Kategori
Transportasi

RUU DKJ Telah Disahkan, Lalu?

Sempat ramai perbincangan tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) DKJ yang seharusnya sudah dilakukan sebelum tanggal 15 Februari 2024 berdasarkan amanat Undang-Undang No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 21 Tahun 2023.

Ramainya perbincangan terkait dengan RUU yang telah menjadi UU pada 28 Maret 2024 ini berawal dari nomenklatur Dewan Kawasan Aglomerasi yang dipimpin oleh Wakil Presiden. Di luar itu juga terkait dengan Gubernur yang semula ditetapkan akan ditunjuk oleh Presiden dengan mempertimbangkan usul DPRD. Namun bukan dua hal ini yang akan saya bahas, karena Wakil Presiden tetap menjadi ketua Dewan Kawasan Aglomerasi dan Gubernur akhirnya tetap dipilih langsung oleh rakyat, seperti 19 tahun terakhir.

Kategori
Infrastruktur

Pak Anies, Sudahlah, Buang Cepat-Cepat Air Hujan ke Laut

Jakarta dari zaman penjajahan memang sudah sering banjir. Tapi, janganlah fakta ini membuat kita menyerah untuk mencari solusinya. Sebab merugilah kaum yang hanya berpangku pasrah sambil menunggu keajaiban datang. Tidak ada keajaiban hari ini. Seluruhnya harus kita usahakan sendiri. Termasuk soal banjir.

Ide dan terobosan baru memang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah banjir. Namun ingat, ide-ide tersebut harus tetap realistis. Mengapa? Biar kita tidak mabuk khayalan. Yang kita butuhkan itu banjir teratasi, bukan hanya membayangkan.

Dan menurut saya, ide gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait penyelesaian banjir tidak realistis. Ia dan timnya punya ide untuk menyerapkan air hujan ke dalam tanah, alih-alih membuangnya cepat-cepat ke laut. Alasannya, jika air hujan dibuang cepat-cepat ke laut dengan memperlicin dinding-dinding sungai (membetonnya), maka banjir akan semakin besar daya rusaknya serta cadangan air tanah tidak terisi. Kondisi ini, menurut Pak Anies dkk., membuat Jakarta sering banjir di musim hujan dan kekurangan air tanah di musim kemarau.

Untuk mewujudkan ide tersebut, tim Anies Baswedan melaksanakan berbagai program yang diberi nama naturalisasi sungai. Mereka tidak ingin membeton dinding sungai karena menurut mereka, itu membuat sungai menjadi tidak natural. Mereka ingin sungai menjadi natural saja, kembali ke kondisi alam, yakni dengan memperbanyak tumbuh-tumbuhan di kiri-kanan sungai. Harapannya, nanti air hujan yang sudah masuk ke sungai bisa menyerap sedikit demi sedikit di samping sungai. Menurut mereka, dengan cara inilah banjir tidak meluas ke mana-mana.

Bagaimana dengan bantaran sungai yang sudah berubah menjadi hunian? Tim Anies Baswedan punya ide untuk mengubah wilayah ini menjadi perkampungan air. Maksudnya, jika musim hujan, warga diajak hidup bersama air. Rumah-rumah akan dibuat menjadi panggung. Lantai 1 memang dibiarkan tergenang. Ide ini didukung klaim bahwa daerah Jakarta dulunya memang daerah rawa. Jadi wajar jika mudah sekali tercipta genangan. Oleh karena itu, warga Jakarta sebaiknya tidak melawan genangan air, tapi hidup bersama air.

Ide ini tidak realistis karena lupa mempertimbangkan jenis tanah di Jakarta. [mks_highlight color=”#eeee22″]Sebagian besar tanah di Jakarta itu lempung. Tanah ini sangat lambat menyerap air.[/mks_highlight] Alhasil, bukannya banjir malah menyerap, tapi akan terus tergenang dalam jangka waktu yang lama. Penduduk pun akan semakin lama menderita. Akses air bersih dan makanan akan terus terganggu. Genangan air yang bertahan lama juga mudah sekali membawa penyakit. Dampak ekonomi, sosial, dan kesehatannya akan semakin mengerikan.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Ide naturalisasi dari Pak Anies Baswedan dkk. memang terlihat ramah lingkungan. Namun, cara ini tidak cocok diterapkan di Jakarta. Cocoknya di Bogor.”[/mks_pullquote]

Ajakan untuk hidup bersama air dengan mengubah konstruksi hunian menjadi rumah panggung juga tidak masuk akal. Bisa dibilang, seluruh rumah di Jakarta tidak bermodel panggung. Bagaimana mengubah bentuk rumah-rumah ini? Dananya dari mana? Dibebankan kepada warga sendiri? Taruhlah yang akan dibuat menjadi rumah panggung yang berada di bantaran sungai saja. Apakah menjadi realistis? Saya kira tidak. Selain itu, berbagai utilitas publik seperti kabel PLN, pipa air bersih, dan pipa air kotor sudah berada di bawah tanah. Apakah utilitas ini akan dibiarkan tenggelam?

Baca juga: Banjir Bukan Salah Hujan

Berdasarkan argumen-argumen di atas, maka saran saya kepada Pak Anies: sudahlah, pak, alirkan cepat-cepat air hujan ke laut. Buang secepat-cepatnya agar banjir tidak bertahan lama (kalau bisa malah gausah sampai terjadi banjir). Normalkan semua aliran sungai. Beton semua dinding-dindingnya. Ini demi hak warga mendapatkan hunian yang layak dan jaminan kesehatan. Untuk masalah cadangan air tanah, saya rasa tidak perlu dikhawatirkan. Air tanah di Jakarta jarang asat. Paling cuma kualitasnya yang memburuk (ini soal lain lagi, yaitu bagaimana mencegah pencemaran air tanah atau intrusi laut).

Ide naturalisasi dari Pak Anies Baswedan dkk. memang terlihat ramah lingkungan. Namun, cara ini tidak cocok diterapkan di Jakarta. Cocoknya di Bogor. Nah, mengingat Jakarta juga mendapatkan limpahan air yang begitu banyak dari Bogor, sebaiknya Pak Anies memberi saran kepada presiden agar memerintahkan bupati dan walikota terkait untuk melakukan pembenahan/naturalisasi kawasan Bogor. Di daerah inilah kawasan hijau mesti diperbanyak. Pembangunan villa dan hotel dimoratorium (dihentikan). Di kawasan inilah air hujan harus diresapkan ke dalam tanah sebanyak-banyaknya, bukan di Jakarta.

Kategori
Infrastruktur

Banjir, Penanganan vs Perencanaan

Intensitas hujan yang belakangan tinggi membuat banjir terjadi di beberapa daerah baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hujan memang memiliki peranan penting dalam proses terjadinya banjir. Namun, di balik kejadian banjir, ternyata tersimpan sebab akibat yang kompleks mulai dari sisi teknis, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain.

Jika kita ingin membahas penanganan banjir, maka kita perlu melihat permasalahan secara utuh. Kita tidak bisa melihat fenomena banjir hanya dari satu sudut pandang saja.

Penanganan banjir yang komprehensif artinya adalah kita melihat fenomena banjir dari satu siklus hidrologi yang utuh. Apabila kita melihat hanya dari satu sampel daerah saja, jelas, penanganan banjir tidak bisa terjadi secara berkelanjutan.

Jika air hujan yang berubah menjadi limpasan langsung terlalu banyak dan sungai-sungai tidak bisa menampung debit air, maka air akan meluap. Inilah yang menyebabkan banjir. Kebanyakan masyarakat membahas penyebab banjir hanya sekadar masalah membuang sampah di sungai saja. Hal itu memang benar. Tetapi untuk perencanaan yang lebih komprehensif, sebenarnya ada hal yang lebih penting.

Daerah rural (desa) harus bisa lebih banyak menyerap air hujan ke dalam tanah. Penyerapan air ini juga dalam rangka menjaga kestabilan air tanah. Jika air tidak terserap, maka jangan heran akan terjadi kekeringan. Proses banjir memang tidak bisa dilepaskan dari dampak kekeringan nantinya.

Misal saja jumlah air yang melimpas ke daerah urban tinggi karena air dari daerah rural tidak terserap. Maka, daerah urban yang cenderung sudah menjadi perkotaan akan menerima air dalam jumlah besar dan tidak dapat ditampung, atau dalam bahasa kerennya “banjir kiriman”.

Fenomena ini dapat dijelaskan dari dua sisi, dari sisi rural maupun dari sisi urban. Daerah urban merupakan daerah yang menarik orang datang karena prospek perekonomiannya bagus. Akibatnya, pembangunan daerah urban tersebut tidak dapat terkendali dan semakin padat.

Di sisi lain, lemahnya penegakan hukum dalam masalah koefisien bangunan dan perencanaan wilayah, membuat alih fungsi lahan di daerah rural begitu masif. Tanah pertanian yang sangat baik dalam menyerap air hujan banyak yang berubah jadi permukiman.

Pengembangan wilayah juga tidak bisa lepas dari ego masing-masing daerah. Ego inilah yang membuat daerah-daerah rural menjadi berkembang menuju daerah urban. Tidak ketatnya peraturan pemerintah dalam mengatur tata ruang membuat hal-hal seperti ini dapat terjadi.

DKI Jakarta memang dirancang untuk menjadi wilayah perkotaan dan Kota Bogor menjadi daerah rural. Berkembangnya metropolitan membuat pembangunan Jakarta mulai menyasar pinggiran seperti Tanggerang, Bekasi, dan Bogor. Oleh karena itu, Bogor mau tidak mau harus mengembangkan wilayahnya menjadi penyokong ibukota.

Permasalahannya, Bogor juga berfungsi sebagai daerah rural yang tugasnya adalah menjaga volume air agar tidak langsung terlimpas ke Jakarta. Dengan adanya pembangunan dan alih fungsi menjadi perkotaan, maka tugas tersebut otomatis akan menjadi hilang.

Bahkan daerah Puncak dan Cisarua yang tadinya banyak lahan terbuka, berubah menjadi tempat rekreasi dengan pembangunan yang berkembang cepat. Semakin berkuranglah daerah resapan air yang harusnya menahan laju dan volume air ke Jakarta.

Penanganan banjir bisa dilakukan dengan dua cara. Menggunakan rekayasa teknik atau membuat perencanaan wilayah yang baik. Rekayasa teknik membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan tidak bisa berkelanjutan, tapi ini perlu dilakukan jika pelaksanaan tata ruang terlanjur buruk.

Sementara itu, cara yang paling “murah” adalah dengan penegakan hukum tata ruang yang baik. Proses perizinan harus diperketat oleh pemerintah daerah setempat, guna menjaga siklus air agar terjaga dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas kita akhirnya paham. Banjir ternyata bukan hanya menjadi permasalahan warga yang buang sampah sembarangan atau hujan yang tiada henti. Peran pemerintah pun di sini sangat krusial dalam perencanaan tata kota agar siklus air dapat berjalan dengan baik.

Kategori
Transportasi

Pengalaman Tidak Terlupakan Naik Angkutan di Jakarta

Sejak memutuskan hijrah ke ibukota, saya memang sudah berjanji kepada diri sendiri untuk lebih sering menggunakan jasa angkutan umum. Tidak seperti di Jogja yang kalo mau ke mana-mana susah dan harus menggunakan kendaraan pribadi karena minimnya angkutan umum, di Jakarta berbagai jenis angkutan umum sudah tersedia. Ada Commuter Line/KRL, Transjakarta/busway, bus Kopaja hingga angkutan kecil seperti mikrolet yang biasanya melewati jalanan kampung. Ditambah lagi, dengan adanya angkutan online seperti Go-Jek/Grab, maka bepergian ke manapun menjadi lebih mudah.

Meskipun berbagai transportasi umum telah tersedia, tetapi saya rasa masih banyak ‘warga’ Jakarta yang enggan untuk menggunakan fasilitas ini. Beberapa orang justru memilih untuk menggunakan motor atau mobil pribadi dengan alasan lebih cepat dan nggak perlu transit. Ada juga yang bilang lebih hemat karena hanya keluar uang bensin. Padahal menurut saya, berkendara di jalanan Jakarta itu capek banget lho!

Saya pernah mengendarai motor dari Kemanggisan ke Kota Kasablanka dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Emang sih nggak sampai berjam-jam tapi males aja kalo harus berpanas-panas ria di tengah kepulan asap bus yang kurang ajar baunya. Belum lagi kalo kena macet di persimpangan jalan atau traffic light. Baru muncul lampu kuning aja, suara klakson udah pada rame ngalahin drum band. Aduh, membayangkannya saja saya udah capek duluan!

Selain lebih sering terpapar asap dan kena macet, salah satu hal yang bikin saya males mengendarai motor di Jakarta adalah persoalan jalan. Entah kenapa agak susah aja ngapalin jalanan Jakarta. Banyak yang muter sih! Belum lagi kalo masuk flyover, udah bingung deh ujungnya sampai ke mana. Ya masa tiap belok harus buka GMaps? Keburu diklaksonin orang-orang dong. Daripada ribet, mendingan naik transportasi umum kan? Toh, udah jelas rutenya. Tinggal ngecim aja mau turun atau berangkat dari titik mana.

Ngomong-ngomong, saya punya cerita konyol saat pertama kali berangkat kerja menggunakan jasa Transjakarta. Selasa (04/09) silam, saya nyoba berangkat dari kosan pukul 07.00. Niatnya sih, karena baru pertama kali berangkat naik busway jadi butuh pertimbangan estimasi waktu. Dari kosan, saya naik Go-Jek ke Halte Slipi Kemanggisan. Karena malem sebelumnya udah bisa pulang naik busway, saya pede-pede aja dong naik dari halte yang sama? Tapi ya gitu, kebiasaan sok tau dan nggak pake nanya-nanya dulu, saya malah naik dari halte sebelah barat.

Logikanya, kalo mau ke selatan, harusnya naik dari halte yang di timur. Tapi karena udah pede berbekal aplikasi Trafi yang nggak mungkin salah arah, akhirnya saya naik jalur 9/9A ke arah Pluit. Ya ampun, iya, Pluit. Padahal kan Pluit itu ke arah utara 😦

Sepanjang jalan, saya bingung banget. Ini buswaynya kok ke arah utara? Padahal jalur busnya udah sesuai sama aplikasi Trafi. Tapi, tapi, tapi karena udah bingung banget, akhirnya saya turun di Halte Grogol 2 di dekat Universitas Tarumanegara. Bayangkan, waktu itu udah hampir pukul 08.00 padahal saya masuk pukul 08.30. Perjalanan masih jauuuuh bangeeeet. Pesen Go-Jek kok enggak ada yang nyantol. Akhirnya, berkat the power of kepepet, saya deketin deh abang-abang Go-Jek minta dianterin ke Plaza Kuningan. Pake plus-plus ngebut juga karena takut banget bakalan telat. Hari pertama kerja kok udah telat sih???

Padahal kalo dihitung-hitung biayanya, naik busway pasti bakalan jauuuuh lebih murah. Cukup bayar 3.500 rupiah saja udah bisa pindah-pindah jalur selama nggak keluar halte. Sedangkan kalo naik Go-Jek/Grab bakal lebih makan biaya, yaitu 29.000 rupiah. Jauh banget kan bedanya? Itulah kenapa, saya bela-belain berangkat pagi naik busway demi menghemat uang transportasi.

Alhamdulillah, saya pun berhasil sampai kantor tanpa telat. Pas pukul 08.30. Tapi ya gitu, ngos-ngosan dulu, 30 menit kemudian baru mulai kerja. Sungguh pengalaman konyol yang tidak terlupakan. Hikmahnya adalah sebelum naik busway, pastikan sudah berada di halte yang benar dan searah ya! Jangan lupa perhitungkan estimasi waktu. Meskipun di aplikasi Trafi perjalanan tercatat 30 menit, tapi kalo kena macet ya bisa aja nyampe 45 menit bahkan sejam. Jadi, penting banget buat berangkat satu jam lebih awal. Nggak apa kepagian daripada telat.

Oya, supaya nggak bingung dengan cerita saya, berikut ini saya lampirkan rute perjalanan sama dari arah Slipi Kemanggisan–Karet Kuningan dan berlaku sebaliknya. Estimasi waktu adalah 40 menit (belum terhitung jika ada macet atau delay). Informasi ini saya ambil dari aplikasi Trafi. Kalo kepo dengan jalur lainnya, silakan download aplikasi Trafi di ponsel pintarmu!

Selain busway Transjakarta, saya juga pernah mencoba menaiki moda transportasi yang lain. Contohnya seperti Commuter Line. Waktu itu, saya lagi mau nyamperin teman saya yang kuliah di Universitas Indonesia, Depok. Seharusnya sih, saya bisa naik KRL dari Stasiun Juanda ke Stasiun Tanjung Barat. Tapi lagi-lagi karena belum tau dan sok-sokan tau, akhirnya naik KRL dari Stasiun Tanah Abang. Padahal, hmmm, tau sendiri deh Tanah Abang tuh ramenya kaya apa. Apalagi sejak PKL diperbolehkan buat berdagang lagi di situ, jadi makin semrawut!

Ongkos KRL dari Tanah Abang ke Tanjung Barat sebenernya murah banget. Cuma 3.500 rupiah doang. Tapi, yang bikin males adalah stasiunnya rame bangeeet! Begonya lagi, udah tau rame, saya kok nekat aja masuk gerbong khusus perempuan yang katanya “serem” karena sering ada insiden jambak-jambakan. Waduh! Untungnya sih, saya nggak ngalamin. Cuma harus rela desak-desakkan di pintu masuk. Gilaaaa, buibu dan emak-emak tenaganya ngalah-ngalahin kuda!

Sebagai mantan penonton Bajaj Bajuri, saya penasaran banget sama bajaj. Maklum, moda kendaraan yang satu ini cuma bisa ditemukan di Jakarta aja. Berawal dari rasa penasaran, saya pun iseng-iseng mencoba naik bajaj dari Slipi Jaya ke Kemanggisan. Kalo dalam sinetron Bajaj Bajuri, bajaj yang digambarkan itu adalah kendaraan roda tiga berwarna oranye dengan suara knalpot khasnya. Dulu, bajaj oranye ini pernah menjadi salah satu moda transportasi favorit warga Jakarta. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, transportasi ini sudah digantikan dengan kehadiran bajaj biru dengan bahan bakar gas tipe CNG atau bensin premium.

Nggak heran, dengan adanya peralihan jenis bajaj ini, bajaj oranye jadi semakin langka. Bahkan bisa saya katakan, hingga saat ini hampir semua bajaj oranye sudah tergantikan oleh kehadiran bajaj biru.

Gapapa deh. Akhirnya saya memutuskan naik bajaj biru dari Slipi Jaya ke Kemanggisan. Awalnya saya takut-takut, aman nggak ya naik bajaj, abangnya kalo nyetir ngebut nggak ya. Ternyata asyik-asyik aja tuh naik bajaj. Malahan bisa keliling jalan kampung yang nggak bisa dilewatin sama mobil. Asyiiik bangeeet!

Dari berbagai pengalaman di atas, selama di Jakarta, saya memang lebih suka ke mana-mana naik transportasi umum. Selain ongkosnya yang murah meriah, rutenya jelas, nggak perlu capek mikirin mau lewat jalan mana dan nggak bakalan kena asap bus/mikrolet yang baunya aduhai itu. Yang perlu diingat adalah bagaimana caranya untuk menghafal semua rute tersebut sekaligus mempertimbangkan estimasi waktu selama perjalanan. Ingat, ini Jakarta, perjalanan yang harusnya 5 menit aja bisa jadi 30 menit karena macet. Kalo masih nggak hafal juga, bisa kok download aplikasi mobile transportation seperti Trafi.

FYI, Trafi merupakan salah satu mitra dari Jakarta Smart City dan Transjakarta. Aplikasi ini ngasih sebanyak mungkin informasi transportasi di Jakarta secara real-time. Dengan Trafi, pengguna nggak bakal ketinggalan jadwal dan bisa milih dari sekian pilihan transportasi umum yang tersedia. Aplikasi ini udah ada versi Android dan iOSnya lho!

Selamat mencoba!