Kategori
Transportasi

RUU DKJ Telah Disahkan, Lalu?

Sempat ramai perbincangan tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) DKJ yang seharusnya sudah dilakukan sebelum tanggal 15 Februari 2024 berdasarkan amanat Undang-Undang No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 21 Tahun 2023.

Ramainya perbincangan terkait dengan RUU yang telah menjadi UU pada 28 Maret 2024 ini berawal dari nomenklatur Dewan Kawasan Aglomerasi yang dipimpin oleh Wakil Presiden. Di luar itu juga terkait dengan Gubernur yang semula ditetapkan akan ditunjuk oleh Presiden dengan mempertimbangkan usul DPRD. Namun bukan dua hal ini yang akan saya bahas, karena Wakil Presiden tetap menjadi ketua Dewan Kawasan Aglomerasi dan Gubernur akhirnya tetap dipilih langsung oleh rakyat, seperti 19 tahun terakhir.

Kategori
Transportasi

Melihat Lebih Jernih Aturan Baru Transportasi Online

Foto: Arie Basuki

Seperti yang pernah dibahas oleh Pijak, Mahkamah Agung (MA) membatalkan 14 Pasal Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) 26/2017 tentang Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek pada medio Juni 2017 lalu. Uji materiil itu diajukan oleh 6 pengemudi transportasi online (traol) yang berdomisili di Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Pamulang. Lima bulan setelah pembatalan itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi kembali mengesahkan Permenhub 108/2017 yang merupakan revisi aturan sebelumnya. Uniknya, inti dari 14 Pasal yang dibatalkan MA masih ada di peraturan baru ini. Meskipun muncul dengan sedikit perubahan, tapi secara prinsip tetaplah sama.

Permenhub baru ini pun menuai protes dari para pengemudi traol. Selasa (19/12) lalu, mereka melakukan aksi longmarch dari Masjid Syuhada menuju halaman DPRD DIY. “Kita putuskan off narik penumpang dalam waktu 24 jam. Kita sepakat menolak keberadaan Permenhub 108,” kata koordinator lapangan aksi, Nur Setyo kompas.com.

Para pengemudi taksi online di Jogja juga menyampaikan kekecewaannya terhadap peraturan baru tersebut. Mereka juga melakukan unjuk rasa di halaman DPRD DIY pada Selasa (31/10). “Kami ke sini membawa aspirasi menolak Permenhub 108 yang poinnya telah dibatalkan tapi dimunculkan kembali,” ujar Anshori, ketua Paguyuban Pengemudi Online Jogjakarta (PPOJ) kompas.com.

Untuk melihat secara jernih permasalahan ini, kita perlu kembali meninjau alasan-alasan pemohon uji 14 Pasal Permenhub 26/2017 oleh MA. Sehingga, kita bisa mendedah secara rinci lalu menilai dengan adil.

Meskipun yang dibatalkan 14 Pasal, sebetulnya hanya terdapat 5 poin inti permasalahan yang diributkan. Pertama, tentang tarif angkutan yang harus berdasarkan argometer atau tertera pada aplikasi. Pemohon beralasan, aturan ini akan memperkecil kesempatan mereka untuk mendapatkan konsumen lebih banyak. Selain itu, tarif sangat mungkin berubah-ubah dan merugikan konsumen. Entah bagaimana logika dari pernyataan ini. Bukankah tarif yang berdasarkan pada argometer atau algoritma aplikasi lebih oke dan pasti ketimbang metode tawar-menawar?

Namun, tentu poin pertama mempunyai kelemahan. Perusahaan aplikasi bisa saja mempermainkan tarif karena ia memiliki kuasa penuh pada aplikasinya. Sedangkan perusahaan taksi konvensional juga bisa mengubah pengaturan argometernya. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan tarif batas atas-bawah. Inilah poin kedua yang dibatalkan MA. Pemohon beralasan, tarif batas atas-bawah tidak memberikan persaingan sehat bagi pelaku usaha, karena pengusaha UMKM (pengemudi traol) yang seharusnya dapat memberikan tarif murah harus menaikkan tarif. Ketentuan ini, menurut pemohon, juga merugikan konsumen karena harus membayar setidaknya tarif batas bawah. Padahal, perjalanan yang ditempuh bisa saja sangat dekat.

Poin kedua ini memang dilematis. Di satu sisi, traol berkembang pesat karena bisa menawarkan tarif yang luar biasa murah. Perusahaan taksi konvensional megap-megap tak bisa mengejar karena terbebani oleh berbagai biaya seperti perawatan kendaraan, perizinan, dll. Di sisi lain, kebijakan tarif yang terlalu murah juga ditentang oleh para pengemudi traol sendiri. Aksi di DPRD pada Selasa (19/12) itu juga menyuarakan ketertindasan para pengemudi traol. Sebab, kata Nur Setyo, para pengemudi traol yang dianggap mitra oleh perusahaan aplikasi, di lapangan seperti dijadikan sapi perah. Pengemudi traol harus mengejar target harian dan berhadapan dengan diskon/voucher yang ditentukan sepihak oleh perusahaan aplikasi. Anshori bahkan mendesak Kementrian Komunikasi dan Informasi mengatur perusahaan aplikasi agar tidak memperlakukan mitra kerjanya sewenang-wenang. Ia menuntut kesetaraan kedudukan antara pengemudi dengan perusahaan aplikasi.

Dari kenyataan tersebut, sesungguhnya para pengemudi juga membutuhkan batas tarif bawah. Sehingga tidak terjadi kebijakan saling banting harga. Hal itu penting untuk menjaga persaingan sehat – sesuatu yang didambakan oleh pemohon. Selain itu, konsumen tentu juga punya kepentingan terhadap aturan tarif batas atas. Ini untuk mencegah penaikan tarif yang sewenang-wenang saat jam sibuk atau cuaca buruk.

Baca juga: Mendukung Ojek Online Berati Melupakan Hak

Poin ketiga, yakni tentang pembatasan wilayah operasi dan rencana kebutuhan kendaraan untuk jangka waktu 5 tahun yang direvisi setahun sekali. Pemohon menilai, aturan ini bakal mempersempit ruang bagi pelaku UMKM. Penetapan rencana kebutuhan juga akan membatasi perkembangan mereka. Karena, mereka tidak bisa dengan seenaknya menambah kendaraan yang beroperasi.

Mereka juga beralasan, pembatasan jumlah kendaraan tidak menimbulkan persaingan usaha yang sehat sehingga kecil kemungkinan terbentuknya tarif normal berdasarkan mekanisme pasar. Menurut mereka, kebutuhan kendaraan di lapangan sudah seharusnya ditentukan oleh keseimbangan pasar.

Di dalam ilmu transportasi, sudah ada metode untuk menghitung kebutuhan kendaraan pengangkut sesuai keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan (supply and demand). Sehingga, membiarkan keseimbangan terjadi secara alami di pasar yang liar, bukanlah pilihan tepat. Jumlah angkutan umum khusus akan bertambah terus tak terkontrol. Seperti berjubelnya jumlah angkot di Bogor. Angkot yang ada lebih banyak daripada jumlah penumpang yang butuh diangkut. Jalan menjadi sesak, menjengkelkan. Bangunan jalan jadi rusak dan tidak karuan.

Membiarkan sistem transportasi jatuh pada mekanisme pasar, berarti mendorong yang kuat untuk terus kuat dan yang kalah akan terus tertindas. Seperti hasil penelitian etnografi Martin Van Bruinessen di Sukapakir, Bandung, dalam topik yang berbeda yaitu kemiskinan. Setelah tinggal selama setahun di sana dan melakukan banyak wawancara serta analisis data, ia berkesimpulan bahwa orang-orang miskin di Sukapakir bukannya tidak mau untuk keluar dari garis kemiskinan. Mereka sudah berusaha sekuat tenaga dan pikiran, setiap hari, untuk menggapai hari esok yang lebih baik. Tetapi karena pemerintah tak peduli pada mereka dan membiarkan kegiatan ekonomi dilepas pada pasar, akhirnya mereka terus-terusan kalah dan tetap hidup dalam jurang kemiskinan.

Intinya, pemerintah perlu mengintervensi sistem transportasi, termasuk salah satunya batasan jumlah angkutan umum yang boleh beroperasi. Sehingga, antara konsumen dan penyedia angkutan sama-sama diuntungkan. Sebab kenyamanan transportasi adalah kepentingan publik yang mengharuskan pemerintah hadir di dalamnya. Cukuplah ketidakhadiran pemerintah dalam urusan angkot yang berjubel dan trotoar yang dikaveling memberi pelajaran pada kita bahwa hal itu menyebalkan.

Baca juga: Gagal Paham Putusan MA, Dishub Jabar Larang Transportasi Online

Poin keempat yang dipersoalkan oleh pemohon adalah persyaratan memiliki minimal 5 kendaraan yang dibuktikan dengan STNK atas nama badan hukum. Selain itu, kendaraan harus diuji kelayakan tiap periode tertentu. Aturan ini, menurut pemohon, menutup kesempatan mereka untuk berwirausaha, karena umumnya mereka hanya memiliki 1 mobil. Sudah begitu, cicilannya juga belum lunas. Sehingga, sangat memberatkan bagi mereka untuk punya 5 mobil yang kepemilikannya atas nama perusahaan.

Kemenhub beralasan, menurut Undang-Undang, perusahaan angkutan umum wajib memiliki setidaknya 5 kendaraan. Selain itu, untuk setiap kendaraan yang mengangkut penumpang dan berbayar, haruslah mengikuti ketentuan angkutan umum, yaitu STNK-nya harus berbadan hukum. Setelah semua syarat itu dipenuhi, barulah angkutan itu dapat beroperasi dengan legal.

Namun, Kemenhub tidak menutup mata pada fenomena di lapangan. Kebanyakan pengemudi taksi daring hanyalah memiliki 1 mobil. Kemenhub menganjurkan para pengemudi membentuk koperasi dengan anggota, misalnya 5 orang, agar terpenuhi syarat minimal 5 kendaraan.

Keharusan untuk menguji kelayakan kendaraan bukannya tanpa alasan. Taksi konvensional, taksi daring, dan semua angkutan umum memang perlu diuji kelayakannya karena berhubungan dengan keselamatan. Sebab fokus utama dalam pembenahan transportasi hari ini adalah keselamatan. Itu bukanlah omong kosong di tengah sumbangsih nyata jalanan pada hilangnya nyawa orang.

Yang kelima, poin terakhir, ialah dilarangnya perusahaan aplikasi bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum. Maksudnya, perusahaan aplikasi tidak punya hak menentukan tarif atas-bawah, merekrut pengemudi, dan memberikan layanan akses kepada orang perorangan sebagai penyedia jasa angkutan. Para pemohon menganggap aturan tersebut sama saja melarang mereka untuk mendapatkan penghasilan sebagai pengusaha UMKM dan dibatasi hanya boleh sebagai karyawan yang mendapatkan gaji.

Alasan tersebut sangat tidak masuk akal. Justru dengan dilarangnya perusahaan aplikasi bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum memberikan kesempatan bagi para pengemudi untuk membentuk perusahaan/koperasi dan menjadikan perusahaan aplikasi sebagai mitra dalam arti sesungguhnya. Bukanlah definisi “mitra” yang oleh perusahaan aplikasi dijadikan tameng untuk menghindar dari tanggung jawabnya. Misalnya, ketika terjadi bentrok antara pengemudi traol dengan pengemudi ojek/angkot/aksi konvensional, perusahaan aplikasi itu tidak mau mendampingi para pengemudi traol dalam penyelesaian kasus. Mereka berkilah para pengemudi traol “hanyalah” mitra mereka. Beda halnya dengan perusahaan taksi konvensional yang ikut membela para pengemudinya.

Baca juga: Wiratno: Teknologi Informasi Tidak Boleh Mengubah Prinsip Dasar Angkutan Umum

Selain itu, para pengemudi juga akan mempunyai posisi tawar yang sama dengan perusahaan aplikasi. Sehingga tidak lagi ada keluhan merasa “diperas bagai sapi perah”, seperti yang diungkapkan Nur Setyo.

Perlu disampaikan bahwa Permenhub 108/2017 belum juga membahas ojek. Sebab di aturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), ojek juga belum disebut. Fakta ini membuat para driver ojek online ingin ojek dimasukkan dalam UU LLAJ. Hal itu juga mengemuka dalam rapat dengar pendapat antara asosiasi driver online, Komisi V DPR RI, dan Direktorat Perhubungan Darat pada Rabu (29/3). Entah bagaimana kelanjutannya, tapi ada pelajaran penting yang kerap dilupakan orang dari kasus pelegalan taksi online: mengatur sesuatu dengan memasukkannya dalam undang-undang atau aturan di bawahnya, selain mendapatkan pengakuan, ia berarti juga mendapatkan pembatasan.

Dandy IM
PijakID
Kategori
Society

Punya Garasi Dulu, Baru Beli Mobil

Sumber: Pos Kota News
Entah dari mana kita mendapatkan hasrat untuk berlomba-lomba menguasai jalanan. Kondisi hari ini menunjukkan bahwa hasrat itu sudah kelewatan. Kita semakin tidak sadar bahwa bangunan jalan di ruang publik adalah milik bersama. Jalan adalah fasilitas publik, bukan milik perseorangan. Kecuali jalan yang dibangun sendiri oleh seseorang atau perusahaan di tanah miliknya.

Menjadi pemandangan sehari-hari bagi kita kendaraan yang parkir di badan jalan. Apalagi jika kita tinggal di wilayah yang sudah dipenuhi tembok rumah. Jalanannya menjadi sempit. Kemudian orang-orang yang punya kendaraan memarkirkan kendaraannya di jalan depan rumahnya. Akibatnya, lebar jalan menjadi semakin sempit. Terutama kalau yang parkir mobil. Setengah lebar jalan bisa hilang. Orang-orang yang lewat situ menjadi kesulitan.

Begitulah. Kehidupan semakin berubah. Ada yang bilang negara kita semakin maju. Semakin banyak orang yang mampu membeli mobil. Di daerah-daerah terpencil, punya mobil menjadi ukuran kesuksesan merantau. Ketika kita punya mobil, berarti kita sudah sukses. Mobil itu dibawa pulang ke kampung halaman untuk memancing tetangganya ikut dia merantau. Biar bisa punya mobil juga.

Tetapi kemajuan-kemajuan itu tidak dibarengi oleh keberesan dalam berpikir. Orang masih saling menindas. Orang masih terus punya hasrat menguasai yang lain. Orang masih meniru cara-cara penjajahan.

Memikirkan hal ini seperti melihat Kota Ilheus, Brasil dalam novel Gabriela, Cengkih, dan Kayu Manis garapan Jorge Amado. Ilheus memang berkembang. Jalanan diperpanjang. Produksi kakao meningkat. Rumah-rumah semakin bagus. Pelabuhan dikembangkan. Tetapi hasrat saling bunuh untuk melanggengkan kekuasaan, yang merupakan cara lama, masih terus berlanjut. Pembunuh bayaran masih beroperasi menyasar para pengganggu penguasa kota. Suami masih membunuh istrinya yang ketahuan selingkuh, sekaligus selingkuhannya. Para kolonel masih “memelihara” gundik. Fisik kota berubah, tapi mental warganya masih berkubang di lumpur yang sama.

Seperti kita. Jalan semakin panjang, halus, berkelok-kelok, dan terbang. Tetapi kemudian jalan itu menjadi tiada guna karena terus dipenuhi oleh kendaraan yang saling egois. Seperti kata ahli matematika dari Jerman, Dietrich Braess, “penambahan panjang jalan dan fly over di daerah perkotaan akan memacu pertumbuhan kendaraan pribadi yang akan menyebabkan bertambahnya kemacetan lalu lintas”. Intinya, pembangunan jalan itu anomali. Sebabnya, kita masih didominasi rasa egois. 

Mobil semakin bagus dan murah. Tetapi mental untuk memakai mobil dengan terhormat tidak kunjung berubah. Mobil diparkir di jalan depan rumah. Tidak peduli tetangga kita kemudian kesulitan lewat jalan tersebut. Mobil parkir seenaknya di pinggir jalan untuk mampir sebentar ke toko makanan. Tanpa kita sadar bahwa mobil tersebut telah mengambil hak orang lain untuk menggunakan jalan.

Baca juga: Sebelum Bandara Kulon Progo Berdiri

Ketika Pemerintah Daerah Jakarta kembali menegakkan aturan bahwa setiap orang yang ingin membeli mobil harus punya garasi, kita teriak itu melanggar HAM. Aturan yang sudah tertuang jelas di Pasal 140 Perda DKI No 5/2014 itu dianggap acuh terhadap hak setiap orang untuk memiliki kendaraan yang akan digunakan untuk bekerja. Jadi, begini. Wewenang negara dalam kerangka HAM ada dua tipe: pasif dan aktif. Pasif ketika hal tersebut tidak mengganggu hak orang lain. Misalnya, hak kebebasan beragama dan tidak beragama. Selama hal itu tidak mengusik orang lain, negara tidak boleh ikut campur. Tetapi ketika praktik agama seorang sudah melanggar hak orang lain dari kaca mata hukum, negara wajib aktif. Sama seperti mobil yang harus bergarasi. Seseorang boleh saja memiliki mobil sebanyak-banyaknya. Tetapi jika mobil itu dijejer di jalan depan rumahnya, maka negara wajib terlibat.

Keterlibatan pemerintah sudah diberi ruang oleh Perda tersebut. Pemerintah akan menerbitkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) jika si calon pemilik punya surat bukti kepemilikan garasi. Surat tersebut dikeluarkan oleh lurah setempat. Sehingga, para lurah punya fungsi yang sangat penting untuk menyukseskan niat baik ini.

Garasi di sini tidaklah harus ruangan tertutup. Mobil bisa diparkir depan rumah asalkan tempat tersebut bukan ruang milik jalan. Bahkan si calon pemilik bisa menyewa garasi. Sebab niat batin dalam penyusunan peraturan ini adalah nafas kepentingan bersama.

Sepanjang penelusuran saya, baru Jakarta yang punya aturan pemilik mobil harus punya garasi. Tentu saya bisa salah. Apalagi dengan kondisi media saat ini yang bicara Jakarta melulu. Namun, intinya, ini adalah aturan yang bagus. Tiap-tiap daerah perlu menerapkannya. Dan kontrol atas kebijakan itu adalah kita semua.

Dandy IM

PijakID

Kategori
Society

Izin Mendirikan Tempat Berteduh

Sumber: Yogyes

Apa yang paling enak dilakukan ketika hujan? Beberapa kawan memilih kelonan. Kawan yang lain memilih bobok. Ada juga yang lebih suka menonton film di laptop atau handphone. Tetapi, kawan saya yang paling gila bilang bahwa yang paling enak adalah berteduh. Buat apa kelonan, bobok, atau menonton film di bawah injakan kengerian kaki-kaki hujan? Itu hanya akan membuat badanmu menggigil dan gadget-mu rusak. Berteduh dulu, baru kelonan.

Maka, sebagian besar manusia butuh berteduh ketika hujan. Kecuali anak-anak yang ketagihan main bola sambil basah-basahan. Pemancing yang tahu bahwa ikan laut lebih lapar ketika hujan juga bakal rela hujan-hujanan.

Sayangnya, tidak semua manusia mendapatkan tempat berteduh yang nyaman. Sebagian orang bisa berteduh di balik dinding bata dan atap beton. Sebagian yang lain masih terkena rembesan hujan dari celah kardus. Bahkan ada yang hanya bisa memanfaatkan ruang di bawah jembatan sambil menekuk lutut.

Tentu tidak perlu menjadi pejuang HAM untuk mengatakan bahwa tempat berteduh yang layak adalah hak setiap manusia. Karena bumi ini terlanjur dibagi-bagi menjadi 196 negara, berarti pengurus negara yang punya kewajiban mewujudkan hal itu. Sayangnya, pengurus negara punya standar ganda dalam memberikan penilaian kelayakan suatu bangunan yang akan atau sudah didirikan. Menjadi ironis jika sifat tersebut juga menular pada kita. Misalnya, yang terjadi di Yogyakarta.

Kita menyesalkan banyaknya rumah yang berdiri di bibir Kali Code ketika tebing di daerah tersebut longsor. Memang, setidaknya tiga tahun terakhir, setiap tahunnya terjadi longsoran tebing di beberapa titik. Dua atau tiga titik bahkan sudah pernah diperbaiki tahun sebelumnya. Analisis Pijak menjelaskan ada yang salah dalam penanganan masalah tersebut. Kita menuding para warga yang rumahnya mepet kali adalah penyebab keruntuhan itu. Secara peraturan memang betul. Dalam aturan perizinan mendirikan bangunan Kota Yogyakarta, setiap rumah yang akan dibangun di pinggir kali atau sungai harus mendapatkan rekomendasi dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. Salah satu persyaratannya, rumah harus berjarak minimal tiga meter dari kali atau sungai. Memang banyak rumah yang tak memenuhi persyaratan itu.

Tetapi kita sering kali tidak adil. Mungkin ketidakadilan itu juga dipengaruhi oleh ketidaktahuan. Padahal, runtuhnya tebing Kali Code “hanya” membahayakan bangunan di dekat situ. Rumah-rumah yang jauh dari situ tentu tidak akan terdampak. Tetapi para penghuni “rumah jauh” itu mungkin punya jiwa lingkungan yang luhung. Mereka kerap kali berkomentar bahwa orang-orang pinggir kali “mendirikan rumahnya nggak mikir-mikir”.

Baca juga: Kotak Kuning Pengatur Lalu Lintas

Padahal hotel, mall, apartemen, atau bangunan jenis lainnya yang langsung berjendela ring road sehingga menjadi penyumbang besar terhadap kemacetan tidak menjadi bahasan menarik bagi kita. Bangunan-bangunan itu punya akses langsung masuk ring road yang berkelas Jalan Nasional. Hal itu tentu melanggar hierarki jaringan jalan. Secara prinsip tata ruang ngawur. Mungkin karena kendaraan pribadi sudah mendarah-jantung, kini bangunan-bangunan di kota berlomba-lomba paling dekat ke badan jalan. Tengok saja bangunan yang berada di kanan-kiri Jalan Kaliurang yang dekat UGM. Seluruhnya menjadi penyumbang hambatan samping terbesar. Namun apakah kita pernah mengeluh, misalnya di sosial media, tentang persoalan itu? Mari kita jangan meremehkan sosial media. Pengurus negara ini juga memantau sosial media. Dan sebaiknya tidak ada yang dijadikan alasan untuk pesimis. Sebab perubahan dimulai dari hari ini.

Persoalan macet tentu saja sangat berpengaruh pada kita ketimbang runtuhnya tebing kali. Terutama bertambahnya jumlah usia kita yang habis di jalanan. Pemkot Yogyakarta dan Pemda Sleman sebetulnya juga menyaratkan bahwa semua bangunan wajib melakukan kajian dampak lalu lintas bila diperlukan (dekat dengan jalan). Tetap kenapa hal ini jarang sekali menyedot perhatian kita ketika ada yang melanggar? Apakah kita sudah menilai hal itu sebagai sesuatu yang wajar? Apakah pejuang lingkungan menganggap persoalan tersebut tidak masuk dalam ranah lingkungan?

Sesungguhnya persoalan lalu lintas sangat masuk dalam bahasan lingkungan. Sebab bidang itu juga berpengaruh pada kelanjutan hidup kita.

Dandy IM
PijakID 

Kategori
Transportasi

Gagal Paham Putusan MA, Dishub Jabar Larang Transportasi Online

Sumber: IDNTimes
Dua hari ini media diramaikan dengan pemberitaan rencana mogok massal angkutan umum Kota Bandung. Mereka menuntut pencabutan izin operasi transportasi berbasis online di Kota Bandung. Aksi mogok massal yang direncanakan tanggal 10-13 Oktober itu langsung ditanggapi oleh Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil (RK). RK menghimbau warga Kota Bandung untuk saling bantu mengantarkan warga lain ke tempat tujuannya masing-masing jika aksi mogok massal tersebut jadi dilaksanakan. Hal ini dilakukan agar aktivitas perkantoran dan pendidikan Kota Bandung tetap berjalan sehingga tidak ada kerugian yang lebih besar.

Empat hari sebelum rencana mogok, 6 Oktober 2017 di Gedung Pakuan Gubernur Jawa Barat, Kota Bandung, Dinas Perhubungan Jawa Barat (Dishub Jabar) telah melakukan komunikasi dengan Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi (WAAT) Jawa Barat. WAAT adalah pihak yang akan mengomandoi aksi demo mogok massal. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan yang tertuang dalam Surat Pernyataan Bersama terkait Angkutan/Taksi Berbasis Online. Salah satu kesepakatan tersebut adalah Dishub Jabar resmi melarang transportasi berbasis aplikasi, baik roda dua maupun empat. Ada 4 poin kesepakatan tersebut, yakni:

Pertama, pemerintah daerah provinsi Jawa Barat mendukung aspirasi WAAT Jawa Barat untuk menghentikan operasional angkutan sewa khusus/taksi online(Grab, Uber, Go-Car, Go-jek, dll) sebelum diterbitkan peraturan yang baru tentang angkutan sewa khusus/taksi online.

Kedua, dalam hal tataran teknik pengawasan dan pengendalian akan segera dilakukan konsultasi dengan pihak kepolisian. Dishub Jabar juga akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk merumuskan langkah-langkah yang perlu diambil.

Ketiga, semua pihak bersepakat untuk kembali menjaga kondusifitas, keamanan, kenyamanan, dan ketertiban dalam memberikan pelayanan angkutan umum kepada masyarakat.

Keempat, bahwa WAAT Jawa Barat menangguhkan aksi demo mogok massal angkutan umum yang direncanakan tanggal 10-13 Oktober 2017 sampai terealisasinya hasil kesepakatan.
1
Akhirnya dengan kesepakatan tersebut Kota Bandung dapat dibuat kembali tenang, karena WAAT tidak jadi melakukan aksinya. Meskipun begitu, paguyuban pengemudi online yang menamakan dirinya sebagai Posko Jabar (Perkumpulan Pengemudi Online Satu Komando Jawa Barat) sepakat hanya berhenti beroperasi selama empat hari sampai tanggal 14 Oktober 2017.  Pernyataan tersebut disampaikan oleh Tezar Dwi Aryanto selaku koordinator lapangan Posko Jabar. Paguyuban pengemudi yang diikuti 7000 anggota itu ingin menjaga kondusifitas Kota Bandung dan menghindari adanya kemungkinan kerusuhan antara pengemudi online dan pengemudi angkutan umum. Tezar juga berkata akan melakukan sweeping untuk memperingatkan pengemudi yang masih nekat. Harapannya, agar tidak terjadi konflik. Belum diketahui apakah Posko Jabar akan kembali beroperasi setelah tanggal 14 Oktober.

Pada pertengahan Agustus lalu, Pemkot Cirebon sudah lebih dulu menyatakan pelarangan transportasi onlinedi kotanya. Pemkot Cirebon menekan Dishub dan Kepolisian untuk segera menghentikan transportasi online yang masih beroprasi. Pemkot juga memberikan pernyataan dan pengertian kepada pengemudi angkot yang selalu melancarkan aksi demo di depan gedung DPRD, bahwa yang berwenang menutup aplikasi transportasi tersebut bukanlah Pemkot, melainkan Pihak Kementrian.

Baik Pemkot Cirebon maupun Dishub Jabar mempunyai alasan yang sama dalam memutuskan pelarangan terhadap transportasi berbasis aplikasi. Transportasi online dianggap belum mempunyai dasar aturan sehingga perlu dilarang untuk sementara waktu sampai diterbitkan aturan resminya. Padahal, Kementrian Perhubungan sudah memberikan peluang agar taksi online dapat beroperasi. Hal itu terwujud dalam Perarturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Walaupun, dalam perjalanannya, ada 14 pasal yang dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Akan tetapi, perlu kita cermati bahwa pembatalan 14 pasal tersebut bukannya melarang eksistensi taksi online, tapi justru memunculkan peluang baru kepada taksi online untuk lebih berkembang.

Mengenai Putusan MA

Permenhub 26/2017 merupakan produk revisi dari Permenhub No. 32 Tahun 2016 dengan penambahan 11 butir regulasi yang khusus membahas masalah taksi online. Permenhub ini dikeluarkan pada tanggal 1 April 2017 untuk diberlakukan resmi tanggal 1 Juli 2017. Namun, dua bulan kemudian, MA membatalkan 14 pasal. Hal itu disebabkan adanya permintaan uji materiil oleh enam orang pengemudi transportasi online. Mereka mengajukan permohonan untuk menguji 14 pasal dalam Permenhub No. 26 Tahun 2017 itu terhadap UU UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) dan UU LLAJ (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) yang akhirnya berhasil dimenangkannya. Berikut pokok isi pasal-pasal yang dibatalkan MA.

Grafis: Ridwan AN
Dishub Jabar gagal paham

Perlu digarisbawahi bahwa pembatalan 14 pasal tersebut bukan berarti membatalkan seluruh tubuh Permenhubnya. Ke-14 pasal itu memang gugur (tidak berlaku). Namun, pasal-pasal yang lain otomatis  tetap berjalan semenjak 1 Juli 2017 sesuai pernyataan Kementrian Perhubungan. Itu berarti, taksi online sebenarnya masih mempunyai dasar beroperasi. Bahkan taksi online dapat lebih leluasa karena tidak terhalangi 14 pasal yang sebelumnya memberatkan mereka.

Namun Dishub Jabar gagal paham mengenai putusan MA itu. Mereka menganggap bahwa taksi online tidak punya dasar beroprasi lagi. Dishub berasumsi, dengan batalnya 14 pasal Permenhub sebelum berlaku efektif, maka kesuluruhan isi Permenhub menjadi ditangguhkan. Mereka berujar bahwa pemerintah harus kembali mengacu pada peraturan sebelumnya yakni Permenhub No. 32 tahun 2016. Di peraturan lawas itu sama sekali tidak ada peluang taksi online beroperasi. Padahal, secara aturan hukum tidak begitu.

Ditambah lagi dengan adanya tekanan pengemudi transportasi konvensional, akhirnya Dishub Jabar memberi putusan penghentian operasional taksi online. Putusan Dishub ini tampak benar, padahal tidak sesuai dengan peraturan hukum.
Penegakan aturan transportasi online tidak konsisten

Permasalahan polemik transportasi online yang melanda saat ini dapat diartikan sebagai bentuk kegagapan pemerintah dalam menghadapi persoalan taksi dan ojek online. Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya konsistensi yang jelas dalam penegakan aturan transportasi online dari level pemerintah daerah (Pemda) sampai Kepala Negara. Di level Pemda masih ada dua sisi, ada yang memperbolehkan tetapi banyak juga yang tidak memperbolehkan. Di level kementrian, Permenhub sudah jelas berpatok pada asas transportasi yaitu keselamatan dan kenyamanan. Di level yudikatif (MA), pengujian materiil Permenhub terhadap UU UMKM ini semakin membuat bingung.

Di level Kepala Negara, Jokowi terlanjur bilang bahwa transportasi online boleh-boleh saja karena bermanfaat untuk masyarakat. Padahal, pengoperasian ojek online bertentangan dengan UU  No. 22 Tahun 2009 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Akibatnya, mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan-lah yang menjadi korban bully warganet saat menolak transportasi online tersebut. Sebenarnya, Jonan melakukan tindakan yang benar karena sesuai dengan UU LLAJ. Akan tetapi keputusannya diubah begitu saja oleh pemimpin negara yang sedang mencari simpati rakyat. Dan ironisnya, hal itu disambut ramai oleh sebagian besar masyarakat. Ini menunjukkan minimnya edukasi transportasi terhadap khalayak.

Bagaimanapun, 14 pasal yang dibatalkan tersebut akan menjadi “PR” berat Kementrian Perhubungan. Revisi terhadap Permenhub No.26 Tahun 2017 ini harus diselesaikan dengan cepat agar kericuhan antara pengemudi online versus pengemudi konvensional bisa segera diakhiri. Namun, harus tetap mengacu pada asas utama transportasi yaitu keselamatan dan kenyamanan.

Lalu bagaimana dengan Pemda Yogyakarta? Apakah Pemda Yogya masih tetap konsisten memperbolehkan? Atau malah akan mengikuti jejak Jawa Barat yang resmi melarang transportasi online? Kita nantikan saja.
Bro, tapi bagaimanapun juga transportasi onlineini sudah mempermudah hidupku e. Nanti aku nggak bisa gofud-gofud lagi”.

“Ya istiqomah dukung terus aja tranportasi online. Kali aja benar-benar dilegalkan. Kan demokrasi kita disesuaikan dengan permintaan pasar. Hehehe”.

Ridwan AN
PijakID