Di debat pilpres edisi kedua, Jokowi dengan entengnya bilang bahwa tidak ada konflik lahan dalam pembangunan infrastruktur selama masa jabatannya sebagai pegawai nomor 1. Mari cek lagi perkataan pegawai kita ini. “Dari 4,5 tahun ini tidak ada konflik lahan akibat proyek infrastruktur. Karena tidak ada ganti rugi, yang ada ganti untung,” kata Jokowi. Bayangkan, sudah tidak ada konflik lahan, masyarakat terdampak juga dapet untung! Betapa mulia proses pembangunan yang diklaim Jokowi itu.
Tentu saja faktanya berbeda jauh dengan kata-kata manis yang diucapkan Jokowi. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2015 infrastruktur menempati urutan kedua penyumbang konflik agraria. Sedangkan tahun 2016-2017, terjadi 394 kasus konflik lahan yang berhubungan dengan pembangunan infrastruktur.
Klaim Jokowi yang bilang masyarakat terdampak malah dapat untung, mengaburkan fakta banyaknya konflik infrastruktur terutama yang berskala besar, seperti bandara, PLTU, bendungan, dan jalan tol. Jokowi seakan ingin menggambarkan pada kita, bahwa dengan adanya perubahan istilah dari “ganti rugi” menjadi “ganti untung”, yang diklaim menaikkan jumlah uang kompensasi, masyarakat terdampak jadi sukarela meninggalkan tanah-airnya. Padahal, tinggal ketik saja di Google, kita sudah bisa berwisata konflik secara virtual. Jumlahnya banyak, tinggal pilih. Saya saja sampai bosan menuliskannya.
Baca juga: Evaluasi Skema Pembiayaan Infrastruktur dan Proses Pembangunan di Rezim Jokowi
Mustahil Jokowi tak mengetahui satupun konflik itu. Jika ia tak sempat buka Google saat main Instagram, Twitter, atau pas ngevlog, orang-orang di sekelilingnya mestinya ngasih tahu. Kecuali orang-orang yang bersamanya menikmati betul jurus “asal bapak senang”.
Data konflik di atas sebenernya sudah cukup buat bilang infrastruktur Jokowi tidak demokratis. Mau demokratis bagaimana jika membangun infrastruktur dengan cara pengusiran paksa? Meskipun dengan membawa ajian “demi kepentingan umum” atau “petunjuk leluhur”, ketika terjadi pemaksaan, berarti rakyat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Apakah para pegawai kita ini lupa bahwa hakikat demokrasi adalah partisipasi rakyat? Hajatan 5 tahunan atau coblosan itu cuma sebagian kecil dari proses demokrasi.
Baca juga: Logistik Jawa Bagian Pertama: Transjawa Ternyata Tak Seperti yang Diduga
Selain pengusiran paksa, perencanaan infrastruktur Jokowi sangat tidak demokratis secara keilmuan. Hanya mengakomodasi ilmu-ilmu teknik saja. Sudah begitu, ilmu teknik yang dipakai sudah usang. Ini amat terlihat dalam pembangunan bandara dan jalan tol.
Dalam proses penentuan lokasi Bandara Internasional Baru Yogyakarta misalnya, hal-hal yang dipertimbangkan cuma soal “bisa dibangun landas pacu dan terminal yang luas atau enggak”, “nabrak Merapi atau nggak”, dan “lahannya mudah didapatkan atau tidak”. Tentu saja tiga hal tersebut penting. Tapi juga ada yang tak kalah penting: apakah warga terdampak hidupnya bakal lebih baik? Apakah manusia yang disuruh pindah juga akan menikmati hasil pembangunan? Apakah rakyat terdampak tak akan mengalami kesulitan jika dipaksa beralih profesi? Apakah tak ada alternatif lain selain bangun bandara baru? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja tidak pas kalau dilihat dari kacamata ilmu teknik saja. Ilmu sosial, ekonomi, budaya, dll mestinya juga digunakan untuk membedah kasus secara tuntas.
Ilmu teknik yang dipakai dalam perencanaan jalan tol, seperti yang saya bilang sebelumnya, sudah usang. Misalnya pembangunan tol dalam kota yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Yang dijadikan pijakan doktrin lama: kalau macet, ya tambah jalan. Padahal solusi ini sudah terbukti tak menyelesaikan masalah. Apalagi kalau tidak didukung peningkatan layanan transportasi umum.
Baca juga: Logistik Jawa Bagian Kedua: Menyelesaikan Masalah Tarif Tol
Soal jalan tol yang direncakan menjadi tulang punggung logistik, seperti Trans Jawa, Trans Sumatera, juga sama usangnya konsep yang dipakai. Sudah banyak teori dan pengalaman bertebaran yang menunjukkan bahwa jalan tol, untuk kasus Indonesia, tak efektif menurunkan biaya logistik. Salah duanya karena investasi jalan tol yang muahal dan kapasitas angkut truk yang terbatas. Mengapa hal tersebut masih berjalan? Karena ilmu teknik yang dipakai tidak holistik, dan mengabaikan sudut pandang ilmu sejarah, geografi, sosial, budaya, dll. Jas Merah (Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah) akhirnya hanya menjadi slogan basi.
Saya sangat setuju dengan Jokowi bahwa infrastruktur di Indonesia ketinggalan. Ironis memang. Negara yang hampir 74 merdeka, masih puyeng mikirin infrastruktur. Tapi langkah Jokowi menyelesaikan masalah ini bikin saya ingat sama cara Orde Baru membenahi kebobrokan ekonomi. Mari membongkar ingatan sedikit.
Ekonomi Indonesia amburadul sejak tahun 60-an. Ini salah satunya disebabkan oleh konfrontasi yang tak berkesudahan, yaitu perebutan Irian Barat dengan slogan Trikora dan pertikaian dengan Malaysia dengan slogan Dwikora. Ekonomi menjadi terpimpin. Keputusan ekonomi lebih sering memakai pertimbangan politik daripada ilmu ekonomi.
Biar Sukses, Tol Probolinggo-Banyuwangi Perlu Dibarengi Pengembangan Pelabuhan
Lalu Soeharto naik ke kursi Presiden melalui kudeta dan pembantaian massal yang menyertainya. Ia merevisi kebijakan ekonomi secara radikal, yaitu membuka pintu selebar-lebarnya bagi dana luar negeri. Sepintas itu terkesan mulia, karena berhasil menggerakkan roda ekonomi. Namun, karena kebablasan akhirnya keputusan-keputusan ekonomi didikte pemberi dana itu. Demi memuluskan apa-apa yang sudah didikte, keadaan politik harus stabil. Maka Soeharto menerapkan pembangunan yang terpusat, diikuti pembungkaman, penculikan, aksi represif, yang intinya tidak demokratis. Dan konflik pembangunan infrastruktur pun tak bisa dielakkan.
Kini Jokowi melakukan hal yang serupa. Pokoknya dikebut secepat-cepatnya pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan. Tidak peduli suara rintih kanan-kiri. Abaikan kritik. Yang penting bisa cepat pamer bahwa selama jadi presiden ada hasilnya. Ada bentuknya. Kalau ada yang menghambat tinggal usir paksa pakai tentara.
Baca juga: Transjogja dan Masalah Transportasi Perkotaan yang Tak Akan Selesai
Pembangunan infrastruktur Jokowi memang tidak terkesan menyeramkan secara umum. Mungkin karena pengaruh sosok Jokowi yang populis bak artis. Namun, selayaknya artis, banyak kepalsuan demi meraih kepopuleran.
Lalu bagaimana dengan Prabowo? Apakah jika ia jadi pegawai kita yang nomor 1, keadaan bakal jadi lebih baik? Mari kita tengok solusinya tentang konflik infrastruktur di debat pilpres kedua. “Pembangunan infrastruktur semestinya direncanakan dengan baik. Harus merencanakan biaya untuk mengganti lahan masyarakat yang diambil. Dan juga merencanakan pemindahan hunian masyarakat” ujar Prabowo. Jadi konsep yang ditawarkan Prabowo tak beda-beda amat sama Jokowi. Dan ini membuktikan Prabowo tidak paham masalahnya apa.