Jember, Faida-Vian menjanjikan pengadaan 1 desa 1 bus. Ide ini merupakan pengembangan dari program sebelumnya, yaitu 1 desa 1 ambulans yang terealisasi di periode pertama Faida menjabat.

Program kerja 1 desa 1 bus ini, seperti yang sudah diuraikan di atas, sangat cocok dengan karakter transportasi pedesaan. Permintaan perjalanan yang tidak terlalu banyak dan pola perjalanan yang sangat bervariasi antar-kelompok menuntut improvisasi trayek secara terus-menerus. Misalnya, di hari sekolah, bus ini digunakan untuk antar-jemput anak sekolah. Setelah itu, di sore hari, bus diperlukan oleh para ibu yang ingin menengok anggota PKK yang sedang sakit, seperti dalam film TILIK. Lalu, pada hari Minggu, bus digunakan oleh tim sepak bola desa yang akan melakukan pertandingan persahabatan dengan desa lain yang cukup jauh. Kebutuhan yang bermacam-macam ini tidak dapat terpenuhi jika model layanan transportasinya menerapkan trayek yang kaku.

Model ini juga lebih baik daripada layanan transportasi berbasis aplikasi yang sudah menjamur di perkotaan. Layanan yang lebih populer dengan sebutan ojek online dan taksi online ini memang beroperasi dengan trayek yang fleksibel juga. Namun, trayek atau jalur perjalanannya hanya menyesuaikan kebutuhan individu. Layanan ini sangat individualis. Ia tidak memungkinkan antar-penumpang, antar-masyarakat, saling berkoordinasi, berembug, dan bekerjasama dalam soal transportasi. Efek buruknya jelas langsung terlihat. Model layanan transportasi yang seperti ini tidak mengurangi kemacetan, bahkan bisa dibilang malah memperburuk karena semakin banyak kendaraan pribadi menyesaki jalan.

Berbeda dengan ojek dan taksi online, layanan 1 desa 1 bus sangat memberi ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam urusan transportasi. Malahan harus. Sebab, masyarakat harus menyatakan kebutuhan transportasinya secara kolektif, bersama-sama, bukan sendiri-sendiri, dan selanjutnya memutuskan secara musyawarah-mufakat kebutuhan mana yang harus lebih dulu dilayani. Bahkan, sangat memungkinkan antar-desa saling berkoordinasi untuk meminjamkan busnya kepada sebuah desa yang benar-benar sedang membutuhkan.

Praktek bertransportasi yang kolektif semacam ini akan menumbuhkan semangat kebersamaan di dalam masyarakat. Selain itu, akan terawat juga rasa saling toleransi antar-warga, karena masing-masing bisa saling memahami kebutuhan orang lain. Seperti kata para bijak-pandai, toleransi, kebersamaan, dan tenggang rasa tidak bisa hanya dipahami dan diucapkan, tapi dipraktekkan. Dan salah satu wadah berprakteknya adalah transportasi kolektif!

Kategori
Transportasi

Pilihan Transportasi Massal Buy The Service

Pembelian layanan jasa oleh pemerintah untuk urusan publik menjadi pilihan kebijakan yang perlu terus didorong. Bus sebagai transportasi massal adalah satu pilihan rasional karena mengangkut lebih banyak penumpang dalam satu waktu.

Ada banyak pilihan lain, untuk alat transportasi massal di tanah air. Selain bus, ada angkutan pedesaan dengan trayek yang dilayani sesuai kebutuhan mobilitas warga di daerah. Bus menjadi alat transportasi strategis bagi sebuah wilayah dan kawasan.

Pertanyaan publiknya, siapa yang tepat mengurusi dan mengelola pelayanan jasa transportasi massal agar bisa bekerja optimal memberikan layanan ke publik?

Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM dan pusat kajian serupa di perguruan tinggi di Surabaya beberapa dekade terakhir memberikan rekomendasi berkaitan transportasi massal untuk rakyat. Beberapa kota di tanah air menjadi proyek percontohan bagi hadirnya pelayanan publik berkaitan dengan transportasi massal ini, yakni konsep buy the service atau pemerintah membeli jasa pelayanan.

Hadirnya TransJakarta, Trans Yogyakarta, Trans Bandung, Trans Semarang, Trans Solo dan sejumlah kota lain merupakan hilir kebijakan pemerintah yang diterapkan oleh masing-masing daerah.

Sejarah transportasi massal di Indonesia cukup berliku dan panjang. Di film dokumenter, Mothers Dao, bisa terlacak bagaimana Belanda datang ke Indonesia sudah membuat perencanaan tata ruang kota modern seperti di Batavia juga di sejumlah kota lain di Indonesia.

Di Batavia dikenal banyak trem yang menghubungkan pusat-pusat perekonomian, perkantoran, dan titik lain seperti pelabuhan. Semua terhubung dengan lajur transportasi rel. Kemajuan teknologi masa itu, di tahun 1800-1900an memang dominan kereta, baik kereta kencana untuk elit maupun kereta rakyat seperti trem.

Mobil bermesin generasi pertama sudah berkeliaran di nusantara yang dimiliki oleh Keraton Surakarta tak begitu lama setelah mobil dirilis pabriknya di Eropa.

Menyelami kehadiran transportasi publik yang handal sejatinya sudah lama dinikmati oleh rakyat Indonesia bahkan jauh hari sebelum merdeka. Namun, hadirnya kendaraan bermotor tersebut masih sebatas digunakan kaum elit sebagai simbol kesejahteraan, simbol kekayaan. Belum ada kebutuhan pentingnya kendaraan bermotor yang melayani lebih banyak orang.

Fase transportasi massal mendapatkan perhatian oleh pemerintah belum lama. Sayangnya sudah lama urusan transportasi tak dilihat sebagai pijakan dasar kebutuhan publik. Setelah merdeka, hal pertama soal pembangunan infrastruktur ternyata berhadapan dengan moral hazard atau perilaku buruk, koruptif dan korupsi.

Kalau membuka timeline atau urutan peristiwa berkaitan tranaportasi massal menarik juga untuk melihat kembali masa lalu. Saat urusan transportasi dilepas tata kelola layanan dibuka lebar kesempatan bagi siapa saja yang ingin terlibat berbisnis ternyata tak sepenuhnya berhasil memberikan layanan optimal. Ada ongkos biaya operasional yang penting guna menopang pilihan layanan buy the service.

Masalahnya di masa krisis, banyak perusahaan transportasi massal gulung tikar. Tidak bisa membiayai dan meremajakan armada juga perawatan bus jadi persoalan mendasar.

Tingginya komponen impor menjadikan ongkos perawatan transportasi massal seperti bus ini juga tinggi. Indonesia itu penghasil karet, berpeluang jadi produsen, faktualnya nasib petani penghasil karet belum bisa sejahtera sepenuhnya.

Krisis berat, sudah pernah dialami oleh pengusaha jasa layanan angkutan publik transportasi massal. Ada yang bertahan dan lolos jebakan kebangkrutan meski banyak juga yang berhenti karena gagal dan salah kelola.

Siapa yang rugi?

Kala jasa layanan transportasi massal tak bisa dihandalkan. Sementara di jalanan tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor begitu massif. Jepang, salah satu negara yang aktif memasarkan produknya di tanah air. Eropa, banyak bus hasil pabrikan yang dibeli dari sana, sejumlah merk dunia bersliweran . Di Indonesia, bermunculan karoseri yang buka peluang kerja dan layani publik.

Hari-hari ini, urusan publik bergantian menyedot perhatian. Nah, di hari-hari ini juga banyak daerah tengah bersiap memilih pemimpin.

Suasana pandemi, kembali memukul sektor transportasi. Apa daya, pengusaha dan usaha jasa transportasi massal harus beradaptasi. Seberapa kuat?

Masa pandemi ini waktu yang tepat untuk menata ulang aneka kebijakan termasuk memastikan model pelayanan publik yang ideal.

Siapa mau?

Kategori
Transportasi

Kebangkitan Otobus di Indonesia

Bus saat ini menjadi salah satu moda transportasi yang cukup dipertimbangkan dibandingkan dengan moda transportasi kereta api mau pun pesawat. Perusahaan Otobus (PO) mulai berlomba-lomba dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat setia pengguna bus. Ditambah lagi dengan kenaikan harga kereta api dan pesawat yang membuat masyarakat harus memilih alternatif lain dalam berpindah tempat.

Setiap bulan sepertinya ada saja model bus baru hadir untuk menambah armada angkutan bus. Bahkan, sekarang telah tersedia layanan sleeper atau kursi yang memungkinkan penumpang untuk merebahkan badannya secara full. Kondisi bus juga mulai diremajakan dengan armada terbaru agar kenyamanan penumpang dapat lebih ditingkatkan.

Dari segi harga, dapat dikatakan bahwa bus jauh lebih murah dibandingkan dengan kereta api. Dengan harga tiket ekonomi kereta api, penumpang bisa mendapatkan pelayanan eksekutif dari bus. Jangkauan bus pun lebih luas dibandingkan dengan kereta api, kereta api butuh prasarana yang rumit untuk membuka jalur baru, sedangkan bus dapat langsung menjangkau daerah tertentu dengan catatan jalan tujuan dapat dilalui bus.

Ekspansi bus untuk membuka rute baru menjadi jauh lebih fleksibel. Pembukaan rute pun tidak harus melulu tergantung oleh ketersediaan terminal. Bus bisa berhenti langsung di agen-agen yang berada di sepanjang perjalanan. Dengan catatan, pemberhentian tidak boleh mengganggu lalu lintas. Contoh saja jika kita menggunakan bus dari Jakarta menuju Yogyakarta, maka kita bisa berhenti di agen bus Kota Magelang, atau kota-kota yang dilalui bus tersebut.

Dari segi kenyamanan, bus pun lebih sunyi dibandingkan dengan kereta api. Kebanyakan di dalam bus sendiri sudah terdapat peredam suara agar suara dari luar tidak terlalu bising, dibandingkan dengan kereta api yang memiliki suara hentakan besi yang cukup mengganggu. Perjalanan bus pun lebih fleksibel untuk urusan buang air dan makan.

Di antara kelebihan-kelebihan yang sudah dijelaskan sebelumnya, tentu saja bus juga memiliki kekurangan dibandingkan dengan kereta api. Peningkatan kereta api dapat lebih besar dilakukan daripada dengan bus. Peningkatan kereta api bisa dengan membawa rangkaian lebih banyak, menambah kapasitas kursi, mau pun menambah perjalanan kereta api.

Emisi yang dihasilkan oleh kereta api pun lebih kecil dari pada bus. Seluruh rangkaian kereta api ditarik oleh sebuah lokomotif, memang jika dibandingkan dengan bus konsumsi bahan bakar lokomotif tentu akan lebih besar, namun perlu diingat bahwa satu buah lokomotif kereta api dapat membawa seluruh rangkaian kereta api. Anggap saja satu rangkaian kereta dapat membawa 500 orang penumpang sedangkan satu buah bus hanya mengangkut 40 orang, tentu saja rasio emisi perorang akan jauh lebih kecil.

Kereta api juga memiliki jalur tersendiri yang dilindungi oleh undang-undang. Undang-Undang No 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian menjelaskan bahwa pengendara motor harus mendahulukan perjalanan kereta api. Ekslusifitas ini berdampak pada ketepatan waktu perjalanan kereta api yang tidak terganggu oleh kemacetan.

Mengapa layanan bus jauh lebih murah?

Pada dasarnya, perbedaan yang membuat bus jauh lebih murah dari kereta api adalah masalah biaya. Sederhananya, biaya untuk mengoperasikan transportasi umum terbagi menjadi dua, yaitu biaya langsung dan biaya tak langsung. Biaya langsung terdiri dari komponen yang paralel dengan perjalanan seperti bahan bakar, biaya tol, biaya makan, dan biaya lainnya. Biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak terkait langsung dengan perjalanan seperti modal membeli bus, bengkel, tempat pool parkir, biaya perijinan, dan lain-lain.

Pada otobus, biaya modal awal tentu saja relatif jauh lebih murah dari kereta api. Biaya satu unit bus lebih murah dari pada biaya satu kereta. Bus hanya perlu minimal memiliki lima armada sebagai persyaratan awal. Bus juga tidak perlu memiliki jalur sendiri karena bisa langsung menggunakan jalan yang sudah tersedia. Perawatan dan parkir bus pun lebih fleksibel dibandingkan dengan kereta api. Bus hanya memerlukan pusat bengkel sebagai tempat reparasi dan perawatan serta pool bus untuk memarkirkan kendaraan.

Perjalanan bus juga relatif lebih irit dari sisi manusia. Untuk satu kali perjalanan bus hanya membutuhkan supir dan pramugara, sedangkan pada kereta api komponen tambahan seperti penjaga perlintasan, persinyalan, petugas perawatan rel, dan komponen lainnya membuat biaya perjalanan menjadi semakin tinggi.

Tingginya biaya operasional kereta api disebabkan oleh kompleksnya sistem perjalanan kereta api serta membutuhkan standar keamanan yang sangat tinggi. Oleh karena itu diperlukan tenaga manusia dan teknologi yang terintegrasi satu sama lain agar perjalanan kereta menjadi lancar.

Mengapa waktu tempuh bus layak dipertimbangkan?

Hadirnya Tol Trans Jawa menjangkau daerah dari barat sampai timur Pulau Jawa. Sebelum hadirnya Tol Trans Jawa, bus harus melewati Jalur Pantura. Kekurangan dari Jalur Pantura adalah jalur tersebut menyatu dengan aktivitas warga dan banyak hambatan yang akan dirasakan oleh bus. Contohnya adalah pasar tumpah dan banyaknya Alat Pengatur Isyarat Lalu-Lintas (APILL).

Jalan tanpa hambatan membuat kecepatan rata-rata bus meningkat yang mana berimbas kepada terpotongnya waktu perjalanan. Banyak PO Bus yang tadinya berangkat ke Jakarta sehari sekali menjadi sehari dua kali dikarenakan terpotongnya waktu tempuh, bus jadi bisa dimanfaatkan seefisien mungkin.

Terpotongnya waktu tempuh ini sangat menjadi pertimbangan bagi pengguna jasa transportasi umum. Dulu penumpang malas naik bus karena lebih lama dari kereta, sekarang bus bisa menjadi pilihan karena tepat waktu.

Mengapa layanan bus lebih inovatif dibandingkan kereta api?

Kata kunci utama dari pelayanan bus yang lebih inovatif dibandingkan dengan moda kereta api adalah iklim persaingan yang kompetitif. Lain halnya dengan kereta api yang lebih monopoli, pelanggan relatif tidak punya pilihan selain memilih kelas sesuai kemampuan finansial. Suasana iklim kompetitif dalam dunia otobus membuat setiap PO harus memutar otak agar pelanggan menggunakan layanan mereka.

Peremajaan armada, perbaikan layanan, peningkatan kualitas kursi penumpang, ketepatan waktu, dan masih banyak lagi komponen yang terus dilombakan untuk menjadi yang terbaik. Jika dahulu kala orang tidak berani dan tidak nyaman untuk naik bus, sekarang pelan-pelan bus menjadi pilihan yang sangat dipertimbangkan.

Lalu apa yang dapat ditingkatkan agar transportasi bus dapat lebih menjadi pilihan penumpang?

Integrasi antara perusahaan otobus dengan regulator dari Kementerian Perhubungan perlu ditingkatkan dari segi Standar Pelayanan Minimum (SPM). Bukan hanya mengatur tentang sarana bus itu sendiri, namun juga mengatur tentang sistem dari hulu sampai hilir.

Penertiban terminal dari calo dan premanisme, pelayanan terminal yang lebih nyaman, regulasi untuk operator agar keselamatan dapat ditingkatkan, hingga memberikan kemudahan-kemudahan operasional agar bus dapat beroperasi dengan lebih cepat, nyaman, dan aman. Integrasi dengan transportasi lain juga perlu ditingkatkan agar keterjangkauan transportasi umum dapat meluas.

Kategori
Transportasi

Trans Jogja Akan Digdaya dengan Bantuan Angkudes dan AKDP

Kota-kota besar di Indonesia bisa dikatakan sudah mulai membangun transportasi massal, seperti BRT (bus rapid transit) dan LRT (light rail transit), meskipun keseriusan pemerintahnya berbeda-beda. Namun, ada kecenderungan yang sama, yaitu mengabaikan angkutan umum yang sudah ada, seperti Angkot (Angkutan Kota), Angkudes (Angkutan Desa), bus, dan becak. Meskipun yang terakhir tidak masuk dalam kategori angkutan umum, tapi nyatanya alat transportasi ini masih menjadi andalan karena lebih dekat ke pintu rumah penduduk.

Padahal, menurut Institute for Transportation & Development Policy (ITDP), idealnya angkutan umum yang sudah ada dibenahi terlebih dahulu sebelum menyelenggarakan transportasi massal. Sebab angkutan ini mempunyai jangkauan layanan yang luas dan bisa menjadi pengumpan layanan angkutan massal. Maksudnya, angkutan umum semacam angkot sebaiknya difungsikan seperti perahu-perahu kecil yang mengangkut penumpang di sungai-sungai kecil menuju sungai besar, kemudian berpindah ke kapal besar untuk mengarungi sungai yang lebih besar. Bisa dibayangkan kalau perahu kecil tidak ada, kapal besar akan kesulitan penumpang. Dan ia tak akan berani masuk ke sungai kecil daripada melintas hanya untuk kandas.

Untuk daerah Jogja, yang belum memiliki infrastruktur kereta api dalam kota, Transjogja bisa kita anggap sebagai transportasi massal. Karena moda inilah satu-satunya yang bisa mengangkut orang dalam jumlah yang cukup banyak mengelilingi Jogja khususnya daerah kota, mempunyai trayek yang jelas, harga tiket pasti, dan tempat berhenti yang sudah tertentu.

Namun armada Transjogja belum mampu melayani pergerakan manusia yang setiap hari kerja memenuhi jalanan Jogja. Ini bisa dilihat dari panjangnya antrean kendaraan pribadi di simpang-simpang yang menjadi pintu masuk sekaligus keluar kota Jogja. Saat pagi hari, antrean itu mengular dan berdesakan masuk kota tersebut. Saat sore hari, ekor antrean itu berbalik dan menunggu dengan sabar untuk keluar dari kota Jogja. Hal ini memang konsekuensi dari tata kota yang memusat. Yang dengan tepat digambarkan dengan keberadaan ring road.

Masyarakat yang rumahnya di dalam ring road sebetulnya juga tidak banyak yang menggunakan layanan Transjogja. Salah satunya disebabkan oleh letak halte yang terlampau jauh. Memang, standar jarak maksimal yang bisa ditempuh pejalan kaki dari rumahnya menuju halte adalah 400 meter. Namun, itu kan standar dari luar negeri yang punya iklim berbeda. Jadi para perencana transportasi sebaiknya sadar bahwa ini Indonesia, bukan Eropa atau Jepang tempat mereka belajar. Tentunya ada penyesuaian-penyesuaian.

Melihat Transjogja yang hanya terisi oleh sedikit penumpang terjebak kemacetan di antara himpitan mobil-mobil yang juga hanya diisi satu-dua orang, sungguh menyedihkan. Ini memunculkan pertanyaan yang ironis: kalau begitu kondisinya, berarti armada Transjogja yang terlalu banyak atau orang-orang enggan memakai angkutan massal? Pertanyaan semacam ini jika tidak dihadapi dengan perasaan tenang, akan menghasilkan kesimpulan yang sesat.

Salah satu pernyataan bijak untuk menanggapi pertanyaan di atas: jangan-jangan masyarakat kesulitan menjangkau Transjogja. Dan yang amat mempengaruhi keterjangkauan tersebut adalah jarak halte ke pintu rumah terjauh dan kenyamanan halte.

Maka di sinilah angkutan umum yang sudah ada semacam Angkudes dan AKDP (antar kota dalam provinsi) punya peran penting. Mereka menjadi semacam penyambung antara rumah masyarakat yang berada jauh di luar ring road dengan Transjogja. Apabila ini berjalan, masyarakat tak perlu lagi memakai kendaraan pribadi untuk masuk ke kota Jogja. Kemacetan terurai. Trotoar yang kini mulai banyak dibenahi di kota Jogja dapat dimanfaatkan secara maksimal karena orang berjalan kaki dari halte ke tempat tujuan. Pemerintah pun tak perlu menambah jaringan Transjogja hingga ke luar ring road. Sebab subsidinya akan lebih membengkak lagi dari kondisi sekarang yang sebetulnya sudah terbilang mahal.

Akan tetapi, ulasan di atas baru sekadar usulan dan harapan. Kenyataannya tak semanis itu. Jumlah dan trayek Angkudes serta AKDP turun drastis. Berdasarkan data yang disimpan tim arsip Pijak ID, Tribun Jogja pada 23 April 2018 melaporkan penurunan yang drastis jumlah armada dan trayek Angkudes. Untuk daerah Sleman, awalnya ada 289 armada. Namun, di tahun 2018, yang tersisa hanya 111 armada. Dari jumlah ini pun, yang beroperasi hanya 41 armada. Selaras dengan berkurangnya jumlah armada, jumlah trayeknya pun berkurang. Dari semula 16 trayek, pada tahun 2018 tersisa 9 trayek. Bahkan yang benar-benar aktif hanya 7 trayek.

Di Bantul sama menyedihkannya. Pada tahun 2012, masih ada 37 Angkudes. Namun di tahun 2018 hanya tersisa 17 armada. Kemudian, jumlah Angkudes yang tersisa di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2018 hanyalah 50-an armada. Padahal, sebelumnya jumlah armada mencapai ratusan. Trayeknya pun berkurang hingga 60 persen, yaitu dari 33 trayek menjadi hanya 13 trayek aktif yang tersisa.

Kondisi AKDP pun tak kalah memprihatinkan. Jumlah armada yang semula 590, pada tahun 2015 hanya tersisa sekitar 190-an. Mungkin tahun ini jumlahnya lebih sedikit lagi. Melihat kondisi ini, Pijak ID bersama Petarung (Pemuda Tata Ruang) sampai pernah membikin diskusi dengan tema “Angkudes Sekarat” pada 16 Mei 2018 silam.

Salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap tergerusnya layanan Angkudes adalah tidak adanya campur tangan pemerintah. Ini mesti diakui. Operator Angkudes dilepas begitu saja untuk bertahan hidup dari hasil mengangkut penumpang. Mereka harus bersaing antar-operator. Kejar setoran. Bahkan ketika layanan transportasi online meledak, pemerintah tidak melakukan langkah yang berarti. Suasana dibiarkan menjadi persaingan bebas. Lalu apa guna pemerintah jika ia tak muncul menjadi penentu mana yang benar dan mana yang salah; mana yang mendukung transportasi berkelanjutan dan mana yang hanya menjadi pemuas individu-individu yang hanya peduli kenyamanan dirinya sendiri; dan apa yang harus dilakukan menghadapi perkembangan teknologi?

Ide mengaktifkan kembali Angkudes dan AKDP untuk menyokong angkutan massal ini bukan berasal dari khayalan di saat hujan. Beberapa kota sudah melakukannya. Jakarta bikin JakLingko yang merupakan program integrasi transportasi antarmoda di Jakarta. Masyarakat dapat menikmati kombinasi layanan angkot dan Transjakarta dengan tarif yang terintegrasi sebesar 5000 rupiah. Bahkan, ke depannya JakLingko akan diintegrasikan dengan moda lain seperti MRT dan LRT.

Kota Medan pun akan melakukan hal serupa. Mulai tahun 2018, angkot direformasi dan selanjutnya akan diintegrasikan dengan BRT. Tentunya ini membahagiakan bagi penumpang karena jaringan angkutan umum akan bisa ditemui tak jauh dari pintu rumahnya dan secara andal mengantarkannya ke tempat tujuan. Dari sisi sopir angkutan, ia mendapat jaminan penghasilan tanpa perlu dikejar target setoran.

Proses perbaikan angkutan umum dan integrasi dengan angkutan massal memang tidak mudah (Lah, siapa yang bilang mengatasi kemacetan gampang?). Pemerintah mesti melakukan pendekatan dan menjelaskan dengan baik tujuan yang ingin dicapai kepada para operator angkutan umum. Pekerjaan yang bisa jadi melelahkan ini sangat berguna bagi masa depan. Sebab, sistem transportasi dibiarkan autopilot sejenak saja, membenahinya bisa menuntut waktu yang lama.

Jadi, Jogja kapan?

Kategori
Transportasi

Anda Lelah Naik Bis Surabaya-Situbondo

Foto: Pak Wali

Saat memasuki lobi utama, Anda berdecak kagum. Ini seperti bandara Ngurah Rai. Walaupun itu berlebihan, tapi perubahannya memang luar biasa. Setahun yang lalu, terminal Purabaya masih muram. Ruang tunggu dipenuhi pedagang. Lampunya redup. Toilet yang hampir pasti Anda pakai setiap kali transit di tempat ini, masih banyak coretan di sana sini dan pintu yang berlumut serta keran yang menyiksa. Para pegawai bis masih menyambut di pintu lobi utama. Belum ada lantai dua. Orkes masih bersenandung di tengah-tengah lobi. Kadang musiknya bagus, kadang sebaliknya.

Kini lampu lobi tak menyilaukan mata. Toko dan restoran modern berderet di sepanjang jalan lobi. Letak toilet lebih jauh dari pintu masuk, tapi lebih terlihat bersih, walaupun ketika masuk tetap saja bikin kurang nyaman. Bungurasih sungguh berbenah.

Untuk mencapai bis, Anda perlu naik ke lantai dua, lalu mengikuti petunjuk yang menyajikan arah perjalanan Anda. Namun ingat, ke kanan bis ekonomi dan ke kiri layanan eksekutif. Anda memilih ke kanan.

Anda mulanya berpikir, karena perubahan yang luar biasa di lobi, penumpang tidak perlu lagi berebut kursi bis. Namun, akhirnya Anda menyesal berpikir begitu. Anda tetap harus terlantar di atas susunan paving karena tak kebagian tempat, sambil mengumpulkan energi untuk berebut lagi nanti. Anda jadi merasa baru saja disuguhi kenikmatan semu. Kenikmatan melihat-lihat kaca bening dan toko modern berubah menjadi hempasan kepulan asap dan dorongan bahu orang.

Baca juga: Hati-Hati Kecanduan Jalan Tol

Akhirnya Anda bisa masuk bis, lewat pintu belakang. Namun kursi bis sudah penuh. Anda heran bukan kepalang. Sudah menjadi yang pertama masuk pintu bis, tapi semua kursi kok sudah terisi. Samar-samar pandangan Anda menembus kaca bis yang berdebu. Anda kini paham, orang-orang itu tidak naik bis di tempat Anda. Sebelum bis masuk ke terminal, ternyata berhenti dulu sejenak di luaran sana, mengangkut penumpang yang dengan cerdiknya memilih posisi.

Untuk kedua kalinya Anda kecewa. Lalu buat apa lorong-lorong berlampu kayak hotel itu kalau sopir bis masih sembarangan menaikkan penumpang? Mungkin benar kata orang berpeci dan bersarung di sebelah kanan kuping Anda, kita punya dulu atau membangun dulu, tanpa berpikir bagaimana menggunakannya.

“Ya sudah,” gumam Anda. Sepasang kaki Anda mesti siap menyanggah perjalanan panjang.

Sebenarnya bagian tengah bis masih kosong. Tapi Anda ogah beringsut. Pengalaman mengajarkan Anda bahwa bagian tengah itu sesak, apalagi bis ekonomi yang megap-megap. Setelah cukup bisa beradaptasi dengan posisi berdiri di bokong bis, si kenek menyuruh Anda dengan kasar agar berpindah ke bagian tengah, soalnya ada penumpang baru yang mau masuk. Anda menghiraukan teriakan kenek itu. Sontak saja Anda mendengar nada bicara yang lebih keras dari si kenek, isinya menasihati Anda agar tidak egois dan mau berbagi tempat dengan orang lain. Sejenak Anda ingin menendang kenek itu.

Untungnya banyak penumpang yang turun di perbatasan Sidoarjo dan Pasuruan. Anda mendapat tempat duduk di belakang sopir persis. Di sebelah kanan Anda, seorang kuli bangunan asal Situbondo yang bekerja di Bangkalan. Sedangkan ibu berumur dengan pakaian yang lumayan rapi berada di sebelah kiri Anda. Pemuda di sebelah kanan enak buat ngobrol. Sementara si ibu sebentar merem, sebentar melek, lalu lama terpejam.

Ketika sudah tidak ada lagi bahan pembicaraan dengan pemuda di kanan, Anda termangu saja melihat aspal. Pemuda itu pun terkantuk-kantuk. Saat bis hampir memasuki Kota Pasuruan, sepotong tangan merayap di tas ibu di kiri Anda yang masih terlelap. Pemilik tangan itu pria bersungut tebal. Temannya yang agak botak terlihat santai sambil menutupi aksinya dengan badan gempalnya. Anda terus memandangi tangannya. Mungkin karena sadar diperhatikan terus oleh Anda, pria itu mengurungkan aksinya. Tapi kini ia mengarahkan tangan ke badan Anda, lalu menarik Anda. Tentu saja Anda tidak bisa diam. Percekcokan tak terelakkan. Kenek bis yang sedari tadi Anda curigai terlibat dalam aksi ini, terlihat secara terpaksa melerai Anda. Hanya sebentar kemudian bis berhenti dan kedua pria itu turun.

Ibu di sebelah Anda akhirnya bangun dan langsung komat-kamit. Pemuda di kanan Anda tak bisa menahan diri untuk bertanya.

Meskipun jalan aspal di jalur ini bagai daun bunga gelombang cinta, Anda bisa terlelap juga. Bau tengik bis sudah tak lagi bisa menghentikan mata Anda mengatup dalam.

Baca juga: Tidak Ada Bulan Puasa di Pelabuhan Jangkar

Kenikmatan yang amat sangat firdaus itu dibuyarkan oleh teriakan jahanam kenek bis. Jantung yang berdebar karena saking kagetnya, tetap mendengar teriakan yang bedebah itu: yang ke Situbondo pindah bis!!! Yang ke Situbondo pindah bis!!!

Teriakan yang sungguh pekak itu adalah tanda Anda sudah sampai terminal Probolinggo. Tapi bis tidak masuk terminal. Anda kudu pindah bis. Pemindahan yang agak memaksa para penumpang ini terjadi di pinggir jalan. Sebab bis yang sekarang Anda tumpangi akan berbelok arah ke Lumajang lalu ke Jember. Anda memang sudah tahu kelakuan ini. Jember yang lebih elok dan berkembang membuat bis yang dari Surabaya ogah memilih jalur Situbondo.

Melihat bis yang akan Anda tumpangi ke Situbondo sudah sesak, napas Anda jadi panjang dan berat. Anda kembali harus meregangkan lutut agar kuat berdiri lagi di atas bis. Perjalanan ke Situbondo masih dua jam lagi. Itupun paling cepat. Sambil menaikkan kaki ke tangga bis, Anda berjanji ke diri sendiri, tidak lagi-lagi dah ke Situbondo naik bis. Kecuali memang terpaksa. Daripada membawa derita.

Dandy IM
PijakID