Kategori
Infrastruktur Transportasi

Manajemen Waktu Konstruksi Prasarana Perkeretaapian

Corrugated Mortar Busa Pusjatan Sebagai Solusi Perlintasan Tidak Sebidang

Perlintasan sebidang antara jalan raya dengan jalur kereta api sering kali menjadi titik konflik rawan kecelakaan. Titik konflik ini terjadi diakibatkan terdapat pengurangan kecepatan pada perlintasan sebidang sehingga terjadi penumpukan pada lokasi perlintasan. Kurangnya prasarana perlindungan perlintasan pun menjadi faktor tambahan yang membuat perlintasan sebidang menjadi rawan kecelakaan. Menurut Kementerian Perhubungan, pada tahun 2018 setidaknya terdapat 395 kasus kecelakaan kereta api pada perlintasan sebidang dengan total 245 korban.

Pada 18 April 2017 Kereta Lodaya menabrak sebuah minibus di perlintasan sebidang Jalan Perlintasan Langsung (JPL) 482, Desa Pucung Lor, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap. Minibus yang memiliki total 14 penumpang tersebut tertabrak kereta saat melintasi perlintasan sebidang untuk menuju acara pernikahan. Total korban jiwa sebanyak enam orang dan korban luka sebanyak delapan orang.

Setelah melalui proses yang panjang, pada September 2019 pemerintah melalui Kementerian Perhubungan memulai konstruksi perlintasan sebidang di JPL 482. Tipe konstruksi adalah overpass dengan menggunakan teknologi Corrugated Mortar Busa Pusjatan (CMP). Teknologi ini sudah beberapa kali digunakan antara lain Overpass Antapani di Bandung serta Overpass Manahan di Solo.

Metode konstruksi CMP membutuhkan pemasangan Corrugated Steel Plate (CSP) sebagai struktur utama overpass. CSP terdiri dari rangkaian plat baja yang disusun menjadi konstruksi pelengkung. Pemasangan pelengkung ini membutuhkan bantuan perancah sebagai pendukung agar struktur tidak jatuh pada saat proses pemasangan, perancah juga sebagai tempat mobilisasi bagi pekerja untuk melakukan pengencangan baut pada struktur CSP.

Proses konstruksi seperti ini akan sangat mudah dilakukan jika pada area kerja berupa jalan raya. Kendaraan dapat dengan mudah dialihkan dengan menggunakan sistem manajemen lalu lintas. Lain cerita apabila struktur dilakukan di atas jalan rel kereta api, kereta api tidak dapat dialihkan seperti kendaraan biasa.

Proses persiapan dan pemasangan struktur CSP memakan waktu selama 25 hari dengan rincian sepuluh hari membuat dudukan struktur dan lima belas hari melakukan perakitan. Permasalahannya, kereta api melewati area konstruksi dengan rata-rata interval 15 menit, yang mana mustahil untuk melakukan perakitan CSP di atas jalur kereta api jika hanya membandingkan antara lama konstruksi dengan ketersediaan waktu. Lalu bagaimana solusi dari permasalahan konstruksi tersebut?

Rekayasa Metode Konstruksi dan Pemanfaatan Window Time Kereta Api

Untuk dapat melakukan pemasangan CSP di atas jalur kereta api maka tidak bisa menggunakan metode pemasangan yang sama seperti di atas jalan raya. Perlu ada rekayasa metode konstruksi agar pelaksanaan dapat dilakukan dengan efisien. Pertanyaannya sekarang jika kereta api tidak bisa dialihkan maupun dihentikan operasionalnya, lalu bagaimana kita dapat memasang CSP di atas jalur kereta api? Sekarang saya perkenalkan kepada teman-teman semua sebuah konsep yang sudah lama dipakai dalam proses pembangunan, perawatan, dan peningkatan jalur kereta api, Window Time.

Window Time secara definisi merupakan jeda waktu antar kereta api yang dipergunakan untuk melakukan proses pembangunan, perawatan, dan peningkatan jalur kereta api. Perjalanan kereta api diatur dalam Grafik Perjalanan Kereta Api (Gapeka) dan penentuan Gapeka juga memasukkan Window time sebagai pertimbangan untuk pertimbangan perawatan prasarana perkeretaapian.

Window time dibagi menjadi dua karakteristik, karakteristik kereta commuter dengan karakteristik Kereta Api Jarak Jauh (KAJJ). Karakteristik kereta commuter adalah volume perjalanannya tinggi dan memiliki jarak yang rapat, namun jam operasional kereta commuter di atur tidak 24 jam, sehingga pada malam hari kereta commuter memiliki jam non operasional. Untuk KAJJ operasional dilakukan dalam waktu 24 jam namun jarak antar kereta tidak serapat kereta commuter. Misalkan kereta Commuter memiliki jarak kedatangan sebesar 5 menit maka KAJJ memiliki jarak kedatangan antara 10-150 menit.

Pelaksanaan konstruksi di JPL 482 berada di lintas KAJJ, pada lintas tersebut tidak terdapat kereta commuter, oleh karena itu karakteristik window time pada lokasi tersebut adalah tidak memiliki jam non operasional. Untuk mendapatkan waktu yang maksimal maka kita harus melihat jeda waktu terbesar pada Gapeka. Jeda waktu yang kita dapatkan dari Gapeka disebut dengan window time Gapeka.

Setelah kita mendapatkan slot waktu terbesar yang tersedia pada Gapeka, maka waktu tersebut bukanlah waktu yang menjadi acuan untuk melaksanakan kosntruksi. PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang akan menentukan berapa lama waktu yang kita miliki untuk melaksanakan kosntruksi tersebut. Waktu yang diberikan oleh operator kereta api pasti di bawah waktu yang kita dapatkan dari Gapeka dengan pertimbangan konstruksi harus selesai sebelum kereta akan melintasi area kerja. Waktu ini disebut dengan window time KAI.

Setelah kita mendapatkan window time yang kita miliki, kemudian kita melakukan rekayasa metode konstruksi sehingga kebutuhan waktu konstruksi kurang dari waktu yang kita miliki. Intinya, waktu konstruksi harus lebih kecil dari window time yang tersedia. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses konstruksi disebut dengan window time konstruksi.

Proses menentukan metode konstruksi terdiri dari dua hal utama, yaitu waktu dan sumber daya. Waktu pekerjaan harus lebih kecil dari waktu yang diberikan agar pekerjaan dapat selesai sebelum kereta selanjutnya dapat melintasi pekerjaan konstruksi. Sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya berupa alat dan tenaga, alat dan tenaga yang dimiliki kontraktor harus tersedia dan cukup untuk melaksanakan konstruksi tersebut.

Kesimpulannya, pekerjaan konstruksi kereta api dapat dilakukan di sela-sela perjalanan kereta api, kemudian total waktu konstruksi tersebut tidak boleh melebihi dari panjang jeda perjalanan kereta api. Manajemen sumber daya dan waktu yang baik harus diperhatikan serta diperhitungkan dengan matang agar kemungkinan terjadinya kegagalan konstruksi menjadi kecil.

Kategori
Society

Buruh Bangunan Diperlakukan Tidak Adil


Buruh bangunan sedang mengencangkan cetakan kolom sebuah proyek gedung. Mereka sering bekerja lembur sampai kelelahan. Foto: Dandy IM

Manusia yang memaksa dan dipaksa tenaganya demi keberlanjutan hidup dan obsesi penguasa.


Kesan awal yang bakal muncul saat pertama kali berkunjung ke proyek infrastruktur, tidak ada paksaan untuk para buruh mengambil jam lembur. Mereka secara suka rela ingin mendapatkan tambahan upah demi meningkatkan kualitas hidup. Namun, ketika kita melihat-lihat lebih lama, ada suatu kondisi yang membuat mereka melakukan itu.


Kondisi tersebut bisa dikategorikan menjadi tiga hal: cekikan kebutuhan hidup, keputusan manajemen, dan target proyek yang memburu.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data besaran upah nominal dan riil harian untuk buruh bangunan akhir tahun lalu. Upah nominal adalah jumlah uang yang diterima oleh buruh dari mandor per hari. Per September 2017, jumlahnya rata-rata sebesar 84.438 rupiah. Jumlah ini naik 0,02% secara bulanan dan 2,3% secara tahunan. Sedangkan upah riil adalah daya beli para buruh. Upah riil menggambarkan nilai uang sebenarnya yang bisa digunakan keluarga buruh untuk melanjutkan hidup. Per September 2017, nilainya sebesar 64.867 rupiah. Nilai ini turun 0,11% secara bulanan dan 1,37% secara tahunan.

Data ini menunjukkan, meskipun upah nominal buruh bangunan naik, tapi nilainya mengalami penurunan. Kemampuan buruh membeli kebutuhan pokok semakin lemah. Sehingga, alih-alih meningkatkan kualitas hidup, untuk mempertahankan keberlangsungan hidup saja mereka harus lebih sering mengambil jam lembur. Keputusan untuk lembur pada akhirnya tidaklah muncul dari hasrat, tapi dari keterpaksaan.

Baca juga: Helm Kuning Proyek

Keputusan kontraktor juga sering memaksa buruh lembur bahkan sampai dini hari. Kontraktor inginnya jumlah buruh sedikit mungkin untuk menekan biaya. Sebab, ada keadaan tertentu di lapangan yang memaksa pekerjaan tidak bisa dilanjutkan, seperti keterlambatan suplai material, cuaca yang tidak mendukung, atau progres yang terlalu cepat. Padahal, pihak kontraktor tetap harus membayar upah buruh yang bekerja dengan sistem harian. Dengan minimnya jumlah buruh, uang yang harus dikeluarkan pada waktu semacam ini juga berkurang. Namun, nahas bagi para buruh ketika pekerjaan sedang menumpuk. Mereka dipaksa lembur untuk mengejar target.

Buruh di proyek pelabuhan. Foto: Farizqi

Faktor terakhir yang membuat buruh lembur adalah target rampungnya proyek yang memang diburu sejak awal. Pemerintahan Joko Widodo memang mengandalkan program pembangunan yang bertajuk “percepatan infrastruktur”. Beberapa proyek strategis dikebut pengerjaannya. Sayangnya, perhatian terhadap kualitas proyek amat kurang ketimbang jumlah proyeknya. Hal ini dibuktikan dengan maraknya kecelakaan kerja di bidang konstruksi akhir-akhir ini. Salah satu yang berkontribusi pada kecelakaan itu adalah menurunnya konsentrasi para buruh akibat lembur melulu.

Negara sebetulnya sudah mengatur melalui keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 102/MEN/VI/2004 tentang waktu kerja lembur. Menurut keputusan tersebut, waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 40 jam dalam seminggu. Jika menggunakan sistem 6 hari kerja, berarti waktu kerja normalnya 7 jam. Sedangkan untuk sistem 5 hari kerja, waktu kerja normalnya 8 jam. Apabila melebihi itu, pekerjaan dianggap lembur dan perusahaan wajib membayar upah lembur.

Untuk menentukan lamanya waktu kerja lembur juga tidak sembarangan. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam sehari dan empat belas jam dalam seminggu.

Sayangnya, praktik di lapangan tidak mematuhi peraturan tersebut. Buruh bangunan bisa disuruh bekerja sampai pukul 2 pagi. Apalagi ketika ada pengecoran. Tentu saja hal tersebut sudah sangat melebihi batas waktu lembur yang ditentukan.

Baca juga: Kambing Hitam Kecelakaan Konstruksi

Satu hal lagi yang amat penting: untuk melakukan kerja lembur, harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari buruh yang bersangkutan. Harus ada daftar tertulis berisi nama-nama buruh yang akan lembur dan ditandatangani oleh mereka. Artinya, pihak kontraktor tidak bisa begitu saja memaksa para buruh untuk lembur.

Kenyataan di lapangan, pihak kontraktor langsung saja bilang ke mandor untuk meminta para buruhnya lembur. Hal ini tentu menyalahi prosedur dan buruh diperlakukan secara tidak adil. Padahal, ketika terjadi kecelakaan kerja, pihak kontraktor enteng saja menuduh para buruh lalai dalam bekerja – seperti yang terjadi pada proyek Jalan Tol Becakayu (Bekasi-Cawang-Kampung Melayu). Itu membuat ketidakadilan menjadi sangat.

Dandy IM
PijakID