Kategori
Transportasi

Mari Bersama-sama Lawan Kemacetan

Sumber: Flickr
Kemacetan bukanlah sesuatu yang bisa kita maklumi. Meskipun jalan raya semakin membuat kita menjadi sangat mementingkan diri sendiri, tetapi kemacetan butuh diurai bersama-sama. Semestinya kita capek berdesak-desakan di jalanan. 


Dalam bukunya yang berjudul “Ayo Lawan kemacetan”, Eka Sari Lorena, ketua Organda (Organisasi Gabungan Angkutan Darat) mengawali curhatannya dari persoalan yang personal. Sebagian besar orang terutama yang hidup di kota, mengalaminya. Ia membahas hubungan kemacetan dengan sebuah keluarga. Menurutnya, lama-kelamaan hidup kita lebih banyak dihabiskan di jalan daripada bersama keluarga.

Seorang bapak bangun pagi-pagi sekali, lalu mandi, sarapan sendiri (atau mungkin tidak sarapan), kemudian bergegas menuju tempat kerja demi menghindari padatnya lalu lintas. Sementara anaknya masih tertidur pulas. Kadang-kadang istrinya pun masih memejamkan mata. Bapak tersebut bekerja hingga sore. Sering kali ia terburu-buru menyelesaikan pekerjaan di hari itu dengan harapan bisa sampai rumah lebih cepat. Namun akhirnya usahanya sia-sia karena kemacetan mulainya semakin cepat. Sesampainya di rumah, anaknya telah tertidur pulas. Ia hanya bisa mengecup keningnya dan mengelus-elus rambutnya. Sedangkan istrinya duduk terkantuk-kantuk di ruang makan.

Itu suatu kisah. Bisa saja di kisah yang lain, seorang istri juga bekerja. Ia tak sempat memasak untuk suami dan anaknya. Mungkin ia juga tak sempat membangunkan anaknya. Ia hanya bisa berpesan kepada pembantu rumah tangga untuk memasak sarapan dan membangunkan anaknya untuk sekolah. Untuk berangkat kerja, ia berpisah dengan suaminya sejak dari pintu rumah. Karena tempat kerjanya berlawan arah dengan tempat kerja suaminya. Sesampainya kembali di rumah, saat anaknya telah tidur, ia dan suaminya sudah sama-sama penat. Ia dan suaminya kemudian langsung tidur saja di ranjang yang sama dengan wajah menghadap arah yang berlawanan.
Foto: Dandy IM

Kisah ini memang rekaan saya, bukan kisah Ibu Eka. Tetapi kira-kira begitulah yang ingin disampaikan beliau. Ia mengingatkan kita untuk menyadari bahwa kita punya hak untuk menghabiskan banyak waktu bersama keluarga. Kita punya hak untuk menuntut ketika waktu kita bersama keluarga dirampas begitu saja oleh jalan raya. Kita punya hak untuk ikut memperbaiki semrawutnya jalan raya karena keegoisan kita dan tidak becusnya pemerintah. Sekecil apapun usaha yang kita perbuat. Sesederhana memasukkan video Transjogja ke instastory lalu memberikan komentar dan ajakan yang positif. Sebagai seorang anak, kita berhak menuntut pemerintah karena telah menelantarkan kita dengan memenjarakan orang tua kita di belantara jalan raya. Kita tentu punya hak untuk memberi tahu dunia bahwa kita sudah capek, stres, muak, pusing, karena dipaksa berebut ruang dan saling menghardik dengan klakson di jalan raya.

Di suatu sore yang kering, pers mahasiswa Fakultas Hukum, BPPM Mahkamah, mengadakan diskusi tentang legalisasi ojek online. Awalnya saya agak heran, kok anak hukum tertarik membahas transportasi. Tetapi tentu itu pertanyaan dungu karena yang mereka bahas soal legalitas. Itu sangat berkaitan dengan keilmuan mereka dan selama acara berlangsung, saya mendapatkan pemahaman-pemahaman baru. Beberapa yang menarik ialah bahasan tentang undang-undang lalu lintas, kepatutan dalam hukum, dan hak diskresi yang dapat diambil oleh pemerintah bila suatu fenomena belum ada aturannya. Namun yang paling penting, setidaknya bagi saya, adalah tumbuhnya kepedulian dari berbagai disiplin ilmu untuk menyumbangkan pemikirannya dalam ranah transportasi.

Dalam diskusi tersebut, Bapak Wiratno Wahyu Wibowo, peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM, menuturkan bahwa tidak semua ruang bisa dijangkau dengan satu jenis moda. Keseimbangan dan sekaligus tujuan dalam transportasi adalah integrasi antarmoda. Jadi, tidak mungkin kita mendesain Transjogja, misalnya, sampai punya trayek ke jalan kompleks perumahan. Bila jarak tersebut masih terjangkau dengan sepeda, ya gunakan sepeda. Bila masih bisa jalan kaki, ya jalan kaki. Sebab bagian paling hulu dari sistem transportasi adalah kaki kita sendiri, bukan angkot apalagi bis. Tetapi kemudian Pak Wiratno menuturkan fakta bahwa orang Indonesia termasuk yang malas jalan kaki. Meskipun terjadi paradoks ketika orang Indonesia melancong ke Singapura dan mau-mau saja berjalan kaki.

Apakah orang Indonesia memang malas jalan kaki?

Kita sering kali mendengar seruan semacam “budayakan jalan kaki”. Kemudian ingatan saya beranjak ke suatu momen diskusi dengan Bapak Sulaiman, Direktur Perencanaan UGM. Menurut beliau, dalam kajian transportasi, perlu kolaborasi interdisiplin biar terwujud solusi yang lebih bijak. Jadi permasalahan transportasi bukanlah tanggung jawab satu-dua disiplin ilmu saja. Karena, sekali lagi, buruknya transportasi berdampak bagi semua orang.

Pak Sulaiman bertanya kepada teman saya yang kuliah di Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Mengapa sebagian besar orang terkesan tidak suka berjalan kaki? Apakah budaya kita memang tidak mendorong orang untuk suka berjalan kaki? Bagaimana mendorong orang-orang untuk suka berjalan kaki? Jawaban atas beberapa pertanyaan ini menurut saya memang akan mempunyai kontribusi besar bagi perbaikan transportasi.

Di suatu sore yang lain, saya melihat teman saya yang kuliah di Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), sebut saja namanya Juno, sedang mengerjakan tugas UAS. Tema tugasnya tentang Transjogja. Ia membahas suatu tesis yang menganalisis kinerja Tranjogja, dampaknya, dan perbaikan-perbaikan yang memungkinkan. Ini memang sesuatu yang biasa. Terkesan tidak ada yang spesial dari cerita ini. Tetapi ini cukup membuat saya semakin yakin bahwa banyak kok yang peduli dengan kesemrawutan jalan raya. Karena setiap orang membutuhkannya. Berbeda dengan pengembangan sarana transportasi udara yang tidak akan menuai reaksi yang besar karena efek dari ke-ngaur-annya hanya dirasakan beberapa orang. Sementara yang lainnya memperoleh kenyamanan. 

Jadi, marilah bersama-sama membenahi kualitas hidup kita dengan melawan kemacetan. Berkontribusilah sesuai dengan kemampuan masing-masing, disiplin ilmu masing-masing, dan tanggung jawab masing-masing. Tak perlu lagilah egois sendiri-sendiri. Karena bunyi klakson itu sungguh memekakkan telinga bila kita dengar terus sepanjang jalan raya.


Dandy IM
PijakID
Kategori
Transportasi

Membunuh Plat Kuning

Transjakarta melintas di Bundaran HI pada hari bebas kendaraan
Oleh: Pak Wali

Mari mengingat-ngingat. Ketika pagi-pagi dalam perjalanan ke kampus kita terjebak macet, apa yang kita pikirkan? Mungkin sekilas kita berpikir, kenapa tidak berangkat lebih pagi? Kenapa angkutan umum di kota ini begitu buruk? Mungkin juga kita berpikir lebih tamak, kenapa pemerintah tak kunjung menambah ruas jalan?

Hari-hari ini omongan tentang pembenahan angkutan umum menjadi begitu basi. Orang-orang di sekeliling kita sering bernada pesimis ketika berbicara tentang angkutan umum. Tanyalah mereka. Ceklah. Apakah mereka masih percaya angkutan umum bakal menjadi lebih baik?

Obrolan tentang rendahnya minat menggunakan angkutan umum saya kira hanya berkutat di dua hal. Pertama: “angkutan umum di kota ini masih menjijikkan, maka saya menggunakan kendaraan pribadi”. Yang kedua: “perbaiki dulu angkutan umum, baru saya meninggalkan kendaraan pribadi”.

Dua petikan kalimat langsung di atas menunjukkan bahwa kita menunggu pemerintah untuk membenahi kekacauan angkutan umum. Padahal, pemerintah tidak begitu peduli. Sementara kita juga tidak kunjung bersuara. Apakah kita pernah melihat sekelompok orang berkumpul di perempatan dengan membawa spanduk berisi sikap protes tentang kemacetan dan kerusakan jalan? Hal ini membuat angkutan umum dapat dibunuh kapan saja. Sudah pada ndak peduli kok.

Kalau kita menggunakan kesepakatan internasional saja, hak mendapatkan mobilitas termasuk dalam HAM. Itu adalah hak setiap orang untuk bebas melakukan pergerakan ke mana saja. Pemerintah harus memenuhinya. Namun, penting untuk diingat, yang dimaksud dengan mobilitas dalam transportasi adalah pergerakan orang, bukan kendaraan. Jadi fokusnya adalah seberapa mudah tiap-tiap orang dalam melakukan perjalanan, bukan seberapa lancar pergerakan mobil, sepeda motor, maupun bus di jalan.

Kenapa saya bisa bilang kalau pemerintah tak berpihak ke angkutan umum? Pertama, terkait regulasi harga BBM bersubsidi. Setiap kali harga premium dinaikkan, tidak ada pengecualian bagi angkutan umum. Dalam 2 periode SBY menjadi presiden, harga BBM naik sebanyak 4 kali, yaitu Maret 2005 (Rp2400), Oktober 2005 (Rp4500), 2008 (Rp6000) dan 2013 (Rp6500). SBY memang pernah menurunkan harga BBM sebanyak tiga kali, yaitu pada 1 Desember 2008, 14 Desember 2008, dan 15 Januari 2009. Tetapi tentu kita sama-sama tahu bahwa tahun tersebut adalah masa pemilihan presiden. Dalam 4 kali kenaikan harga tersebut, angkutan umum dibiarkan terombang-ambing begitu saja, mengikuti arus perubahan harga premium. Begitu juga pada masa pemerintahan Jokowi. Pemerintah lepas tangan dengan membiarkan angkutan umum bersaing sendiri dengan kendaraan pribadi. Para pengusaha angkutan umum membeli BBM dengan harga yang sama dengan kendaraan pribadi. Apakah ini pantas?

Padahal yang namanya subsidi BBM itu yang paling tepat ya untuk angkutan umum. Tetapi apa yang terjadi? Kendaraan pribadi masih leluasa menikmati premium. Mobil mewah diisi premium. Maka kualitas pelayanan angkutan umum menjadi sangat lamban karena ia harus berdesak-desakan dengan kerumunan kendaraan pribadi. Terutama dari hitung-hitungan biaya. Secara teoritis, biaya cukup berpengaruh pada peralihan moda transportasi yang digunakan masyarakat. La kalau orang make kendaraan pribadi lebih murah, ngapain naik angkutan umum? Toh pakai kendara pribadi lebih bisa pergi lewat berbagai jalur sesuka hati.

Sebetulnya para pengusaha angkutan umum lumayan tangguh menghadapi himpitan beban biaya ini. Walau sebetulnya mereka bisa saja melakukan sesuatu yang membikin susah orang banyak. Melakukan aksi mogok, misalnya. Perlu diingat bahwa manusia, juga barang, hampir setiap hari perlu bergerak untuk menyambung kehidupan. Maka mereka sangat bergantung pada pelayanan transportasi.

Cukuplah aksi mogok seluruh armada truk di Pelabuhan Tanjung Perak pada Rabu, 20 Maret 2013, menjadi pembelajaran untuk kita semua. Sebanyak 7.400 unit truk yang tergabung dalam Organda (Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan) Tanjung Perak berhenti mengangkut sama sekali. Para pengusaha itu mempermasalahkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pengendalian Bahan Bakar Minyak (Eka Sari Lorena, Ayo Lawan Kemacetan). Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa mobil barang dengan jumlah roda lebih dari empat untuk mengangkut hasil kegiatan perkebunan, pertambangan, dan kehutanan harus memakai solar nonsubsidi. Masalahnya, dalam praktik di lapangan susah membeda-bedakan jenis truk. Akhirnya terjadi kekacauan dalam pembelian BBM. Supir truk memilih mogok. Dampaknya, barang-barang kebutuhan pokok terlambat tiba di berbagai daerah Indonesia Timur, karena Tanjung Perak adalah pusat perdagangan ke arah sana. Selanjutnya, terjadi kelangkaan, dan barang-barang menjadi mahal. Masyarakat akan bergejolak. Rentetan efek kekacauan transportasi bisa sampai sejauh itu!

Ini kita baru berbicara tentang BBM. Satu dari banyak masalah yang mendera angkutan plat kuning.

Bisnis angkutan umum sangat kompleks, njlimet. Bagaimana cara menghitung biaya operasi angkutan umum sehingga kita bisa menetapkan tarif bagi penumpang? Dengan memperhitungkan harga BBM dan gaji sopir plus kenek? Tentu saja tidak. Kita belum memperhitungkan kendaraannya. Mereka tidak abadi. Dalam jangka waktu tertentu mereka akan rusak. Dan yang paling mempengaruhi adalah kualitas jalan.

Kalau kita mau berbicara tentang jalan di Indonesia, wah, melelahkan. Sudah menjadi perbincangan yang biasa bahwa proyek-proyek pembangunan jalan lebih mendatangkan keuntungan yang besar daripada infrastruktur lain. Kalau kita menggarap proyek gedung bertingkat, tiap-tiap pekerjaan kita sangat kelihatan. Tinggi tiang, lebar lantai, dan jumlah tingkat terlihat oleh mata. Sedangkan lapisan-lapisan di bawah perkerasan susah dicek karena begitu panjang dan berada di lingkungan yang berbeda-beda. Selain itu, kegagalan bangunan gedung akan mudah disorot oleh masyarakat. Mungkin terlihat lebih menakutkan. Sedangkan lubang-lubang di jalan mudah kita acuhkan. Padahal, kecurangan dalam kualitas perkerasan setebal 1 cm saja, bila dikalikan dengan panjang jalan yang berkilo-kilo meter, kerugiannya akan mencapai miliaran bahkan triliun.

Lubang, retakan, gelombang, dan kubangan di jalan bikin umur kendaraan tidak panjang. Tentu saja ini berdampak pada semua kendaraan, termasuk kendaraan pribadi. Tetapi khusus angkutan umum, biaya perawatan kendaraan sangat berpengaruh pada kelanjutan usaha. Itu menjadi beban tambahan yang harus dipikirkan juga oleh pemilik angkutan. Bahkan bukan hanya komponen-komponen utama yang bisa rusak. Speaker bus yang terbanting di sepanjang jalan rusak karena guncangan kendaraan juga membebankan biaya operasi.

Berdasarkan data Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pada tahun 2014, jalan nasional yang rusak 6,05%. Angka yang kecil? Tentu saja tidak. Bila dikonversikan menjadi panjang, yang rusak 2.300 km. Ya kira-kira 2 kali panjang Jalan Daendels. Itu baru jalan nasional. Belum jalan provinsi, kabupaten, dan yang lebih kecil lagi. Lebih menyedihkan. Di tahun yang sama, panjang jalan provinsi 46.486 km dengan kondisi yang rusak sebesar 29% atau 13.481 km. Panjang kan? Kalau jalan kabupaten yang baik hanya 57% dari panjang jalan 346.299 km. Berarti yang rusak 148.908 km. Menyedihkan banget.

Cobaan bagi angkutan umum belum berhenti sampai di situ. Mereka juga masih harus berurusan sama preman, pungli di perjalanan, hingga mobil murah. Masalah-masalah yang ini tidak akan dibahas lebih lanjut karena tulisan ini akan jadi terlalu panjang. Saya hanya akan membahas tentang fenomena saat ini yang akan sangat berdampak bagi angkutan umum, yaitu transportasi online.

Sesungguhnya, permasalahannya bukan terletak pada online atau konvensional, digital atau manual. Sederhana kok. Asal kita berpegang teguh pada satu pertanyaan: transportasi macam itu bikin macet nggak?

Jikalau yang dibikin jadi berbasis daring adalah transportasi umum macam Transjogja, bus kota, angkot, ya sah-sah saja. Misalnya dengan membikin aplikasi yang berisi jadwal Transjogja dan posisi bus yang sedang ditunggu, berapa menit lagi bus bakal sampai, atau kontrol kondisi kendaraan sampai kapan waktu yang tepat untuk menggantinya. Tapi kalau yang dibikin daring itu ojek, taksi, sehingga jumlahnya semakin banyak dan memenuhi kota, ya tentu saja harus dibatasi. Kan sama saja kendaraan-kendaraan itu dengan angkutan pribadi. Nggak massal. Nggak bareng-bareng. Daya angkutnya sedikit. Maka melenceng dari prinsip mobilitas. Tapi ya wajar sih. Soalnya kan undang-undang transportasi kita nggak menyinggung soal mobilitas. Cek saja. Yang banyak malah soal industri otomotif.

Bahkan, lebih parahnya lagi, di Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 tentang Jalan Tol bagian “menimbang”, ada kalimat “bahwa pada beberapa daerah di Indonesia, sepeda motor merupakan moda transportasi dengan populasi yang cukup besar sehingga perlu diberi kemudahan dalam infrastruktur jalan tol dengan memperhitungkan faktor keselamatan dan keamanan”. Pikiran macam ini? Memberikan akses sepeda motor ke jalan tol? Kata “sepeda motor” dan “keselamatan dan keamanan” saja sudah nggak relevan. Bukankah sepeda motor adalah moda yang paling buruk dalam hal keselamatan? Bukankah UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak membahas sepeda motor karena tidak memenuhi kriteria keselamatan? Dalam transportasi, perhatian paling utama adalah keselamatan pengendara. Sebab nyawa nggak bisa dinilai dengan apapun.

Mari kita lihat data kecelakaan. Berdasarkan catatan Polri, pada tahun 2014 terjadi 152.130 kecelakaan. Dari jumlah tersebut, kecelakaan yang melibatkan sepeda motor sebanyak 108.883 kecelakaan, mobil penumpang 18.147 kecelakaan, mobil beban 19.242 kecelakaan, bus 4.808 kecelakaan, dan kendaraan khusus 1.050 kecelakaan. Berarti 71,6% kecelakaan terjadi pada sepeda motor. Dan apakah Bung dan Nona tahu, berapa nilai santunan dari Jasa Raharja untuk para ahli waris kematian sanak keluarga pengendara sepeda motor? Dua puluh lima juta rupiah! Ya, nyawa keluargamu yang mengendarai sepeda motor dihargai sejumlah itu. Berbeda jauh dengan santunan korban kecelakaan angkutan udara yang mencapai Rp1,25 miliar, plus peliputan berhari-hari di media. Nyawa orang saja ada kelasnya.

Tetapi perkembangan jumlah sepeda motor malah terus meningkat. Selama tahun 2010-2014, pertumbuhan rata-rata sepeda motor 12,15%. Artinya, industri sepeda motor jalan terus. Pada tahun 2014, jumlah sepeda motor 92 juta. Penduduk Indonesia sekitar 250 juta. Jadi kira-kira bisa dimisalkan bahwa 1 motor buat 3 orang. Bukan tidak mungkin dengan pertumbuhan jumlah sepeda motor yang sedemikian besar, 1 motor buat 1 orang. Angkutan umum menjadi semakin tidak diperlukan lagi. Saran saya, bunuh sekalian saja angkutan umum, biarkan orang-orang pakai kendaraannya masing-masing. Alihkan dana negara untuk menyediakan sebesar-besarnya subsidi BBM, psikiater, konsultan keharmonisan keluarga, pengasuh anak, karena orang-orang akan lebih sering menghabiskan hidupnya di jalan daripada bersama keluarga. Oh, ya, jangan lupa dirikan satuan tanggap kematian, karena jalanan akan semakin menjadi kuburan massal bagi orang-orang.

Kategori
Society Transportasi

Pagi di Jakarta

Orang-orang Jakarta di pagi hari. Mereka saling berbagai ruang di Kereta Rel Listrik untuk menuju tempat kegiatan masing-masing.
Oleh: Pak Wali

Seperti pagi-pagi yang lain, Jakarta selalu ditandai dengan orang-orang yang bergegas. Waktu begitu berharga di kota ini, semua orang setuju dengan itu. Meski semua bergegas dalam diam, bukan berarti acuh tak acuh dengan urusan orang lain. Saat tak tahu arah, ada saja orang yang memberi tahu jarak, angkutan atau jalan tercepat agar lekas sampai.

Bisa jadi budaya dari kampung dan dusun yang terbawa di dalam sikap hidup orang-orang baik itu, mau berbagi ruang.

Jika Anda pengguna fasilitas pelayanan publik di Jakarta, sebut saja commuter misalnya. Di jam sibuk, terlihat bagaimana warga Jabodetabek mau berlega hati berdesakan naik ke dalam kereta. Saat berangkat di pagi hari, saat pulang di sore hari maupun malam hari, fasilitas pelayanan publik seperti kereta api, bus kota di jalan raya, begitu padatnya. Itu yang rutin terjadi.

Sejak adanya perubahan rezim pemerintahan, ada perbedaan mencolok yang bisa terlihat nyata. Pelayanan publik yang lebih baik, berusaha diberikan oleh pemerintah di ibukota Jakarta. Tak ada yang bisa menolak, soal perubahan pelayanan ini. Termasuk dengan mulai terlihatnya tiang pancang LRT (Light Rail Transit) yang kini terlihat berjejer menjanjikan makin ada kenyamanan nanti bagi pengguna angkutan umum.

Memang, jika dinilai dari sisi kenyamanan, masih banyak yang harus diperbaiki dan ditambah soal pelayanan umum. Ini satu soal yang butuh kerjasama antarpihak, bukan saja rezim yang berkuasa tapi juga pelibatan banyak unsur. Utamanya untuk bisa memastikan bahwa aneka program kegiatan pembangunan untuk pelayanan publik bisa berjalan baik. Pembiayaan program efisien, tak ada korupsi dan berdampak terwujudnya pelayanan publik yang lebih baik.

Ini catatan pendek jelang Pilkada DKI, 19 April 2017, sesaat setelah masuk kota Jakarta, usai menikmati uyel-uyelan di atas kereta commuter. Di perjalanan tadi, tak ada cerita apapun soal paslon (pasangan calon) yang hendak dipilih baik dalam obrolan antarpengguna commuter. Hanya saja, beberapa orang dengan gadgetnya tampak men-scroll berita dan yang lain larut dalam game menyusun kata.

Senin di awal pekan ini, adalah waktu yang biasa bagi sebagian warga kota, rakyat Jakarta. Tapi pekan ini, tepatnya Rabu nanti, rakyat Jakarta berkesempatan memilih pemimpinnya, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur. Siapa yang berhasil merebut rasa percaya rakyat Jakarta?

Pak Wali
PijakID
Kategori
Transportasi

Kotak Kuning Pengatur Lalu Lintas

Yellow Box Junction / Foto: Sansan

Kemacetan sekarang ini merupakan pemandangan yang sudah biasa dijumpai. Salah satu contohnya adalah kota Solo. Kota dengan luas sekitar 46,01 kilometer persegi yang ditempati sekitar 547.116 jiwa menurut data dari kemendagri.go.id. Dan juga, kepadatan penduduknya mencapai 11.300 jiwa per kilometer persegi berdasar hasil sensus yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 silam. Ada berbagai macam metode yang bisa digunakan untuk mengurai kemacetan tersebut, baik dari segi teknis ataupun non teknis. Salah satu yang sudah diterapkan di kota ini ialah Yellow Box Junction (YBJ).

Mungkin YBJ masih terdengar asing di telinga kita. YBJ, jika dilihat sepintas merupakan garis berbentuk persegi dan berukuran besar yang terdapat pada persimpangan lampu merah. Marka kuning ini bertujuan untuk mencegah kepadatan lalu lintas pada jalur yang dilewati dan berakibat pada tersendatnya arus kendaraan di jalur lain yang tidak padat. Dengan adanya YBJ, diharapkan kepadatan di persimpangan tersebut tidak terkunci.

YBJ sangat berguna di persimpangan-persimpangan jalan yang padat pada jalan-jalan utama, serta saat waktu puncak kepadatan lalu lintas. Di kota Solo sendiri, YBJ terdapat di sepanjang jalan Slamet Riyadi, dimulai dari Purwosari hingga perempatan Nonongan.

Mekanisme kerjanya adalah kendaraan berhenti di simpang ketika lampu merah. Saat lampu menunjukkan warna hjau, pengendara kendaraan mulai melakukan pergerakan. Ada yang mengambil jalur lurus, belok kanan, ataupun belok kiri. Sementara itu, terdapat YBJ yang harus mereka lewati terlebih dahulu di simpang tersebut. Pengendara baru diperbolehkan untuk melakukan pergerakan ketika sudah tidak terdapat kendaraan di dalam YBJ.

Misal ada pengguna jalan ingin menuju ke arah selatan dari arah utara. Pengguna jalan tersebut baru boleh melaju saat sudah tidak terdapat kendaraan dari arah lain yang berada di dalam YBJ. Begitu pula dengan pengguna jalan lain di belakang yang juga hendak menuju arah selatan dari arah utara. Mereka baru bisa bergerak ketika semua kendaraan di depan mereka sudah melewati YBJ. Walaupun masih lampu hijau, tetapi jika kendaraan di depan sudah mengekor sampai di dalam YBJ maka sebaiknya pengguna jalan tersebut mengurungkan niatnya untuk menyeberang dan berhenti tepat dibelakang marka. Ini sangat membantu untuk mengurangi tundaan yang terjadi saat lampu hijau dari arah lain menyala.

Dalam pengamatan yang dilakukan tim pijak.co, kebanyakan dari pengguna jalan masih belum mengetahui fungsi dan tujuan dari YBJ. Ada beberapa pengguna jalan yang masih menerobosnya walaupun sudah lampu merah. Ada yang sama sekali tidak mengerti tujuan diterapkannya YBJ dan hanya menganggapnya sebagai penghias jalan. Namun, ada pula yang sudah mengetahui arti dari YBJ baik dari fungsi maupun tujuan diberlakukannya.

YBJ akan berfungsi maksimal jika ada kesadaran dari pengguna jalan. Sebab kesadaran merupakan kunci utama kelancaran lalu lintas. Jadi, jika pengendara melihat jalur di depannya tersendat sebaiknya pengendara tidak memaksakan kendaraannya untuk terus melaju walaupun lampu lalu lintas masih menunjukkan warna hijau dan berhenti tepat di belakang marka. Perilaku seperti inilah yang bisa membuat lalu lintas menjadi lancar ketika lampu lalu lintas di jalur lain menunjukkan warna hijau.

Pengguna jalan yang masih nekat melajukan kendaraannya dan terlihat terjebak di dalam YBJ ketika jalur lain hijau maka dapat dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku. Seperti yang dijelaskan dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 287 (2) juncto Pasal 106 (4) huruf a, b tentang rambu-rambu lalu lintas dan berhenti di belakang garis stop. Pidananya ialah kurungan dua bulan penjara atau denda lima ratus ribu rupiah.

Agar lalu lintas dapat berjalan dengan lancar dan tanpa terjadi kemacetan, maka sosialisasi kepada pengguna jalan perlu dilakukan. Selain memperlancar lalu lintas, dengan adanya sosialisasi maka masyarakat umum dapat mengetahui kondisi terkini terkait peraturan yang sedang diberlakukan. Kemacetan sekarang ini merupakan pemandangan yang sudah biasa dijumpai. Salah satu contohnya adalah kota Solo. Kota dengan luas sekitar 46,01 kilometer persegi yang ditempati sekitar 547.116 jiwa menurut data dari kemendagri.go.id. Dan juga, kepadatan penduduknya mencapai 11.300 jiwa per kilometer persegi berdasar hasil sensus yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 silam. Ada berbagai macam metode yang bisa digunakan untuk mengurai kemacetan tersebut, baik dari segi teknis ataupun non teknis. Salah satu yang sudah diterapkan di kota ini ialah Yellow Box Junction (YBJ).

Mungkin YBJ masih terdengar asing di telinga kita. YBJ, jika dilihat sepintas merupakan garis berbentuk persegi dan berukuran besar yang terdapat pada persimpangan lampu merah. Marka kuning ini bertujuan untuk mencegah kepadatan lalu lintas pada jalur yang dilewati dan berakibat pada tersendatnya arus kendaraan di jalur lain yang tidak padat. Dengan adanya YBJ, diharapkan kepadatan di persimpangan tersebut tidak terkunci.

YBJ sangat berguna di persimpangan-persimpangan jalan yang padat pada jalan-jalan utama, serta saat waktu puncak kepadatan lalu lintas. Di kota Solo sendiri, YBJ terdapat di sepanjang jalan Slamet Riyadi, dimulai dari Purwosari hingga perempatan Nonongan.

Mekanisme kerjanya adalah kendaraan berhenti di simpang ketika lampu merah. Saat lampu menunjukkan warna hjau, pengendara kendaraan mulai melakukan pergerakan. Ada yang mengambil jalur lurus, belok kanan, ataupun belok kiri. Sementara itu, terdapat YBJ yang harus mereka lewati terlebih dahulu di simpang tersebut. Pengendara baru diperbolehkan untuk melakukan pergerakan ketika sudah tidak terdapat kendaraan di dalam YBJ.

Misal ada pengguna jalan ingin menuju ke arah selatan dari arah utara. Pengguna jalan tersebut baru boleh melaju saat sudah tidak terdapat kendaraan dari arah lain yang berada di dalam YBJ. Begitu pula dengan pengguna jalan lain di belakang yang juga hendak menuju arah selatan dari arah utara. Mereka baru bisa bergerak ketika semua kendaraan di depan mereka sudah melewati YBJ. Walaupun masih lampu hijau, tetapi jika kendaraan di depan sudah mengekor sampai di dalam YBJ maka sebaiknya pengguna jalan tersebut mengurungkan niatnya untuk menyeberang dan berhenti tepat dibelakang marka. Ini sangat membantu untuk mengurangi tundaan yang terjadi saat lampu hijau dari arah lain menyala.

Dalam pengamatan yang dilakukan tim pijak.co, kebanyakan dari pengguna jalan masih belum mengetahui fungsi dan tujuan dari YBJ. Ada beberapa pengguna jalan yang masih menerobosnya walaupun sudah lampu merah. Ada yang sama sekali tidak mengerti tujuan diterapkannya YBJ dan hanya menganggapnya sebagai penghias jalan. Namun, ada pula yang sudah mengetahui arti dari YBJ baik dari fungsi maupun tujuan diberlakukannya.

YBJ akan berfungsi maksimal jika ada kesadaran dari pengguna jalan. Sebab kesadaran merupakan kunci utama kelancaran lalu lintas. Jadi, jika pengendara melihat jalur di depannya tersendat sebaiknya pengendara tidak memaksakan kendaraannya untuk terus melaju walaupun lampu lalu lintas masih menunjukkan warna hijau dan berhenti tepat di belakang marka. Perilaku seperti inilah yang bisa membuat lalu lintas menjadi lancar ketika lampu lalu lintas di jalur lain menunjukkan warna hijau.

Pengguna jalan yang masih nekat melajukan kendaraannya dan terlihat terjebak di dalam YBJ ketika jalur lain hijau maka dapat dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku. Seperti yang dijelaskan dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 287 (2) juncto Pasal 106 (4) huruf a, b tentang rambu-rambu lalu lintas dan berhenti di belakang garis stop. Pidananya ialah kurungan dua bulan penjara atau denda lima ratus ribu rupiah.

Agar lalu lintas dapat berjalan dengan lancar dan tanpa terjadi kemacetan, maka sosialisasi kepada pengguna jalan perlu dilakukan. Selain memperlancar lalu lintas, dengan adanya sosialisasi maka masyarakat umum dapat mengetahui kondisi terkini terkait peraturan yang sedang diberlakukan.

Sansan
PijakID